JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 114 ANALISIS TERHADAP KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU DALAM PEMBELAJARAN DI SD INPRES BAJAWA VI KECAMATAN BAJAWA KABUPATEN
NGADA Pelipus Wungo Kaka
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, STKIP Citra Bakti filipkaka7@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan (1) penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas dan (2) penggunaan strategi kesantunan tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan kajian pragmatik. Data peneltian terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan dan (2) data catatan lapangan. Data catatan lapangan meliputi catatan lapangan deskriptif dan catatan lapangan reflektif. Data pertama diperoleh melalui teknik observasi yang dibantu perekaman menggunakan handycam dan data kedua diperoleh melalui wawancara. Data dianalisis melalui empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas berupa fungsi permintaan, fungsi perintah, fungsi pertanyaan, fungsi larangan, fungsi pengizinan, dan fungsi nasihat. Di sampaing itu, penggunaan fungsi ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas berupa fungsi memuji, fungsi menghargai, fungsi simpati, fungsi mengkritik, dan fungsi mengeluh.
Untuk menghindari ancaman tindak direktif dan ekspresif, guru menggunakan strategi kesantunan negatif dan positif. Strategi kesantunan negatif berupa penggunaan tuturan tidak langsung, gunakan pagar, tunjukkan sikap spesimis, minimalkan paksaan, dan pakailah bentuk impersonal
Strategi kesantunan positif berupa: (1) memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan lawan tutur, (2) membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur, (3) mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta, (4) menggunakan penanda identitas kelompok, (5) mencari persetujuan dengan topik yang umum atau untuk mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan tutur), (6) menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan praanggapan (presuppasition), (7) menggunakan lelucon, (8) menyatakan paham atau mengerti akan keinginan lawan tutur, (9) menunjukkan keoptimisan, (10) melibatkan penutur dan lawan tutur dalam aktivitas, (11) memberikan pertanyaan atau meminta alasan.
Kata kunci : kesantunan, tindak tutur guru, pembelajaran. .
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 115 Abstract
This study aims to describe and explain (1) the use of directive and expressive speech functions of teachers in classroom learning and (2) the use of politeness strategy directive and expressive speech of teachers in classroom learning. This research was a qualitative descriptive study that using a pragmatic study. The research data consist of two types, namely: (1) the data of speech and (2) the data of observation note. The data of observation note include descriptive and reflective observation notes. The first data obtained through observation techniques assisted recording using a handycam and the second data obtained through interviews. Data were analyzed through four steps, namely: (1) data collection, (2) data reduction, (3) data presentation, and (4) concluding findings and verification.
The results shows the use of directive functions of teachers in the classroom were the demand function, commands function, function question, ban function, permitted function, and advisory function. Besides that, the use of the expressive function of the teacher in the classroom were the praise function, reward function, sympathetic function, function criticize, and complain function.
To avoid the threat of directive and expressive, the teacher uses negative and positive politeness strategy. Negative politeness strategies such as the use of indirect speech, using the fence, show pessimist attitude, minimize coercion, and use impersonal form.
Positive politeness strategies include: (1) watch predilection, desires, and needs of the opponent speech, (2) exaggerated attention, approval, and sympathy for the opponent speech, (3) intensifying attention speakers by dramatize events and facts, (4) using marker of group identity, (5) seeking approval by a common topic or to repeat some or all speech of speakers (opponent speech), (6) show things that are considered to have similarities through small talk and presuppositions, (7) using a joke, (8) expressed to know or understand a desire the opponent speech, (9) express optimism, (10) involving the speakers and opponents speech in the activity, (11) gives a question or ask a reasons.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 116 PENDAHULUAN
Setiap orang memperhatikan
struktur bahasa lawan tutur dengan sikap berbahasa, sehingga kesantunan selalu dipandang sebagai sebuah fenomena yang berkaitan antara hubungan bahasa dan realitas sosial. Dalam komunikasi, kesantunan merupakan aspek penting dalam kehidupan untuk menciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan mitratutur. Berdasarkan hubungan bahasa dengan realitas sosial dalam
pembelajaran tercermin pula pada
hubungan guru dan siswa dalam
menggunakan bahasa. Pada hakikatnya, tujuan percakapan antara guru dan siswa di kelas adalah memberikan informasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran
tersebut, guru menentukan dan
mengembangkan topik. Melalui topik tersebut, guru mengendalikan percakapan dengan cara mengatur pola tutur atau
menentukan, memberikan, mengambil
giliran tutur, mengatasi penyimpangan, dan mengatasi kesalahpahaman (Sacks, Secheglof, dan Jeferson, 1974 dalam Arifin, 2010). Dalam konteks tersebut,
kesantunan menjadi penting untuk
diperhatikan guna mengatasi
kesalahpahaman yang dapat
menimbulkan retaknya hubungan yang tidak harmonis antara guru dan siswa.
