• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA KE INDIA DAN BELANDA ANIKA KANIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA KE INDIA DAN BELANDA ANIKA KANIA"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO)

INDONESIA KE INDIA DAN BELANDA

ANIKA KANIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis DayaSaing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Anika Kania NIM H34124005

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus

(4)
(5)

ABSTRAK

ANIKA KANIA. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Dibimbing oleh RITA NURMALINA.

Sejak tahun 2006, Indonesia menjadi produsen CPO terbesar di dunia. Namun, krisis ekonomi global menyebabkan penurunan laju ekspor CPO dunia dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu terdapat hambatan non tarif berupa

black campaign terhadap di Eropa. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis

daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO ke India dan Belanda. Berdasarkan hasil analisis Revealed Comparative Advantage (RCA), CPO Indonesia memiliki daya saing yang sangat kuat di pasar India dan Belanda. Hasil analisis Ordinary Least Square (OLS) menunjukkan ekspor CPO Indonesia ke India dipengaruhi oleh semua variabel dependen (harga ekspor CPO, harga minyak kedelai, kurs rupiah terhadap dollar, nilai RCA CPO Indonesia di India, dan pajak progresif). Sedangkan ekspor CPO Indonesia ke Belanda dipengaruhi oleh harga minyak kedelai dan pajak progresif.

Kata kunci: black campaign,CPO, daya saing, ekspor, faktor-faktor

ABSTRACT

ANIKA KANIA. Analysis of competitiveness and determinants of Indonesian CPO export to India and Netherlands. Supervised by RITA NURMALINA.

Since 2006, Indonesia has become the largest CPO producer in the world. However, global economic crisis caused decreasing in Indonesian CPO export in recent years. In addition, there is non tariff barrier, black campaign against Indonesia CPO in Europe. This study aims to analyze the competitiveness and the determinant of Indonesian CPO export to India and Netherlands. Based on RCA analysis, Indonesia CPO has high comparative advantage in India and Netherlands markets. The result of OLS analysis showed that the export of Indonesian CPO to India was affected significantly by all dependent variables (export price of CPO, price of soybean oil, exchange rate, RCA index, and progressive advalorem tax). Whereas, the export of Indonesian CPO to Netherlands was affected significantly by price of soybean oil, and progressive advalorem tax.

(6)
(7)

ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO)

INDONESIA KE INDIA DAN BELANDA

ANIKA KANIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)
(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah daya saing komoditas pertanian Indonesia, dengan judul Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen pembimbing, Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi selaku dosen evaluator, Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku penguji utama, dan Ibu Tintin Sarianti SP, MM selaku dosen penguji akademik yang telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada kepada Bapak Denny Sopian Saleh SKM MSi, Ibu E. Hasanah, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh sahabat dan teman-teman Alih Jenis Agribisnis IPB Angkatan 3.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(11)
(12)

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Daya Saing Komoditi Ekspor di Pasar Internasional 6 Metode Analisis Daya Saing Komoditi Ekspor 6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor 8 Metode Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor 9 KERANGKA PEMIKIRAN... 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10 Teori Perdagangan Internasional ... 10

Konsep Daya Saing ... 11

Keunggulan Komparatif ... 11

Keunggulan Kompetitif ... 11

Harga Komoditi ... 12

Kurs ... 12

Pajak Ekspor ... 12

Kerangka Pemikiran Operasional 13 METODE PENELITIAN ... 15

Jenis dan Sumber Data 15 Metode Pengolahan dan Analisis Data 15 Analisis Daya Saing Revealed Comparative Advantage (RCA) ... 16

Analisis Linier Berganda ... 16

Pengujian Asumsi OLS ... 17

Pengujian Hipotesis Gabungan dan Parsial ... 18

Hipotesis Variabel Penjelas 19 Definisi Operasional 19 GAMBARAN UMUM ... 20

Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 20 Perkembangan Produksi CPO Indonesia 22 Perkembangan Volume Ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda 23 Kebijakan non tarif kandungan Beta-karoten... 24

Kebijakan tarif bea masuk CPO ... 24

Hambatan non tarif black campaign Uni Eropa ... 24

Perkembangan Harga Ekspor CPO Indonesia 25 Perkembangan Harga Minyak Kedelai Dunia 26 Perkembangan Kurs Rupiah terhadap Dollar 27 Kebijakan Pajak Ekspor 28 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

(13)

Analisis Daya Saing CPO Indonesia di Pasar India dan Belanda 29 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia ke India 35

Uji kesesuaian model ... 35

Uji asumsi klasik ... 35

Pengujian gabungan dan parsial ... 36

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia ke Belanda 38 Uji kesesuaian model ... 38

Uji asumsi klasik ... 38

Pengujian gabungan dan parsial ... 39

SIMPULAN DAN SARAN ... 41

Simpulan 41 Saran 41 DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN ... 45 RIWAYAT HIDUP ... 58

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan volume neraca perdagangan sektor pertanian tahun 2008-2012 1 2 Perkembangan volume dan nilai ekspor CPO Indonesia tahun 2008-2012 ... 2

3 Pangsa produksi dan konsumsi minyak nabati dunia ... 3

4 Perkembangan volume ekspor CPO Indonesia (Ton) menurut negara tujuan utama tahun 2008-2012 ... 4

5 Jenis dan Sumber Data ... 15

6 Uji Durbin Watson ... 18

7 Luas areal perkebunan kelapa sawit menurut provinsi tahun 2012 ... 21

8 Produksi CPO Indonesia menurut provinsi tahun 2012 ... 23

9 Pajak ekspor berdasarkan SK Nomor 94/PMK.011/2007 ... 28

10 Pajak ekspor berdasarkan SK Nomor 223/PMK.011/2008 ... 29

11 Nilai RCA CPO Indonesia di pasar India periode tahun 1989-2012 ... 31

12 Nilai RCA CPO Indonesia di pasar Belanda periode tahun 1989-2012 ... 32

DAFTAR GAMBAR

1 Negara Produsen Utama CPO Dunia Tahun 2005-2011... 2

2 Kurva keseimbangan parsial perdagangan internasional ... 11

3 Kerangka pemikiran operasional... 14

4 Proporsi kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit menurut status pengusahaan tahun 2012 ... 20

(14)

tahun 1989-2012 ... 21

6 Perkembangan produksi CPO Indonesia menurut kepemilikan lahan periode 1989-2012 ... 22

7 Perkembangan volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda tahun 1989-2012 ... 23

8 Perkembangan harga ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda tahun 1989-2012 ... 25

9 Perkembangan harga minyak kedelai dunia tahun 1989-2012 ... 26

10 Perkembangan kurs rupiah terhadap dollar tahun 1989-2012 ... 27

11 Perkembangan nilai RCA CPO Indonesia di pasar India dan pasar Belanda periode 1989-2012 ... 30

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas areal komoditi perkebunan tahun 2012 ... 46

2 Produksi komoditi perkebunan tahun 2012 ... 47

3 Hasil perhitungan RCA CPO Indonesia di pasar India ... 48

4 Hasil perhitungan RCA CPO Indonesia di pasar Belanda ... 49

5 Hasil uji kesesuaian model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke India ... 50

6 Hasil uji normalitas model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke India ... 50

7 Hasil uji multikolinearitas model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke India ... 52

8 Hasil uji autokorelasi model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke India menggunakan Uji Run ... 52

9 Hasil uji heteroskedastisitas model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke India ... 53

10 Hasil uji gabungan model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke India... 53

11 Hasil uji kesesuaian model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke Belanda . 54 12 Hasil uji normalitas model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke Belanda . 54 13 Hasil uji multikolinearitas model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke Belanda ... 56

14 Hasil uji autokorelasi model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke Belanda ... 56

15 Hasil uji hetetoskedastisitas model regresi faktor ekspor CPO Indonesia ke Belanda ... 57

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agribisnis perkebunan merupakan salah satu penopang ekonomi yang handal. Dalam berbagai krisis ekonomi dan keuangan global, perkebunan biasanya tidak terlalu terganggu oleh imbas krisis bahkan selalu mampu menopang perekonomian negara (Kartasasmita 2011). Neraca perdagangan sektor pertanian mengalami tren menurun selama periode tahun 2008 hingga 2012 dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar -7.32 persen. Hal ini dikarenakan defisit yang dialami sub sektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan yang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sub sektor perkebunan merupakan satu-satunya sub sektor pertanian yang memiliki neraca perdagangan positif dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 3.78 persen selama periode tahun 2008 hingga 2012. Volume ekspor sektor perkebunan yang tinggi menutupi defisit sub sektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan, sehingga perkebunan menjadi sub sektor andalan sektor pertanian.

