Unggul dalam IPTEK Kokoh dalam IMTAQ
LAPORAN HASIL PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUALITAS
TIDUR PADA PASIEN POST TURP DI RUANG RAWAT INAP
RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
TAHUN 2014
DISUSUN OLEH :
BERNIATI
2012727008
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
ii PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA Penelitian, Februari 2014
Berniati
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien Post TURP Di Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih tahun 2014
VII BAB + 82 Halaman + 8 Tabel + 2 Skema + 4 Lampiran
ABSTRAK
TURP (Trans Urethral Resection of the Prostat) merupakan tindakan operasi
endoskopi standar baku untuk penatalaksanaan BPH (Benign Prostatic Hiperplasia) yang memerlukan tindakan bedah. Dalam pengamatan sehari-hari pasien post TURP mengeluhkan gangguan pola tidur yang berdampak kepada kualitas tidur yang tidak baik. Terganggunya kualitas tidur dikarenakan adanya rasa nyeri post operasi, cemas karena kondisi post operasi dan tindakan perawatan karena memerlukan observarsi ketat selama post operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas kidur pada pasien Post TURP Di Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Sample dalam penelitian ini sebanyak 35 pasien post TURP yang dirawat diruang rawat inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik total sampling. Hasil penelitian menggunakan analisis uji statistik Chi Square dengan batas kemaknaan α = 0,05. Berdasarkan hasil analisa bivariat ada hubungan yang signifikan antara nyeri dengan kualitas tidur dengan nilai P value sebesar 0,001 < α 0,05 dan ada hubungan yang signifikan antara cemas dengan kualitas tidur baik dengan nilai P value sebesar 0,003 < α 0,05. Sedangkan untuk tindakan perawatan tidak ada hubungan yang signifikan dengan kualitas tidur dengan nilai P value sebesar 0,477 > α 0,05. Di harapkan ada manajemen kolaborasi atau tindakan perawatan untuk mengurangi nyeri dan cemas, agar kualitas tidur pasien TURP meningkat.
Daftar Pustaka: 16 (2005 - 2013) Kata Kunci: Kualitas Tidur, TURP
iv Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, sholawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Dengan rahmat dan hidayahnya peneliti dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur
pada pasien post TURP di rumah sakit islam jakarta cempaka putih 2014”. Penulisan
laporan penelitian ini adalah untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Keperawatan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Selama proses pembuatan laporan penelitian ini, peneliti mendapatkan banyak bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga laporan penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
Terlaksananya laporan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada:
1. Bapak Muhammad Hadi, SKM, Mkes. Selaku Dekan FIK-UMJ dan juga selaku pembimbing metodologi riset dalam penelitian ini.
v
bimbingan dan pengarahan dalam penelitian ini.
4. Kepala Ruangan dan teman-teman di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih yang telah membantu dalam penelitian ini.
5. Ibu Dra. Nadjah Halimun. Selaku kepala perpustakaan PSIK-FIK-UMJ yang telah meminjamkan beberapa buku untuk menyelesaikan penelitian ini.
6. Ibunda dan Ayahanda tercinta yang telah membesarkan dan mendidik penulis,
sehingga dapat menjalani hidup ini serta terimakasih atas do’a dan dukungan baik
moril maupun materil yang tiada henti-hentinya yang diberikan kepada peneliti. 7. Suami dan anak-anakku tercinta yang senantiasa memberi motivasi dan semangat. 8. Rekan-rekan FIK Program B yang selalu memberikan masukan, semangat dan
dukungan selama masa perkuliahan dan penyusunan laporan penelitian ini yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu.
Dengan segenap kerendahan hati dan keterbatasan yang dimiliki, peneliti menyadari dalam penelitian ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, untuk itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar dalam penelitian selanjutnya dapat lebih baik atau lebih sempurna.
Wassalamu’alaikum WR. Wb
Jakarta, Februari 2014
vi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR SKEMA ... xii
DAFTAR BAGAN ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Masalah Penelitian... 7 C. Tujuan Penelitian ... 7 1. Tujuan Umum ... 7 2. Tujuan Khusus ... 8 D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Hiperplasia Prostat... 10
1. Definisi ... 10
2. Etiologi ... 11
vii
4. Patofisiologi Hiperplasia Prostat ... 16
5. Komplikasi ... 18
6. Pemeriksaaan Laboratorium dan Diagnostik ... 19
7. Penatalaksanaan Medis pada BPH ... 22
B. Trans Urethral Resection of the Prostat (TURP) ... 25
1. Pengertian ... 25
2. Penatalaksanaan ... 25
3. Perawatan Post TURP ... 27
C. Istirahat Tidur ... 31
1. Definisi tidur ... 31
2. Fisiologi Tidur ... 32
3. Tahapan Siklus Tidur ... 33
4. Kebutuhan Tidur ... 36
5. Gangguan Tidur ... 38
6. Kualitas Tidur ... 39
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi KualitasTidur ... 42
D. Kerangka Teori ... 51
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 52 A. Kerangka Konsep ... 52 B. Hipotesis ... 53 1. Hipotesis Mayor ... 53 2. Hipotesis Minor ... 53 C. Definisi Operasional ... 54
viii
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 57
A. Desain Penelitian ... 57
B. Populasi dan Sampel... 57
1. Populasi ... 57
2. Sampel ... 57
3. Kriteria Sampel ... 59
4. Tehnik Pengambilan Sampel ... 60
C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 60
D. Etika Penelitian ... 60
E. Alat Pengumpulan Data ... 63
F. Pengumpulan data ... 65
G. Pengolahan Data ... 66
H. Analisa Data ... 66
BAB V HASIL PENELITIAN ... 67
A. Analisa Univariat ... 67
B. Analisa Bivariat ... 70
BAB VI PEMBAHASAN ... 74
A. Keterbatasan Penelitian ... 74
B. Hasil Penelitian ... 74
1. Hasil Analisis Univariat ... 74
ix
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
A. Kesimpulan ... 81 B. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Gejala Obstruksi Dan Iritasi ... 13
Tabel 2.2. Penyulit TURP Selama Maupun Setelah Pembedahan ... 26
Tabel 2.3. Skala Nyeri ... 46
Tabel 3.1. Definisi Operasional ... 43 Tabel 5.1. Distribusi Usia Responden Di Ruang Rawat Inap RS
Islam Jakarta Cempaka Putih 2014... Tabel 5.2. Distribusi Pendidikan Dan Pekerjaan Responden Di
Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih 2014... Tabel 5.3. Distribusi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kualitas Tidur Responden Di Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih 2014…...………. Tabel 5.4. Distribusi Kualitas Tidur Responden Di Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih 2014………. Tabel 5.5. Distribusi Berdasarkan Hubungan Nyeri Dengan Kualitas Tidur Responden Di Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih 2014………... Tabel 5.6. Distribusi Berdasarkan Hubungan Cemas Dengan Kualitas Tidur Responden Di Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih 2014...