Penggunaan bahasa secara
santun, akhir-akhir ini, kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, sangat wajar jika kita sering menemukan pemakaian
bahasa yang benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di dalamnya kurang santun. Hal ini terjadi karena pemakai bahasa kurang memperhatikan bahwa di dalam suatu struktur bahasa (yang terlihat melalui ragam dan tata bahasa) terdapat kesantunan. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian para ahli bahasa. Demikian juga tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas, seperti tindak tutur direktif dan ekspresif. Saat mengelola kelas, guru meminta siswa untuk tertib dengan tuturan secara langsung melarang siswa ribut; saat menutup pelajaran, guru memberikan tugas dengan tegas; dan saat memberi penguatan, guru mengapresiasi jawaban siswa dengan langsung menerima jika benar dan menyalahkan secara langsung bila salah. Kondisi dalam pembelajaran
tersebut tentu mengancam muka
mitratutur (siswa). Hal tersebut
berimplikasi terhadap psikologi siswa seperti tegang atau panik karena takut .
Sikap atau kesantunan tindak tutur perlu diperhatikan oleh guru untuk menghindari gangguan psikologi siswa. Kesantunan tersebut sebagai bentuk rasa hormat dan penghargaan kepada siswa yang memberi pengaruh positif dan dapat mendorong serta memperbaiki tingkah laku siswa dalam pembelajaran. Dengan demikian, siswa mengikuti pembelajaran dengan nyaman tanpa tekanan sehingga meningkatkan kualitas belajar dan berimplikasi pada prestasi siswa dalam
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 117 merupakan fitrah manusia bahwa manusia
ingin dihormati, dihargai, dipuji, dan disanjung-sanjung, tentu saja semuanya ini dalam batas wajar.
Oleh karena itu, guru sebagai insan akademik dengan beragam tuntutan
profesional mesti memperhatikan
kesantutan tindak tutur tersebut. Secara
sadar kesantutan tersebut akan
membantu kesuksesan guru dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas. Seideal dan seoptimal apapun guru merancang pembelajaran bila tidak didukung dengan bahasa yang santun dalam menyampaikan maksud tentu akan menghambat dan mengganggu proses pembelajaran. Hal inilah yang menjadi perhatian peneliti sehingga penelitian berjudul Analisis terhadap Kesantunan
Tindak Tutur direkif Guru dalam
Pembelajaran di Sekolah terutama pada anak usia SD mereka membutuhkan bahasa yang cukup sesuai dengan perasaan mereka.
Dalam penelitian ini, akan beracuan pada pendapat-pendapat para ahli. Richard (1995:6 dalam Arifin 2012) menjelaskan bahwa kegiatan bertutur adalah suatu tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur atau menggunakan tuturan terjadi tindak tutur. Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau fungsi (maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak tutur merupakan unit terkecil aktivitas bertutur (percakapan atau
wacana) yang terjadi dalam interaksi sosial.
Selain mengembangkan hipotesis
bahwa setiap tuturan mengandung
tindakan, Searle (1975) juga membagi tindak tutur menjadi tiga macam tindakan yang berbeda, yaitu tindak lokusioner ‘utterance act’ atau ‘locutionary act’, tindak ilokusioner ‘ilocutionary act’, dan tindak perlokusioner ‘perlocutionary act’ (Nadar, 2009: 14 ). Austin juga mengatakan bahwa secara analitis dapat dibedakan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak dalam sebuah ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Sumarsono, 2009:181).
Wijana (1996:19) menjelaskan bahwa tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
Sebagai bahan penunjang akan
dibicarakan klasifikasi tindak tutur berdasarkan fungsi dan berdasarkan kriteria yang beragam. Tarigan (2007:42) kemudian menjelaskan klasifikasi tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu dengan mengutip penjelasan seorang pakar kawakan dalam bidang ini, J.R. Searle (1979), mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu berupa: fungsi asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.
