• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENALARAN MORAL 1. Pengertian penalaran moral

Menurut Gunarsa, moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti adat istiadat, kebiasaan atau tatacara dalam kehidupan (Martani, 1995). Moralitas dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut (Hasan, 2006).

Aspek penting dari moralitas menurut Gibss adalah bagaimana penalaran moral individu karena penalaran moral menentukan suatu tindakan yang akan dilakukannya. Penalaran moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks (Papalia dkk, 2007).

Menurut Kohlberg, penalaran moral merupakan penilaian terhadap nilai, penilaian sosial yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Kematangan penalaran moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral (Glover, 1997).

(2)

tindakan apa yang akan dilakukannya. Jadi, penalaran moral diindikasikan sebagai aspek penting dari kepribadian.

Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian penalaran moral, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran moral adalah kemampuan/konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.

2. Komponen penalaran moral

Rest membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal, yang dimulai dari penginterpretasian situasi sampai dengan pelaksanaan atau pengimplementasiannya (Kurtines & Gerwitz, 1992). Adapun 4 komponen utama penalaran moral yang dikemukakan oleh Rest antara lain :

a. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam suatu situasi tertentu terpengaruh oleh pelbagai tindakan tertentu).

b. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang, merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran dan keadilan, pertimbangan moral, penerapan nilai moral sosial).

c. Mengevaluasi pelbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau yang bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang

(3)

(mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, perilaku mempertahankan diri).

d. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot moral (mencakup ”ego-strength” dan proses pengaturan diri).

3. Perkembangan penalaran moral

Sejalan dengan kematangan perkembangan intelektual dan pengalaman seseorang, pemahaman terhadap masalah moralitas semakin lebih berkembang. Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang dibandingkan dengan struktur sebelumnya (Muslimin, 2004).

Melihat pentingnya perkembangan penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence Kohlberg, memperluas penelitian Piaget tentang penalaran aturan konvensi sosial, menjadi tiga tingkat penalaran moral yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional (Hasan, 2006).

Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).

a. Tingkat Prakonvensional

Pada tahap ini peraturan masih bersifat eksternal dan belum terinternalisasi. Anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal

(4)

ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan). Atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.

Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan

Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.

Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.

(5)

b. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Aturan dan norma sosial dipatuhi untuk mendapatkan persetujuan orang lain atau untuk memelihara aturan sosial. Penghargaan dan penolakan sosial mengganti hadiah dan hukuman yang konkret sebagai motivator perilaku etik. Tingkat ini mempunyai dua tahap.

Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi ”Anak Manis” Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau ”alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan ”dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi ”baik”. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.

(6)

Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban

Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

c. Tingkat Pascakonvensional

Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Ada dua tahap pada tingkat ini.

Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial legalistis

Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak

(7)

dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban.

Tahap 6) : Orientasi prinsip etika universal

Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis.

Keenam tingkat penalaran moral tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.

(8)

4. Faktor yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral

Pada dasarnya, perkembangan penalaran moral dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kohlberg menjelaskan faktor-faktor penting yang dapat merangsang peningkatan tahap perkembangan penalaran moral, antara lain (Muslimin, 2004) : a. Kesempatan alih peran

Alih peran berarti mengambil sikap dari sudut pandang orang lain atau menempatkan diri pada posisi orang lain.

b. Iklim moral

Iklim moral yang merangsang peningkatan tahap perkembangan penalaran moral adalah lingkungan sosial yang memiliki potensi untuk dipersepsi lebih tinggi dari tahap penalaran moral anggotanya.

c. Konflik sosio-kognitif

Konflik sosio-kognitif adalah adanya pertentangan antara struktur penalaran moral seseorang dengan struktur lingkungan yang tidak mungkin dipersepsi dengan menggunakan dasar struktur tahap penalaran moral yang dimiliki orang tersebut.