68 69 70 71 72 68
xi
Tabel 5.7. Distribusi Berdasarkan Hubungan Tindakan Perawatan Nyeri Dengan Kualitas Tidur Responden Di Ruang Rawat Inap RS Islam Jakarta Cempaka Putih 2014... 73
xii
DAFTAR SKEMA
Bagan 2.1. Pengaruh Hiperplasia Prostat Pada Saluran Kemi…..…..8 Bagan 2.2 TAhap-Tahap Siklus Tidur………35
xiii
DAFTAR BAGAN
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Kesediaan Menjadi Responden Lampiran 2 Lembar Informed Consent
Lampiran 3 Lembar Kuesioner Penelitian Lampiran 4 Lembar Uji Validitas dan Reabilitas
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Hiperplasia Prostat Jinak atau BPH (Benign Prostatic Hiperplasia) sampai saat ini masih menjadi problem kesehatan dibidang urologi yang selalu di bahas oleh pakar nasional maupun internasional karena jumlahnya yang semakin meningkat sesuai dengan semakin meningkatnya harapan hidup di dunia termasuk Indonesia (Hasbullah, 2009). Dengan adanya peningkatan harapan hidup, terutama di Indonesia. Maka BPH akan menjadi salah satu penyulit dibidang bedah Urologi yang akan menjadai problem karena masalah kesehatan ini lebih banyak menyerang usia tua atau lansia. Yang tentu saja penanganannya terutama pembedahan akan mempunyai banyak resiko.
Prevalensi BPH pada usia dekade keenam sebesar 43% sedangkan secara mikroskopis prevalensi BPH dimulai pada usia 25-30 tahun walaupun prevalensinya sangat rendah. Setelah usia 40 tahun prevalensinya meningkat secara cepat yaitu pada usia 41-50 tahun sebesar 20%, usia 51-60 tahun sebesar 50% lebih dari 85 tahun prevalensinya lebih dari 90% sedangkan yang mengalami keluhan Low
Urinary Tract Syndrome sekitar 50% nya memerlukan pertolongan dokter termasuk
BPH adalah pertumbuhan jinak pada kelenjar prostat, yang dapat menyebabkan
prostat membesar. Pembesaran ini sering terjadi pada pria diatas 50 tahun, dan merupakan kelainan kedua tersering di jumpai pada klinik urologi di Indonesia. Prevalensi BPH sekitar 30-40%, dimana pada pria usia 50 tahun telah mengalami adanya perubahan pada jaringan prostat, tetapi baru kira-kira 50% nya menimbulkan keluhan klinis. Angka ini meningkat sesuai dengan pertumbuhan umur (Koemini, 2013).
Terapi BPH sering dilakukan dengan tindakan TURP (Trans Urethral Resection of
the Prostat). Di Amerika serikat TURP merupakan prosedur operasi kedua
terbanyak dilakukan dan menelan biaya diperkirakan sekitar $2 milyar dari jumlah 300.000 penderita BPH yang dilakukan prosedur pembedahan (Khoemini, 2013). Sedangkan operasi terbuka di Indonesia masih standar, kecuali di tempat yang sudah ada fasilitas endourologinya, maka tindakan TURP merupakan terapi terpilih. Angka kejadian BPH di indonseia sendiri belum banyak di teliti.
Tetapi sebagai gambaran Hospital Prevalence di dua rumah sakit yaitu di RS Cipto Mangunkusumo, berdasarkan data dari sub bagian bedah urologi tahun 2011-2012, yang dilakukan operasi TURP, terdapat 150 kasus. Berdasarkan data rekam medis di klinik urologi di RS Islam Jakarta, September 2012 – Oktober 2013, terdapat 1176 kasus BPH. Sedangkan antara Januari 2012- Oktober 2013 yang dilakukan operasi TURP sebanyak 222 kasus.
Setelah operasi TURP atau pengerokan prostat dapat terjadi beberapa komplikasi. Adanya komplikasi seperti sindroma TURP, perdarahan, infeksi lokal atau sistemik, menyebabkan pengawasan terhadap klien pasca TURP ditingkatkan (Darmojo,2009). Untuk mengamati dan jika perlu dilakukan penanganan komplikasi maka perlu perawatan khusus. Segera setelah TURP pasien ditampatkan di ruang khusus dengan pengawasan ketat (sering disebut RR atau ruang resusitasi). Hal-hal yang terus dimonitor dalam ruangan ini antara lain tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran, keluhan mual muntah dan gangguan pandangan.Selain itu perlu diamati produksi kateter dan rasa nyeri di perut (Khoemini, 2011). Perawatan pasien post
TURP yang baik akan mempercepat proses penyembuhan dan meminimalkan
komplikasi. Perawatan pasien post TURP selanjutnya dilakukan di ruang perawatan.