Pendekatan yang berbeda
terhadap pemilahan tipe tindak tutur ini dapat dibuat berdasarkan strukturnya. Pemisahan struktural yang sederhana di antara ketiga tipe umum tindak tutur yang diberikan dalam Bahasa Inggris, ada 3
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 118 tipe kalimat dasar. Seperti yang
ditunjukkan dalam (20), dengan mudah dapat diketahui adanya hubungan antara 3 bentuk struktural (deklaratif, interogatif, dan imperatif) dan tiga fungsi komunikasi
umum (pernyataan, pertanyaan,
perintah/permohonan) Yule (2006:95). Para ahli, umumnya membedakan strategi penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu strategi langsung dan tidak langsung. Blum-Kulka (1989 dalam Arifin
2008) mengatakan bahwa strategi
langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak tutur berkaitan dengan dua dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan dimensi pilihan pada isi.
Kesantunan berbahasa sering diartikan secara dangkal sebagai suatu ‘tindakan yang sekadar beradab’ saja, namun makna yang lebih penting yang diperoleh dari sopan santun ialah, sopan santun merupakan mata rantai yang
hilang antara Pk dengan masalah
bagaimana mengaitkan daya dengan makna (Leech, 1982:161). Meskipun teori kesantunan dibedakan dengan konsep kesopanan dalam kajian sosiolinguistik, tetapi ada keterkaitan yang erat pada kedua konsep tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan teori kesantunan yang dipaparkan oleh Brown dan Levinson (1978). Brown
dan Levinson mengatakan teori
kesantunan berbahasa itu berkisar atas
nosi muka, demikian juga konsep
‘kesopanan’ sebagaimana dijelaskan oleh Wardhaugh (1998:293) bahwa konsep
‘kesopanan’ banyak meminjam dari karya asli Goffman (1967) tentang ‘wajah’.
Dalam membahas kesopanan,
konsep yang menjadi perhatian mereka, Brown dan Levinson mendefinisikan wajah sebagai citra diri pada khalayak yang diinginkan oleh setiap anggota atas dirinya sendiri. Dengan demikian, berdasarkan hubungan erat kedua konsep tersebut bahwa kajian kesantunan tidak dapat dipisahkan secara mutlak dengan kajian pragmatik, pertimbangan sosiolinguistik juga perlu diperhatikan. Berarti konsep kesantunan harus dipahami dengan kedua pendekatan tersebut, yaitu pragmatik dan sosiolinguistik atau lebih tepatnya pendekatan sosiopragmatik.
METODE PENELITIAN
Penelitian kesantunan tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas merupakan salah satu penelitian dalam kajian pragmatik. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif.
Data peneltian terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan dan (2) data catatan lapangan. Data catatan lapangan meliputi catatan lapangan deskriptif dan catatan lapangan reflektif.
Tuturan yang digunakan sebagai data adalah tuturan yang bersumber dari guru sebagai penutur (Pn) dalam proses pembelajaran di kelas. Sumber data tersebut adalah tiga orang guru SDI Bajawa Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada. Pemilihan kelas IV disesuaikan dengan keadaan guru yang mengajar.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 119 Dalam hal ini, guru tidak banyak
terganggu oleh aktivitas pemantapan ujian nasional. Sementara itu, psikologi siswa kelas IV belum begitu akrab dengan lingkungan baru karena mereka baru diterima sebagai siswa baru di sekolah tersebut sehingga untuk memberikan kesan yang baik, tindak tutur guru harus diperhatikan dengan baik.
Pengumpulan data dalam
penelitian ini berkaitan dengan hal-hal
sebagai berikut: (1) persiapan
pengumpulan data, (2) teknik observasi, dan (3) teknik wawancara.
Teknik observasi dilakukan
terhadap aktivitas komunikasi berupa gesture dan konteks tuturan dalam KBM di kelas. Teknik observasi yang dilakukan berupa kegiatan observasi nonpartisipatif. Artinya, peneliti tidak ikut secara aktif dalam aktivitas KBM, tetapi cukup di kelas bagian belakang sambil mengamati dan melakukan pencatatan pada lembaran observasi yang sudah disiapkan. Sebagai penunjang untuk mengumpulkan data selama kegiatan observasi digunakan
teknik perekaman. Melalui teknik
perekaman ini diusahakan semaksimal mungkin mendapatkan rekaman tuturan yang sebanyak-banyaknya dari proses interaksi verbal dalam KBM yang terjadi.
