• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Kecemasan pada Warga Binaan Lajang Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Kecemasan pada Warga Binaan Lajang Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN KECEMASAN PADA WARGA BINAAN LAJANG

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I SEMARANG Aulia Caesara Mahardika

Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Indonesia 50275 auliacaesara1996@gmail.com

ABSTRAK

Warga binaan yang baru pertama kali tinggal di lembaga pemasyarakatan umumnya mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang identik dengan kehidupan yang keras, aturan yang ketat, dan banyak kekerasan. Kesulitan tersebut dapat berkembang menjadi ketakutan dan kecemasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kecemasan pada warga binaan yang belum menikah. Subjek penelitian berjumlah 50 orang warga binaan pria yang berusia 20-52 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan dua skala, yaitu Skala Kecemasan (28 butir; α=0,903) dan Skala Keberfungsian Keluarga (38 butir; α=0,913). Uji korelasi product moment Pearson menunjukkan adanya hubungan negatif antara keberfungsian keluarga dengan kecemasan (rxy=-0,342; p= 0,007). Hasil tersebut menunjukkan pentingnya peran

keberfungsian keluarga terhadap kecemasan pada warga binaan pria yang belum menikah. Semakin individu memandang keluarganya berfungsi dengan baik, maka semakin rendah kecemasan yang dialaminya, dan sebaliknya, semakin individu memandang keberfungsian keluarganya kurang baik, maka semakin tinggi kecemasan yang dimilikinya.

Kata kunci: Warga Binaan, Keberfungsian Keluarga, Kecemasan, Lembaga Pemasyarakatan.

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak kriminalitas seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat berbagai macam kasus kriminalitas, antara lain pencurian, penganiayaan, pembunuhan, penculikan, perjudian, dan perampokan. Adapun data mengenai jumlah tindak kriminalitas di Indonesia yang mengalami kenaikan dalam kurun waktu tiga tahun (2014-2016), yaitu pada 2014 terjadi sebanyak 325.317 kasus kasus, tahun 2015 jumlah tersebut meningkat menjadi 352.936 kasus dan semakin meningkat pada 2016 sebanyak 357.197 kasus (Badan Pusat Statistik, 2017). Meningkatnya jumlah tindak kriminalitas tersebut diikuti dengan peningkatan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa terdapat peningkatan jumlah penghuni di seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun (2014-2016), yaitu pada 2014 sebanyak 163.404 penghuni, kemudian pada 2015 sebanyak 176.754 penghuni dan 2016 sebanyak 204.550 penghuni.

Pada bulan Desember 2017 diketahui jumlah seluruh warga binaan yang menghuni lembaga pemasyarakatan di Indonesia sebanyak 161.345 orang dengan rincian warga binaan dewasa laki-laki sebanyak 150.064 orang, warga binaan dewasa perempuan sebanyak 8.812 orang, warga binaan anak laki-laki

(3)

2.412 orang, dan warga binaan anak perempuan sebanyak 57 orang. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan tindak kriminalitas dibandingkan perempuan. Terjadi perbandingan mencolok pada jumlah warga binaan anak laki-laki dan perempuan. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Riskinayasari (2015) yang menyatakan bahwa remaja laki-laki memiliki tingkat kenakalan remaja yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan. Berkembangnya zaman, kenakalan remaja mengalami pergeseran kualitas yang memicu terjadinya tindak kriminalitas, seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran, pencurian dengan kekerasan, hingga pembunuhan dengan motif dendam.

Remaja yang memiliki konsep diri positif mampu mengatasi dirinya, memperhatikan dunia luar, mampu untuk berinteraksi dan melakukan tuntutan yang diberikan oleh lingkungan, sebaliknya remaja yang memiliki konsep diri negatif akan cenderung melanggar aturan dan norma yang ada dalam masyarakat yang memicu terjadinya kenakalan remaja (Maria, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Fatimah dan Umuri (2014) menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja yaitu faktor dari dalam diri remaja, teman sebaya, dan lingkungan sekolah. Rauf (2002) menambahkan bahwa remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kurang sehat/disharmonis, memiliki resiko untuk melakukan perilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis.

(4)

Banyak di antara remaja yang melakukan tindak kriminalitas dan akhirnya menjalani hukuman atas perbuatannya hingga usia dewasa. Seseorang yang melakukan kejahatan dan telah mendapatkan vonis untuk menjalani masa hukuman sesuai dengan putusan hakim disebut warga binaan (Kusumawardani, 2014). Menjalani masa hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan, memaksa warga binaan untuk melakukan semua hal secara mandiri. Tahun pertama sampai kedua berada di dalam lembaga pemasyarakatan adalah masa penyesuaian bagi warga binaan yang sebelumnya dapat bebas melakukan berbagai hal menjadi terbatas. Keterbatasan tersebut berkaitan dengan adanya aturan-aturan yang harus dipatuhi, kehilangan privasi, dan juga terpisah dari dunia luar, seperti keluarga dan teman (Bull, Bilby, Cooke, Grant, Hatcher, & Woodhams, 2006).

Tugas perkembangan masa dewasa (Hurlock, 2011) yaitu memilih pasangan, memulai membina rumah tangga, mengasuh anak, dan mengelola rumah tangga. Kim dan Kenry (2002) mengungkapkan individu yang sudah menikah memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok status pernikahan yang lain (janda/duda, bercerai, dan belum menikah). Kesejahteraan psikologis berkaitan dengan kemampuan individu dalam menerima diri apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, dapat mengontrol lingkungan eksternal secara optimal, merasa hidupnya berarti, serta mampu menampilkan potensi dirinya (Ryff & Keyes, 1995).

