• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Nilai-nilai Ajaran Tau Lotang Terhadap Masyarakat Lokal Wattang Bacukiki Kota Parepare

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Nilai-nilai Ajaran Tau Lotang Terhadap Masyarakat Lokal Wattang Bacukiki Kota Parepare"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI AJARAN TAU

LOTANG TERHADAP MASYARAKAT LOKAL

WATTANG BACUKIKI KOTA PAREPARE:

PENAFSIRAN KEAGAMAAN MULTIKULTURAL

Hj. St. Aminah Azis, Muhammad Jufri STAIN Parepare

Abstrak

Aspek penting yang dikaji dari penelitian ini adalah pada tataran implementasi nilai-nilai ajaran Tau Lotang dalam masyarakat lokal Wattang Bacukiki Kota Parepare, yang memiliki implikasi penafsiran keagamaan bersifat multikultural yang berperspektif Islam. Penelitian ini tergolong file research dengan jenis penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan menekankan pada tinjauan studi kasus (case studies) melalui model deskriptif kualitatif-holistik, dengan memfokuskan pada pendekatan pendidikan teologis yang berorientasi pada ajaran keagamaan multikultural yang menekankan tinjauan teologis fenomenologis dalam kerangka normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk ajaran budaya lokal Tau Lotang dalam masyarakat muslim Wattang Bacukiki Kota Parepare yang telah mentradisi sejak masa lampau dan terwariskan hingga sekarang.

Kata kunci: Budaya lokal , nilai keagamaan, tafsir multikultural. Abstract

An important aspect that is studied from this research is at the level of implementation of Tau Lotang’s values in local community Wattang Bacukiki Kota Parepare, which has religious interpretation implication is multicultural with Islamic perspective. This research is classified as research file with qualitative research type. The approach used emphasizes case study reviews through a holistic, qualitative-descriptive model, focusing on a theological-oriented approach to theological education that emphasizes a phenomenological theological review within the normative framework. The results concluded that the form of local cultural teachings Tau Lotang in the Muslim community Wattang Bacukiki City Parepare which has been since the past and inherited until now.

(2)

PENDAHULUAN

Aktualisasi Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas yang meilngkupi kehidupan masyarakat. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia. Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas sebagai penjelmaan dari sistem kultur (budaya).

Masyarakat pada umumnya, menjadikan budaya lokal berupa adat istiadat sebagai sesuatu yang urgen karena nilai-nilai budaya yang tinggi mencitrakan masyarakat yang maju, budaya yang rendah mencitrakan masyarakat yang masih terbelakang. Budaya ditinjau dari berbagai aspeknya, terdiri atas tiga unsur penting, yakni ide-ide/ JDJDVDQ DNWLÀWDV GDQ KDVLO NDU\D /LQWRQ 1LODL QLODL EXGD\D lokal tersebut terilhami dari adat kebiasaan yang disebut dengan ‘urf, yakni kebiasaan masyarakat setempat secara turun temurun.

Pada sisi lain terdapat pula nilai ritual, merupakan aspek yang berkenaan dengan kegiatan ibadah dan upacara keagamaan, yang dalam masyarakat Bugis dalam dilihat dari segi amalan sarak sebagai bagian integral dari amalan syariat. Sarak ini menjadi unsur budaya lokal masyarakat Bugis setelah masuk dan diterimanya Islam di kalangan suku Bugis. Sarak berisi konsep-konsep ajaran Islam, yang merupakan napas bagi keseluruhan aspek ritual kehidupan. Sarak adalah syariat Islam yang mengandung berbagai ketentuan hukum \DQJ EHUODQGDVNDQ NHWDXKLGDQ NHSDGD $OODK VZW 5DVGL\DQDK

Sarak sangat sarat dengan nilai-nilai ritual yang mengandung nilai-nilai Islam dan ajaran Islam yang berasimilasi dengan budaya adat istiadat masyarakat sejak masuknya Islam di kalangan mereka. 1LODL QLODL EXGD\D ORNDO \DQJ LGHQWLN GHQJDQ SKHQRPHQD NHDJDPDDQ tersebut dapat ditemukan di kalangan Masyarakat muslim Bugis Bacukiki Parepare. Jauh sebelum mereka memeluk Islam telah memegang budaya lokal berupa adat istiadat, tabiat asli, dan atau

(3)

kebiasaan seperti ziarah di Buluroangnge yang ada di daerah pengunungan Bacukiki. Ziarah tersebut berdasarkan survey penulis telah mentradisi setiap tahunnya.

Setelah masuknyanya Islam di Wattang Bacukiki, berbagai budaya lokal berasimilasi dengan ajaran Islam, ini terutama dapat GLWHPXNDQ SDGD PDV\DUDNDW 0XVOLP 7DX /RWDQJ GL :DWWDQJ %DFXNLNL %XGD\D ORNDO 7DX /RWDQJ EHUDVLPLODVL GHQJDQ V\DULDW VHSHUWL WUDGLVL mappadendang sebelum menggarap dan penentuan waktu panen sawah, sebelum mengadakan pesta perkawinan dan melaksanakan LEDGDK KDML XSDFDUD NHPDWLDQ NDXP 7DX /RWDQJ PHQJDGDNDQ ULWXDO khusus berupa doa-doa keselamatan, yang tentu saja doa-doa seperti LQL PHUXSDNDQ EDJLDQ GDUL DMDUDQ ,VODP 'DODP 46 DO 0X·PLQ

GLVHEXWNDQ âøððõÜôß ø ö ô˜ððø³ôƒ òððöçîõË©• ø õâððõÜJ‘- ô ÝŽô ððô×íô 'DQ 7XKDQPX EHUÀUPDQ EHUGRDODK NHSDGD.X QLVFD\D $NX DNDQ SHUNHQDQNDQ EDJLPX 'RD merupakan sesuatu yang penting dan karena itu bilamana apa yang dilakukan masyarakat setempat, yakni masyarakat Muslim Wattang Bacukiki di satu sisi telah mengamalkan ajaran agamanya, dan di sisi lain mengamalkan pula budaya lokal mereka, sehingga ditemukan adanya asimilasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal.