Tabel 1 Perkembangan volume neraca perdagangan sektor pertanian tahun 2008-2012

Sub Sektor Tahun

2008 2009 2010 2011 2012 T. Pangan -6.602.003 -7.001.588 -9.612.150 -14.555.744 -14.206.463 Hortikultura -905.482 -1.077.057 -1.196.669 -1.670.623 -1.712.226 Perkebunan 22.498.943 24.901.279 23.439.245 23.551.764 25.872.241 Peternakan -429.931 -651.555 -737.339 -283.633 -1.016.067 Pertanian 14.561.528 16.171.080 11.893.087 7.041.764 8.353.830

Sumber: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2012

CPO merupakan hasil olahan dari komoditas unggulan sektor perkebunan, yaitu kelapa sawit. CPO memiliki kontribusi yang penting terhadap perekonomian Indonesia melalui sumbangan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan dengan luas areal dan jumlah produksi paling tinggi (Lampiran 1 dan 2). Menurut data Ditjerbun, luas areal kelapa sawit selama periode tahun 2008 hingga 2012 mengalami peningkatan setiap tahunnya, hingga mencapai luas 9074,62 hektar. Produksi CPO meningkat seiring dengan peningkatan luas areal kelapa sawit hingga mencapai 23.5 juta ton pada tahun 2012. Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi CPO dapat meningkatkan daya saing CPO Indonesia di pasar internasional. Pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa sejak tahun 2006, Indonesia menjadi produsen CPO terbesar di dunia, mengungguli Malaysia dengan produksi sebesar 16 juta ton dan pangsa sebesar 43 persen dari total produksi CPO dunia.

(16)

Gambar 1 Negara Produsen Utama CPO Dunia Tahun 2005-2011

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan 2012

Hasil produksi CPO Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati domestik dan permintaan ekspor dari berbagai negara. Dengan semakin meningkatnya produksi dalam negeri maka akan meningkatkan laju ekspor CPO ke berbagai negara. CPO memiliki keunggulan kompetitif yaitu produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan komoditi lain yang dapat dijadikan sumber minyak nabati, seperti kedelai, bunga matahari, kacang tanah, wijen, dan zaitun (Oil World 2010). Selain itu, kondisi agronomi Indonesia yang sesuai untuk budidaya kelapa sawit merupakan endowment factor yang dimiliki Indonesia. Sementara peluang yang berasal dari pasar internasional yaitu adanya tren baru pemenuhan kebutuhan bahan bakar menggunakan biodiesel. Dengan demikian peluang Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor CPO ke pasar internasional menjadi semakin terbuka. Dalam upaya meningkatkan pangsa pasar diperlukan daya saing agar CPO Indonesia dapat berkompetisi di pasar internasional.

Tabel 2 Perkembangan volume dan nilai ekspor CPO Indonesia tahun 2008-2012 Tahun Volume Ekspor (Ton) Nilai Ekspor (US$)

2008 7,904,178 6,561,330,490 2009 9,566,746 5,702,126,189 2010 9,444,170 7,649,965,932 2011 8,424,037 8,777,015,600 2012 7,252,519 6,676,503,846 Sumber: UN Comtrade 2014

Seiring dengan kebergantungan dunia terhadap CPO yang semakin tinggi, volume permintaan ekspor CPO Indonesia ke dunia terus mengalami peningkatan. Namun, pada tiga tahun terakhir ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan akibat krisis global. Tabel 2 menunjukkan volume ekspor CPO Indonesia pada tahun 2011 turun dari 9.4 juta ton menjadi 8.4 juta ton, kemudian

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Volume (ribu ton)

Indonesia Malaysia Thailand Nigeria Colombia Ecuador Others Total

(17)

kembali turun menjadi 7.2 juta ton pada tahun 2012. Krisis ekonomi global menyebabkan harga CPO di pasar internasional meningkat, selain itu krisis global dan krisis Eropa menyebabkan perlambatan ekonomi negara-negara di dunia termasuk negara tujuan ekspor CPO Indonesia, sehingga permintaan agregrat terhadap CPO Indonesia mengalami penurunan.

Rumusan Masalah

Perkembangan pemasaran CPO di pasar dunia menunjukkan prospek yang potensial. Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa pangsa produksi dan konsumsi CPO terus mengalami peningkatan dari tahun 1993 hingga 2012 dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing sebesar 2 persen dan 1.8 persen. Pangsa produksi CPO pada periode tahun 1998 hingga 2002 sebesar 27.8 persen, mengungguli minyak kedelai dengan pangsa sebesar 23.8 persen. Pada periode tahun 2003 hingga 2007, CPO berada pada urutan pertama dengan pangsa konsumi sebesar 21.4. Hal ini menyebabkan perubahan pola konsumsi minyak nabati dunia dan penurunan konsumsi minyak kedelai, minyak kanola, minyak bunga matahari, dan minyak nabati lainnya.

Tabel 3 Pangsa produksi dan konsumsi minyak nabati dunia

No. Uraian 1993-1997 1998-2002 2003-2007 2008-2012

I. Total Produksi (ribu ton) Pangsa (%)

70,778 83,680 95,624 108,512

1. M. sawit dan inti sawit 24.7 27.8 30.1 30.8

2. Minyak Kedelai 25.1 23.8 23.4 23.2

3. Minyak Kanola 14.3 14.3 13.1 14.3

4. Minyak Kelapa 4.2 3.7 3.8 3.8

5. Minyak lainnya 31.7 30.4 29.6 27.9

II. Total Konsumsi (ribu ton) Pangsa (%)

90,501 104,281 118,061 132,234

1. M.sawit dan inti sawit 17.0 19.2 21.4 22.5

2. M. Kedelai 19.7 19.3 18.9 19.0

3. Minyak Kanola 11.1 11.3 11.5 11.7

4. Minyak bunga matahari 9.2 9.2 9.2 9.1

5. Minyak lainnya 43.0 41.0 39.0 37.7

Sumber : Diolah dari Word Oil oleh Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian 2012

Peningkatan konsumsi CPO juga terjadi di negara-negara Uni Eropa. Berdasarkan data Oil World, konsumsi CPO di Uni Eropa terus mengalami peningkatan. Uni Eropa merupakan salah satu pasar yang prospektif bagi CPO Indonesia, karena selain mengembangkan produk turunan dari CPO seperti minyak makan (edible oil) dan margarin, Uni Eropa merupakan produsen biodiesel terbesar di dunia dan menggunakan CPO sebagai bahan baku untuk pengolahan bahan bakar alternatif tersebut (Pratiwi 2011). Belanda merupakan tujuan utama produsen CPO dunia dalam memasuki pasar Uni Eropa, hal ini dikarenakan keberadaan perusahaan Cargill di Belanda sebagai perusahaan

(18)

pengolahan minyak nabati mentah terbesar di Eropa (Kemendag 2013). Faktor lainnya yaitu ekspor CPO ke Eropa terpusat di Pelabuhan Rotterdam. Belanda merupakan negara Uni Eropa importir terbesar CPO Indonesia dan negara importir CPO Indonesia terbesar kedua di dunia pada tahun 2012 dengan volume ekspor mencapai 1.1 juta ton atau sebesar 15.3 persen dari total ekspor CPO Indonesia. Pada tahun 2012, CPO Indonesia menyerap pangsa pasar sebesar 37 persen dari total ekspor CPO dunia ke pasar Belanda.

