• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISSN: Vol. 4, No. 1, Maret 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISSN: Vol. 4, No. 1, Maret 2017"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 114 ANALISIS TERHADAP KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU DALAM PEMBELAJARAN DI SD INPRES BAJAWA VI KECAMATAN BAJAWA KABUPATEN

NGADA Pelipus Wungo Kaka

Pendidikan Guru Sekolah Dasar, STKIP Citra Bakti filipkaka7@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan (1) penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas dan (2) penggunaan strategi kesantunan tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan kajian pragmatik. Data peneltian terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan dan (2) data catatan lapangan. Data catatan lapangan meliputi catatan lapangan deskriptif dan catatan lapangan reflektif. Data pertama diperoleh melalui teknik observasi yang dibantu perekaman menggunakan handycam dan data kedua diperoleh melalui wawancara. Data dianalisis melalui empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan dan verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas berupa fungsi permintaan, fungsi perintah, fungsi pertanyaan, fungsi larangan, fungsi pengizinan, dan fungsi nasihat. Di sampaing itu, penggunaan fungsi ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas berupa fungsi memuji, fungsi menghargai, fungsi simpati, fungsi mengkritik, dan fungsi mengeluh.

Untuk menghindari ancaman tindak direktif dan ekspresif, guru menggunakan strategi kesantunan negatif dan positif. Strategi kesantunan negatif berupa penggunaan tuturan tidak langsung, gunakan pagar, tunjukkan sikap spesimis, minimalkan paksaan, dan pakailah bentuk impersonal

Strategi kesantunan positif berupa: (1) memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan lawan tutur, (2) membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur, (3) mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta, (4) menggunakan penanda identitas kelompok, (5) mencari persetujuan dengan topik yang umum atau untuk mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan tutur), (6) menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan praanggapan (presuppasition), (7) menggunakan lelucon, (8) menyatakan paham atau mengerti akan keinginan lawan tutur, (9) menunjukkan keoptimisan, (10) melibatkan penutur dan lawan tutur dalam aktivitas, (11) memberikan pertanyaan atau meminta alasan.

Kata kunci : kesantunan, tindak tutur guru, pembelajaran. .

(2)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 115 Abstract

This study aims to describe and explain (1) the use of directive and expressive speech functions of teachers in classroom learning and (2) the use of politeness strategy directive and expressive speech of teachers in classroom learning. This research was a qualitative descriptive study that using a pragmatic study. The research data consist of two types, namely: (1) the data of speech and (2) the data of observation note. The data of observation note include descriptive and reflective observation notes. The first data obtained through observation techniques assisted recording using a handycam and the second data obtained through interviews. Data were analyzed through four steps, namely: (1) data collection, (2) data reduction, (3) data presentation, and (4) concluding findings and verification.

The results shows the use of directive functions of teachers in the classroom were the demand function, commands function, function question, ban function, permitted function, and advisory function. Besides that, the use of the expressive function of the teacher in the classroom were the praise function, reward function, sympathetic function, function criticize, and complain function.

To avoid the threat of directive and expressive, the teacher uses negative and positive politeness strategy. Negative politeness strategies such as the use of indirect speech, using the fence, show pessimist attitude, minimize coercion, and use impersonal form.

Positive politeness strategies include: (1) watch predilection, desires, and needs of the opponent speech, (2) exaggerated attention, approval, and sympathy for the opponent speech, (3) intensifying attention speakers by dramatize events and facts, (4) using marker of group identity, (5) seeking approval by a common topic or to repeat some or all speech of speakers (opponent speech), (6) show things that are considered to have similarities through small talk and presuppositions, (7) using a joke, (8) expressed to know or understand a desire the opponent speech, (9) express optimism, (10) involving the speakers and opponents speech in the activity, (11) gives a question or ask a reasons.

(3)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 116 PENDAHULUAN

Setiap orang memperhatikan

struktur bahasa lawan tutur dengan sikap berbahasa, sehingga kesantunan selalu dipandang sebagai sebuah fenomena yang berkaitan antara hubungan bahasa dan realitas sosial. Dalam komunikasi, kesantunan merupakan aspek penting dalam kehidupan untuk menciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan mitratutur. Berdasarkan hubungan bahasa dengan realitas sosial dalam

pembelajaran tercermin pula pada

hubungan guru dan siswa dalam

menggunakan bahasa. Pada hakikatnya, tujuan percakapan antara guru dan siswa di kelas adalah memberikan informasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran

tersebut, guru menentukan dan

mengembangkan topik. Melalui topik tersebut, guru mengendalikan percakapan dengan cara mengatur pola tutur atau

menentukan, memberikan, mengambil

giliran tutur, mengatasi penyimpangan, dan mengatasi kesalahpahaman (Sacks, Secheglof, dan Jeferson, 1974 dalam Arifin, 2010). Dalam konteks tersebut,

kesantunan menjadi penting untuk

diperhatikan guna mengatasi

kesalahpahaman yang dapat

menimbulkan retaknya hubungan yang tidak harmonis antara guru dan siswa.