Terdapat tiga unsur budaya menpunyai pengaruh yang besar pada persepsi, yaitu sistem kepercayaan, nilai sikap pandangan dunia dan organisasi sosial ( Pemkot parepare, 2012: 7). Ketiga unsur ini, menarik untuk direlevansikan dengan konteks budaya lokal pada masyarakat Muslim di Wattang Bacukiki. Sejumlah data pra observasi peneliti memperkuat dugaan bahwa telah terjadi integrasi antara Islam dan budaya lokal di kalangan masyarakat muslim Wattang Bacukiki, yang tentu saja sangat menarik untuk dijadikan obyek penelitian, sebagai kajian pola-pola penafsiran memahami agama dari berabai aspeknya, utamanya dirinjau dari sisi keragaman agama yang bersifat multikultural.

Sisi perbedaan di kalangan manusia yang berdimensi lokalitas yang terbangun diawali kesamaan asal muasal manusia. hingga pada akhirnya umat manusia mulai mengalami perpecahan dan dirundung problem perbedaan, sebagaimana QS. al-Baqarah [2]: 213. Salah satu sumber pemicu perpecahan di lingkungan umat manusia ialah rasa dengki yang terjadi antara sesama

(4)

mereka, termasuk terhadap suatu komunitas masyarakat tertentu. Kedengkian itu sendiri muncul di tengah jelasnya ketentuan-ketentuan hukum. Jelasnya batasan hukum tidak membuat persoalan selesai. Perselisihan itu sendiri muncul setelah umat manusia pada mulanya bersatu. Fungsi kehadiran para nabi adalah untuk melerai, memberi peringatan, memberi keputusan di antara perkara yang diperselisihkan. Sedemikian pentingnya implemetasi nilai-nilai penafsiran keagamaan kultural ini sehingga menjadi barometer dalam meninjau ulang sisi kehidupan suatu komunitas masyarak lokal yang diselimuti sejumlah nilai yang sudah barang tentu tidak terelakkan lagi, salah satunya adalah komunitas masyarakat muslim Wattang Bacukiki yang bermukim di daerah belaham timur Kota Parepare. Masalah pokok yang dijadikan obyek penulis adalah, bagaimana implementasi nilai-nilai budaya lokal Tau Lotang pada masyarakat muslim Wattang Bacukiki Kota Parepare dalam perspektif penafsiran pendidikan mutikultural keagamaan.

PEMBAHASAN

Penafsiran Keagamaan Multikultural dalam Perspektif Islam.

Memandang realitas hidup manusia sebagai satu kesatuan ditinjau dari asal muasalnya, diperlukan adanya penafsiran keagamaan dalam kontek ajaran keislaman yang lebih universal. Islam sebagai agama yang mengedepankan nilai-nilai kearifan, kemajemukan dan memberikan pengajaran perihal pola-pola hidup plural-multikulural keagamaan sudah barang tentu dimaksimalkan konteks penafsirannya, agar seluruh umat manusia, baik secara personal maupun kelompok dapat terwakilkan sebagai satu kesatuan yang relatif memliki nuangsa keragaman dan kemajemukan dalam menata dunia dan untuk keselamatan di hadapan pemiliki kehidupan Rabb al-Izah wa Rabb al-Jalil.

Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan dalam hal apapun ( Suparta, 2008: 5) Ungkapan ini menggambarkan bahwa

(5)

agama Islam sangat menghargai multikultural karena dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Allah swt., menciptakan manusia dengan beragam perbedaan supaya bisa saling berinteraksi mengenal antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan bangsa dan suku tentu akan melahirkan bermacam budaya yang ada di masyarakat yang menjadi kekayaan bangsa, namun jika perbedaan tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi masalah yang akan menimbulkan kerugian bagi umat manusia. Multikultural masyarakat dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik dan profesional, namun jika tidak, perbedaan cara pandang antar individu bangsa yang multikultural akan menjadi faktor penyebab disintegrasi bangsa dan konflik yang berkepanjangan. Konsep Pendidikan Islam: Respon terhadap Multikultarisme

Pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Istilah pendidikan ialah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Zaini, 1986: 11). Dalam pandangan Islam, pendidikan mempunyai peranan sebagai sarana untuk menjadikan manusia yang tertanam di dalam jiwanya nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia (Natsir, 1992: 87). Adapun tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada Allah dan dapat mencapai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. Dalam kontek sosial-masyarakat, bangsa dan negara, pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam skala kecil maupun besar.

Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam sangat toleran terhadap penganut agama lain. Bahkan, ketika umat Islam berkuasa pun tidak ada paksaan untuk memeluk Islam, termasuk umat Islam di Indonesia yang jumlahnya mayoritas, terkenal sangat toleran pada umat lain, bahkan melindungi mereka. Karena pada dasarnya, manusia diberikan kebebasan untuk memeluk sesuatu agama sesuai dengan keyakinannya tanpa ada paksaan sedikitpun. Islam telah mengajarkan nilai-nilai kesetaraan, kemanusiaan, kasih sayang dan kedamaian untuk diimplementasikan sebagai sumber nilai yang

(6)

melingkupi keragaman dalam keberagamaan di kalangan masyarakat yang pluralis. Lokalitas yang mengandung hakikat nilai-nilai agama dalam bingkai lolakiltas masyarakat harus dilakukan penafsiran yang lebih konprehensif dan sesuai dengan syariat-syariat ajaran agama (Islam) yang benar.