Tabel 4 Perkembangan volume ekspor CPO Indonesia (Ton) menurut negara tujuan utama tahun 2008-2012

Negara Tujuan 2008 2 0 0 2009 2010 2011 2012 Berat bersih/net weight: 000 ton

India 3,871,491 4,402,353 4,449,537 4,257,407 3,614,821 Belanda 968,205 1,057,227 948,461 602,824 1,109,526 Singapura 504,513 606,727 573,156 632,820 634, 581 Malaysia 574,530 1,053,516 1,318,387 1,244,232 587,266 Italia 331,236 361,701 474, 097 488, 576 518, 376 Sumber : UN Comtrade 2014

Dalam mengatasi penurunan permintaan minyak nabati konvensional yang sebagian besar dihasilkan oleh negara-negara barat akibat pergeseran konsumsi dari minyak jagung, minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak kanola ke CPO, maka negara-negara Eropa melakukan hambatan non tarif berupa black

campaign terhadap CPO. World Health Organization (WHO) menyarankan

untuk mengurangi konsumsi CPO karena menimbulkan cardiovascular diseases, sementara beberapa organisasi lingkungan di Barat mempublikasikan penelitian mereka mengenai deforestasi, kerusakan habitat orang utan, dan efek rumah kaca yang disebabkan oleh pengembangan perkebunan kelapa sawit. Isu kesehatan dan isu lingkungan tersebut merupakan bagian dari kampanye negatif yang dilakukan karena minyak nabati yang dihasilkan oleh negara barat tidak dapat bersaing dengan CPO yang memiliki biaya produksi paling rendah (Syaukat 2008).

Black campaign terhadap CPO Indonesia di Eropa menyebabkan pemerintah

Indonesia memfokuskan ekspor ke pasar Asia. India merupakan negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia karena perekonomian India yang kuat dan jumlah penduduk mencapai 1.2 miliar pada tahun 2012. Jumlah penduduk memiliki korelasi positif dengan jumlah konsumsi agregat. Jumlah penduduk India yang besar diiringi oleh konsumsi minyak nabati yang tinggi. India menyerap 3.6 juta ton atau sebesar 50 persen dari total volume ekspor CPO Indonesia dan pangsa pasar CPO Indonesia sebesar 62.3 persen dari total ekspor CPO dunia ke India pada tahun 2012. Berdasarkan data USDA, India juga memenuhi kebutuhan minyak nabatinya menggunakan minyak kedelai dan minyak kanola melalui produksi domestik dan impor dari berbagai negara.

Daya saing dan volume ekspor CPO Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan pajak ekspor. Pada tahun 2007 terjadi perubahan kebijakan pajak ekspor CPO yaitu pajak yang diberlakukan sebelumnya berupa pajak proporsional menjadi pajak progresif (progressive advalorem tax), sehingga peningkatan pajak sesuai dengan peningkatan harga referensi. Harga referensi yang digunakan merupakan harga CPO di pasar internasional.

(19)

Berdasarkan uraian di atas, maka sangat relevan untuk melakukan penelitian mengenai daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia sebagai negara eksportir CPO terbesar di dunia ke India dan Belanda sebagai negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana daya saing CPO Indonesia di pasar India dan Belanda?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia ke India?

3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia ke Belanda?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan di atas. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis daya saing ekspor CPO Indonesia di pasar India dan Belanda 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor CPO

Indonesia ke India dan Belanda

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia ke Belanda

Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan maanfaat sebagai berikut:

1. Penulis, untuk meningkatkan kemampuan analisa, wawasan dan pengetahuan khususnya tentang perdagangan Internasional dan daya saing serta untuk mengimplementasikan ilmu yang telah dipelajari di bangku perkuliahan.

2. Peneliti dan akademisi, sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Kajian penelitian ini difokuskan pada analisis daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia ke dua negara tujuan utama ekspor, yaitu India dan Belanda. Jenis minyak kelapa sawit yang dianalisis adalah Crude Palm Oil (CPO). Periode waktu yang digunakan adalah periode tahun 1989 hingga 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda menggunakan variabel-variabel penduga yaitu harga ekspor CPO, harga minyak kedelai dunia, kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dan nilai RCA CPO Indonesia di India dan Belanda.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Daya Saing Komoditi Ekspor di Pasar Internasional

Era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini mendorong persaingan yang semakin ketat. Berbagai negara yang terlibat dalam perdagangan internasional terus berupaya meningkatkan daya saing produknya agar produk-produknya lebih efisien dan lebih besar pangsa pasarnya di pasar Internasional (Kaunang 2013). Komoditi yang memiliki daya saing yang tinggi berarti memiliki peluang untuk mempeluas pangsa pasar di pasar internasional (Widyastutik 2011; Anggit et al. 2012). Menurut Anggit et al. (2012), jika minyak CPO Indonesia memiliki daya saing di pasar Internasional diharapkan akan lebih banyak lagi negara yang mengimpor CPO dari Indonesia. Meluasnya pangsa pasar ekspor mendorong para pengusaha untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas serta meningkatkan efisiensi biaya sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan dengan memperoleh laba dan dapat mempertahankan kelangsungan produksinya. Kaunang (2013) menjelaskan bahwa melalui kinerja ekspor yang tetap stabil dan pengembangan ekspor yang terus ditingkatkan, komoditi minyak kelapa Sulawesi Utara yang memiliki daya saing tinggi akan mampu menguasai ekspor di pasar internasional.

Daya saing meliputi keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Pengembangan kelapa sawit melalui perluasan areal, peningkatan kualitas dan kuantitas produksi minyak sawit perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan daya saingnya di pasar internasional (Anggit et al. 2012). Pada penelitian Arifin (2013), daya saing mangga Indonesia masih rendah. Hal ini dikarenakan produksi mangga yang berfluktuasi sesuai dengan pola produksi musiman. Oleh karena itu diperlukan sistem insentif untuk mengembangkan produksi mangga. Hal lain yang mempengaruhi daya saing komoditi domestik di pasar negara tujuan ekspor yaitu kerjasama bilateral diantara kedua negara. Widyastutik (2011) menjelaskan bahwa peningkatan daya saing CPO di pasar China terjadi seiring peningkatan kerjasama Indonesia-China, disamping peningkatan kebutuhan CPO itu sendiri. Hal yang sama dijelaskan oleh Rifin (2010), bahwa liberalisasi perdagangan meningkatkan daya saing CPO di Tunisia melalui penghapusan bea masuk terhadap CPO.

Metode Analisis Daya Saing Komoditi Ekspor

Widyastutik (2011), Ragimun (2012), Anggit et al. (2012), Rifin (2013), Arip et al. (2013), Kaunang (2013), dan Serin and Civan (2008) menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis keunggulan komparatif komoditi pertanian Indonesia. Menurut Serin and Civan (2008) metode RCA digunakan untuk mengevaluasi keunggulan komparatif berdasarkan spesialisasi yang dilakukan suatu negara dalam kegiatan ekspor kepada beberapa negara. Lebih lanjut, Arip et al. (2013) menjelaskan bahwa pangsa ekspor suatu komoditi tidak harus lebih tinggi meskipun memiliki nilai

(21)

RCA yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan nilai RCA berasal dari dua nilai relatif ekspor, yaitu nilai ekspor relatif negara dan kinerja ekspor relatif dunia.