Penggunaan bahasa secara

santun, akhir-akhir ini, kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, sangat wajar jika kita sering menemukan pemakaian

bahasa yang benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di dalamnya kurang santun. Hal ini terjadi karena pemakai bahasa kurang memperhatikan bahwa di dalam suatu struktur bahasa (yang terlihat melalui ragam dan tata bahasa) terdapat kesantunan. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian para ahli bahasa. Demikian juga tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas, seperti tindak tutur direktif dan ekspresif. Saat mengelola kelas, guru meminta siswa untuk tertib dengan tuturan secara langsung melarang siswa ribut; saat menutup pelajaran, guru memberikan tugas dengan tegas; dan saat memberi penguatan, guru mengapresiasi jawaban siswa dengan langsung menerima jika benar dan menyalahkan secara langsung bila salah. Kondisi dalam pembelajaran

tersebut tentu mengancam muka

mitratutur (siswa). Hal tersebut

berimplikasi terhadap psikologi siswa seperti tegang atau panik karena takut .

Sikap atau kesantunan tindak tutur perlu diperhatikan oleh guru untuk menghindari gangguan psikologi siswa. Kesantunan tersebut sebagai bentuk rasa hormat dan penghargaan kepada siswa yang memberi pengaruh positif dan dapat mendorong serta memperbaiki tingkah laku siswa dalam pembelajaran. Dengan demikian, siswa mengikuti pembelajaran dengan nyaman tanpa tekanan sehingga meningkatkan kualitas belajar dan berimplikasi pada prestasi siswa dalam

(4)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 117 merupakan fitrah manusia bahwa manusia

ingin dihormati, dihargai, dipuji, dan disanjung-sanjung, tentu saja semuanya ini dalam batas wajar.

Oleh karena itu, guru sebagai insan akademik dengan beragam tuntutan

profesional mesti memperhatikan

kesantutan tindak tutur tersebut. Secara

sadar kesantutan tersebut akan

membantu kesuksesan guru dalam

melaksanakan pembelajaran di kelas. Seideal dan seoptimal apapun guru merancang pembelajaran bila tidak didukung dengan bahasa yang santun dalam menyampaikan maksud tentu akan menghambat dan mengganggu proses pembelajaran. Hal inilah yang menjadi perhatian peneliti sehingga penelitian berjudul Analisis terhadap Kesantunan

Tindak Tutur direkif Guru dalam

Pembelajaran di Sekolah terutama pada anak usia SD mereka membutuhkan bahasa yang cukup sesuai dengan perasaan mereka.

Dalam penelitian ini, akan beracuan pada pendapat-pendapat para ahli. Richard (1995:6 dalam Arifin 2012) menjelaskan bahwa kegiatan bertutur adalah suatu tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur atau menggunakan tuturan terjadi tindak tutur. Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau fungsi (maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak tutur merupakan unit terkecil aktivitas bertutur (percakapan atau

wacana) yang terjadi dalam interaksi sosial.

Selain mengembangkan hipotesis

bahwa setiap tuturan mengandung

tindakan, Searle (1975) juga membagi tindak tutur menjadi tiga macam tindakan yang berbeda, yaitu tindak lokusioner ‘utterance act’ atau ‘locutionary act’, tindak ilokusioner ‘ilocutionary act’, dan tindak perlokusioner ‘perlocutionary act’ (Nadar, 2009: 14 ). Austin juga mengatakan bahwa secara analitis dapat dibedakan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak dalam sebuah ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Sumarsono, 2009:181).

Wijana (1996:19) menjelaskan bahwa tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.

Sebagai bahan penunjang akan

dibicarakan klasifikasi tindak tutur berdasarkan fungsi dan berdasarkan kriteria yang beragam. Tarigan (2007:42) kemudian menjelaskan klasifikasi tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu dengan mengutip penjelasan seorang pakar kawakan dalam bidang ini, J.R. Searle (1979), mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan berbagai fungsi individu berupa: fungsi asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.

Pendekatan yang berbeda

terhadap pemilahan tipe tindak tutur ini dapat dibuat berdasarkan strukturnya. Pemisahan struktural yang sederhana di antara ketiga tipe umum tindak tutur yang diberikan dalam Bahasa Inggris, ada 3

(5)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 118 tipe kalimat dasar. Seperti yang

ditunjukkan dalam (20), dengan mudah dapat diketahui adanya hubungan antara 3 bentuk struktural (deklaratif, interogatif, dan imperatif) dan tiga fungsi komunikasi

umum (pernyataan, pertanyaan,

perintah/permohonan) Yule (2006:95). Para ahli, umumnya membedakan strategi penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu strategi langsung dan tidak langsung. Blum-Kulka (1989 dalam Arifin

2008) mengatakan bahwa strategi

langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak tutur berkaitan dengan dua dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan dimensi pilihan pada isi.