Budaya Lokal Tau Lotang Masyarakat Muslim Wattang Bacukiki terhadap Nilai Agama: Implikasi Pernafsiran Pendidikan Multikultural

Nilai Budaya Lokal berdimensi Penafsiran Keagamaan dalam Aspek Ketauhidan/Ketuhanan.

Setiap muslim harus memiliki ketaatan dan kepatuhan dalam mengamalkan ajaran-ajaran ketuhanan yang telah ditetapkan dalam ajaran agama. Ajaran ketuhanan itu, berangkat pada nilai-nilai tauhid yang tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah yang dipercayai itu, GDQ EDJDLPDQD VHVHRUDQJ EHUVLNDS NHSDGD 1\D VHUWD NHSDGD RE\HN RE\HN VHODLQ 'LD 0DGMLG W WK 'HQJDQ GHPLNLDQ PDQXVLD \DQJ berbudaya, harus mempunyai kepercayaan kepada Rububiyatillah wa Uluhiyatillah sebagai zat yang Maha Esa.

Masyarakat Wattang Bacukiki datang di sekitar Buluroangnge untuk bersemedi dan mengadakan ritual dengan tujuan untuk meminta keberkahan karena diyakini bahwa Buluroangnge memiliki kekuatan, memiliki spirit, atau nilai spiritual. Masyarakat Wattang Bacukiki yang berdatangan di sekitar Buluroangnge dan mempercayai bahwa gunung tersebut memiliki kekuatan yang sumber kekuatannya tetap dari Allah, maka nilai-nilai teologisnya tetap ada, namun bila dipercaya bahwa Buluroangnge sebagai kekuatan daya tarik sendiri dari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa hal tersebut PHUXSDNDQ DMDUDQ VXÀVWLN NDUHQD EHUWHQWDQJDQ GHQJDQ DMDUDQ akidah. Berkenaan dengan ini, maka dipersepsi bahwa budaya lokal dengan cara mendatangi Buluroangnge sebelum acara mappalili ri galung maloang dan mappadendang memiliki nilai spiritual, namun bila hal itu menyalahi akidah tentu bertentangan dengan ajaran agama. Itulah sebabnya saat sekarang ini masyarakat setempat yang datang ke Buluroangnge semata-semata memiliki niat untuk mendapatkan

(7)

keberkahan hidup, sebagai wujud manifestasi Tuhan agar manusia untuk senantiasa mencari wujud yang satu melalui pola penyatuan satu tujuan penyembahan yang abadi.

Jika niat mendatangi Buluroangnge tersebut untuk membuktikan kebesaran Allah dan kemahakuasaan Allah, maka boleh jadi memiliki nilai spiritual, sebagaimana halnya mendatangi Batu Hajar Aswad dan menyakininya sebagai salah satu simbol kebesaran Allah, maka DNDQ EHUGDPSDN SDGD QLODL VSLULWXDO 1LODL QLODL VSLULWXDO WHUVHEXW dapat diungkap dalam bahasa hati untuk memuji Allah swt dan SHQ\HPEDKDQ KDQ\D WHUKDGDS 1\D 'DODP NRQWHNV LQL WDPSDN bahwa perwujudan Tuhan, yakni Allah swt., sebagai wujud yang patut disembah merupakan integrasi mistik secara dogmatis yang terpatri ke dalam jiwa-jiwa manusia yang beragam menuju kesatuan transendental Tuhan.

Dimensi keagaman yang berindikasi spiritual yang menekankan EDKZD KDQ\D $OODK \DQJ SDWXW GLVHPEDK GDQ PHQ\DNLQL 1DEL Muhammad saw sebagai utusannya, senantiasa bermohon kepada $OODK GDQ PHQJLNXWL DJDPD ,VODP \DQJ GLDMDUNDQ 1DEL 0XKDPPDG saw. Implementasinya bagi kalangan masyarakat muslim Wattang Bacukiki sesuai kenyataannya bahwa mereka datang ke Buluroangnge bukan untuk melakukan kemusyrikan, karena mereka tetap bermohon kepada Allah untuk keberkahan. Buluroangnge hanya dijadikan sebagai media untuk mendapatkan keberkahan dari Dewata Semuae. Dengan demikian, maka keberadaan Buluroangnge sebagai pemacu dalam upaya meningkatkan nilai spiritual untuk selanjutnya menjalankan berbagai tradisi leluhur mappadendang ri galung maloang dan mappalili.

Dalam hal tauhid Rububiyah mereka harus yakin dan mengakui bahwa hanya Satu Tuhan yang menciptakan dan memelihara. Di samping itu, dalam hal tauhid Uluhiyah/Ubudiyah mereka juga harus WDDW GDQ NRQVHNXHQ PHQMDODQNDQ V\DULDW 1DVXWLRQ 2002: 934-935). Tauhid Rububiyah ialah suatu keyakinan seorang muslim bahwa alam semesta ini beserta isinya telah diciptakan Allah swt. Tauhid Rububiyah akan rusak manakalah seseorang masih mengakui atau meyakini adanya

(8)

pihak-pihak lain yang ikut andil bersama Tuhan dalam mencipta, mengatur, memelihara, dan menguasai alam semesta ini. Sedangkan tauhid Uluhiyah ialah percaya atau meyakini sepenuhnya bahwa Allah swt lah yang berhak menerima peribadahan makhluk, dan hanya Allah swt yang sebenarnya harus disembah. Tauhid Uluhiyah ini sering diidentikkan dengan tauhid Ubudiyah, karena sesungguhnya adanya pengabdian yang hanya ditujukan kepada Allah swt merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt

Sesuai kenyataannya budaya lokal masyarakat Wattang Bacukiki tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Bahkan sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa budaya lokal masyarakat dalam berbagai aspek berintegrasi dengan ajaran Islam, sehingga kegiatan-kegiatan kebudayaan masyarakat, baik yang ditemukan pada PDV\DUDNDW 7DX /RWDQJ GDQ PDV\DUDNDW VHNLWDU GDODP PHODNVDQDNDQ ritual aqikah, pernikatan, acara kematian dan ziarah ke bukit buluroangnge dalam prosesinya berintegrasi dengan ajaran Islam yang sangat kental. Karena itu, budaya lokal setempat cukup memberi warna terhadap nilai-nilai ketauhidan, sehingga masyarakat setempat sangat taat dan patuh dalam menjalankan ajaran agama tanpa meninggalkan budaya lokalnya.

Di sisi lain, ternyata budaya lokal masyarakat muslim Wattang Bacukiki tidak hanya memberikan warna ketaatan dan kepatuhan dalam pelaksanaan ajaran agama, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan. Masyarakat Wattang Bacukiki yang mayoritas beragama Islam, belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya lokal mereka, meskipun sebagian kecil terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya lokal yang menyalahi nilai-nilai ketauhidan, tetapi hal itu dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam. Karena itu, masyarakat muslim Wattang Bacukiki yang memegangan ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya lokal yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam.

(9)

keagamaan bagi masyarakat Wattang Bacukiki merupakan impelementasi nlai-nilai ketuhanan yang termanifestasi ke dalam pola penghambaan atau pemujaan secara tulus disertai rasa cinta kepada yang Satu/Tunggal. Memandang realitas alam sebagai produk yang bersumber dari Allah yang dijadikan sandaran dalam memantapkan keyakinan atau keimanan mereka. Dengan demikian, wujud Ilahiyyah, baik dari sudut pandang Uluhiyyah maupun Rububiyyah memberikan konstruksi terhadap sikap dan perilaku manusia dalam menjalankan aktivitas ritual keagamaan.

Nilai Budaya Lokal berdimensi Penafsiran Keagamaan dalam Aspek Sosial-Kemanusiaan

Islam sebagai agama menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai mahkluk Tuhan. Nilai-nilai kemanusiaan itu mempunyai sifat yang universal, menjunjung tinggi kemerdekaan manusia dalam berbuat sehingga memiliki kebudayaan yang tinggi, yakni berperadaban. Manusia ditempatkan sesuai dengan harkatnya, manusia mempunyai derajat yang sama diantara sesama tanpa mengenal kelompok suku dan ras sehingga terwujud keadilan dan peradaban yang tidak lemah berarti diusahakan perwujudannya secara positif. Jika ada hal yang menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku, harus dilakukan tindakan berdasarkan budaya lokal setempat.

Budaya lokal masyarakat muslim Wattang Bacukiki, yang terjalin atas nilai-nilai kemanusiaan tersebut, dapat dilihat dari tradisi mereka sipakatau dan sikapalebbi. Seperti yang telah dijelaskan bahwa pada acara mappadendang ri galung maloang mereka berkumpul dengan keakraban. Pada acara aqikah dan perkawinan para keluarga dan kerabat hadir, saling bersilaturrahim sebagai salah bentuk kebersamaan. Suasana demikian itu menumbuhkan suasana keakraban (senasib sepenanggungan) dan nampak nilai-nilai kemanusian, mengangkat martabat sesama antar manusia.

Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) budaya lokal mereka baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan. Selain itu pada saat acara kematian masyarakat muslim Wattang

(10)

Bacukiki merasa perlu keluarga yang meninggal ini bisa menyelenggarakan acara takziah, dan kegiatan lain untuk mengingat kematian dan berdoa, sehingga telah mentradisi kegiatan pembacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang intinya adalah membaca kalimat lā ilaaha illallah, dengan maksud berdoa untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang lebih kontroversial lagi (di mata kaum reformis) adalah mengirimkan pahala wirid itu kepada arwah yang meninggal.

Tetap lestarinya budaya lokal dengan nampaknya nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah masyarakat muslim Wattang Bacukiki, memberikan makna bahwa hubungan sosial masyarakat tetap kokoh. Masyarakat merasa diperlakukan sama satu dengan lainnya sehingga harkat nilai-nilai kemanusia dijunjung tinggi. Berdasarkan observasi penulis, bahwa saat masyarakat muslim Wattang Bacukiki, sudah duduk bersama, maka tidak dibedakan satu dengan lainnya, tidak ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi. Implementasi nilai-nilai kemanusiaan terhadap budaya lokal masyarakat muslim Wattang Bacukiki yang memiliki relevansi dengan ritual keagamaan mengndikasikan adanya hubungan yang harmonis dalam memanfaatkan segala bentuk produk-produk budaya lokal mereka, memberikan kesadaran akan pentingnya nilai-nila tasamuh (toleransi) daalam hidup secara individu maupun dalam bermasyarakat.

Nilai Budaya Lokal berdimensi Penafsiran Keagamaan dalam Aspek Kehidupan Bermasyarakat.

Kehidupan dan mempertahankan hidup memiliki nilai ma halah bagi semua umat manusia untuk keselamatan dan kesejahteraan mereka. Hal ini ditegaskan al-Syatibiy bahwa nilai kemaslahatan tersebut bersifat ²aruriyah meliputi lima hal, yakni pemeliharan terhadap agama, pemeliharaan jiwa untuk hidup, pemeliharaan akal, keturunan, dan harta. Ajaran Islam memang di satu sisi mengakui adanya kesulitan dalam hidup, bahkan keniscaaan adanya rasa takut, kekurangan harta benda, kematian kekasih dan kekurangan pangan, tetapi keniscayaan itu tidak perlu ditambah dengan upaya untuk menyiksa diri, melaikan diupayakan agar manusia hidup berbudaya.