Apabila nilai RCA lebih dari satu berarti negara itu mempunyai keunggulan komparatif (di atas rata-rata dunia) untuk suatu komoditi artinya komoditas tersebut memiliki daya saing kuat. Sebaliknya jika nilai lebih kecil dari satu berarti keunggulan komparatif untuk suatu komoditas rendah (di bawah rata-rata dunia) atau berdaya saing lemah (Ragimun 2012; Anggit et al. 2012). Jika nilai RCA lebih dari satu, maka diindikasikan bahwa suatu negara memproduksi komoditi pada biaya yang relatif efisien (Arip et al.). Berdasarkan hasil penelitian Anggit et al. (2012), CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang rendah (di bawah rata-rata dunia) dengan indeks RCA sebesar 0.85.

Nilai RCA yang diperoleh juga dibandingkan dengan nilai RCA negara eksportir komoditi sejenis. Hasil penelitian Serin and Civan (2008) menunjukkan bahwa Turki memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan kompetitor utamanya, yaitu Spanyol, Italia, dan Yunani pada sektor jus buah dan minyak zaitun di pasar Uni Eropa. Berbeda dengan hasil penelitian Rifin (2013) dan Ragimun (2012) yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao, akan tetapi masih sangat rendah jika dibandingkan dengan nilai RCA Pantai Gading, Ghana, dan Nigeria. Rifin (2013) menganalisis keunggulan komparatif biji kakao Indonesia selama periode tahun 1967 hingga 2011 dan memperoleh nilai RCA rata-rata sebesar 6.14, jauh lebih rendah dibandingkan nilai RCA rata-rata kakao Pantai Gading, Ghana, dan Nigeria yang masing-masing mencapai 339.66, 528.92, dan 24.00. Arifin (2013) menganalisis daya saing kopi, kakao, teh, karet, jambu mete, dan mangga. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa perolehan nilai RCA karet paling tinggi, sehingga komoditi karet memiliki daya saing tertinggi diantara komoditi lainnya.

Dalam mengukur keunggulan kompetitif, Nugroho (2008), Anggit et al. (2012), dan Ragimun (2012) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), sedangkan Kaunang menggunakan analisis Berlian Porter (Porter’s diamond). Anggit et al. (2012) mendefinisikan ISP sebagai perbandingan antara selisih nilai bersih perdagangan dengan nilai total perdagangan dari suatu negara. Ragimun (2012) menggunakan ISP untuk mengetahui apakah Indonesia lebih baik menjadi eksportir ataukah importir kakao, sedangkan Nugroho (2008) menggunakan analisis ISP untuk membuktikan hipotesis bahwa Indonesia berspesialisasi sebagai negara pengekspor biji kakao dan berada pada tahap pengekspor.

Anggit et al. (2012) dan Ragimun (2012) menginterpretasikan nilai ISP dengan membagi posisi daya saing pada tahapan yang berbeda-beda. Menurut Anggit et al. (2012), dasar pemikiran ISP sama seperi teori siklus produk, dimana suatu produk bertahan di pasar lewat beberapa tahapan. Anggit et al. (2012) membagi posisi daya saing ke dalam lima tahap, yaitu: Apabila nilai ISP berkisar antara -1 sampai dengan -0.5 maka komoditi tersebut berada pada tahap pengenalan. Nilai -0.5 sampai dengan 0 adalah tahap subtitusi impor. Nilai ISP antara 0 sampai 0.8, maka komoditi berada pada tahap perluasan ekspor, kemudian apabila nilai mendekati +1 maka komoditi berada pada tahap pematangan. Ragimun hanya membedakan posisi daya saing menjadi dua, yaitu

(22)

apabila nilai ISP ≥ 0,5 maka Indonesia cenderung sebagai eksportir kakao, dan nilai ISP < 0,5 sampai mendekati 0, maka Indonesia cenderung sebagai importir.

Berdasarkan hasil penelitian Anggit et al. (2012), CPO Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan berada pada tahap pematangan dengan nilai ISP sebesar 0.95. Sedangkan hasil penelitian Ragimun (2012) menunjukkan bahwa spesialisasi Indonesia masih sebagai negara eksportir dengan rata-rata nilai ISP sebesar 0.80. Namun, jika dibandingkan dengan ISP negara Pantai Gading dan Ghana, ISP Indonesia masih tertinggal jauh. Pantai Gading merupakan eksportir kakao utama dunia dengan nilai ISP 1. Demikian juga Ghana dengan nilai ISP mendekati 1 atau 0.99. Nugroho (2008) yang juga melakukan penelitian mengenai analisis daya saing biji kakao di pasar dunia memperoleh hasil yang berbeda. Hasil peramalan ISP periode 2007 hingga 2015 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ISP lebih besar dari Ghana, Brazil, dan Malaysia.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor

Permintaan terhadap komoditi sangat ditentukan oleh tingkat harga dari komoditi tersebut. Harga ekspor berpengaruh negatif terhadap volume ekspor suatu komoditi. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Djoni et al. (2013). Berbeda dengan Djoni et al. (2013), Widyastutik (2009) menggunakan variabel harga internasional CPO. Menurut Widyastutik (2009), harga internasional CPO berpengaruh signifikan dan positif terhadap ekspor CPO Indonesia. Hal ini dikarenakan volume ekspor dilihat dari sisi penawaran. Hasil penelitian Djoni et

al. (2013) menunjukkan harga ekspor crude coconut oil (CCO) Philipina sebagai

kompetitor Indonesia berpengaruh positif terhadap permintaan ekspor CCO Indonesia.

Dalam penelitiannya mengenai analisis daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO Indonesia ke China, Malaysia dan Singapura dalam skema ACFTA, Widyastutik (2011) menggunakan harga barang subtitusi sebagai salah satu variabel penelitiannya. Widyastutik (2011) menjelaskan bahwa harga minyak kedelai sebagai barang subtitusi CPO berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO Indonesia, berarti kenaikan harga minyak kedelai akan menurunkan volume penawaran ekspor CPO Indonesia. Hasil penelitian Siregar et al. (2006) menunjukkan bahwa harga minyak kedelai berpengaruh positif terhadap volume ekspor CPO Indonesia.

GDP negara pengimpor berkaitan dengan daya beli atau kemampuan suatu negara dalam melakukan kegiatan perdagangan internasional, dalam hal ini ekspor dari Indonesia. Sesuai dengan hasil penelitian Serin and Civan (2008), Siregar et al. (2006), dan Djoni et al. (2013) yang menunjukkan bahwa GDP per kapita negara tujuan ekspor berpengaruh positif terhadap volume ekspor komoditi Indonesia. Peningkatan GDP per kapita Uni Eropa akan meningkatkan permintaan ekspor tomat dari Yunani, Spanyol dan Italia (Serin and Civan 2008).

Menurut Widyastutik (2011) dan Purba et al. (2009), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume ekspor komoditi Indonesia. Depresiasi rupiah akan menyebabkan harga CPO Indonesia akan relatif lebih murah dari sisi negara pengimpor, sehingga ekspor CPO Indonesia akan meningkat (Purba et al. 2009). Djoni et al. (2013)

(23)

menggunakan variabel nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor. Hasil penelitian Djoni et al. (2013) menunjukkan bahwa kurs rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Siregar et al. (2006) yang menggunakan nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap dollar Amerika, yaitu deitch mark Jerman dan guilder Belanda terhadap dollar Amerika.

Variabel lain yang digunakan sebagai faktor penduga adalah pajak ekspor. Hasil penelitian Purba et al. (2009) dan Siregar et al. (2006) menunjukkan bahwa pajak ekspor berpengaruh negatif terhadap permintaan ekspor CPO. Hal ini berarti kenaikan pajak ekspor akan menurunkan ekspor CPO. Hasil penelitian Siregar et

al. (2006) menunjukkan bahwa pajak ekspor CPO memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia ke Belanda, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia ke Jerman. Hal ini dikarenakan CPO diimpor oleh Jerman untuk diproses kembali menjadi produk turunan seperti mentega dan produksi turunan lainnya untuk distribusi pada pasar lain bagi negara Jerman dan negara sekitarnya.