Perawatan post TURP diruang perawatan diantaranya adalah tindakan irigasi post
TURP. Irigasi post TURP menggunakan cairan NaCl 0,9% atau sterilized water for
irrigation. Kedua jenis cairan ini lazim digunakan di Indonesia. Setiap rumah sakit memiliki keputusan tersendiri. Kedua jenis cairan ini aman dan sudah ada penelitiannya Di luar negri mungkin terdapat cairan lain seperti glisin, cytal ataupun lainnya tetapi cairan tersebut tidak masuk pasaran Indonesia (Purnomo, 2009).
Jumlah tetesan cairan irigasi untuk hari setelah operasi biasanya tetesan cepat (loading). Hari pertama sekitar 60 tetes permenit. Hari kedua sekitar 40 tetes permenit. Hari ketiga intermiten. Meskipun demikian tetesan dapat berbeda antar pasien disesuaikan kondisi pasien (Khomeini, 2013). Tindakan irigasi tersebut
memerlukan observasi dan monitoring perawat yang terus menerus termasuk di malam hari ketika pasien seharusnya istirahat tidur.
Selain perawatan yang baik untuk mempercepat proses penyembuhan pasien termasuk pasien post op TURP diperlukan istirahat yang cukup. Salah satu istirahat yang diperlukan adalah tidur. Orang yang sedang mengalami sakit membutuhkan istirahat dan tidur lebih dari yang normal. Orang yang dalam keadaan lemah mengeluarkan energi lebih dari biasanya hanya untuk memulihkan kesehatan atau mempertahankan aktifitas hidup sehari-harinya. Sebagai akibat dari keadaan sakit atau karena mengalami peningkatan kelelahan (fatique), individu membutuhkan istirahat dan tidur lebih banyak dari biasanya (Bukit, 2005).
Terdapat berbagai faktor yang turut mempengaruhi kebutuhan tidur. Faktor yang mempengaruhi tidur individu antara lain usia, lingkungan, latihan dan kelelahan, gaya hidup, stress psikologik, alkohol dan stimulan, diet, merokok, motivasi dan keadaan sakit (Potter & Perry, 2009). Pasien pada waktu sakit dan dirawat dirumah sakit selain kebutuhan tidur individu meningkat disatu sisi, dan gangguan pola tidur juga sering dialami akibat kondisi sakit atau rutinitas rumah sakit, disisi lainnya (Potter & Perry, 2009).
Terjadinya gangguan pola tidur pada klien yang diarawat inap dirumah sakit diyakini berpengaruh pada proses penyembuhan (healing) dan pemulihan (recovery) (Potter & Perry, 2005). Hal tersebut terjadi karena secara fisiologis selama tidur
terjadi sintesa protein di dalam tubuh yang memungkinkan terjadinya proses perbaikan.
Gangguan pola tidur merupakan hal yang lazim terjadi pada pasien pasca operasi, seperti yang dilaporkan National cancer institute di Brazil angka kejadian gangguan pola tidur pasca operasi sebesar 30-50%. Dalam pengamatan sehari-hari pasien pasca TURP sering mengalami gangguan tidur pasca tindakan. Menurut Khoemini (2013), tentang, menyimpulkan bahwa angka kejadian pola tidur pada pasca TURP sebesar 41%, gangguan pola tidur pasca TURP berhubungan dengan penurunan kadar Natrium dan lama operasi.
Menurut Azzam (2006) tentang Gambaran Pola Tidur Klien Rawat Inap Pertama
Kali Di Rumah Sakit Islam Jakarta Pusat , menyumpulkan bahwa gangguan pola
tidur terjadi pada klien rawat inap pertama kali, dimana proporsi gangguan pola tidur sebanyak 80% dari 80 responden yang menjalani rawat inap pertama kali. Di sebutkan bahwa jenis gangguan yang paling sering yaitu insomnia yaitu sebanyak 33%, faktor eksternal yaitu suara bising 78.1%. penyebab internal terbesar terjadinya gangguan pola tidur adalah faktor iritasi/nyeri dan ketidak nyamanan sebanyak 73.4%.
Mempertahankan kualitas tidur adalah lebih baik dari pada sekedar mencapai jumlah atau banyaknya jam tidur. Kualitas tidur yang baik ditandai antara lain dengan tidur tenang, merasa segar saat bangun tidur, dan merasa penuh semangat untuk melakukan aktivitas hidup lainnya (Bukit, 2005).
Kualitas tidur berkaitan dengan jenis atau tipe tidur. Secara umum terdapat dua jenis tidur, yaitu tidur gerakan mata cepat (Rapid eye Movement) REM dan tidur tanpa gerakan mata (Non Rapid Eye Movement) NREM. Kualitas tidur (quality of sleep) mengandung arti kemampuan individu untuk dapat tetap tidur dan bangun dengan jumlah tidur REM dan tidur NREM yang sesuai. Sedangkan yang di sebut kuantitas tidur (quantity of sleep) adalah keseluruhan waktu tidur individu (Darmojo, 2009).
Menurut Suryati (2005), tentang Kualitas Tidur dan Faktor-faktor Gangguan Tidur Klien Lanjut Usia yang dirawat Inap di ruang Penyakit dalam Rumah Sakit, Medan 2003, menyimpulkan bahwa mayoritas klien mengalami total jam tidur <5 jam, waktu memulai tidur >60 menit, frekuensi terbangun 3 kali atau lebih, tidur tidak nyenyak, tidak merasa segar pada pagi hari, tidur tidak puas dan mengantuk di siang hari (45%). Secara umum, kualitas tidur klien buruk selama dirawat di rumah sakit (77%). Melalui Uji Paired Test ada perbedaan yang signifikan, dimana kualitas tidur klien di rumah sakit lebih buruk dibandingkan dengan riwayat tidur klien di rumah (p<0.001). gangguan utama dari faktor fisik adalah nyeri, sesak napas, batuk. Tindakan perawat pada malam hari seperti pengukuran tanda vital, pemberian obat-obatan dan kontrol perawat terhadap klien lain mengganggu tidur klien hanya tingkat ringan. Sedangkan dari lingkungan, suara bising, suhu ruangan panas, lampu terlalu terang mengganggu tidur klien pada tingkat ringan sedang. Faktor psikososial seperti cemas dan depresi juga menyebabkan kualitas tidur buruk selama di rumah sakit.