Kohlberg juga menambahkan bahwa penalaran moral dipengaruhi oleh tahap perkembangan kognitif yang tinggi (seperti pendidikan) dan pengalaman sosiomoral (seperti, kesempatan mengambil peran) (Glover, 1997). Pendidikan adalah prediktor yang kuat dari perkembangan penalaran moral, karena lingkungan pendidikan yang lebih tinggi menyediakan kesempatan, tantangan dan lingkungan yang lebih luas yang dapat merangsang perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif berhubungan erat dengan intelegensi seseorang. Orang

(9)

yang tingkat perkembangan kognitifnya tinggi, cenderung memiliki intelegensi yang tinggi pula. Intelegensi berperan dalam perkembangan moral seseorang, karena intelegensi mendasari struktur individu. Untuk mencapai tahap penalaran moral yang lebih tinggi diperlukan kemampuan berpikir serta menyesuaikan diri. Keduanya merupakan komponen dari intelegensi (Martani, 1995).

Ada faktor lain yang mempengaruhi penalaran moral yaitu sifat dasar manusia yang memiliki kemampuan untuk menahan dan mengontrol dirinya, sehingga cenderung melakukan tindakan yang bermoral. Kemampuan ini disebut dengan kontrol diri. Dengan adanya kontrol diri, orang memiliki standar mengenai apa yang harus dilakukannya sehingga ia akan berusaha memonitor perilakunya dan melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan standarnya itu. Kontrol diri ini dapat dipengaruhi oleh religiusitas pada berbagai cara, dan kebanyakan memberi hasil yang positif. Religiusitas merupakan sumber standar moral yang penting untuk mengarahkan usaha-usaha kontrol diri seseorang (Geyer & Baumeister, 2005).

Faktor yang juga dapat mempengaruhi penalaran moral adalah peran orang tua. Kurangnya bimbingan dari orang tua dan penekanan kedisiplinan yang hanya terletak pada pemberian hukuman saat berlaku salah, tanpa memberikan penjelasan mengenai salah tidaknya suatu perilaku, dapat menghambat proses perkembangan penalaran moral. Dilaporkan bahwa anak yang mempunyai IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian moral yang lebih matang daripada anak laki-laki (Hurlock, 1980). Berbeda dengan Hurlock,

(10)

Rest (1979) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang konsisten dan jelas dengan penalaran moral,

Penalaran moral tidak akan berkembang tanpa adanya rangsangan, karena rangsangan merupakan hal yang penting bagi perkembangan penalaran moral. Beberapa faktor yang telah dikemukakan sebelumnya, merupakan rangsangan untuk perkembangan penalaran moral seseorang.

B. RELIGIUSITAS 1. Pengertian religiusitas

Menurut Driyarka, kata ”religi” berasal dari bahasa Latin ”religio” yang akar katanya adalah ”religare”, yang berarti mengikat (Astuti, 1999). Anshari mengatakan bahwa istilah religi (religion, bahasa Inggris) dan diin (al-diin, bahasa Arab), sering disamartikan dengan agama. Walaupun secara etimologis diartikan sendiri-sendiri, namun secara terminologis dan teknis istilah di atas berinti makna sama (Diana, 1999). Dengan demikian dapat juga disamakan pengertian keberagamaan dan pengertian religiusitas (religiosity). Agama, dalam pengertian Glock dan Stark, adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate

meaning). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ancok dan Suroso,

agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak (Ancok & Suroso, 1994). Menurut Jalaluddin (1996), religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku

(11)

sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Ini sejalan dengan pernyataan Kibuuka (2005) yang menyatakan bahwa religiusitas merupakan perasaan spiritual yang berkaitan dengan model perilaku sosial dan individual, yang membantu seseorang mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya.

Gladding, Lewis dan Adkins mengemukakan bahwa religiusitas merupakan tujuan dan intensitas keyakinan religius seseorang, termasuk keyakinan akan adanya Tuhan, hubungan antara keyakinan dan tindakan personal, usaha religius, dan konsistensi antara keyakinan dan tindakan dalam istilah ”orang religius” pada umumnya. Individu yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi internal, melihat tujuan akhir dari kehidupan mereka. (Glover, 1997). Religiusitas juga merupakan sumber standar moral yang penting untuk mengarahkan usaha-usaha kontrol diri seseorang (Geyer & Baumeister, 2005).

Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian religiusitas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah sistem yang berdimensi banyak, perasaan spiritual, dan keyakinan religius yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama dan membantunya mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya.

2. Dimensi Religiusitas

Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir, bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi

(12)

dalam hati seseorang. Berdasarkan hal tersebut, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi (Ancok & Suroso, 1994).

Glock dan Stark menyatakan bahwa ada lima dimensi religiusitas, yaitu : a. Dimensi keyakinan (ideologis).

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.

b. Dimensi peribadatan atau praktik agama (ritualistik).

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Praktik-praktik keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting, yaitu :

1) Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.

2) Ketaatan. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi.

c. Dimensi pengalaman atau penghayatan (eksperiensial).

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu

(13)

akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental.

d. Dimensi pengetahuan agama (intelektual).

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi.

e. Dimensi pengamalan (konsekuensial).

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ”kerja” dalam pengertian teologis digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama (Ancok & Suroso, 1994).

Ancok dan Suroso (1994) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang membagi religiusitas menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu memiliki kesesuaian dengan Islam, diantaranya :

(14)

a. Dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah.

Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam keberislaman, isi dimensi ini menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar. b. Dimensi peribadatan atau praktik agama disejajarkan dengan syariah.

Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi praktik agama menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di mesjid di bulan puasa, dan sebagainya.

c. Dimensi pengalaman atau penghayatan disejajarkan dengan ihsan.

Dimensi pengalaman (atau penghayatan) atau ihsan menunjuk pada seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tenteram dan bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat pertolongan atau peringatan dari Allah.

(15)

d. Dimensi pengetahuan agama disejajarkan dengan ilmu.

Dimensi pengetahuan agama atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun iman dan rukun Islam), hukum-hukum Islam, sejaran Islam, dan sebagainya.

e. Dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak.

Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerja sama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum-minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.

Dari penjelasan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa konsep religiusitas versi Glock dan Stark melihat keberagamaan atau religiusitas bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tapi mencoba memperhatikan segala dimensi. Untuk memahami Islam dan umat Islam, konsep yang tepat adalah konsep yang mampu

(16)

memahami adanya beragam dimensi dalam berislam, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : (208), yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh nyata bagimu” (Albaqarah :208).

Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus didasarkan pada Islam. Berdasarkan pertimbangan itulah, peneliti menggunakan kelima dimensi di atas dalam pengukuran religiusitas.

3. Perkembangan religiusitas

Sama halnya seperti penalaran moral yang mengalami proses perkembangan, maka religiusitas juga berkembang sejalan dengan usia seseorang. James W. Fowler dalam buku Stages of Faith mengembangkan teori tentang tahap perkembangan dalam keyakinan seseorang sepanjang rentang kehidupan manusia. Fowler membaginya kedalam enam tahap antara lain (Hasan, 2006):

a. Intuitif-proyektif (intuitive-projective)

Pada tahap kepercayaan intuitif-proyektif (usia 3-7 tahun), masih terdapat karakter kejiwaan yang belum terlindungi dari ketidaksadaran. Anak masih belajar untuk membedakan khayalannya dengan realitas sesungguhnya.

b. Mythikal-literal (mythical-literal)

Pada tahap mythikal-literal (usia sekolah), seseorang telah mulai mengembangkan keimanan yang kuat dalam kepercayaannya. Anak juga

(17)

sudah mulai mengalami prinsip saling ketergantungan dalam alam semesta, namun ia masih melihat kekuatan kosmik dalam bentuk seperti yang terdapat pada manusia (anthomorphic).

c. Sintetik-konvensional (synthetic-conventional)

Pada tahap sintetik-konvensional (usia remaja), seseorang mengembangkan karakter keimanan terhadap kepercayaan yang dimilikinya. Ia mempelajari sistem kepercayaan dari orang lain di sekitarnya, namun masih terbatas pada sistem kepercayaan yang sama.

d. Individuatif-reflektif (individuative-reflective)

Pada tahap individuatif-reflektif (usia 20-40), individu mulai mengembangkan tanggung jawab pribadi terhadap kepercayaan dan perasaannya.

e. Konjungtif (conjungtive)

Pada tahap konjungtif (usia 40-60), seseorang mulai mengenali berbagai pertentangan yang terdapat dalam realitas kepercayaannya. Terjadi transendensi terhadap kenyataan dibalik simbol-simbol yang diwariskan oleh sistem.

f. Universal (universalizing)

Pada tahap universal (usia 60 ke atas), terjadi sesuatu yang disebut pencerahan. Manusia mengalami transendensi pada tingkat pengalaman yang lebih tinggi sebagai hasil dari pemahamannya terhadap lingkungan yang konfliktual dan penuh paradoksal.