Alat perekaman yang digunakan berupa handycam yang peka dalam perekaman suara. Untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan, handycam beserta cas tetap disiapkan dalam tiap kali perekaman. Dengan teknik
perekaman tersebut, data yang terkumpul dapat dikatakan cukup memadai untuk kepentingan analisis data dan penelitian secara keseluruhan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Teknik wawancara digunakan
untuk memperoleh data berupa motivasi dan persepsi penggunaan tindak tutur direktif dan ekspresif yang tidak terekam dengan handycam dan tidak teramati atau tidak tercatat saat observasi. Dalam hal ini, teknik wawancara sangat diperlukan untuk memperoleh data, seperti alasan penggunaan tindak tutur guru saat KBM berlangsung di kelas.
Dalam penelitian ini, intrumen kunci atau instrumen utama adalah peneliti. Artinya, peneliti sendiri yang berperan aktif dalam pengumpulan, pengidentifikasian, penyeleksian, dan penafsiran data.
Data dianalisis melalui empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan dan verifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap kesantunan tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas meliputi: (1) penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran, (2) strategi tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas. Hasil penelitian ini dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
1) Penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas sangat variatif.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 120 Sejumlah fungsi direktif tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Fungsi permintaan, melalui fungsi direktif ini guru meminta siswa untuk melakukan sesuatu.
Fungsi permintaan ini mencakup:
meminta, memohon, mengajak,
mendorong, dan menekan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas, fungsi permintaan diwujudkan guru untuk meminta kepada
siswa melakukan sesuatu saat
pembelajaran dimulai. Misalnya, guru meminta siswa untuk maju ke depan
membacakan pokok-pokok informasi
tentang pembangunan kampung budaya gerbang karawang. Permintaan tersebut wajar dilakukan guru untuk mengelola kelas sehingga proses KBM berlangsung sebagaimana diharapkan. (2) Fungsi perintah, melalui fungsi direktif ini guru
memerintah siswa untuk melakukan
sesuatu. Fungsi perintah ini mencakup:
memerintah, menuntut, mendikte,
mengarahkan, mengatur, dan
menyaratkan. Fungsi direktif berupa perintah ini dalam pembelajaran di kelas
disampaikan sesuai kondisi saat
pembelajaran berlangsung. Misalnya, saat memulai pembelajaran yang diawali dengan perintah kepada setiap siswa wajib untuk maju membacakan hasil
rangkuman mereka sebagai bahan
penilaian guru. Tuturan direktif tersebut bersifat menekan setiap siswa untuk wajib mengikuti perintah yang sampaikan guru dengan adanya otoritas guru sebagai pendidik dan juga mengevaluasi tugas
individu siswa selama pembelajaran. (3) Fungsi pertanyaan, melalui fungsi direktif ini guru menanyakan sesuatu kepada siswa. Fungsi pertanyaan ini mencakup: bertanya dan mengintrogasi. Fungsi
pertanyaan dituturkan guru dalam
berbagai konteks pembelajaran. Misalnya, saat membuka pelajaran yang diawali dengan apersepsi, saat menyampaikan materi dengan metode tanya jawab, saat memberi penguatan selalu diawali dengan pertanyaan, bahkan saat mengelola kelas fungsi pertanyaan tersebut sering digunakan untuk membuat kondisi kelas menjadi terarah, disisplin, dan terkendali. (4) Fungsi larangan, melalui fungsi direktif ini guru melarang siswa melakukan sesuatu. Fungsi larangan ini mencakup:
melarang dan membatasi. Fungsi
larangan ini dapat dituturkan dalam konteks yang beragam, sperti saat
mengelola kelas. Guru berusaha
membatasi tindakan siswa untuk
mengembalikan dan mempertahankan perhatian siswa dari waktu ke waktu. Fungsi larangan yang dituturkan guru wajar dilakukan sebagai pendidik untuk mengendalikan kondisi selama kegiatan pembelajaran di kelas. Demikian juga pada tuturn 78, fungsi larangan mulai
intensif dituturkan agar kondisi
pembelajaran tetap kondusif sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran. (5) Fungsi pengizinan, melalui fungsi direktif ini guru mengizinkan siswa melakukan sesuatu. Fungsi pengizinan ini mencakup: memberi izin, membolehkan,
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 121 mengabulkan, membiarkan, melapaskan,
meperkankan, memberi wewenang, dan
menganugerahkan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi pengizinan digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat menyampaikan materi dengan teknik tanya jawab, saat menutup pelajaran yang ditandai dengan pemberian tugas akhir, dan saat mengelola kelas. Dalam konteks menutup pelajaran, fungsi pengizinan digunakan guru saat memberikan tugas
yang diikuti mengumpulkan tugas
tersebut. Saat mengumpulkan tugas terxebut, penggunaan fungsi pengizinan yaitu memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan warna kertas yang dipakai menjilid tugas mereka. (6) Fungsi nasehat, melalui fungsi direktif ini guru menasehati siswa untuk melakukan sesuatu. Fungsi nasehat ini mencakup:
menaehati, memperingatkan,
mengusulkan, membimbing, dan
menyarankan. Penggunaan fungsi
nasehat dalam pembelajaran di kelas disesuaikan dengan konteksnya. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa fungsi nasehat digunakan oleh guru dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, mengelola kelas, dan menutup pelajaran. Dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, fungsi nasehat dominan dilakukan sebagai bentuk pengarahan, bimbingan, peringatan, dan saran
2) Penggunaan fungsi ekspresif guru
dalam pembelajaran di kelas
bervariasi.