Metode Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor

Penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi volume permintaan ekspor komoditi pertanian Indonesia menggunakan analisis statistik regresi linier berganda dan regresi data panel. Analisis regresi linier berganda digunakan oleh Siregar et al. (2006) dan Radifan (2014). Metode regresi linier berganda yang digunakan yaitu metode kuadrat terkecil atau

method of Ordinary Least Square (OLS). Radifan (2014) menggunakan

metode OLS untuk menghitung nilai ADF pada metode Error Correction Model (ECM). Pada OLS, kesesuaian model diukur menggunakan nilai koefisien determinasi atau R2. Nilai R2 menunjukkan besarnya proporsi variasi variabel dependen yang mampu dijelaskan oleh variasi himpunan variabel independen (Radifan 2014). Besarnya pengaruh variabel dependen terhadap variabel independen dilihat dari nilai koefisien, sedangkan berpengaruh signifikan atau tidaknya variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial dilihat dari nilai t (Siregar et al. 2006; Radifan 2014). Setelah diperoleh hasil estimasi regresi linier dilakukan uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedatisitas dan uji autokorelasi.

Berbeda dengan Siregar et al. (2006) dan Radifan (2014), Djoni et al. (2013) dan Widyastutik (2011) menggunakan metode data panel yang merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Sebelum dilakukan regresi dengan data panel dilakukan pemilihan model terbaik diantara Pooled

Least Square, Fixed Effect, dan Random Effect. Pada penelitian Widyastutik

(2011), pemilihan model terbaik dilakukan dengan menggunakan uji Chow. Model persamaan yang digunakan harus memenuhi kriteria statistik dan ekonometrik.

(24)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori Perdagangan Internasional

Dasar terjadinya perdagangan internasional yaitu, karena negara-negara memiliki perbedaan relatif. Selain itu, negara-negara yang terlibat dalam perdagangan Internasional bertujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of

scale) dalam produksi (Krugman and Obsfeld 2000). Menurut Salvatore (1997),

perdagangan diantara dua negara terjadi karena adanya keunggulan komparatif yang dicerminkan dengan perbedaan relatif harga-harga atas berbagai komoditi antara dua negara. Melalui perdagangan internasional, setiap negara dapat melakukan spesialisasi dalam produksi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan menukarkan sebagian outputnya untuk memperoleh komoditi yang memiliki kerugian komparatif. Melalui spesialisasi ini kedua negara akan mengkonsumsi kedua komoditi (komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan komoditi yang memiliki kerugian komparatif) dengan jumlah yang lebih banyak. Spesialisasi akan terus berlangsung sampai pada akhirnya harga relatif atas berbagai komoditi yang diperdagangkan oleh kedua negara berada dalam posisi ekuilibrium (Salvatore 1997).

Proses terjadiya perdagangan internasional menurut Salvatore (1997) dapat dilihat pada Gambar 5. Panel A menunjukkan negara 1 mengalami kelebihan penawaran komoditi X, sehingga kurva penawaran ekspornya mengalami peningkatan (panel B). Pada panel C dapat dilihat Px/Py lebih rendah dari P3, maka negara 2 mengalami kelebihan permintaan (excess demand) untuk komoditi X, sehingga permintaan impor negara 2 terhadap komoditi X mengalami peningkatan. Panel B menunjukkan bahwa hanya pada tingkat harga P2 maka kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 akan persis sama dengan kuantittas ekspor yang ditawarkan oleh negara1. Dengan demikian P2 merupakan Px/Py atau harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Tetapi jika harga Px/Py lebih besar dari P2 maka akan terjadi kelebihan penawaran (excess

supply) ekspor komoditi X dan akan terjadi penurunan harga relatifnya atau

Px/Py, sehingga pada akhirnya harga akan begerak mendekati atau sama dengan P2. Sebaliknya, jika Px/Py lebih kecil dari P2, maka akan terjadi kelebihan permintaan impor komoditi X yang selanjutnya akan menaikkan Px/Py sehingga lambat laun akan sama dengan P2.

(25)

Gambar 2 Kurva keseimbangan parsial perdagangan internasional

Sumber: Salvatore 1997 Konsep Daya Saing

Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing dapat diidentikkan dengan produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (total factor productivity).

Menurut Simanjuntak (1992), daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada haraga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh harga laba yang mencukupi sehigga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya.

Keunggulan Komparatif

Teori Keunggulan Komparatif dikemukakan oleh David Ricardo dalam Ball (2004). Menurut teori keunggulan komparatif ini meskipun sebuah negara memiliki keunggulan absolut dalam produksi dua barang, dan negara lainnya memiliki kerugian absolut dalam memproduksi dua barang, kedua negara masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan. Negara yang memiliki kerugian absolut melakukan spesialisasi dalam komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi memiliki kerugian komparatif).

Keunggulan Kompetitif

Michael Porter dalam Teori Keunggulan Kompetitif menjelaskan bahwa terdapat empat jenis variabel yang akan mempunyai dampak atas kemampuan perusahaan lokal untuk menggunakan sumber daya di negara tersebut untuk memperoleh keunggulan komparatif, meliputi kondisi-kondisi

(26)

permintaan, kondisi-kondisi faktor endowment, industri-industri terkait dan pendukungnya, serta strategi, struktur dan persaingan perusahaan. Teori Porter menyatakan bahwa keempat jenis variabel tersebut akan mempunyai dampak atas kemampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber yang terdapat pada negara itu guna memperoleh keunggulan komparatif. Keunggulan kompetitif terjadi ketika perusahaan atau negara mengakuisisi atau mengembangkan atribut atau kombinasi atribut yang memungkinkan untuk mengungguli pesaing. Atribut ini dapat mencakup akses ke sumber daya alam atau ketersediaan sumber daya manusia yang terampil. Selain itu kecanggihan teknologi dan teknologi informasi dapat memberikan keunggulan kompetitif baik sebagai bagian dari produk itu sendiri, sebagai keuntungan dalam pembuatan produk, atau sebagai keunggulan dalam kegiatan bisnis, seperti identifikasi dan pemahaman tentang pelanggan.

Harga Komoditi

Teori permintaan konsumen (consumer demand theory) memprediksikan bahwa apabila suatu harga dari suatu harga komoditi mengalami peningkatan, maka kuantitas permintaan atas komoditi tersebut akan mengalami penurunan. Apabila harga produk impor bagi konsumen domestik mengalami kenaikan, maka kuantitas permintaan ekspor akan menurun (Salvatore 1997).

Kurs

Menurut Mankiw (2006) jika mata uang negara eksportir mengalami depresiasi atau penurunan nilai mata uang, maka barang-barang domestik akan dinilai relatif lebih murah dibanding harga barang luar negeri, sehingga konsumsi domestik terhadap barang luar negeri akan berkurang dan permintaan ekspor terhadap barang atau komoditi domestik akan meningkat. Sebaliknya, jika rupiah mengalami apresiasi, maka barang-barang domestik akan dinilai relatif lebih mahal dibanding harga barang-barang luar negeri. Konsumsi domestik terhadap barang-barang luar negeri akan meningkat, sehingga volume ekspor berkurang.