(11)

bertingkat-tingkat jika didasarkan pada status sosial, yakni ada bangsawan dan masyarakat biasa, namun secara kultur dalam mengaruhi hidup ini ada yang lama ada yang sedang, dan ada yang sebentar, bahkan ada sekejap saja, baru lahir langsung mati. Ini semua merupakan takdir, ketentuan Allah swt sebagai pelajaran bahwa nilai-nilai kehidupan ditemukan dalam sistem kebudayaan. Demikian pula, ada kehidupan duniawi dan ada juga kehidupan ukhrawi. Yang ukhrawi lebih tinggi tingkatannya, sebab dalam kehidupan demikian tiada akhirnya lagi, namun ada yang kehidupannya di surga dan ada pula di neraka. Orang-orang yang hidupnya di neraka sangat sengsara, penuh penderitaan akibat perbuatan dosa yang dilakukannya ketika di dunia.

Khusus kehidupan di dunia, diakui sebagai tempat menitih jalan ke akhirat, itulah sebabnya berdasarkan observasi penulis bahwa masyarakat Wattang Bacukiki Kota Parepare dalam berbagai aktivitasnya tetap melihat dunia ini sebagai sesuatu yang fana, sehingga dalam kehidupan mereka yang berbudaya itu tetap menjadi ajaran agama sebagai dasar paradigm hidup. Budaya atau tradisi bagi mereka merupakan wahana yang dilengkapi naluri untuk mempertahankan hidupnya bahagia di dunia dan di akhirat. Naluri itu disebut sebagai fitrah, yakni sebagai naluri beragama, bagi yang menjalankan ajaran agama dengan baik maka kebahagiaan hidup akan diraihnya. Naluri beragama ini dimiliki setiap manusia, namun sebagian di antaranya tidak mampu melaksanakan naluri tersebut dengan baik sehingga hidupnya sengsara. Dengan demikian, nilai kehidupan bagi manusia, ada yang bersifat duniawi dan ada juga ukhrawi. Kehidupan duniawi di dunia, diakui sebagai tempat menitih jalan ke akhirat. Dua macam kehidupan ini menjadi patron nilai-nilai masyarakat Wattang Bacukiki berdasarkan peradaban mereka dan pemahamannya terhadap ajaran agama.

Nilai Budaya Lokal berdimensi Penafsiran Keagamaan dalam Aspek Spritualitas.

Permaknaan spiritual atau spritualitas, berasal dari kata spirit yakni rangsangan yang kuat dari dalam diri. Secara teminologis, ia dapat diartikan sebagai rangsangan keagamaan, dorongan keagamaan 'DUDMDW 1999: 23) Melalui nilai spiritual yang terkandung dalam konsep

(12)

bertindak, dan dapat terus berkembang. Dari sini, sehingga manusia mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan. Dengan pengetahuannya itu juga, manusia mampu berbahasa, menjelaskan, atau menerangkan akan yang tersemat dalam hati atau pikiran

*HWWHQJ 1997: 13-14)

Konsepsi sarak yang berkaitan dengan nilai-nilai spiritual berdasar

SDGD ÀWUDK NHPDQXVLDDQ PHQJDQGXQJ DVSHN NHVXFLDQ MLZD \DQJ

mempercayai adanya dewata sewwae, Puang, dan setelah masuknya Islam mereka sebut Puang Allah Ta’ala. Karena itu setelah masyarakat Wattang Bacukiki Kota Parepare memeluk Islam, semua tindakan yang dianggap sejalan dengan ajaran Islam dilakukan sebagaimana

PHVWLQ\D 1LODL VSLULWXDO LQL OHELK MHODV ODJL GDODP IDOVDIDK ORQWDUDN

disebutkan, Dua kuala sappo, teppe’e maraja di resesena Puang Allah Ta’ala

'XD NXMDGLNDQ SDJDU \DNQL SHUFD\D GDQ VDQJDW \DNLQ WHUKDGDS $OODK VZW 0HODOXL QLODL GDVDU VSLULWXDO LQL PDND GDODP WLQGDNDQQ\D VHODOX

merasa diawasi oleh Allah, sehingga mereka selalu berlaku jujur, lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, dan pacci yang kalau ditulis

GDODP DNVDUD /RQWDUD· GDSDW GLEDFD paccing yang berarti suci atau bersih dalam segala tindakan.

Segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena

WDQSD QLDW VXFL EDLN WLQGDNDQ PDQXVLD WLGDN PHQGDSDWNDQ ULGKD GDUL

Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai pembawaan

KDWL \DQJ EDLN EHUXSD ÀWUDK \DQJ VXFL WLGDN DNDQ SHUQDK JR\DK GDODP

pendiriannya yang benar, karena yang dijadikan patron penilaian adalah kesucian jiwa, sebagaimana halnya masyarakat Wattang Bacukiki setiap akan melakukan ritual di Buluroangnge didasari dengan niat suci untuk keberkahan dalam kehidupannya.