Sejumlah fungsi ekspresif tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Fungsi memuji, melalui tindak ekspresif ini, guru memuji tindakan siswa supaya meningkatkan prestasinya. Fungsi memuji ini mencakup: mendukung dan menyetujui
tindakan siswa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi memuji digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat memberi penguatan yang diawali dengan tanya jawab dan saat menyampaikan materi pelajaran dengan metode tanya
jawab. Dalam konteks memberi
penguatan, guru menggunakan fungsi memuji saat menanggapi jawaban siswa
supaya mereka meningkatkan
prestasinya. Hasil penelitian
menunjukkan, penggunaan fungsi memuji saat memberi penguatan dapat berupa menyetujui dan mendukung. (2) Fungsi menghargai, melalui tindak ekspresif ini, guru menghargai tindakan siswa supaya
meningkatkan prestasinya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi menghargai digunakan guru dalam 2 konteks. Konteks pertama, saat memberi penguatan yang diawali teknik tanya jawab. Konteks kedua, saat menutup pelajaran yang ditandai dengan evaluasi peserta didik terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran. (3) Fungsi simpati, melalui tindak ekspresif ini, guru simpati dengan kondisi siswa. Fungsi simpati ini mencakup: rasa prihatin, belasungkawa, dan rasa sedih. Hasil penelitian
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 122 menunjukkan bahwa dalam pembelajaran
di kelas fungsi simpati digunakan guru
membuka pelajaran dan saat
menyampaikan materi pelajaran. Dalam konteks membuka pelajaran yang selalu diawali dengan pertanyaan terhadap kondisi peserta didik dan kedua dengan memperhatikan kondisi peserta didik
dalam pembelajaran. (4) Fungsi
mengkritik, melalui tindak ekspresif ini, guru mengevaluasi tindakan siswa. Fungsi mengkritik ini mencakup: memprotes,
menolak, dan mengevaluasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi mengkritik
digunakan guru berupa penolakan
terhadap tindakan siswa. Di samping itu, fungsi mengkritik juga digunakan guru untuk mengevaluasi dan memprotes
tindakan siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Misalnya, saat memberi penguatan yang diawali teknik tanya jawab dan saat menutup pelajaran yang ditandai dengan penolakan dan evaluasi peserta didik terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran. (5) Fungsi mengeluh, melalui tindak ekspresif ini, guru menggerutu atau kecewa dengan tindakan siswa. Fungsi mengeluh ini mencakup: rasa kecewa, rasa bingung, rasa marah, dan rasa muak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi mengeluh digunakan guru berupa rasa kecewa dan bingung dengan sikap siswa dalam pembelajaran di kelas. Fungsi mengeluh dapat tampak dalam beberapa konteks,
saat bertanya dan memberikan
penguatan, dan saat menutup pelajaran. Dalam konteks inilah, fungsi mengeluh digunakan guru berupa rasa bingung dengan sikap siswa yang tiba-tiba dalam pembelajaran diam tampa komentar dan tidak ribut. Fungsi mengeluh tersebut dituturkan guru dengan nada main-main untuk menghindari tekanan psikologis siswa dalam pembelajaran sehingga rasa bingung tersebut muncul sesaat yang juga bisa sebagai candaan untuk menyegarkan suasana pembelajaran.
3) Strategi kesantunan negatif guru
dalam pembelajaran di kelas
bervariasi.