(5)

Penelitian Tandjing (2015) menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kesejahteraan psikologis dengan distres psikologis. Hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, dan adanya penerimaan diri mempengaruhi distres psikologis. Distres psikologis digambarkan sebagai kombinasi dari gejala emosional negatif seperti depresi, kecemasan, dan stres (Lovibond & Lovibond, 1995).

Ketika dalam proses penahanan terdapat beberapa masalah dan tekanan yang dialami oleh warga binaan, seperti konflik batin, trauma, kecenderungan menutup diri, penyimpangan sosial, mudah curiga, dan merasa cemas (Kartono, 2014). Hal serupa disampaikan warga binaan B bahwa pada awal masuk lembaga pemasyarakatan ia merasa sulit tidur, sering terbangun di malam hari, sulit berinteraksi dengan warga binaan lain, takut pada warga binaan lain dan petugas. Hal tersebut dikarenakan informasi yang diterima saat ia berada di luar lembaga pemasyarakatan bahwa kehidupan di lembaga pemasyarakatan sangat menakutkan, petugas-petugas yang ada tidak ramah, dan hal-hal buruk lainnya. Kesulitan dalam menerima keadaannya saat ini membuat warga binaan cenderung tertutup, menghindar, dan menarik diri dari lingkungan.

Menurut Nevid, Rathus, dan Greene (2005) kecemasan pada seseorang disebabkan oleh empat faktor, yaitu faktor biologis, sosial-lingkungan,

behavioral, dan kognitif. Adanya predisposisi genetis, iregularitas fungsi dan abnormalitas dalam jalur otak dapat menyebabkan individu cemas. Kecemasan yang disebabkan faktor sosial-lingkungan berkaitan dengan

(6)

adanya peristiwa yang mengancam atau traumatis, mengamati respon takut dari orang lain, dan kurangnya dukungan sosial. Faktor behavioral yang mempengaruhi kecemasan adalah classical conditioning, operant conditioning, dan penghindaran terhadap objek yang ditakuti. Faktor kognitif dapat mempengaruhi kecemasan pada individu adalah adanya cara berpikir yang terdistorsi.

Penelitian yang dilakukan oleh Salim, Komariah, dan Fitria (2016) menyatakan bahwa usia, lama hukuman, waktu menjelang bebas, dukungan keluarga, dan dukungan sosial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan warga binaan saat menghadapi masa bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor besar yang mempengaruhi kecemasan warga binaan adalah faktor dukungan sosial yakni sebesar 77,66 % dan 70,25 % di antaranya dipengaruhi oleh faktor dukungan keluarga.

Menurut Shek (dalam Lestari, 2012), keberfungsian keluarga (family functioning) berkaitan pada kualitas kehidupan keluarga, baik pada level sistem maupun subsistem, serta berkaitan dengan kesejahteraan, kompetensi, kekuatan dan kelemahan keluarga. Keluarga yang berfungsi ditandai dengan saling memperhatikan dan mencintai; komunikasi baik, jujur dan terbuka; saling menerima dan menghargai; berusaha mengatasi dan memecahkan masalah dalam keluarga; saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi; saling melindungi; kebutuhan keluarga terpenuhi; dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan (Juliyanti, 2014). Menurut Raisa (2016) dalam penelitiannya disimpulkan bahwa dukungan keluarga yang diterima akan

(7)

membantu warga binaan merasa dicintai, diterima, dihargai, dan dipedulikan. Adanya kunjungan dan perhatian dari keluarga akan membantu warga binaan menjalani kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan dengan lebih positif, misalnya mampu menghadapi masalah-masalah yang dialami dan mampu menerima keadaannya saat ini.

Korelasi antara dua variabel yaitu keberfungsian keluarga dan kecemasan dianggap meragukan dan belum pasti, keduanya dapat berhubungan, dapat juga tidak berhubungan. Hal tersebut membuat peneliti melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Kecemasan pada Warga Binaan Lajang Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kecemasan pada warga binaan lajang Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kecemasan pada warga binaan lajang Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang.

(8)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang psikologi sosial, klinis, forensik, remaja, dan keluarga.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan dan keluarga mengenai pentingnya keterlibatan dan keberfungsian keluarga bagi warga binaan saat menjalani proses hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan.

Referensi

Dokumen terkait

Berbekal dari pengalaman ini diharapkan nantinya para peneliti maupun calon pendidik tidak ragu dalam mengimplementasikan multimedia interaktif sebagai media pembelajaran yang

Karena siswa kurang memahami konsep segi tiga dan siswa tidak dapat mengerjakan soal-soalnya untuk membantu dan meningkatkan prestasi siswa dalam belajar

Dalam konteks pengkomersialan pula, selain daripada lapan (8) projek yang kini diberikan bantuan dana prapengkomersialan oleh UMP sebanyak RM 250 ribu, tumpuan turut

Hal ini berarti menurut tabel klasifikasi koefisien korelasi termasuk dalam kategori “hubungan yang sangat erat”, dan sifat hubungannya adalah searah, artinya semakin cepat

1) Self schema dari anggota Hansamo Modern Dance di Komunitas BKC Kota Bandung akan memengaruhi mereka dalam melihat segala pengalaman hidupnya yang berkaitan

Nilai koefisien determinasi dalam penelitian sebesar 0,170 yang berarti bahwa seluruh variabel independen (ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris,

6 Kasus malaria pada orangutan per spesies dan rata-rata kepadatan Anopheles letifer di Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng Kelurahan Tumbang Tahai Kecamatan Bukit

[r]