Demikian halnya jika dipahami bahwa pada kegiatan aqikah disediakan buah kelapa yang dapat dijadikan spirit untuk menjalani kehidupan yang baik, maka dapat dikatakan mengandung nilai-nilai spiritual. Pada kegiatan aqikah itu, terdapat pesan spiritual yang penting bahwa segala sesuatu telah dipersiapkan bagi kehidupan bayi dalam perspektif jangka panjang untuk memperbanyak bekal, tidak lain kecuali salat limat waktu. Artinya, bahwa biar pun nilai spiritual

(13)

ditemukan dalam ritual aqikahsebagai motivasi untuk hidup bahagia jangka panjang, namun mereka tidak melaksanakan salat maka nilai spiritual tersebut akan sirna. Karena itu, ritual dalam prosesi aqikah ini dalam pandangan penulis sangat kontekstual pada masa sekarang ini dimana tumbuhan alam seperti buah kelapa dieksploitasi habis-habisan, dan bagi sebagian masyarakat hanya menjadikan buah kepala sebagai simbol, dan tidak mengutamakan nilai-nilai spiritualnya. Khusus di kalangan masyarakat muslim Wattang Bacukiki, prosesi aqikah tersebut dipadu dengan tradisi dan kearifan lokal sehingga menjadi sebuah peristiwa spiritual karena didasari ajaran pendidikan keislaman.

Penafsiran Nilai Budaya Lokal berdimensi Keagamaan Aspek Sosial Pendidikan

Budaya lokal mengandung nilai sosial, ini dipahami dari realitas masyarakat Wattang Bacukiki Kota Parepare yang dari wilayahnya memiliki lingkungan sosial dan dengan masyarakatnya membentuk pergaulan hidup bersama, mereka saling membantu dalam kebaikan dan mengingatkan bahwa kebahagiaan manusia terkait pula pada hubungannya dengan sesamanya. Oleh karena demikian halnya, maka dari kebudayaan mereka melingkupi nilai-nilai sosial. Budaya lokal mereka menganut ajaran tentang tata cara berhubungan antara sesama manusia dalam hukum kekeluargaan dan muamalah, ajaran sarak juga mengaturnya, bahkan sampai pada tatanan sosial kemasyarakatan mengatur nilai sosial politik yang diistilahkan dengan al-fiqh al-siyasi wa al-dusturiyah, seperti halnya di Wattang Bacukiki ada pegawai sarak yang bertugas untuk masalah agama antara lain masalah pernikahan, dan bertugas memberikan bimbingan dan penyuluhan Islam kepada masyarakat.

Pegawai sarak ini dibentuk setelah Islam menjadi agama resmi di Wattang Bacukiki yang dalam perkembangannya, pegawai sarak tersebut dimasukkan dalam struktur kerajaan atau pemerintahan. Mereka menangani amalan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan yang selain perkwinan seperti seperti yang telah disebutkan, juga menangani persoalan warisan berdasarkan syariat, pemeliharaan rumah ibadah, dan bertugas dalam upacara kematian. Mereka ini sebagai mubalig, guru, musryid utama yang dalam memberikan

(14)

pendidikan kepada masyarakat setempat.

Nilai sosial dalam masyarakat Wattang Bacukiki ditemukan pula dari segi perbedaan status dengan berbagai simbolnya, dan prilaku tata kemasyarakatan di kalangan mereka. Dari simbol berpakaian dan tata caranya saja, sudah dapat dilihat statuta sosial seseorang. Songkok misalnya, yang bahannya dari urat/serat daun lontar yang dianyam bentuknya bulat. Apabila dipinggirannya dianyami dengan benang emas, disebut nibirin, tebal-tipis pinggiran emas mempunyai nilai-nilai tertentu yang menunjukkan status sosial pemakainya.

Songkok tanpa pinggiran emas yang disebut songkok guru, adalah kopyah yang digunakan masyarakat sebagai simbol ketawadhu’an.

Lingkungan masyarakat Wattang Bacukiki, masih ditemukan pula bagaimana seorang anak menghormati orangtuanya. Saat berjabat dengan cara mencium tangan orang tua mereka, merupakan sikap makkiadel (menghormati) sebagai salah satu wujud budaya sipakatau. Masyarakat Wattang Bacukiki sejak dahulu menghormati seseorang dengan cara gerakan demikian. Ini dilakukan karena dalam tata adat mereka dan status sosial orangtua lebih harus dihormati. Gerakan seperti itu menandakan suatu pola penghormatan yang berimplikasi sosial dalam membentuk masyarakat yang berperadaban yang mendapat respons konstruktif dalam mewujudkan genarasi masa depan yang memeliharan budaya dan tradisi keagamaan yang lebih mapan.

Adapun dalam aspek kependidikan menekankan pentingnya seseorang memiliki pemikiran yang mapan dalam memahami sesuatu, terutama pemahaman terhadap budaya lokal dan berbagai amalan yang dilakukan. Nilai pendidikan ini sesungguhnya berkaitan dengan ilmu pengetahuan keislaman masyarakat terhadap kegiatan yang dilakukannya seperti yang ditemukan dalam prosesi adat mappalili ri galung maloang dan mappadendang. Inti kegiatan mappalili diketahui cara-cara menanam padi dan membajak sawah yang mengandung nilai-nilai pendidikan, sehingga budaya lokal seperti ini harus dipelihara. Demikian pula pada kegiatan mappadendang mengandung unsur nilai-nilai musyawarah yang tentunya bersentuhan langsung dengan nilai-nilai pendidikan. Pesan yang mengandung nilai pendidikan untuk tetap mempertahan kan adat istiadat masyarakat di samping mengingatkan manusia untuk rajin mengerjakan amal kebajikan dan meninggalkan perbuatan tercela

(15)

demi keselamatan baik di dunia dan akhirat.

Sejumlah paparan deskriptif tentang nilai-nilai pendidikan terhadap implementasi budaya lokal masyarakat Wattang Bacukiki yang telah mengalami pola integrasi dengan ajaran keagamaan (Islam), mengindikasikan betapa kuatnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dapat merubah tataran pola pikir dan perilaku masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemberdayaan masyarakat sedini mungkin melalui intesifikasi pendidikan atau pengajaran keagamaan secara totalitas, dalam memelihara dan merekonstruksi nilai-nilai budaya lokal yang murni dan sakral itu.