Kesantunan berbahasa sering diartikan secara dangkal sebagai suatu ‘tindakan yang sekadar beradab’ saja, namun makna yang lebih penting yang diperoleh dari sopan santun ialah, sopan santun merupakan mata rantai yang

hilang antara Pk dengan masalah

bagaimana mengaitkan daya dengan makna (Leech, 1982:161). Meskipun teori kesantunan dibedakan dengan konsep kesopanan dalam kajian sosiolinguistik, tetapi ada keterkaitan yang erat pada kedua konsep tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan teori kesantunan yang dipaparkan oleh Brown dan Levinson (1978). Brown

dan Levinson mengatakan teori

kesantunan berbahasa itu berkisar atas

nosi muka, demikian juga konsep

‘kesopanan’ sebagaimana dijelaskan oleh Wardhaugh (1998:293) bahwa konsep

‘kesopanan’ banyak meminjam dari karya asli Goffman (1967) tentang ‘wajah’.

Dalam membahas kesopanan,

konsep yang menjadi perhatian mereka, Brown dan Levinson mendefinisikan wajah sebagai citra diri pada khalayak yang diinginkan oleh setiap anggota atas dirinya sendiri. Dengan demikian, berdasarkan hubungan erat kedua konsep tersebut bahwa kajian kesantunan tidak dapat dipisahkan secara mutlak dengan kajian pragmatik, pertimbangan sosiolinguistik juga perlu diperhatikan. Berarti konsep kesantunan harus dipahami dengan kedua pendekatan tersebut, yaitu pragmatik dan sosiolinguistik atau lebih tepatnya pendekatan sosiopragmatik.

METODE PENELITIAN

Penelitian kesantunan tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas merupakan salah satu penelitian dalam kajian pragmatik. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif.

Data peneltian terdiri atas dua jenis, yaitu: (1) data tuturan dan (2) data catatan lapangan. Data catatan lapangan meliputi catatan lapangan deskriptif dan catatan lapangan reflektif.

Tuturan yang digunakan sebagai data adalah tuturan yang bersumber dari guru sebagai penutur (Pn) dalam proses pembelajaran di kelas. Sumber data tersebut adalah tiga orang guru SDI Bajawa Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada. Pemilihan kelas IV disesuaikan dengan keadaan guru yang mengajar.

(6)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 119 Dalam hal ini, guru tidak banyak

terganggu oleh aktivitas pemantapan ujian nasional. Sementara itu, psikologi siswa kelas IV belum begitu akrab dengan lingkungan baru karena mereka baru diterima sebagai siswa baru di sekolah tersebut sehingga untuk memberikan kesan yang baik, tindak tutur guru harus diperhatikan dengan baik.

Pengumpulan data dalam

penelitian ini berkaitan dengan hal-hal

sebagai berikut: (1) persiapan

pengumpulan data, (2) teknik observasi, dan (3) teknik wawancara.

Teknik observasi dilakukan

terhadap aktivitas komunikasi berupa gesture dan konteks tuturan dalam KBM di kelas. Teknik observasi yang dilakukan berupa kegiatan observasi nonpartisipatif. Artinya, peneliti tidak ikut secara aktif dalam aktivitas KBM, tetapi cukup di kelas bagian belakang sambil mengamati dan melakukan pencatatan pada lembaran observasi yang sudah disiapkan. Sebagai penunjang untuk mengumpulkan data selama kegiatan observasi digunakan

teknik perekaman. Melalui teknik

perekaman ini diusahakan semaksimal mungkin mendapatkan rekaman tuturan yang sebanyak-banyaknya dari proses interaksi verbal dalam KBM yang terjadi.

Alat perekaman yang digunakan berupa handycam yang peka dalam perekaman suara. Untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan, handycam beserta cas tetap disiapkan dalam tiap kali perekaman. Dengan teknik

perekaman tersebut, data yang terkumpul dapat dikatakan cukup memadai untuk kepentingan analisis data dan penelitian secara keseluruhan, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Teknik wawancara digunakan

untuk memperoleh data berupa motivasi dan persepsi penggunaan tindak tutur direktif dan ekspresif yang tidak terekam dengan handycam dan tidak teramati atau tidak tercatat saat observasi. Dalam hal ini, teknik wawancara sangat diperlukan untuk memperoleh data, seperti alasan penggunaan tindak tutur guru saat KBM berlangsung di kelas.