Tahap perkembangan keyakinan seseorang yang dikemukakan oleh Fowler dapat dilihat pada tabel 1.

(18)

Tabel 1. Tahap Perkembangan Religiusitas Fowler

No Dari Sampai Kepercayaan Karakteristik Kebenaran Perbandingan 1 0 7 Intuitif-proyektif Khayalan adalah realitas Konsekuen terhadap diri sendiri Kepercayaan vs ketidakpercayaan, praoperasional 2 7 11 Mythikal-literal Menerjemahkan kisah agama secara literal Pertukaran yang adil Pra sampai konkret operasional 3 11 20 Sintetik-konvensional Patuh terhadap kepercayaan orang lain/ paparan kecil terhadap alternatif Bahaya pada hubungan/ apa yang dikatakan orang lain Formal operasional dan moralitas konvensional 4 20 40 Individuatif-reflektif Memperluas usaha untuk menemukan jalan sendiri Kesejahteraan diri sendiri dan orang lain Formal operasional dalam perkembangan 5 40 60 Konjungtif Kesadaran terhadap keterhinggaan dan keterbatasan; terbuka terhadap paradoks dan pandangan orang lain Penengah

6 60 Mati Universal Transendensi dari sistem kepercayaan khusus/ lingkungan yang konfliktual, bukan paradoks Kesatuan dengan segalanya

Sumber : Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian, 2006

4. Prinsip pengukuran religiusitas dari perspektif Islam

Religiusitas atau kehidupan beragama amat penting di dalam kehidupan manusia karena religiusitas memberi pengaruh yang besar terhadap tingkah laku, personaliti, ketenangan emosi, keyakinan diri manusia, serta kebahagiaan hidup.

(19)

penting. Pengukuran religiusitas dari perspektif Islam dapat dibuat, namun mempunyai prinsip tertentu yang perlu dipatuhi agar pengukuran menjadi tepat dan selaras dengan ajaran Islam (Manap dkk, 2007).

Menurut Manap dkk (2007), prinsip-prinsip pengukuran religiusitas dari perspektif Islam adalah:

a. Hukuman atau penilaian religiusitas dari perspektif Islam individu atau kelompok adalah berasaskan kepada aspek zahir (overt/tampak) saja.

b. Pengukuran religiusitas dari perspektif Islam dapat dibuat, namun penilaian sebenarnya dan pengukuran yang paling tepat tentang diri seseorang atau kelompok adalah di sisi Allah.

c. Pengukuran religiusitas dari perspektif Islam adalah berasaskan manifestasi iman, islam dan ihsan.

d. Iman perlu dibuktikan dengan amalan.

e. Penghayatan syariat Islam yang sempurna melahirkan akhlak yang mulia. f. Simbol yang mempunyai kaitan dengan religiusitas tidak semestinya

mempunyai interpretasi yang sama bagi individu yang berbeda.

g. Standar pengukuran religiusitas dari perspektif Islam adalah Al-Quran dan sunnah.

(20)

C. REMAJA

1. Pengertian remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980).

Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks (2002), remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Berdasarkan uraian beberapa tokoh tentang pengertian remaja, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir, yang dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

(21)

2. Tugas perkembangan remaja

Menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya (Hurlock, 1999). Adapun tugas perkembangan pada masa remaja meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

f. Mempersiapkan karir ekonomi.

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.

Menurut Hurlock (1999), salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan kelompok darinya dan kemudian membentuk perilaku agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan

(22)

merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja harus bisa mengendalikan perilakunya sendiri. Bagi kebanyakan remaja, tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Dalam kenyataannya, ada yang berhasil menjalaninya dan ada juga yang tidak berhasil. Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak Setiap tugas perkembangan memegang peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal.