Pajak Ekspor

Pajak adalah hambatan perdagangan internasional berupa cukai yang dikenakan untuk suatu komoditas yang diperdagangkan lintas-batas teritorial. Pemberlakuan pajak oleh negara besar atau negara yang perekonomiannya cukup kuat sehingga mampu mempengaruhi perdagangan internasional akan menurunkan tingkat kesejahteraan negara yang bersangkutan secara agregat karena menurunnya volume perdagangan. Namun dalam waktu yang bersamaan pajak ekspor juga meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan nilai tukar perdagangan. Sementara pemberlakuan pajak ekspor pada negara kecil akan menurunkan volume perdagangan, namun nilai tukar perdagangannya konstan (Salvatore 1997). Berdasarkan mekanisme perhitungan, terdapat beberapa jenis pajak, yaitu pajak ad valorem, pajak spesifik, dan pajak gabungan. Pajak ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka presentase tertentu dari nilai barang-barang ekspor, sehingga semakin tinggi harga barang ekspor, maka akan semakin besar pajak yang dikenakan. Sedangkan pajak spesifik dikenakan berdasarkan jumlah barang ekspor.

(27)

Kerangka Pemikiran Operasional

CPO merupakan komoditi unggulan Indonesia dan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya dalam menyumbang pendapatan nasional dan penyerapan tenaga kerja. CPO merupakan komoditi sub sektor perkebunan dengan luas areal dan produksi paling tinggi diatara komoditi perkebunan lainnya. Peningkatan luas areal dan produksi yang signifikan setiap tahunnya menjadikan Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia.

Produksi dan konsumsi CPO dunia terus mengalami peningkatan, sehingga terjadinya perubahan pola konsumsi minyak nabati, termasuk di Uni Eropa sebagai pasar potensial CPO Indonesia. Belanda merupakan negara Uni Eropa importir terbesar dan importir kedua terbesar di dunia karena keberadaan pelabuhan Rotterdam sebagai pusat ekspor CPO di Eropa dan perusahaan Cargill di Belanda sebagai perusahaan pengolahan minyak nabati mentah terbesar di Eropa. Peningkatan konsumsi CPO di Uni Eropa mengindikasikan adanya ketergantungan Uni Eropa terhadap CPO yang semakin besar. Untuk mengatasi penurunan permintaan minyak nabati konvensional yang sebagian besar diproduksi oleh negara-negara Barat, seperti minyak kedelai, minyak kanola, dan minyak bunga matahari, maka Uni Eropa melakukan black campaign terhadap CPO.

Black campaign di Uni Eropa menyebabkan pemerintah Indonesia lebih

memfokuskan ekspor CPO ke pasar Asia. India merupakan negara utama tujuan ekspor CPO Indonesia. India dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari satu miliar dan kebutuhan minyak nabati yang tinggi merupakan peluang pasar yang sangat potensial. Selain mengkonsumsi CPO, India juga memenuhi kebutuhan minyak nabatinya menggunakan minyak kedelai dan minyak kanola.

Kebijakan pemerintah dalam negeri juga berpengaruh terhadap ekspor dan daya saing CPO Indonesia. Pada tahun 2007 terjadi perubahan kebijakan pajak ekspor CPO yaitu pajak yang diberlakukan sebelumnya berupa pajak proporsional menjadi pajak progresif (progressive advalorem tax), sehingga peningkatan tarif pajak sesuai dengan peningkatan harga referensi.

Berbagai upaya untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen utama CPO dunia dan meningkatkan daya saing perlu dilakukan. Salah satunya dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor Indonesia, sehingga volume ekspor dapat ditingkatkan diiringi dengan daya saing yang semakin tinggi. Variabel-variabel independen yang digunakan pada penelitian ini yaitu harga ekspor CPO, harga minyak kedelai dunia, kurs rupiah terhadap dollar Amerika, nilai RCA CPO Indonesia di India dan Belanda, dan variabel dummy pajak progresif.

(28)

 Peluang Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar dunia

Hambatan non tarif berupa black campaign di Eropa menyebabkan pemerintah Indonesia lebih memfokuskan ekspor CPO di pasar Asia

 India dan Belanda sebagai negara tujuan ekspor utama ekspor CPO Indonesia

Daya saing CPO Indonesia di Pasar India dan Belanda

Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda:

1. Harga ekpor CPO

2. Harga minyak kedelai dunia

3. Kurs rupiah terhadap US$ 4. Nilai RCA CPO Indonesia di India dan Belanda.

5. Dummy pajak progresif Perkembangan kondisi daya

saing CPO Indonesia di pasar India dan Belanda

Implikasi Kebijakan

(29)

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk data deret waktu (time series) selama 24 tahun, yaitu periode tahun 1989 hingga 2012. Sumber data yang diperoleh berasal dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian Republik Indonesia (Ditjenbun Kementan RI), United Nations Commodity of Trade (UN Comtrade), United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD),

International Monetary Fund (IMF), United States Department of Agriculture

(USDA), Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Keuangan, penelitian terdahulu, jurnal-jurnal penelitian, buku, serta literatur-literatur yang berkaitan dengan daya saing dan perdagangan imternasional CPO. Data-data sekunder yang digunakan meliputi volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda, nilai ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda, nilai ekspor total CPO Indonesia ke India dan Belanda, harga ekspor CPO, harga minyak kedelai dunia, kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dan nilai RCA CPO Indonesia di pasar India dan Belanda.

Tabel 5 Jenis dan Sumber Data

Variabel Simbol data Sumber data Volume ekspor CPO Indonesia ke

India dan Belanda

Y UN Comtrade Nilai ekspor CPO Indonesia ke India

dan Belanda

Xij UN Comtrade Nilai ekspor total Indonesia di India

dan Belanda

Xt UN Comtrade Nilai ekspor CPO dunia di India dan

Belanda

Wij UN Comtrade Nilai ekspor total dunia di India dan

Belanda

Wt UN Comtrade Harga ekspor CPO Indonesia ke India

dan Belanda

X1 UN Comtrade Harga minyak kedelai dunia X2 UNCTAD Kurs rupiah terhadap dollar Amerika X3 IMF

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskritif digunakan untuk menginterpretasikan data-data mengenai perkembangan ekspor dan daya saing CPO Indonesia di India dan Belanda. Metode kuantitatif yang digunakan yaitu metode RCA (Revealed Comparative Advantage) untuk menganalisis daya saing dan metode

(30)

berpengaruh terhadap volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Proses pengolahan data dilakukan menggunakan software microsoft excel 2013 dan software SPSS 20.

Analisis Daya Saing Revealed Comparative Advantage (RCA)

Konsep RCA diperkenalkan oleh Balassa (1965). Metode RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditi di suatu negara dengan membandingkan pangsa atau rasio ekspor komoditi negara dengan rasio ekspor dunia atas komoditi tersebut. Penelitian ini mengukur daya saing ekspor komoditi CPO Indonesia di pasar India dan Belanda. Variabel yang diukur dalam metode ini adalah membandingkan nilai ekspor CPO Indonesia terhadap nilai total ekspor Indonesia di pasar India dan Belanda dengan nilai ekspor CPO dunia ke pasar India dan Belanda terhadap total ekspor dunia ke pasar India dan Belanda.

RCA = Keterangan:

RCA = Tingkat daya saing CPO Indonesia di negara tujuan ekspor Xij = Nilai ekspor CPO Indonesia di negara tujuan ekspor

Xt = Nilai ekspor total Indonesia di negara tujuan ekspor Wij = Nilai ekspor CPO dunia di negara tujuan ekspor Wt = Nilai ekspor total dunia di negara tujuan ekspor

Nilai RCA berkisar dari nol sampai tak hingga. Jika nilai RCA > 1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia sehingga komoditi tersebut memili daya saing kuat. Jika nilai RCA < 1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif dibawah rata-rata dunia sehingga suatu komoditi memiliki daya saing lemah.