Dalam penelitian ini, intrumen kunci atau instrumen utama adalah peneliti. Artinya, peneliti sendiri yang berperan aktif dalam pengumpulan, pengidentifikasian, penyeleksian, dan penafsiran data.

Data dianalisis melalui empat tahap, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan dan verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap kesantunan tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas meliputi: (1) penggunaan fungsi tindak tutur direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran, (2) strategi tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas. Hasil penelitian ini dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.

1) Penggunaan fungsi direktif guru dalam pembelajaran di kelas sangat variatif.

(7)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 120 Sejumlah fungsi direktif tersebut dapat

diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Fungsi permintaan, melalui fungsi direktif ini guru meminta siswa untuk melakukan sesuatu.

Fungsi permintaan ini mencakup:

meminta, memohon, mengajak,

mendorong, dan menekan. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas, fungsi permintaan diwujudkan guru untuk meminta kepada

siswa melakukan sesuatu saat

pembelajaran dimulai. Misalnya, guru meminta siswa untuk maju ke depan

membacakan pokok-pokok informasi

tentang pembangunan kampung budaya gerbang karawang. Permintaan tersebut wajar dilakukan guru untuk mengelola kelas sehingga proses KBM berlangsung sebagaimana diharapkan. (2) Fungsi perintah, melalui fungsi direktif ini guru

memerintah siswa untuk melakukan

sesuatu. Fungsi perintah ini mencakup:

memerintah, menuntut, mendikte,

mengarahkan, mengatur, dan

menyaratkan. Fungsi direktif berupa perintah ini dalam pembelajaran di kelas

disampaikan sesuai kondisi saat

pembelajaran berlangsung. Misalnya, saat memulai pembelajaran yang diawali dengan perintah kepada setiap siswa wajib untuk maju membacakan hasil

rangkuman mereka sebagai bahan

penilaian guru. Tuturan direktif tersebut bersifat menekan setiap siswa untuk wajib mengikuti perintah yang sampaikan guru dengan adanya otoritas guru sebagai pendidik dan juga mengevaluasi tugas

individu siswa selama pembelajaran. (3) Fungsi pertanyaan, melalui fungsi direktif ini guru menanyakan sesuatu kepada siswa. Fungsi pertanyaan ini mencakup: bertanya dan mengintrogasi. Fungsi

pertanyaan dituturkan guru dalam

berbagai konteks pembelajaran. Misalnya, saat membuka pelajaran yang diawali dengan apersepsi, saat menyampaikan materi dengan metode tanya jawab, saat memberi penguatan selalu diawali dengan pertanyaan, bahkan saat mengelola kelas fungsi pertanyaan tersebut sering digunakan untuk membuat kondisi kelas menjadi terarah, disisplin, dan terkendali. (4) Fungsi larangan, melalui fungsi direktif ini guru melarang siswa melakukan sesuatu. Fungsi larangan ini mencakup:

melarang dan membatasi. Fungsi

larangan ini dapat dituturkan dalam konteks yang beragam, sperti saat

mengelola kelas. Guru berusaha

membatasi tindakan siswa untuk

mengembalikan dan mempertahankan perhatian siswa dari waktu ke waktu. Fungsi larangan yang dituturkan guru wajar dilakukan sebagai pendidik untuk mengendalikan kondisi selama kegiatan pembelajaran di kelas. Demikian juga pada tuturn 78, fungsi larangan mulai

intensif dituturkan agar kondisi

pembelajaran tetap kondusif sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran. (5) Fungsi pengizinan, melalui fungsi direktif ini guru mengizinkan siswa melakukan sesuatu. Fungsi pengizinan ini mencakup: memberi izin, membolehkan,

(8)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 121 mengabulkan, membiarkan, melapaskan,

meperkankan, memberi wewenang, dan

menganugerahkan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi pengizinan digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat menyampaikan materi dengan teknik tanya jawab, saat menutup pelajaran yang ditandai dengan pemberian tugas akhir, dan saat mengelola kelas. Dalam konteks menutup pelajaran, fungsi pengizinan digunakan guru saat memberikan tugas

yang diikuti mengumpulkan tugas

tersebut. Saat mengumpulkan tugas terxebut, penggunaan fungsi pengizinan yaitu memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan warna kertas yang dipakai menjilid tugas mereka. (6) Fungsi nasehat, melalui fungsi direktif ini guru menasehati siswa untuk melakukan sesuatu. Fungsi nasehat ini mencakup:

menaehati, memperingatkan,

mengusulkan, membimbing, dan

menyarankan. Penggunaan fungsi

nasehat dalam pembelajaran di kelas disesuaikan dengan konteksnya. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa fungsi nasehat digunakan oleh guru dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, mengelola kelas, dan menutup pelajaran. Dalam konteks menyampaikan materi pelajaran, fungsi nasehat dominan dilakukan sebagai bentuk pengarahan, bimbingan, peringatan, dan saran

2) Penggunaan fungsi ekspresif guru

dalam pembelajaran di kelas

bervariasi.