Sejumlah strategi tersebut, sebagai berikut. (1) Penggunaan tuturan tidak langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tuturan tidak langsung sebagai salah satu strategi kesantunan negatif sedikit digunakan oleh guru dalam pembelajaran di kelas. Misalnya, data tuturan guru dengan fungsi permintaan, guru meminta siswa untuk mengeraskan suaranya saat membacakan pokok-pokok informasi yang dituturkan dengan modus introgatif (bertanya) kepada siswa yang lain, apakah mereka mendengar suara temannya yang membacakan pokok-pokok berita tersebut. (2) Gunakan pagar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pagar dalam menyatakan fungsi direktif dan ekspresif banyak ditemukan dalam tuturan guru saat pembelajaran di kelas. Saat guru bertanya dengan memohon kepada siswa supaya
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 123 mengangkat tangan untuk menjawab
pertanyaan yang diberikan. Fungsi permintaan yang dituturkan guru berupa permohonan tersebut merupakan tindak direktif yang harus dipenuhi oleh siswa supaya kegiatan pembelajaran menjadi nyaman. Dengan adanya penggunaan pagar dalam menyampaikan maksud tersebut, diharapkan guru dapat terbantu dalam menjalankan tugasnya sebagai
pendidik yang akan mengarahkan,
membimbing, dan mendidik tanpa
menekan atau mengancam muka negatif siswa. (3) Tunjukkan sikap spesimis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalan pembelajaran di kelas, guru menunjukkan sikap spesimis dalam menyampaikan tuturannya yang disesuaikan dengan konteks pembelajaran. Sikap spesimis tersebut ditunjukkan saat bertanya dan saat menyampaikan materi pelajaran. Guru spesimis bahwa permintaannya tersebut dapat dipenuhi melihat kondisi siswa kurang memahami materi yang sudah disampaikan sehingga sulit untuk dilanjutkan dengan materi selanjutnya. Strategi kesantunan berupa menunjukkan sikap spesimis tersebut merupakan usaha guru untuk memaklumi kondisi siswa saat mengikuti pelajaran, dengan harapan bahwa sikap spesimis yang ditunjukkan guru akan mengurangi tekanan terhadap
permintaan kepada siswa untuk
mengangkat tangan saat menjelaskan materi pelajaran. (4) Minimalkan paksaan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa strategi kesantunan negatif berupa
meminimalkan paksaan tersebut banyak digunakan guru dalam pembelajaran di kelas. Strategi tersebut banyak dituturkan guru saat menyampaikan materi dengan
metode tanya jawab. Dengan
menggunakan strategi kesantunan berupa meminimalkan paksaan yang ditandai dengan tidak menunjuk secara langsung siswa yang bersangkutan untuk menjawab pertanyaan guru. Bahkan guru melarang siswa saling tunjuk, dengan maksud supaya siswa tersebut tidak terpojokkan dalam kondisi seperti yang terdapat pada
tuturan 4. (5)N Pakailah bentuk
impersonal. Hasil penelitian menunjukkan pemakaian bentuk impersonal dalam pembelajaran di kelas digunakan guru saat menyampaikan materi pelajaran dengan teknik tanya jawab. Guru meminta
siswa untuk menjawab sejumlah
pertanyaan yang bersifat terbuka bagi
siapapun dan pertanyaan tersebut
merupakan dorongan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif. (6) Ujarkan tindak tutur sebagai kesantunan yang bersifat umum. Strategi ini merupakan strategi negatif
untuk mengurangi ancaman penutur
terhadap lawan tutur. Bentuk kesantunan yang bersifat umum, yaitu tuturan ditujukan kepada khalayak sebagai mitra tutur (dalam hal ini siswa) yang berada
dalam suatu ruang lingkup untuk
melakukan sesuatu yang menjadi maksud dari tuturan. Strategi ini menuntut kesadaran kolektif untuk melakukan tindakan yang diharapkan.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 124 4) Strategi kesantunan positif guru
dalam pembelajaran di kelas dapat diklasifikasikan menjadi sejumlah strategi.