Analisis Linier Berganda

Analisis regresi adalah studi tentang hubungan antara variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen, dengan tujuan untuk mengestimasi dan/atau memprediksi rata-rata populasi atau nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan nilai variabel independen yang diketahui (Gujarati 2006). Faktor yang diduga berpengaruh terhadap volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda adalah harga ekspor CPO, harga minyak kedelai dunia, kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dan nilai RCA CPO Indonesia di India dan Belanda. Persamaan regresi untuk faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda adalah sebagai berikut:

Y = β0+ β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5D1 + ε

Model yang digunakan diubah dalam bentuk logaritma untuk memperoleh elastisitas atau presentase perubahan variabel dependen terhadap variabel independen, sehingga model regresi adalah sebagai berikut:

(31)

Keterangan :

Y = Volume ekspor CPO Indonesia ke negara tujuan ekspor (Ton) X1 = Harga ekspor CPO Indonesia ke negaratujuan ekspor (US$/Ton) X2 = Harga minyak kedelai dunia (US$/Ton)

X3 = Kurs rupiah terhadap dollar Amerika (Rp/US$) X4 = Nilai RCA CPO Indonesia di negara tujuan ekspor

D1 = Dummy (1 = Setelah penerapan pajak progresif; 0 = Sebelum penerapan pajak progresif)

β0 = Konstanta ε = Galat

β1...β5 = Koefisien dugaan dari variabel independen

Kesesuaian model (goodness of fit) diukur dengan nilai koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien determinasi menyatakan proporsi atau presentase dari total variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen dan menunjukkan besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai R2 adalah antara nol dan satu. Semakin tinggi nilai R2, maka semakin besar variasi yang dijelaskan oleh model (Grafen and Hails 2002).

Pengujian Asumsi OLS

Penaksir OLS merupakan penaksir tak bias linear terbaik atau disebut dengan BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Penaksir OLS mempunyai sifat linear, tidak bias, dan memiliki nilai varian paling kecil dalam kelompok penaksir tak bias linear dari sebuah parameter (Gujarati 2006). Jika asumsi normalitas, linearitas, independen, dan homogenitas tidak terpenuhi, maka tingkat signifikansi yang diperoleh menjadi tidak valid (Grafen and Hails 2003). Agar model memiliki sifat BLUE, maka dilakukan pengujian-pengujian sebagai berikut:

1. Uji normalitas digunakan untuk menguji distribusi error term. Jika error term berdistribusi secara normal, maka model memenuhi asumsi normalitas. Pengujian normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan analisa grafik melalui uji P-Plot dan histogram (Grafen and Hails 2002).

2. Uji multikolinearitas merupakan uji untuk mengukur adanya hubungan linier diantara variabel bebas dalam suatu model regresi linier berganda. Multikolinearitas menyebabkan nilai R2 menjadi tinggi, akan tetapi sedikit variabel yang signifikan dan arah koefisien variabel menjadi tidak valid untuk diinterpretasi secara teori ekonomi. Deteksi multikolinearitas dapat dilakukan dengan menghitung Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF < 10, berarti tidak terdapat multikoneliaritas (Gujarati 2006).

3. Uji autokorelasi digunakan untuk mengukur korelasi antar variabel bebas. Autokorelasi menyebabkan penaksir OLS tidak efisien karena tidak lagi memiliki varian terkecil, meskipun OLS masih linier dan tak bias. Konsekuensi lainnya yaitu varians taksiran dari estimator OLS bersifat bias sehingga uji gabungan dan parsial menjadi tidak andal. Terdapat tiga metode yang dapat digunakan untuk menguji autokorelasi, yaitu metode grafis, uji Durbin Watson, dan uji run. Deteksi autokorelasi pada model regresi linier berganda dengan uji Durbin Watson adalah seperti pada tabel berikut:

(32)

Tabel 6 Uji Durbin Watson

Hipotesis nol Keputusan Jika Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 <Dw<dL Tidak ada autokorelasi positif Tak ada keputusan 0 ≤ Dw ≤ dU Tidak ada autokorelasi negatif Tolak 4- dL<Dw< 4 Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada

keputusan

4- dU<Dw< 4-

dL

Tidak ada autokorelasi positif atau negatif

Jangan tolak dU <d< 4- dU Sumber: Gujarati 2006

4. Uji heteroskedastisitas adalah uji untuk mendeteksi adanya variasi dari varian galat dari setiap observasi. Konsekuensi heterokedastisitas yaitu estimator OLS masih linear dan tak bias, tapi tidak lagi efisien, karena tidak lagi memiliki varians minimum. Heteroskedastisitas menyebabkan pengujian hipotesis yang biasa tidak bisa diandalkan. Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan grafis residu.

Pengujian Hipotesis Gabungan dan Parsial

Pengujian hipotesis gabungan digunakan untuk mengetahui apakah seluruh variabel independen yang diuji secara simultan atau bersama-sama berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel independen (Gujarati 2006). Hipotesis pengujian dinyatakan sebagai berikut:

H0: β1 = β2 = ...= β9 = 0

H1: paling sedikit ada satu β yang tidak sama dengan nol

Uji statistik yang digunakan adalah uji F dengan kriteria sebagai berikut. Jika P-value < α (tolak H0), maka variabel independen yang diuji secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika P-value > α (terima H0), maka variabel independen yang diuji secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

Pengujian hipotesis parsial digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel dependen (Gujarati 2006). Hipotesis pengujian dinyatakan sebagai berikut:

H0: βi = 0 H0: βi ≠ 0

Uji statistik yang digunakan adalah uji t. Jika P-value < α (tolak H0), maka variabel independen yang diuji secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sebaliknya jika P-value > α (terima H0), maka variabel independen yang diuji secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

(33)

Hipotesis Variabel Penjelas

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Variabel yang digunakan pada analisis ini yaitu harga ekspor CPO, harga minyak kedelai dunia, kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dan nilai RCA CPO Indonesia di pasar India dan Belanda.

a. Nilai RCA CPO Indonesia diduga lebih dari satu (RCA > 1), artinya Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada CPO sehingga memiliki daya saing kuat di pasar India dan Belanda.

b. Harga ekspor CPO diduga berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Artinya semakin tinggi harga ekspor CPO, maka semakin rendah volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda.

c. Harga minyak kedelai duniadiduga berpengaruh positif terhadap harga volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Semakin tinggi harga minyak kedelai dunia, maka semakin tinggi volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda.

d. Kurs rupiah terhadap dollar Amerika diduga berpengaruh positif terhadap harga volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Artinya semakin tinggi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, maka semakin tinggi volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda.

e. Nilai RCA CPO Indonesia diduga berpengaruh positif terhadap harga volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Artinya semakin tinggi nilai RCA CPO Indonesia, maka semakin tinggi volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda.

f. Pajak progresif ekspor CPO diduga berpengaruh positif atau negatif terhadap harga volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda. Artinya pajak progresif ekspor CPO akan meningkatkan atau menurunkan volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda sesuai dengan dinamika harga referensi CPO.

Definisi Operasional

a. Minyak kelapa sawit (CPO) merupakan hasil olahan dari buah segar kelapa sawit yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit.

b. Harga ekspor minyak sawit (CPO) merupakan hasil bagi antara total nilai ekspor dengan volume ekspor dan dinyatakan dalam satuan dollar Amerika per ton (US$/ton).

c. Harga minyak kedelai dunia merupakan harga minyak kedelai di pasar internasional, dinyatakan dalam satuan dollar Amerika per ton (US$/ton). d. Kurs rupiah terhadap dollar Amerika merupakan perbandingan dari

perubahan mata uang Amerika terhadap mata uang Indonesia, dinyatakan dalam satuan rupiah per dollar Amerika (Rp/US$).

e. Pajak progresif merupakan tarif yang dikenakan terhadap komoditi minyak kelapa sawit. Pajak ekspor dinyatakan dalam persen.

(34)

GAMBARAN UMUM

Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibedakan atas tiga status berdasarkan pengusahaannya yaitu Perkebunan Rakyat (Smallholders), Perkebunan Besar Negara (Government), dan Perkebunan Besar Swasta (Private). Luas perkebunan besar swasta lebih besar dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat pada tahun 2012 penguasaan luas areal perkebunan kelapa sawit didominasi oleh perkebunan besar swasta dan perkebunan rakyat sebesar 51 persen dan 42 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia, sisanya sebesar 7 persen dikuasai oleh negara.