Sejumlah fungsi ekspresif tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Fungsi memuji, melalui tindak ekspresif ini, guru memuji tindakan siswa supaya meningkatkan prestasinya. Fungsi memuji ini mencakup: mendukung dan menyetujui

tindakan siswa. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi memuji digunakan guru dalam beberapa konteks. Misalnya, saat memberi penguatan yang diawali dengan tanya jawab dan saat menyampaikan materi pelajaran dengan metode tanya

jawab. Dalam konteks memberi

penguatan, guru menggunakan fungsi memuji saat menanggapi jawaban siswa

supaya mereka meningkatkan

prestasinya. Hasil penelitian

menunjukkan, penggunaan fungsi memuji saat memberi penguatan dapat berupa menyetujui dan mendukung. (2) Fungsi menghargai, melalui tindak ekspresif ini, guru menghargai tindakan siswa supaya

meningkatkan prestasinya. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi menghargai digunakan guru dalam 2 konteks. Konteks pertama, saat memberi penguatan yang diawali teknik tanya jawab. Konteks kedua, saat menutup pelajaran yang ditandai dengan evaluasi peserta didik terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran. (3) Fungsi simpati, melalui tindak ekspresif ini, guru simpati dengan kondisi siswa. Fungsi simpati ini mencakup: rasa prihatin, belasungkawa, dan rasa sedih. Hasil penelitian

(9)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 122 menunjukkan bahwa dalam pembelajaran

di kelas fungsi simpati digunakan guru

membuka pelajaran dan saat

menyampaikan materi pelajaran. Dalam konteks membuka pelajaran yang selalu diawali dengan pertanyaan terhadap kondisi peserta didik dan kedua dengan memperhatikan kondisi peserta didik

dalam pembelajaran. (4) Fungsi

mengkritik, melalui tindak ekspresif ini, guru mengevaluasi tindakan siswa. Fungsi mengkritik ini mencakup: memprotes,

menolak, dan mengevaluasi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi mengkritik

digunakan guru berupa penolakan

terhadap tindakan siswa. Di samping itu, fungsi mengkritik juga digunakan guru untuk mengevaluasi dan memprotes

tindakan siswa dalam kegiatan

pembelajaran. Misalnya, saat memberi penguatan yang diawali teknik tanya jawab dan saat menutup pelajaran yang ditandai dengan penolakan dan evaluasi peserta didik terhadap tugas yang diberikan saat pembelajaran. (5) Fungsi mengeluh, melalui tindak ekspresif ini, guru menggerutu atau kecewa dengan tindakan siswa. Fungsi mengeluh ini mencakup: rasa kecewa, rasa bingung, rasa marah, dan rasa muak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran di kelas fungsi mengeluh digunakan guru berupa rasa kecewa dan bingung dengan sikap siswa dalam pembelajaran di kelas. Fungsi mengeluh dapat tampak dalam beberapa konteks,

saat bertanya dan memberikan

penguatan, dan saat menutup pelajaran. Dalam konteks inilah, fungsi mengeluh digunakan guru berupa rasa bingung dengan sikap siswa yang tiba-tiba dalam pembelajaran diam tampa komentar dan tidak ribut. Fungsi mengeluh tersebut dituturkan guru dengan nada main-main untuk menghindari tekanan psikologis siswa dalam pembelajaran sehingga rasa bingung tersebut muncul sesaat yang juga bisa sebagai candaan untuk menyegarkan suasana pembelajaran.

3) Strategi kesantunan negatif guru

dalam pembelajaran di kelas

bervariasi.

Sejumlah strategi tersebut, sebagai berikut. (1) Penggunaan tuturan tidak langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tuturan tidak langsung sebagai salah satu strategi kesantunan negatif sedikit digunakan oleh guru dalam pembelajaran di kelas. Misalnya, data tuturan guru dengan fungsi permintaan, guru meminta siswa untuk mengeraskan suaranya saat membacakan pokok-pokok informasi yang dituturkan dengan modus introgatif (bertanya) kepada siswa yang lain, apakah mereka mendengar suara temannya yang membacakan pokok-pokok berita tersebut. (2) Gunakan pagar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pagar dalam menyatakan fungsi direktif dan ekspresif banyak ditemukan dalam tuturan guru saat pembelajaran di kelas. Saat guru bertanya dengan memohon kepada siswa supaya