Berdasarkan wawancara singkat dengan 10 pasien post TURP yang terdapat di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, di dapatkan pasien terpasang selang kateter cabang 3 (three way). Tujuh pasien mengatakan bahwa setelah operasi, hampir setiap 2 jam perawat mengganti botol cairan tersebut supaya tetap mengalir dan aktifitas perawatan ini membuat pasien terjaga dan tidak bisa tidur. Pasien juga mengatakan nyeri setelah operasi hampir terjadi sepanjang waktu, efek anti sakit hanya sebentar saja. Pasien merasa cemas kateternya tersumbat bekuan darah karena hal ini menurut pasien akan menimbulkan nyeri sekali ketika dokter atau perawat melakukan tindakan untuk membebaskan sumbatan tersebut.
Dapat disimpulkan 7 dari 10 pasien tersebut mengatakan, ketika malam kondisi paling tidak nyaman bagi pasien Post TURP adalah terpasangnya cairan irigasi, nyeri yang terjadi hampir sepanjang waktu, cemas karena takut tersumbat dan perawat yang selalu datang untuk mengganti cairan, memberikan therapi intra vena atau mengukur tanda-tanda vital. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
B. MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan fenomena diatas dapat dirumuskan masalah penelitian faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014?.
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien Post TURP di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014?.
2. Tujuan Khusus Teridentifikasi :
a. Gambaran karakteristik demografi responden meliputi (Umur, Pendidikan, Pekerjaan) pada pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
b. Gambaran cemas pada pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
c. Gambaran nyeri pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
d. Gambaran tindakan keperawatan pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
e. Gambaran kualitas tidur pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
f. Hubungan faktor cemas dengan kualitas tidur pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
g. Hubungan faktor nyeri dengan kualitas tidur pada pasien Post TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2014.
h. Hubungan faktor tindakan keperawatan dengan kualitas tidur pasien Post
TURP Di Rawat Inap Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih 2014.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk : 1. Ilmu Keperawatan
Sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Post TURP.
2. Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam penyusunan standar asuhan keperawatan pasien dengan perubahan kwalitas tidur terutama pada pasien pada pasien post TURP.
3. Penelitian Keperawatan
Sebagai informasi dasar untuk penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien post TURP.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan konsep dasar yang melandasi penelitian yang dilakukan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien Post TURP.
A. Hiperplasia Prostat 1. Pengertian
Kelenjar Prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretrhra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2009).
Hipertrofi prostat benigna merupakan penyakit pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, ada peningkatan cepat dalam ukuran yang kontinyu sampai usia akhir 30 an. Pertengahan dasawarsa kelima, prostat bisa mengalami perubahan hipertrofi (Sabiston, 2010).
Purnomo (2009), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain : zona periper, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona
periper. Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testoteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif dihidrotestoteron (DHT) dengan bantuan enzim 5a reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung memacu M-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensisntesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan miksi.
2. Etiologi
Hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat. Beberapa hipotesisi yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah (Purnomo, 2009).
a. Teori Dihidrotestoteron
Dihidrotestoteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testoteron di dalam sel prostat oleh enzim 5a-reduktase dengan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
b. Ketidakseimbangan antara Estrogen-Progesteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testoteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testoteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
c. Interaksi Stoma-Epitel
Purnomo (2009), membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui mediator (growth factor) tertentu setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat.Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan anatar laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
e. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel yang telah mengalami opotosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel-sel stem, yaitu sel-sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi pada sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatannya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
3. Gambaran Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif.
Tabel 2.1. Gejala Obstruksi dan Iritasi (Purnomo, 2009)
Obstruksi Iritasi
Hesitansi
Pancaran miksi lemah
Intermitensi
Miksi tidak puas
Menetes setelah miksi
Frekuensi
Nokturia
Urgensi
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh faktor pencetus, antara lain :
1) volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol,kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
2) Massa Prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
3) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot destrusor atau yang dapat mempersempit buli-buli antara lain : golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
c. Gejala di luar saluran kemih
Adanya hernia inguinalis atau hemoroid, kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdomenom.
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005), dibedakan menjadi 4 stadium :
1) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. 4) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flowin kontinen).
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini : 1) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a) Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum. b) Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum. c) Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum. d) Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum. e) Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
2) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a) Normal : tidak ada sisa b) Grade I : sisa 0-50 cc c) Grade II : sisa 50-150 cc d) Grade III : sisa > 150 cc
e) Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing
4. Patofisiologi Hiperplasia Prostat
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen urethra prostatika dan mengahmbat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke gagal ginjal. Hiperplasia prostat
Penyempitan lumen uretra posterior Tekanan intra vesikal tinggi
Buli-buli Ginjal dan Ureter
- Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko ureter - Trabekulasi - Hidroureter
- Seluala - Hidronefrosis
- Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis - Gagal ginjal
Skema 2.1Bagan pengaruh hiperplasia prostat pada saluran kemih (Purnomo, 2009)
Obstruksi yang diakibatkan hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada
BPHrasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan padaBPH terjadi
peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini masa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.
5. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada BPH, antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, karena urine tidak mampu meleawati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal(Sjamsuhidajat, 2005).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
6. Pemeriksaan Labolatorium dan Diagnostik
a. Pemeriksaan Labolatorium (Purnomo, 2009) 1) Urinalisis
Pemeriksaan ini meliputi uji :
a) Makroskopik dengan menilai warna, bau dan berat jenis urine. b) Kimiawi meliputi pemeriksaan derajat keasamaan/PH, protein, dan
gula dalam urine.
c) Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder), atau bentukan lain dalam urine.