Gambar 4 Proporsi kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit menurut status pengusahaan tahun 2012

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia 2013

Luas areal perkebunan kelapa sawit terus mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode tahun 1989 hingga 2012. Namun peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004 tidak signifikan yaitu dari 5,283,557 menjadi 5,284,723 hektar. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan swasta. Luas areal perkebunan besar negara menurun dari 662,803 hektar menjadi 605,865 hektar, sedangkan luas areal perkebunan besar swasta menurun dari 2,766,360 hektar menjadi 2,458,520 hektar. Meskipun mengalami penurunan, namun luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta cenderung mengalami tren meningkat selama periode tahun 1989 hingga 2012, berbeda dengan perkebunan negara yang relatif statis.

Peran perkebunan rakyat semakin besar setiap tahunnya. Hal ini merupakan hasil dari kebijakan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan kelembagaan inti-plasma yang dikembangkan mulai tahun 1980. Dalam kelembagaan inti-plasma ini, perkebunan negara dan swasta bertindak sebagai inti yang memberikan layanan dan teknologi dan pengetahuan maupun avalis perkebunan rakyat sebagai plasma. Dengan berkembangnya perkebunan rakyat

Perkebunan Rakyat 42% Perkebunan Negara 7% Perkebunan Swasta 51%

(35)

dan perkebunan swasta, sebagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan rakyat, produksi barang dan jasa, dapat terselesaikan oleh perkebunan rakyat dan perkebunan swasta (Sipayung 2012).

Gambar 5 Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit menurut status pengusahaan tahun 1989-2012

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia 2013

Penyebaran perkebunan kelapa sawit tidak merata di seluruh daerah di Indonesia. Hingga tahun 2012, Pulau Sumatera dan Kalimantan memiliki total luas areal masing-masing sebesar 5,913,585 hektar dan 2,814,782 hektar dari total luas areal sebesar 9,074,621 hektar. Tabel 7 menunjukkan provinsi yang memiliki luas areal perkebunan sawit terbesar yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Jambi.

Tabel 7 Luas areal perkebunan kelapa sawit menurut provinsi tahun 2012 Provinsi Luas Areal (Ha)

Riau 1,926,859 Sumatera Utara 1,183,278 Kalimantan Tengah 1,015,321 Sumatera Selatan 828,114 Kalimantan Barat 689,060 Kalimantan Timur 685,647 Jambi 630,614

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia 2013 0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000 9,000,000 10,000,000 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 L u as ar ea l ( h ek tar ) Tahun

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara

(36)

Perkembangan Produksi CPO Indonesia

Pada awalnya total produksi CPO Indonesia didominasi oleh perkebunan negara, namun sejak tahun 1994 proporsi perkebunan negara mulai berkurang dan sejalan dengan perkembangan luas arealnya, produksi perkebunan negara cenderung statis selama periode 1989 hingga 2012. Sementara itu perkembangan luas areal perkebunan swasta dan perkebunan rakyat mengalami tren positif.

Gambar 6 Perkembangan produksi CPO Indonesia menurut kepemilikan lahan periode 1989-2012

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia 2013

Secara umum total produksi CPO Indonesia mengalami tren meningkat, sejalan dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan produksi yang sangat signifikan yaitu dari 11,861,615 ton menjadi 17,350,848 ton. Hal ini disebabkan perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta yang mengalami peningkatan luas areal secara signifikan. Produksi CPO berpusat di pulau Sumatera dan Kalimantan dengan jumlah produksi masing-masing sebesar 17,317,294 ton dan 5,520,208 ton dari total produksi sebesar 23,521,071 ton. Beberapa provinsi memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya, sehingga meskipun luas arealnya lebih kecil namun jumlah produksinya lebih tinggi. Provinsi dengan produksi CPO tertinggi yaitu Riau, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Lebih lanjut, provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur merupakan lumbung

nonrenewable energy (energi yang tidak dapat diperbaharui) nasional. Hal ini

berarti, terjadi perubahan sumber pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi tersebut, yakni dari nonrenewable energy menjadi energi yang dapat diperbarui (Sipayung 2012). 0 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 P ro d u k si ( T o n ) Tahun

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara

(37)

Tabel 8 Produksi CPO Indonesia menurut provinsi tahun 2012 Provinsi Produksi (Ton)

Riau 5,840,000 Sumatera Utara 4,142,085 Jambi 2,242,649 Kalimantan Tengah 2,179,572 Sumatera Selatan 1,714,684 Kalimantan Barat 1,459,835 Kalimantan Selatan 1,060,919

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia 2013

Perkembangan Volume Ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda

Volume ekspor CPO Indonesia ke India relatif stagnan selama periode 1989 hingga 1998, hingga volume ekspor CPO mencapai level terendah sebesar 50 ton pada tahun 1998. Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Pemerintah memberlakukan kebijakan untuk pembatasan ekspor CPO dan peningkatan pajak ekspor CPO dalam rangka memproteksi ketersediaan CPO untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pasca krisis ekonomi, volume ekspor CPO Indonesia ke India terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, volume ekspor CPO Indonesia ke India meningkat signifikan menjadi sebesar 912,116.57 ton, kemudian selama periode tahun 2006 hingga 2010 mengalami peningkatan yang sangat signifikan hingga mencapai level tertinggi pada tahun 2010 sebesar 4,449,537.35 ton. Peningkatan ini juga disebabkan pemerintah Indonesia lebih memfokuskan ekspor CPO ke pasar Asia, karena adanya black campaign terhadap CPO di pasar Eropa.

Gambar 7 Perkembangan volume ekspor CPO Indonesia ke India dan Belanda tahun 1989-2012 Sumber: UN Comtrade 2014 0.00 500,000.00 1,000,000.00 1,500,000.00 2,000,000.00 2,500,000.00 3,000,000.00 3,500,000.00 4,000,000.00 4,500,000.00 5,000,000.00 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Vo lu m e ek sp o r C P O (to n ) Tahun India Belanda

Gambar

Tabel 1  Perkembangan volume neraca perdagangan sektor pertanian tahun 2008- 2008-2012
Gambar 1 Negara Produsen Utama CPO Dunia Tahun 2005-2011
Tabel 3 Pangsa produksi dan konsumsi minyak nabati dunia
Tabel 4  Perkembangan  volume  ekspor  CPO  Indonesia  (Ton)  menurut  negara  tujuan utama tahun 2008-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kendala pelaksanaan grading system remunerasi pada BPR Konvensional di Sidoarjo adalah pemberian insentif yang diberlakukan BPR adalah sama terhadap semua karyawan

Berdasarkan hasil dan analisis data studi kasus tentang kebiasaan belajar siswa SMP Negeri 1 Rantau Pandan Kabupaten Bungo Propinsi Jambi sesuai dengan analisis

Apabila penetuan nilai ini berdasarkan pada nilai hasil tes belajar yang digunakan pada kriterium peserta didik, maka pada hal ini mengandumg arti bahwa nilai yang

Salah satu daerah potensial untuk pertanian adalah Daerah Irigasi Caringin memiliki luas 2776.5 Ha dengan sumber air utama dari sungai Cibareno di Dusun Legok

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Penelitian dan menyusun Laporan

membeli suatu produk tidak didasarkan pada faktor kebutuhan, melainkan lebih1. pada keinginan dan

Pengertian kinerja (performance) menurut Suntoro (1999: 12) adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai

Dalam penelitiannya didapatkan 6 dari 10 studi yang berkaitan dengan aktivitas fisik menyatakan bahwa tidak ada pengaruh aktivitas fisik bagi wanita hamil yang bekerja terhadap