3. Ciri-ciri masa remaja

Menurut Siegler masa remaja merupakan masa mempertanyakan dan memeriksa kembali sistem keyakinan, dimana perasaan dan kepercayaan religius dievaluasi kembali. Selain itu, remaja menemukan kemampuan kognitif yang baru, yang membuat mereka memformulasikan prinsip-prinsip dan pandangan personal mengenai benar dan salah. Mereka merealisasikan kemungkinan yang satu dengan yang lain. Mereka mulai berpikir bagaimana dunia dapat berubah dan mempertanyakan makna keadilan dan moralitas (Kaplan, 2000).

Menurut Monks (2002), ada tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan. Masing-masing tahap memiliki karakteristik, antara lain:

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari ketidaksetujuan sosial atau penolakan dan mulai membentuk kode moral sendiri tentang benar

(23)

dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan buruk apa yang ditolak orang lain. Pada tahap ini, sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul, karena ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima saat masih kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja berada dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Keraguan semacam ini juga jelas dalam sikap terhadap masalah mencontek, pada waktu remaja duduk di sekolah menengah atas. Karena hal ini sudah agak umum, remaja menganggap bahwa teman-teman akan memaafkan perilaku ini, dan membenarkan perbuatan mencontek bila selalu ditekan untuk mencapai nilai yang baik agar dapat diterima di sekolah tinggi dan yang akan menunjang keberhasilan dalam kehidupan sosial dan ekonomi di masa-masa mendatang. Corak keagamaan pada tahap ini ditandai dengan adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Pada tahap ini, mulai tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada, namun belum dapat mempertanggungjawabkannya secara pribadi.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Individu mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman

(24)

atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja sudah mulai memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Pada tahap ini, remaja mulai menyadari bahwa keyakinan religius penting bagi mereka. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa usia remaja terbagi atas tiga tahap, yaitu remaja awal, madya, dan akhir dimana masing-masing tahap memiliki karakteristik tersendiri.

D. PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP PENALARAN MORAL REMAJA YANG BERAGAMA ISLAM

Banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja. Berbagai perubahan itu membutuhkan proses penyesuaian diri. Penyesuaian diri tersebut dapat dilakukan dengan menjalani tugas-tugas perkembangan selama masa periode ini. Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja harus bisa mengendalikan perilakunya sendiri. Bagi kebanyakan remaja, tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Dalam kenyataannya, ada yang berhasil menjalaninya dan ada juga yang tidak berhasil (Hurlock, 1980). Oleh karena itu, Medinnus dan Dusek menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang menentukan bagi

(25)

Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang. Gibbs dan neo-Kohlbergian lainnya mengemukakan bahwa aspek penting dari moralitas adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2007). Menurut Kohlberg, penalaran moral merupakan penilaian terhadap nilai, penilaian sosial yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Kematangan penalaran moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Penalaran moral itu dipengaruhi oleh sifat dasar manusia yang disebut dengan kontrol diri. Dengan adanya kontrol diri, orang memiliki standar mengenai apa yang harus dilakukannya sehingga ia akan berusaha memonitor perilakunya dan melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan standarnya itu. Kontrol diri ini dapat dipengaruhi oleh religiusitas pada berbagai cara, dan kebanyakan memberi hasil yang positif. Religiusitas merupakan sumber standar moral yang penting untuk mengarahkan usaha-usaha kontrol diri seseorang (Geyer & Baumeister, 2005). Hasil penelitian Ancok dkk menunjukkan bahwa religiusitas remaja dan kegiatan mereka dalam aktivitas keagamaan memiliki pengaruh yang cukup berarti terhadap kepribadiannya. Makin tinggi religiusitas dan makin aktif dalam kegiatan keagamaan makin baik pula kepribadiannya, dan begitu pula sebaliknya (Astuti, 1999).

Agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan (Ancok & Suroso, 1994). Setiap agama pasti mengandung ajaran-ajaran kebenaran, begitu juga dalam Islam. Dalam Islam, moral (akhlak) mulia adalah tujuan utama dari risalah Islam.