(10)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 123 mengangkat tangan untuk menjawab

pertanyaan yang diberikan. Fungsi permintaan yang dituturkan guru berupa permohonan tersebut merupakan tindak direktif yang harus dipenuhi oleh siswa supaya kegiatan pembelajaran menjadi nyaman. Dengan adanya penggunaan pagar dalam menyampaikan maksud tersebut, diharapkan guru dapat terbantu dalam menjalankan tugasnya sebagai

pendidik yang akan mengarahkan,

membimbing, dan mendidik tanpa

menekan atau mengancam muka negatif siswa. (3) Tunjukkan sikap spesimis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalan pembelajaran di kelas, guru menunjukkan sikap spesimis dalam menyampaikan tuturannya yang disesuaikan dengan konteks pembelajaran. Sikap spesimis tersebut ditunjukkan saat bertanya dan saat menyampaikan materi pelajaran. Guru spesimis bahwa permintaannya tersebut dapat dipenuhi melihat kondisi siswa kurang memahami materi yang sudah disampaikan sehingga sulit untuk dilanjutkan dengan materi selanjutnya. Strategi kesantunan berupa menunjukkan sikap spesimis tersebut merupakan usaha guru untuk memaklumi kondisi siswa saat mengikuti pelajaran, dengan harapan bahwa sikap spesimis yang ditunjukkan guru akan mengurangi tekanan terhadap

permintaan kepada siswa untuk

mengangkat tangan saat menjelaskan materi pelajaran. (4) Minimalkan paksaan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa strategi kesantunan negatif berupa

meminimalkan paksaan tersebut banyak digunakan guru dalam pembelajaran di kelas. Strategi tersebut banyak dituturkan guru saat menyampaikan materi dengan

metode tanya jawab. Dengan

menggunakan strategi kesantunan berupa meminimalkan paksaan yang ditandai dengan tidak menunjuk secara langsung siswa yang bersangkutan untuk menjawab pertanyaan guru. Bahkan guru melarang siswa saling tunjuk, dengan maksud supaya siswa tersebut tidak terpojokkan dalam kondisi seperti yang terdapat pada

tuturan 4. (5)N Pakailah bentuk

impersonal. Hasil penelitian menunjukkan pemakaian bentuk impersonal dalam pembelajaran di kelas digunakan guru saat menyampaikan materi pelajaran dengan teknik tanya jawab. Guru meminta

siswa untuk menjawab sejumlah

pertanyaan yang bersifat terbuka bagi

siapapun dan pertanyaan tersebut

merupakan dorongan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif. (6) Ujarkan tindak tutur sebagai kesantunan yang bersifat umum. Strategi ini merupakan strategi negatif

untuk mengurangi ancaman penutur

terhadap lawan tutur. Bentuk kesantunan yang bersifat umum, yaitu tuturan ditujukan kepada khalayak sebagai mitra tutur (dalam hal ini siswa) yang berada

dalam suatu ruang lingkup untuk

melakukan sesuatu yang menjadi maksud dari tuturan. Strategi ini menuntut kesadaran kolektif untuk melakukan tindakan yang diharapkan.

(11)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 124 4) Strategi kesantunan positif guru

dalam pembelajaran di kelas dapat diklasifikasikan menjadi sejumlah strategi.

Sejumlah strategi tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut. (1)

Memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan lawan tutur. Strategi tersebut digunakan dalam berbagai konteks, seperti dalam konteks mengelola kelas dan membimbing diskusi. Lebih khusus dalam konteks mengelola kelas dan mebimbing diskusi, guru memberikan perhatian secara khusus kepada siswa untuk duduk berdasarkan kelompok yang mereka tentukan. Dengan demikian, pilihan kelompok tersebut diserahkan kepada siswa berdasarkan kesukaan, keinginan, dan juga kebutuhan siswa dalam berdiskusi. Guru dalam konteks ini hanya mengatur dan mengontrol siswa sehingga dapat dipastikan diskusi akan berjalan dengan lancar. (2) Membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur. Penggunaan strategi kesantunan dengan membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur terdapat dalam tuturan guru dalam konteks mengelola kelas. Dalam konteks mengelola kelas, guru berusaha bersikap tanggap terhadap kegaduhan yang ditimbulkan siswa untuk mengatur dan mengarahkan mereka agar pembelajaran di kelas dapat berjalan lancar. Terkadang dalam konteks ini, guru

berusaha memahami kondisi dan

kebutuhan siswa untuk bisa bersikap lebih

terbuka terhadap masalah yang dihadapi siswa dalam pembelajaran. Kondisi semacam inilah yang menuntut perhatian, persetujuan, dan simpati guru dalam mengelola kelas sehingga relevan dengan penggunaan strategi kesantunan sebagai yang dimaksud dalam pembahasan ini. (3)