Uraian di atas sekaligus memberi pemahaman, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal masyarakat muslim Wattang Bacukiki dalam berbagai perspektif cenderung lebih dominan mengalami integrasi dengan sejumlah penafsiran keagamaan dalam aspek-aspek ketauhidan, sosial-kemanusiaan, kehidupan bermasyarakat, spiritualitas, ritualitas, moralitas, dan aspek sosial pendidikan sebagai perpaduan antara budaya lokal dengan budaya yang berkembang sekarang, di dalamnya mengandung nilai-nilai agama yang sakral dan berdimensi pendidikan multikultural.

PENUTUP

Bentuk ajaran budaya lokal Tau Lotang dalam masyarakat muslim Wattang Bacukiki Kota Parepare yang telah mentradisi sejak masa lampau dan terwariskan hingga sekarang, dapat dilihat dari aspek, yaitu: Pertama, Ajaran budaya yang murni meruipakan peninggalan dari adat Tau Lotang, yaitu (1) Tradisi ritual mappalili dan mappadendang ri galung maloang sebagai budaya lokal yang setiap tahunnya digelar untuk menentukan waktu tanam yang tepat sebelum turun ke sawah untuk bercocok tanam dan menentukan waktu tepat persiapan menyambut panen; dan (2) Tradisi ritual ziarah ke Buluroangnge, sebagai salah satu gunung yang dianggap sakral di kawasan pegunungan Bacukiki. Tradisi ini sudah membudaya di kalangan mereka dan dilaksanakan setiap ada momen-momen tertentu yang dilandasi oleh adanya pesan dari To Manurung, misalnya sebelum melakukan ritual mappalili atau mappadendang ri galung maloang. Kedua, Ajaran budaya yang telah terintegrasi dengan ajaran agama Islam, yakni upacara aqikah, adat

(16)

perkawinan dan prosesi adat upacara kematian, yang kesemuanya memiliki ciri khas tersendiri bagi masyarakat lokal muslim Wattang Bacukiki.

Proses integrasi antara ajaran Islam dan nilai-nilai budaya lokal pada masyarakat muslim Watang Bacukiki Kota Parepare, menyebabkan hilangnya beberapa karakteristik dari komunitas budaya asli yang terserap, karena terjadi persentuhan yang saling membutuhkan sehingga perpaduan budaya dapat pula berarti memperkaya budaya asli masyarakat, baik secara kultural, maupun spiritual. Pada segi kultural menyangkut adaptasi budaya, terjadi kesamaan yang membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Sedangkan Pada segi spiritual, menyangkut adaptasi budaya yang berkenaan dengan nilai-nilai keagamaan, tampaknya membentuk kebudayaan baru padahal yang sebenarnya tetap ada perpaduan di antara keduanya.

Secara kultur masyarakat muslim Wattang Bacukiki sangat berpegang teguh pada sistem pangngaderreng, yang membentuk adek sebagai norma dan aturan-aturan kehidupan dalam masyarakat muslim Wattang Bacukiki, berfungsi mendinamisasi kehidupan masyarakat karena meliputi segala keharusan bertingkah laku dalam semua kegiatan kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai budaya lokal Tau Lotang pada masyarakat muslim Wattang Bacukiki terhadap nilai keagamaan yang berimplikasi pada pernafsiran pendidikan multikultural, dirumsukan ke dalam aspek-aspek ketauhidan/ketuhanan, sosial-kemanusiaan, kehidupan bermasyarakat, spritualitas, ritualitas, etika moralitas, dan aspek sosial pendidikan. Aspek-aspek tersebut mengandung motivasi nilai keagamaan yang masih terus dipelihara dan dipertahankan, baik itu berupa pesan, amanah atau wasiat dari orang-orang terdahulu yang disampaikan turun temurun secara lisan yang bernuangsa sarak, bersumber dari ajaran Islam kemudian memasuki sistem pangngaderreng yang teraktualisasi pada nilai-nilai agama mengalami proses berdasarkan akselerasi budaya dan adat istiadat yang berlaku di kalangan komunitas lokal masyarkat lokal Tau Lotang di Wattang Bacukiki. Perpaduan antara budaya lokal dengan budaya yang berkembang sekarang, di dalamnya mengandung implementasi nilai-nilai keagamaan yang sakral dan berdimensi pendidikan multikultural.

(17)

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 11 Tahun 2001 Abidin Farid, Andi Zainal. “Siri’-Pesse dan Were Pandangan Hidup Orang Bugis”

dalam Siri dan Pesse; Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi, 2005.

Abu Hamid, “Siri’ dan Etos Kerja” dalam buku Siri’ dan Pesse’. Cet. II; Makassar: Pustaka Refleksi, 2005.

Alisjahbana, S. Takdir. Antropologi Baru: Nilai-nilai sebagai Tenaga Integrasi dalam Pribadi, masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Universitas Nasional dan P.T. Dian Rakyat, 1986.

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani, 2008. Arikunto, Suharsimi.Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Cet. IX; Jakarta:

Renika Cipta, 2003.

al-Ashfahāniy, Muhammad al-Rāgib. Mufradāt Alfādz al-Qur’an. Bairut: Dar al-Qalam, 1992.

al-Atsqalani, Al-Hadidh, Ibnu Hajar. Dar al-Kutub al-Islamiyah, Kitab al-Jami’ Bab al-Adab. Jakarta: Printers, Publisher & Distributor.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII. Bandung: Mizan, 2004.