Sejumlah strategi tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut. (1)
Memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan lawan tutur. Strategi tersebut digunakan dalam berbagai konteks, seperti dalam konteks mengelola kelas dan membimbing diskusi. Lebih khusus dalam konteks mengelola kelas dan mebimbing diskusi, guru memberikan perhatian secara khusus kepada siswa untuk duduk berdasarkan kelompok yang mereka tentukan. Dengan demikian, pilihan kelompok tersebut diserahkan kepada siswa berdasarkan kesukaan, keinginan, dan juga kebutuhan siswa dalam berdiskusi. Guru dalam konteks ini hanya mengatur dan mengontrol siswa sehingga dapat dipastikan diskusi akan berjalan dengan lancar. (2) Membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur. Penggunaan strategi kesantunan dengan membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur terdapat dalam tuturan guru dalam konteks mengelola kelas. Dalam konteks mengelola kelas, guru berusaha bersikap tanggap terhadap kegaduhan yang ditimbulkan siswa untuk mengatur dan mengarahkan mereka agar pembelajaran di kelas dapat berjalan lancar. Terkadang dalam konteks ini, guru
berusaha memahami kondisi dan
kebutuhan siswa untuk bisa bersikap lebih
terbuka terhadap masalah yang dihadapi siswa dalam pembelajaran. Kondisi semacam inilah yang menuntut perhatian, persetujuan, dan simpati guru dalam mengelola kelas sehingga relevan dengan penggunaan strategi kesantunan sebagai yang dimaksud dalam pembahasan ini. (3)
Mengintensifkan perhatian penutur
dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta. Penggunaan strategi tersebut dalam konteks saat guru mengevaluasi hasil pekerjaan siswa dengan tuturan yang berfungsi memerintah siswa supaya memperbaiki pekerjaan mereka yang
terdapat kekurangan. Guru
mengintensifkan perhatiannya dengan mendramatisasikan peristawa atau fakta bahwa pekerjaan siswa saat dibacakan di depan kelas masih ada yang kurang tepat sehingga perlu adanya perbaikan dengan menunjukkan bukti kesalahan mereka secara umum. (4) Manggunakan penanda identitas kelompok. Berkaitan dengan itu, dalam konteks pembelajaran di kelas, strategi tersebut hanya terdapat dalam satu konteks dengan menyebut siswa dengan panggilan nanda sebagai bentuk keakraban dan biasa digunakan oleh guru di dalam kelas akselerasi. (5) Mencari persetujuan dengan topic yang umum atau untuk mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan tutur). Strategi semacam ini jarang digunakan guru dalam pembelajaran sebagaimana hasil penelitian yang didapatkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 125 pada beberapa tuturan. Pengulangan
kembali jawaban siswa tersebut untuk mencari persetujuan yang bersifat umum.
Dengan mengulang sebagian atau
seluruhnya ujaran siswa tersebut untuk mengurangi ancaman bahwa jawaban tersebut diharagai oleh guru dan perlu ditingkatkan. (6) Menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan praanggapan (presuppasition). Dalam konteks pembelajaran di kelas, strategi
tersebut digunakan guru dalam
menyampaikan materi pelajaran dengan metode tanya jawab yang ditandai dengan adanya respon yang diberikan guru
terhadap jawaban siswa. (7)
Menggunakan lelucon. Dalam konteks
mengevaluasi kerja siswa, guru
menggunakan strategi tersebut untuk menghindari ancaman yang ditimbulkan. (8) Menyatakan paham atau mengerti akan keinginan lawan tutur. Hasil
penelitian menunjukkan, bahwa
penggunaan strategi tersebut dalam
pembelajaran dapat dilihat dalam
beberapa konteks. Dalam konteks
menyampaikan materi, guru berusaha memahami dan mengerti akan keinginan siswa saat materi yang disampaikan sudah mereka pahami dengan baik atau belum sehingga membutuhkan penjelasan kembali. (9) Menunjukkan keoptimisan. Keoptimisan guru ditunjukkan dengan pengarahan yang diberikan sehingga
nantinya akan memudahkan siswa
mengerjakan tugas mereka. Dengan
demikian harapan agar tugas tersebut dapat dikumpulkan pada besok paginya dapat terealisasi. Penggunaan strategi tersebut dapat dikatakan mengurangi
ancaman yang ditimbulkan akibat
permintaan guru untuk meminta siswa mengumpulkan tugas mereka besok paginya. (10) Melibatkan penutur dan lawan tutur dalam aktivitas. Keterlibatan guru dan siswa dalam hal ini ketika siswa diperintah membuka hal 17 tentang
penemuan posil manusia purba di
Indonesia. Siswa bersama guru membuka hal 17, kemudian mendiskusikannya dengan siswa sehingga siswa merasa terlibat secara aktif dalam tindakan tersebut. Penekanan terhadap fungsi perintah yang terdapat pada tuturan 58 di atas menjadi berkurang karena perintah tersebut dirasakan sebagai pengarahan guru kepada siswa. (11) Memberikan pertanyaan atau meminta alasan. Dalam konteks menutup pelajaran seperti yang terdapat pada tuturan 75, memperkuat adanya strategi kesantunan berupa memberikan pertanyaan dan meminta alasan kenapa siswa melakukan tindakan tersebut. Pertanyaan yang diberikan dalam konteks ini untuk mengetahui kesanggupan siswa dalam melakukan tindakannya. Dengan demikian akan dipahami bahwa tindakan yang dikerjakan siswa tersebut beralasan sehingga nilai tekanan atau ancaman yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berkurang dan pembelajaran menjadi lancar.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 126
Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat penggunaan fungsi direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Dari 194 jumlah data tuturan guru, sebanyak 155 (79,89%) data tuturan berupa fungsi direktif dan sebanyak 39 (20,10%) data tuturan berupa fungsi ekspresif. Rekapitulasi data di atas,
secara jelas menunjukkan bahwa
penggunaan fungsi direktif dominan digunakan oleh guru dalam pembelajaran
di kelas dibandingkan dengan
penggunaan fungsi ekspresif .