Mengintensifkan perhatian penutur

dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta. Penggunaan strategi tersebut dalam konteks saat guru mengevaluasi hasil pekerjaan siswa dengan tuturan yang berfungsi memerintah siswa supaya memperbaiki pekerjaan mereka yang

terdapat kekurangan. Guru

mengintensifkan perhatiannya dengan mendramatisasikan peristawa atau fakta bahwa pekerjaan siswa saat dibacakan di depan kelas masih ada yang kurang tepat sehingga perlu adanya perbaikan dengan menunjukkan bukti kesalahan mereka secara umum. (4) Manggunakan penanda identitas kelompok. Berkaitan dengan itu, dalam konteks pembelajaran di kelas, strategi tersebut hanya terdapat dalam satu konteks dengan menyebut siswa dengan panggilan nanda sebagai bentuk keakraban dan biasa digunakan oleh guru di dalam kelas akselerasi. (5) Mencari persetujuan dengan topic yang umum atau untuk mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan tutur). Strategi semacam ini jarang digunakan guru dalam pembelajaran sebagaimana hasil penelitian yang didapatkan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa

(12)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 125 pada beberapa tuturan. Pengulangan

kembali jawaban siswa tersebut untuk mencari persetujuan yang bersifat umum.

Dengan mengulang sebagian atau

seluruhnya ujaran siswa tersebut untuk mengurangi ancaman bahwa jawaban tersebut diharagai oleh guru dan perlu ditingkatkan. (6) Menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan praanggapan (presuppasition). Dalam konteks pembelajaran di kelas, strategi

tersebut digunakan guru dalam

menyampaikan materi pelajaran dengan metode tanya jawab yang ditandai dengan adanya respon yang diberikan guru

terhadap jawaban siswa. (7)

Menggunakan lelucon. Dalam konteks

mengevaluasi kerja siswa, guru

menggunakan strategi tersebut untuk menghindari ancaman yang ditimbulkan. (8) Menyatakan paham atau mengerti akan keinginan lawan tutur. Hasil

penelitian menunjukkan, bahwa

penggunaan strategi tersebut dalam

pembelajaran dapat dilihat dalam

beberapa konteks. Dalam konteks

menyampaikan materi, guru berusaha memahami dan mengerti akan keinginan siswa saat materi yang disampaikan sudah mereka pahami dengan baik atau belum sehingga membutuhkan penjelasan kembali. (9) Menunjukkan keoptimisan. Keoptimisan guru ditunjukkan dengan pengarahan yang diberikan sehingga

nantinya akan memudahkan siswa

mengerjakan tugas mereka. Dengan

demikian harapan agar tugas tersebut dapat dikumpulkan pada besok paginya dapat terealisasi. Penggunaan strategi tersebut dapat dikatakan mengurangi

ancaman yang ditimbulkan akibat

permintaan guru untuk meminta siswa mengumpulkan tugas mereka besok paginya. (10) Melibatkan penutur dan lawan tutur dalam aktivitas. Keterlibatan guru dan siswa dalam hal ini ketika siswa diperintah membuka hal 17 tentang

penemuan posil manusia purba di

Indonesia. Siswa bersama guru membuka hal 17, kemudian mendiskusikannya dengan siswa sehingga siswa merasa terlibat secara aktif dalam tindakan tersebut. Penekanan terhadap fungsi perintah yang terdapat pada tuturan 58 di atas menjadi berkurang karena perintah tersebut dirasakan sebagai pengarahan guru kepada siswa. (11) Memberikan pertanyaan atau meminta alasan. Dalam konteks menutup pelajaran seperti yang terdapat pada tuturan 75, memperkuat adanya strategi kesantunan berupa memberikan pertanyaan dan meminta alasan kenapa siswa melakukan tindakan tersebut. Pertanyaan yang diberikan dalam konteks ini untuk mengetahui kesanggupan siswa dalam melakukan tindakannya. Dengan demikian akan dipahami bahwa tindakan yang dikerjakan siswa tersebut beralasan sehingga nilai tekanan atau ancaman yang dimunculkan dalam tuturan tersebut berkurang dan pembelajaran menjadi lancar.

(13)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 126

Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada tingkat penggunaan fungsi direktif dan ekspresif guru dalam pembelajaran di kelas. Dari 194 jumlah data tuturan guru, sebanyak 155 (79,89%) data tuturan berupa fungsi direktif dan sebanyak 39 (20,10%) data tuturan berupa fungsi ekspresif. Rekapitulasi data di atas,

secara jelas menunjukkan bahwa

penggunaan fungsi direktif dominan digunakan oleh guru dalam pembelajaran

di kelas dibandingkan dengan

penggunaan fungsi ekspresif .

Pemakaian fungsi direktif relevan juga dengan paradigma pembelajaran, student centered (pembelajaran berpusat

pada peserta didik). Paradigma

pembelajaran tersebut orientasi

pembelajarannya semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih dan berpusat pada peserta didik (student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti menjadi partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan.