2) Pemeriksaan darah a) Darah rutin
Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin, lekosit, Laju Endap Darah, hitung jenis leukosit dan hitung trombosit.
b) Faal ginjal
Beberapa uji faal ginjal yang sering diperiksa adalah pemeriksaan kadar kreatinin, kadar ureum dan BUN (Blood Urea Nitrogen), dan klirens kreatinin. Klirens kreatinin menunjukan kemampuan filtrasi ginjal. Kadar klirens normal pada orang dewasa adalah 80-120 ml/menit.
c) Elektrolit : Na, K, Ca, P
Kadar natrium sering diperiksa pada pasien yang menjalani tindakan reseksi prostat transurethra (TURP). Selama TURP banyak cairan
(H2O) yang masuk ke sirkulasi sistemik sehingga terjadi hiponatremia.
d) Faal, Hepar, Faal Pembekuan dan Profil Lipid
Pemeriksaan faal hepar bertujuan untuk menacari adanya metastasis suatu keganasan atau untuk melihat fungsi hepar secara umum. e) Pemeriksaan penanda tumor (Tumor Marker) antara lain adalah :
PAP (Prostatic Acid Phosphatase) dan PSA (Prostate Specific Antigen) yang sering berguna dalam membantu menegakkan
diagnosis karsinoma prostat, AFP (α Feto Protein) dan Human Choironic Gonadotropin (β HCG) untuk mendeteksi adanya tumor testis jenis non seminoma, dan pemeriksaan VMA (Vanyl Mandelic
Acid) dalam urine untuk mendeteksi tumor neuroblastoma.
f) Kulture urine
Pemeriksaan kulture urine diperiksa jika ada dugaan infeksi saluran kemih.
g) Sitologi urine
Pemeriksaan sitologi urine merupakan pemeriksaan sitopatologi sel urotelium yang terlepas dan terikut urine. Derajat perubahan sel-sel itu diklasifikasikan dalam 5 khas (1) normal, (2) sel-sel-sel-sel yang mengalami peradangan, (3) sel-sel atipik, (4) diduga menjadi sel-sel ganas, dan (5) sel-sel yang sudah mengalami perubahan morfologi menjadi sel ganas.
h) Patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomik adalah pemeriksaan histopatologis yang diambil melalui biopsi jaringan ataupun melalui operasi. Pada pemeriksaan ini dpaat ditentukan suatu jaringan normal, mengalami proses inflamasi, pertumbuhan benigna, atau terjadi pertumbuhan maligna.
b. Pemeriksaan Diagnostik (Purnomo, 2009)
1) USG (Ultrasonografi)
Ultrasonografi banyak diapakai untuk mencari kelainan-kelainan pada ginjal, buli-buli, prostat, testis, dan pemeriksaan pada kasus keganasan. 2) Pielografi Intra vena (PIV) atau Intravenous Pyelograpy (IVP).
Intra Venous Urography atau urografi adalah foto yang dapat menggambarkan keadaan sistem urinaria, pencitraan ini dapat menunjukan adanya kelainan anatomi dan kelainan fungsi ginjal.
3) Sistografi
Dari sistogram dapat dikenali adanya tumor atau bekuan darah didalam buli-buli yang ditunjukan oleh adanya filling defect, adanya robekan buli-buli yang terlihat sebagai ekstravasasi kontras ke luar dari buli-buli, adanya divertikel buli, buli neurogenik, dan kelainan pada buli-buli yang lain.
7. Penatalaksanaan Medis pada BPH
Menurut Sjamsuhidjat (2005), dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinisnya :
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa, seperti alfazosin dan terazosin.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksiendoskopi melalui uretra (trans uretra).
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
1) Pembedahan
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan
atau terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gelaja obstruksi dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat transurethra (TURP), insisis prostat transurethra (TUIP atau BNI). Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien
BPH yang :
a) Tidak menunjukan perbaikan setelah terapi medikamentosa b) Mengalami retensi urine
c) Infeksi saluran kemih berulang d) Hematuria
e) Gagal ginjal
f) Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah.
Macam-macam pembedahan, menurut Purnomo (2009), antara lain : a) Pembedahan terbuka
Beberapa tehnik operasi protatektomi terbuka adalah metode dari millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melaui pendekatan retropubik infravesika, freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperinal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih dikerjakan saat ini, paling invasif dan
paling efisien sebagai terapi BPH. Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat sangat besar (>100 gram).
b) Pembedahan Endourologi
Saat ini TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan diseluruh dunia. Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, massa mondok lebih cepat, memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan memakai tenaga laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi (TURP), insisi (TUIP), atau evaporasi.
c) Tindakan Invasif Minimal
Selain tindakan invasif seperti yang telah disebutkan diatas, saat ini sedang dikembangkan tindakan invasif minimal yang terutama ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan invasif minimal dianataranya :
(1) Termoterapi
(2) TUNA(Transurethral Needle Ablation of the Prostate)
(3) Pemasangan STENT (Prostacath)
(4) HIFU (High Intesnsity Focused Ultrasound)
B. Transurethral Resection Prostate (TURP) 1. Pengertian TURP
Saat ini TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan diseluruh dunia. Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, massa mondok lebih cepat, memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral Resection of the Prostate) atau dengan memakai tenaga laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi (TURP) (Purnomo, 2009).
Reseksi transurethra terhdap prostat memungkinkan ahli bedah menghilangkan obstruksi dengan morbiditas minumum dan perjalanan pasca bedah menjadi relatif singkat. Dengan menggunakan resektoskop yang digunakan saat ini, ahli bedah mereseksi jaringan prostat dengan gelung kawat (Sabiston, 2010).
2. Penatalaksanaan TURP
Reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan di reseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah cairan berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadai hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia
relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bardikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Disamping itu beberapa operator memasang sistomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan cairan non ionik selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di Indonesia lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi (Purnomo, 2009). Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut.
Tabel 2.2 Penyulit TURP, selama maupun setelah pembedahan (Purnomo,2009).