Pemakaian fungsi direktif relevan juga dengan paradigma pembelajaran, student centered (pembelajaran berpusat
pada peserta didik). Paradigma
pembelajaran tersebut orientasi
pembelajarannya semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih dan berpusat pada peserta didik (student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti menjadi partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan.
Hakikat paradigma pembelajaran student centered, yaitu siswa berfungsi sebagai subjek dalam pembelajaran dan guru hanya merupakan fasilitator yang membimbing dan mengarahkan para
siswanya agar dapat menemukan
pemecahan terhadap suatu permasalahan dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dari 194 data tuturan berupa fungsi direktif dan ekspresif, diperoleh
juga data penggunaan strategi
kesantunan. Strategi kesantunan tersebut berupa strategi negatif sebanyak 72 (37,09%) data tuturan dan strategi positif sebanyak 122 (62,88%) data tuturan. Rekapitulasi data di atas secara jelas menunjukkan bahwa penggunaan strategi kesantunan positif dominan digunakan oleh guru dalam pembelajaran di kelas
dibandingkan dengan penggunaan
strategi negatif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa
kecenderungan penggunaan strategi
positif berarti guru berusaha menunjukkan kedekatan, keakraban, dan penghargaan terhadap tindakan atau apa yang dimiliki oleh siswa sehingga lebih termotivasi untuk meningkatkan prestasinya. Berbeda dengan penggunaan strategi negatif, meskipun sama-sama strategi untuk mengurangi ancaman muka atau psikologi siswa, tetapi penggunaan strategi negatif cenderung melemahkan semangat siswa untuk meningkatkan prestasinya. Hal tersebut disebabkan lemahnya tuntutan kepada siswa untuk melakukan sesuatu akibat kebebasan dari kaharusan untuk melakukan sesuatu sebagaimana hakikat strategi kesantunan negatif, tetapi dengan penggunaan strategi negatif ini, prestasi dapat ditingkatkan dengan guru lebih
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 127 berpartisipasi aktif dalam pembelajaran di
kelas. Guru hendaknya memperhatikan
struktur dan sikap bahasa yang
digunakan.
SIMPULAN DAN SARAN
Sesuai dengan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, hasil kajian terhadap kesantunan tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas, dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas
menggunakan fungsi direktif dan
ekspresif. (2) Untuk menghindari ancaman dari tindak direktif dan ekspresif dalam kegiatan pembelajaran di kelas, guru
menggunakan strategi kesantunan.
Strategi kesantunan negatif untuk mengurangi ancaman muka negatif, dan strategi positif untuk mengurangi ancaman muka positif. Muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya
bebas dari keharusan mengerjakan
sesuatu (dalam hal ini yaitu muka negatif siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas).
Guru hendaknya wajah ekspresif dalam penyampaian materi pembelajaran di kelas. Muka positif adalah sebaliknya, yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, sebagai akibat dari apa yang
dilakukan atau dimilikinya itu, diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan yang patut dihargai atau dalam hal ini yaitu muka positif guru, siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas akan merasa menarik dan tidak membosankan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. 2012. Bahan Ajar Pragmatik. Universitas Pendidikan Ganesha. Tidak Diterbitkan.
_____, 2008. Penggunaan Tindak Tutur Siswa dalam Percakapan di Kelas. Disertasi PPs. Universitas Negeri Malang. Tidak Diterbitkan.
Leech, Geoffrey. 1982. Prinsip-prinsip Pragmatik (Terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan
Penelitian Pragmatik.
Yogyakarta:Graha Ilmu
Sumarsono. 2010. Buku Ajar Pragmatik. Universitas Pendididkan Ganehsa. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran
Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Yule, George. 2006. Pragmatik
(Terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Wardhaugh, Ronald. 1998. An
Introduction to Sosiolinguistiks
(Terjemahan). USA: Beckwell