Hakikat paradigma pembelajaran student centered, yaitu siswa berfungsi sebagai subjek dalam pembelajaran dan guru hanya merupakan fasilitator yang membimbing dan mengarahkan para

siswanya agar dapat menemukan

pemecahan terhadap suatu permasalahan dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dari 194 data tuturan berupa fungsi direktif dan ekspresif, diperoleh

juga data penggunaan strategi

kesantunan. Strategi kesantunan tersebut berupa strategi negatif sebanyak 72 (37,09%) data tuturan dan strategi positif sebanyak 122 (62,88%) data tuturan. Rekapitulasi data di atas secara jelas menunjukkan bahwa penggunaan strategi kesantunan positif dominan digunakan oleh guru dalam pembelajaran di kelas

dibandingkan dengan penggunaan

strategi negatif.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa

kecenderungan penggunaan strategi

positif berarti guru berusaha menunjukkan kedekatan, keakraban, dan penghargaan terhadap tindakan atau apa yang dimiliki oleh siswa sehingga lebih termotivasi untuk meningkatkan prestasinya. Berbeda dengan penggunaan strategi negatif, meskipun sama-sama strategi untuk mengurangi ancaman muka atau psikologi siswa, tetapi penggunaan strategi negatif cenderung melemahkan semangat siswa untuk meningkatkan prestasinya. Hal tersebut disebabkan lemahnya tuntutan kepada siswa untuk melakukan sesuatu akibat kebebasan dari kaharusan untuk melakukan sesuatu sebagaimana hakikat strategi kesantunan negatif, tetapi dengan penggunaan strategi negatif ini, prestasi dapat ditingkatkan dengan guru lebih

(14)

JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN I 127 berpartisipasi aktif dalam pembelajaran di

kelas. Guru hendaknya memperhatikan

struktur dan sikap bahasa yang

digunakan.

SIMPULAN DAN SARAN

Sesuai dengan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, hasil kajian terhadap kesantunan tindak tutur guru dalam pembelajaran di kelas, dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas

menggunakan fungsi direktif dan

ekspresif. (2) Untuk menghindari ancaman dari tindak direktif dan ekspresif dalam kegiatan pembelajaran di kelas, guru

menggunakan strategi kesantunan.

Strategi kesantunan negatif untuk mengurangi ancaman muka negatif, dan strategi positif untuk mengurangi ancaman muka positif. Muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya

bebas dari keharusan mengerjakan

sesuatu (dalam hal ini yaitu muka negatif siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas).

Guru hendaknya wajah ekspresif dalam penyampaian materi pembelajaran di kelas. Muka positif adalah sebaliknya, yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, sebagai akibat dari apa yang

dilakukan atau dimilikinya itu, diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan yang patut dihargai atau dalam hal ini yaitu muka positif guru, siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas akan merasa menarik dan tidak membosankan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin. 2012. Bahan Ajar Pragmatik. Universitas Pendidikan Ganesha. Tidak Diterbitkan.

_____, 2008. Penggunaan Tindak Tutur Siswa dalam Percakapan di Kelas. Disertasi PPs. Universitas Negeri Malang. Tidak Diterbitkan.

Leech, Geoffrey. 1982. Prinsip-prinsip Pragmatik (Terjemahan). Jakarta: Universitas Indonesia.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan

Penelitian Pragmatik.

Yogyakarta:Graha Ilmu

Sumarsono. 2010. Buku Ajar Pragmatik. Universitas Pendididkan Ganehsa. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran

Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Yule, George. 2006. Pragmatik

(Terjemahan Indah Fajar Wahyuni). Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Wardhaugh, Ronald. 1998. An

Introduction to Sosiolinguistiks

(Terjemahan). USA: Beckwell

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kutipan tersebut, kusir bendi seolah bersepakat dengan harga penawaran yang diberikan oleh Ajo. Akan tetapi, sebetulnya kesepakatan yang dibuat bersifat

Akan tetapi pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian dermatitis kontak, hal tersebut dapat terjadi karena dalam penelitian ini pekerja

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, mengidentifikasi daerah

Dari perumusan Pasal 1150 BW di atas dapat diketahui bahwa gadai merupakan suatu hak jaminan kebendaan atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur (pemilik benda) atau seseorang

(Persero) Angkasa Pura 1 harus memperhatikan kewajiban- kewajibannya sesuai yang telah diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

tentang kronologi penaklukan Konstantinopel pada masa Daulah ‘Utsmaniyah yang dipimpin oleh Muhammad al-Fatih mulai dari. awal persiapan hingga berhasil

Dokumen asli yang dibawa pada pembuktian kualifikasi adalah (1) Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli dari yang menghadiri pembuktian kualifikasi, KTP asli pengurus perusahaan,

Pada viscometer ini yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh sejumlah cairan tertentu untuk mengalir melalui pipa kapiler dengan gaya yang disebabkan oleh berat cairan itu