Selama Operasi Pasca Bedah Dini Pasca Bedah Lanjut
Perdarahan Perdarahan Inkontionensia Sindrom TURP Infeksi lokal atau sistemik Disfungsi ereksi
Ejakulasi retrogard Perforasi Struktur Uretra
3. Perawatan Post TURP
a. Monitoring tanda-tanda vital,tingkat kesadaran, mual dan muntah
Setelah operasi TURP atau pengerokan prostat dapat terjadi beberapa komplikasi. Untuk mengamati dan jika perlu dilakukan penanganan komplikasi maka perlu perawatan khusus. Segera setelah TURP pasien ditampatkan di ruang khusus dengan pengawasan ketat (sering disebut RR atau ruang resusitasi).Hal-hal yang terus dimonitor dalam ruangan ini antara lain tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran, keluhan mual muntah dan gangguan pandangan.Selain itu perlu diamati produksi kateter dan rasa nyeri di perut.(Sabiston, 2010).
Tekanan darah diusahakan dalam kisaran normal. Tekanan darah yang terlalu tinggi (sistole diatas 150mmHg) akan menyebabkan pembuluh darah terbuka sehingga pendarahan setelah operasi akan berlanjut. Hal ini akan ditandai dengan kateter yang merah pekat. Jika keadaan berlanjut akan berakhir dengan shock dan kematian. tekanan darah yang rendah (sistole kurang dari 80mmHg) akan berakibat perfusi jaringan tidak baik (Brunner Suddarth’s, 2013). Monitoring tanda-tanda vital dan observasi kondisi cairan yang keluar dari kateter pada pasien post TURP dengan demikian merupakan salah satu aktivitas perawatan yang harus dilakukan secara teratur oleh perawat.
Frekuensi nadi yang tinggi mungkin merupakan tanda rasa nyeri yang tidak tertangani dengan analgetik (analgetik kurang adekuat) atau kompensasi akibat volume intravaskularyang kurang (akibat pendarahan). Untuk
membedakan kedua hal tersebut dapat dilakukan dengan bertanya kepada pasien apakah terasa nyeri, memberikan infus 400cc NaCl 0,9% (sebagai chalange test). Jika nadi turun setelah chalange test maka peningkatan frekuensi nadi karena kekurangan volume intra vasa dan memerlukan resusitasi. Jika tetap tinggi mungkin diperlukan peningkatan analgetik (Sjamsuhidajat, 2013). Nyeri pada post TURP dapat dirasakan pasien dari nyeri yang ringan hingga berat sehingga memerlukan obat-obatan untuk meredakannya.
Suhu tubuh harus dijaga dalam keadaan hangat dengan warmer blanket ataupun selimut tebal. Suhu ruangan yang dingin akan mengakibatkan pasien hipotermi dan sebagai respon metabolisme akan ditingkatkan oleh tubuh
(Brunner Suddarth’s)
Monitor kesadaran, mual muntah dan gangguan pandangan yang tergangu mungkin karena ketidakseimbangan elektrolit, umumnya karena kadar natrium yang rendah. Jika volume intravaskular yakin baik, dapat diberikan furosemide intravenous bolus. Dengan pemberian diuretik ini diharapkan terjadi diuresis/kencing (Sjamsuhidajat, 2013). Produksi kencing akan mengurangi volume intravaskular, tetapi elektrolit natrium relatif tidak ikut kedalam kencing. Sehingga kadar natrium akan naik (natrium tetap tetapi jumlah pelarut berkurang maka kadar akan naik). Koreksi selanjutnya dilakukan setelah hasil laboratorium ada. Gangguan pandangan umumnya
bersifat sementara, meskipun demikian kondisi ini jarang terjadi (Sabiston 2010).
b. Observasi rasa nyeri dan perdarahan
Rasa nyeri di perut dapat bermakna adanya gumpalan darah yang banyak di kandung kencing, sumbatan kateter, berlubangnya kandung kencing akibat operasi atau analgetik yang tidak adekuat. Gumpalan darah yang banyak dapat menyebabkan nyeri jika gumpalan sangat banyak sehingga kandung kencing sangat teregang (Potter & Perry, 2009)
Nyeri karena sumbatan kateter karena cairan irigasi dari penampung tetap menetes sedangkan aliran kateter kebawah tak lancar, sehingga kandung kencing melendung. Kita akan curiga sumbatan kateter dan clot/jendalan darah berkumpul di kandung kencing jika kandung kencing teraba penuh (daerah suprapubik melendung dan mengeras). Untuk kedua masalah ini dapat diselesaikan dengan spooling dengan NaCl 0,9% (Sabiston, 2010)
Kandung kencing berlubang dicurigai saat terasa nyeri yang menjalar hingga ke pundak (bahu), dan saat kateter disumbat dengan irigasi tetap dijalankan kandung kencing tidak penuh. Adekuat tidaknya analgetik dapat diketahui dari keluhan pasien dan frekuensi nadi (Brunner Suddarth’s, 2013).
c. Monitoring irigasi post TURP
Irigasi setelah TURP menggunakan cairan NaCl 0,9% atau sterilized water
for irrigation. Kedua jenis cairan ini lazim digunakan di Indonesia.Setiap
rumah sakit memiliki keputusan tersendiri. Kedua jenis cairan ini aman dan sudah terdapt penelitian yang mengungkapkannya. Di luar negri mungkin terdapat cairan lain seperti glisin, cytal ataupun lainnya tetapi cairan tersebut tidak masuk pasaran Indonesia (Purnomo, 2009).
Jumlah tetesan cairan irigasi untuk hari setelah operasi biasanya guyur. Hari pertama sekitar 60 tetes permenit. Hari kedua sekitar 40 tetes permenit. Hari ketiga intermiten. Meskipun demikian tetesan dapat berbeda antar pasien disesuaikan kondisi pasien (Khomeini, 2013). Tindakan irigasitersebut memerlukan observasi dan monitoring perawat yang terus menerus termasuk di malam hari ketika pasien seharusnya istirahat tidur.
d. Monitoring kadar Hb dan Elektrolit
Lakukan pengambilan sampel darah sekitar 3 cc akan segera dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kadar hemoglobin darah serta natrium dan kalium serum. Jika secara klinis diketahui adanya penurunan kadar hemoglobin yang berat, misalnya saat operasi terjadi pendarahan yang hebat atau saat di ruang resusitasi kateter merah pekat terus maka dapat dilakukan transfusi dengan PRC (packed red cell) (Sjamsuhidajat, 2013).