_______, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Ciputat: Kalimah, 2001

al-Bukhariy, Abū Abdullah bin al-Mughirah al-Bardizbat Shahih al-Bukhāriy, Juz V. Bairūt: Dar al-Fikr, 1992.

Darajat, Zakiah. Pendidikan Mental Keagamaan. Cet. IX; Jakarta: Rineka, 2007. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indomesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 2002.

Endarswara, Suwardi.Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 2006.

al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulumuddin, Juz I. Bairud: Darul Qolam.

Hamid Abdullah, Manusia Bugis Makassar; Suatu Tinjauan Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis-Makassar. Jakarta:Inti Idayu Press, 1985.

(18)

Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Husaini, Adian. Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Jakarta,: Gema Insani, 2009.

Ibn Taymiyah, Taqy al-Dīn. Iqtidhā al-Sirāth al-Mustaqīm. Bairut: Dār al-Fikr, t.th. Ibrahim, Nilai-Nilai Budaya Lokal pada Masyarakat Muslim Silanggayya Kecamatan

Tombolo Pao Kabupaten Gowa (Suatu Tinjauan Teologi Sufistik). Penelitian, UIN Alauddin Makassar, Tahun 2013.

Jufri Muhammad, Penanaman Nilai-Nilai Dakwah Kultural Nahdlatul Ulama terhadap Kerukunan Umat Beragama dalam Pendekatan Hadis/ Sunnah Di Kota Parepare. Penelitian, STAIN Parepare, Tahun 2013.

Kadir, Abdul. “Ulama Bugis dalam Dinamika Sosial di Sulawesi Selatan; Suatu Analisis Antropologi Agama,” (Penelitian, Program Pascasarjana Universitas Hasanauddin, Makassar, 2005.

al-Kalabazi, al-Ta’aruf li Mazhab Ahl al-Tasawuf. Kairo: Maktabat Kulliyat al-Azhariyah, 1989

Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, 2005

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 2006.

Lapidus, Ira M. A Hostory of Islamic Societies diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu dan Dua. Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Linton, Ralph.The Cultural Background Personality, diterjemahkan oleh Fuad Hasan,

Latar belakang Kebudayaan dari pada Kepribadian. Jakarta: Jaya Sakti, 1962. Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar, 2006.

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Yayasan Wakaf, 2002

Mattulada, Islam di Sulawesi Selatan. Ujungpandang: Fakultas Sastera Universitas Hasanuddin. 1976

________, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1994.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya, 2000 Muhtamar, Shaff. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel. Makassar: Pustaka

Refleksi, 2007.

Mulkhan, Abdul Munir. Kesalehan Multikultural. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005.

(19)

Mulyana, Deddy (ed)., Komunikasi Antara Budaya. Cet. VII; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003.

Naim, Ngainun & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.

Nasution, Harun et. all, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Djambatan, 2002 Natsir, Mohammad. Kapilta Selekta. Bandung: Gravenhage, 1992.

Pelras, Chrstian. Religion, Tradition, and the Dynamics of Islamization in Sout

Sulawesi. t.t: Archipel 29, 1985

Permana, R. Cecep Eka. Kearifan Lokal Masyarakat Badui dalam Mitigasi Bencana. Jakarta: Wedatama, 1990.

Pemerintah Kota Parepare, Buku Event Wisata. Parepare: Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan, 2012.

______, Kota Parepare dalam Angka 2010. Parepare: BPS Kota Parepare, 2010. ______, Visi dan Misi Kota Parepare Tahun 2010. Kota Parepare: Sekretariat Daerah

Kota Parepare, 2010

_______. et.all, Sejarah Daerah Kota Parepare. Pemerintah Daerah Kota Parepare

kerjasama dengan Yayasan Pusaka Kota Parepare, 2002

Shibab, H. M. Quraish. Tafsir al-Qur’ān al-Karīm. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997

Sidi Gazalba, Pengantar Kebuadayaan Sebagai Ilmu. Jakarta: Pustaka Antara, 1998. al-Syātibī, Abū Ishāq Ibrāhim Ibn Mūsa al-Gharnatiy. al-Muwaffaqāt, juz II (Cet. III;

Bairūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1424 H.

Subagyo, Rahmat. Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama.

Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 2000.

Sugiono, Metode Penelitian Survei: Penerapannya dan Strategi yang Digunakan Cet.I; Bandung:: Alfabeta, 2009.

al-Thabari, Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl al-Qur’ān, juz III. Cet. III; Mesir: Mushthāfa al-Bāby al-Halaby wa Awlāduh, 1967

Wasito, Herman. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Zaini, Syahminan. Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. Jakarta; Kalam Mulia, 1986.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan media kartu metode piramida merupakan salah satu alternatif pembelajaran untuk melatih siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga materi yang

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, hidayah, kasih sayang serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi

Untuk menanggulangi masalah tersebut dilakukan upaya pengendalian penyakit DBD dengan cara membunuh larva nyamuk Aedes aegypti menggunakan kaporit.Tujuan penelitian ini

Suatu modul pembelajaran dinyatakan efektif apabila 80% siswa yang mengikuti pembelajaran mampu mencapai nilai acuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Hobri. Berdasarkan

Atas dasar perbandingan tersebut, maka H0 ditolak atau berarti variabel kompetensi berpengaruh signifikan terhadap variabel kinerja operator, faktor motivasi kerja dan faktor

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan ketahanan rusak dan energi minimum penyebab rusak kulit buah dengan berbagai tingkat kemasakan, dan mengetahui perubahan

SEO suatu website sangat berkaitan pada trafik pengunjung yang ada pada website tersebut, sehingga website sebagai media periklanan internet dapat lebih efektif dalam