Setelah diketahui kadar hemoglobin dan elektrolit segera lakukan koreksi jika diperlukan. Koreksi Hemoglobin mulai dilakukan jika kadar hemoglobin dibawah 10gr%. Kadar natrium serum dibawah 120mEq/L segera lakukan koraksi cepat dengan natrium 3%intravena, 120 hingga 130mEq/L lakukan koreksi lambat intravena dengan NaCl 0,9%. Diatas 130 mEq/L lakukan koreksi dengan kapsul garam (Sjamsuhidajat, 2013).
C. Istirahat Tidur 1. Defenisi Tidur
Tidur adalah suatu multifase proses yang aktif. Pusat tidur yang utama di dalam tubuh terletak di hipotalamus. Hipotalamus mensekresi hipokreatin (oreksin) yang menyebabkan sesorang terjaga dan juga mengalami tidur
rapid eye movement. Prostaglandin D2, L-triptofan, dan faktor pertumbuhan
membantu mengatur tidur (Huether, 2006).
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2010).
Menurut (Darmojo, 2011), tidur merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih keras
selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas disiang hari.
Tidur adalah bagian dari penyembuhan dan perbaikan (Huether, 2006).
2. Fisiologi Tidur
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam - tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan bintang pada siang hari dan tidurnya mereka pada malam hari (Darmojo, 2011).
Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja (Darmojo, 2011).
Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular
activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang
terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2009).
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan
saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan
visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2009).
3. Tahapan Siklus Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid
Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari
empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM. Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2009).
a. Tidur stadium satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat.
b. Tidur stadium dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun. Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti.
c. Tidur stadium tiga
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya. Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit.
d. Tidur stadium empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik.
Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di siang hari. Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun (Darmojo, 2011).
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat. Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2009).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:
Skema 2.2. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2009).
Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2009).
Siklus tidur dan bangun (irama sirkadian), polanya adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian hipotalamus yang disebut nukleus supra-chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur
Tahap pratidur
NREM tahap I NREM tahap II
Tidur REM
NREM tahap IV NREM tahap III
NREM tahap III
temperatur badan, cortisol, GH (growth hormone) dan lain-lain yang memegang peran untuk bangun dan tidur
.
NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur. Jika
pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, cortisol dan GH sehingga terbangun. Jika malam tiba NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang di produksi oleh glandula pineal (suatu bagian kecil di otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi dan penurunan temperatur badan dan serta kortisol. Kadar melatonin darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.
4. Kebutuhan Tidur
Ketika seseorang istirahat, mereka biasanya merasa santai secara mental, bebas dari kecemasan, dan tenang secara fisik. Ketika seseorang istirahat, mereka dalam keadaan aktivitas mental, fisik, dan rohani yang membuat mereka merasa segar, diremajakan, dan siap untuk melanjutkan kegiatan hari itu (Potter & Perry, 2011).
Penyakit dan perawatan kesehatan rutin yang asing, dengan mudah mempengaruhi kebiasaan istirahat dan pola tidur seseorang yang masuk rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Pengobatan ini
membatasi klien di tempat tidur untuk mengurangi kebutuhan fisik dan psikologis pada tubuh (Potter & Perry, 2011).
Durasi tidur dan kualitas bervariasi antara orang-orang dari semua kelompok umur. Misalnya, satu orang merasa cukup beristirahat dengan tidur 4 jam, sedangkan yang lain memerlukan waktu 10 jam.
Keluhan kesulitan tidur meningkat seiring dengan meningkatnya umur. Lebih dari 50% lansia yang berusia 65 tahun atau lebih melaporkan mempunyai masalah dengan tidur. Episode tidur REM cenderung meningkat. Ada penurunan progresif dalam tahap 3 dan 4 NREM. Beberapa lansia hampir tidak memiliki tidur tahap 4 atau tidur nyenyak.
Seorang lansia terbangun lebih sering pada malam hari, dan memerlukan lebih banyak waktu untuk mereka agar dapat tidur kembali. Kecenderungan untuk tidur siang tampaknya semakin meningkat seiring bertambahnya usia karena sering terjaga pada malam hari (Potter & Perry, 2011).
Orang yang dalam keadaan lemah mengeluarkan energi lebih dari biasanya hanya untuk memulihkan kesehatan atau mempertahankan aktifitas hidup sehari-harinya. Sebagai akibat dari keadaan sakit atau karena mengalami peningkatan kelelahan (fatique), individu membutuhkan istirahat dan tidur lebih banyak dari biasanya (Bukit, 2005).
Faktor yang mempengaruhi tidur individu antara lain usia, lingkungan, latihan dan kelelahan, gaya hidup, stress psikologik, alkohol dan stimulan, diet, merokok, motivasi dan keadaan sakit (Potter & Perry, 2009). Pasien pada waktu sakit dan dirawat dirumah sakit selain kebutuhan tidur individu meningkat disatu sisi, dan gangguan pola tidur juga sering dialami akibat kondisi sakit atau rutinitas rumah sakit, disisi lainnya (Potter & Perry, 2009).
5. Gangguan Tidur
Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukan, penyebab gangguan tidur merupakan gabungan banyak faktor, baik fisik, psikologis, pengaruh obat-obatan, kebiasaan tidur, maupun penyakit komorbis lain yang diderita. Menurut American Academy of Sleep (2005), gangguan tidur terdiri dari : a. Insomnias (Insomnias).
b. Gangguan tidur yang berkaitan dengan nafas (Sleep-Related Breathing
Disorders).
c. Hipersomnia bukan karena gangguaan tidur berkaitan dengan nafas (Hpersomnias Not Due to a Sleep-Related Breathing Disoreders).
d. Gangguan irama sirkadian tidur (Circadian Rhythm sleep Disorders). e. Parasomnia (Parasomnias).
f. Gangguan tidur berkaitan dengan gerakan (Sleep-Related Movement
Disorders).
g. Gejala-gejala terisolasi, tampak sebagai variasi normal, isu yang tak terselesaikan (Isolated Synpoms, Apparently Varians, and Unresolved
h. Gangguan tidur lainnya (Other Sleep Disorders).
Terjadinya gangguan pola tidur pada klien yang diarawat inap dirumah sakit diyakini berpengaruh pada proses penyembuhan (healing) dan pemulihan (recovery) (Potter & Perry, 2005). Hal tersebut terjadi karena secara fisiologis selama tidur terjadi sintesa protein di dalam tubuh yang memungkinkan terjadinya proses perbaikan
Menurut Khoemini (2013), tentang Hubungan Penurunan Kadar Natrium Terhadap Gangguan Pola Tidur Pasca TURP (Transurehral Resection Of The
Prostat), menyimpulkan bahwa angka kejadian pola tidur pada pasca TURP
sebesar 41%, gangguan pola tidur pasca TURP berhubungan dengan penurunan kadar Natrium dan lama operasi.
6. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Potter & Perry, 2009). Kualitas tidur didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi (American Psychiatric Association, 2005).
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur. Persepsi mengenai kualitas tidur itu sangat bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau efesiensi tidur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda adalah 80-90% (Darmojo, 2011).
Kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur baik sangat penting dan vital untuk hidup sehat semua orang (Potter & Perry, 2009).
Menurut Bukit, (2005) kualitas tidur yang baik ditandai antara lain tidur tenang, merasa segar saat bangun tidur, dan merasa penuh semangat untuk melakukan aktivitas hidup lainnya. Kualitas tidur berkaitan dengan jenis atau tipe tidur. Secara umum terdapat dua jenis tidur, yaitu tidur gerakan mata cepat (Rapid eye Movement) REM dan tidur tanpa gerakan mata (Non Rapid
Eye Movement) NREM. Kualitas tidur (quality of sleep) mengandung arti
REM dan tidur NREM yang sesuai. Sedangkan yang di sebut kuantitas tidur (quantity of sleep) adalah keseluruhan waktu tidur individu (Darmojo, 2009).
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemerikasaan Diagnotik yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan delta (Darmojo, 2011).
Selain itu, menurut Potter & Perry (2009), kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Di bawah ini akan dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang dialami.
a. Tanda fisik
Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing.
b. Tanda psikologis
Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun.
7. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur
Kualitas tidur dapat dinilai dengan melihat masa laten tidur, lama waktu tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, gangguan di siang hari, dan kualitas tidur umum (Potter & Perry, 2009). Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur seringkali faktor tunggal bukanlah satu-satunya penyebab untuk masalah tidur. Faktor fisiologis, psikologis, dan faktor lingkungan sering mengubah kualitas dan kuantitas tidur (Potter & Perry, 2009), faktor-faktor tersebut adalah :
a. Obat dan Substansinya
Kantuk, insomnia dan kelelahan sering terjadi sebagai akibat langsung dari obat umum yang diresepkan. Obat ini mengubah pola tidur dan menurunkan kewaspadaan di siang hari, yang kemudian menjadi masalah bagi individu.
b. Gaya Hidup
Rutinitas seseorang dapat mempengaruhi pola tidur. Perubahan lain dlaam rutinitas yang mengganggu pola tidur meliputi melakukan pekerjaan berat yang tidak biasa, terlibat dalam kegiatan sosial sampai larut malam, dan mengubah waktu makan malam.
c. Pola Tidur yang Tak Lazim
Kantuk patologis terjadi ketika individu perlu atau ingin terjaga. Orang yang mengalami kurang tidur sementara sebagai hasil dari aktivitas malam yang aktif atau jadwal kerja yang diperpanjang, biasanya akan merasa mengantuk keesokan harinya.
d. Stres Emosional
Khawatir atas masalah-masalah pribadi atau situasi sering mengganggu tidur. Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan sering menyebabkan frustasi ketika tidak dapat tidur. Stres juga menyebabkan seseorang berusaha untuk dapat tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau tidur terlalu lama. Stres yang berkelanjutan menyebabkan kebiasaan tidur yang tidak baik.
e. Lingkungan
Lingkungan fisik dimana seseorang tidur secara signifikan mempengaruhi kemampuan untuk memulai dan tetap tidur. Ventilasi yang baik sangat penting untuk tidur nyenyak. Ukuran, kenyamanan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Jika seseorang biasanya tidur dengan individu lain, maka tidur sendiri akan sering menyebabkannya terjaga. f. Latihan dan Kelelahan
Seseorang yang cukup lelah biasanya dapat tidur dengan nyenyak, terutama jika kelelahan tersebut merupakan hasil kerja atau latihan yang menyenangkan.
g. Makanan dan Asupan Kalori
Makanan besar, berat, dan/atau makanan pedas pada malam hari sering mengakibatkan gangguan pencernaan yang mengganggu tidur. Kafein, alkohol, dan nikotin yang dikonsumsi di malam hari menghasilkan insomnia.
h. Faktor Nyeri (faktor fisiologis) 1) Pengertian
Nyeri adalah sesuatu hal yang bersifat subjektif, tidak ada dua orang sekalipun yang mengalami kesamaan rasa nyeri dan tidak ada dua kejadian yang menyakitkan yang mengakibatkan respon atau perasaan yang sama pada individu (Potter & Perry, 2011).
Nyeri adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, bersifat subyektif dan berhubungan dengan pancaindera, serta merupakan suati pengalaman emosional yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial, atau digambarkan sebagai suatu kerusakan/cedera (Potter & Perry, 2011).
2) Penyebab nyeri
Stimulus suhu, kimia, atau mekanik, biasanya dapat menyebabkan nyeri. Energi dari stimulus-stimulus ini dapat diubah menjadi energi listrik. Perubahan energi ini dinamakan tranduksi. Tranduksi dimulai di perifer yang terdapat di pancaindera, maka akan menimbulkan