(26)

Moral (akhlak) mulia merupakan bukti dan buah keimanan yang benar, dan implementasi berbagai bentuk ibadah dalam Islam, karena tanpa moral (akhlak) ibadah hanya menjadi ritual dan gerakan yang tidak memiliki nilai dan manfaat (Yakan, 2007). Pandangan ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Gladding, Lewis dan Adkins. Penelitian ini menggunakan 210 partisipan dan hasilnya menunjukkan ada korelasi signifikan antara penalaran moral dan religiusitas, dimana p < 0.01. Penelitian ini mengindikasikan bahwa individu yang religiusitasnya tinggi cenderung lebih berorientasi internal, melihat tujuan akhir dari kehidupan mereka. Religiusitas yang tinggi tampak pada adanya penempatan terhadap konsep-konsep nilai yang lebih tinggi. Sementara itu, individu yang memiliki religiusitas yang lebih rendah, melihat harapan dan makna yang lebih sedikit dari kehidupan mereka, yang membedakan diri mereka dari masyarakat. Mereka cenderung menempatkan nilai-nilai ”hedonistik” seperti, kesenangan, kenyamanan, dan kegembiraan, karena penundaan kepuasan dianggap tidak bernilai dan kehidupan dipandang sebagai kesempatan untuk memuaskan hasrat/keinginan dasar pada saat tertentu. Pada dasarnya, mereka lebih berorientasi individualis dan sering berprasangka pada orang lain (Glover, 1997).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif antara religiusitas dengan penalaran moral, dimana bila semakin tinggi religiusitas seseorang maka penalaran moralnya juga semakin, dan begitu sebaliknya. Namun, tidak sepenuhnya religiusitas berkorelasi positif dengan penalaran moral. Hal ini didasarkan pada penelitian Sapp dan Gladding yang memperoleh nilai korelasi r =

(27)

-0.26 dengan p < 0.05, yang berarti bahwa ada korelasi negatif antara religiusitas dan penalaran moral. Penelitian Glover terhadap 210 partisipan juga menunjukkan hasil yang sama bahwa ada korelasi signifikan antara religiusitas dan penalaran moral, dimana nilai korelasi r adalah sebesar -0.2 (Glover, 1997).

Bertentangan dengan pernyataan di atas, Kohlberg menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang jelas diantara penalaran moral dan religiusitas, karena moralitas dan religiusitas merupakan dua area yang berbeda pada diri manusia dan keduanya tidak bisa disatukan. Dalam pembuatan suatu keputusan moral yang berperan adalah argumen rasional terhadap prinsip keadilan, sementara penalaran religius didasarkan pada wahyu yang ada. Sementara itu, Richards dan Davison menyatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara religiusitas dengan penalaran moral. Menurut Wahrman, hubungan antara penalaran moral dan religiusitas itu tergantung pada tingkat dogmatisme dan afiliasi seseorang. Dari penelitian yang dilakukannya terhadap kelompok-kelompok religius, dia menemukan bahwa ada hubungan yang lemah antara penalaran moral dengan dogmatisme (Glover, 1997).

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut “Ada pengaruh religiusitas terhadap penalaran moral remaja yang beragama Islam."

Gambar

Tabel 1. Tahap Perkembangan Religiusitas Fowler

Referensi

Dokumen terkait

Masing-masing rencana aksi mitigasi emisi GRK akan dilaksanakan oleh masing-masing lembaga/instansi yang terkait seperti yang dijabarkan pada Bab III dan Bab V. Sementara,

Seseorang yang marah terhadap oranglain disebabkan ia menganggap bahwa orang itu bersalah terhadap dirinya. Orang yang marah bisa menunjukkan tingkah laku agresif,

Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan Mengenai Pemanfaatan Informasi Laporan Realisasi Anggaran di Lingkungan Pemerintahan Studi kasus Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan

Kemampuan ice breaking tidak sekedar menjalankan permainan-permainan, namun juga penting untuk memilih kata-kata yang menarik dan tepat untuk menciptakan peserta yang

a) Berkas pengesahan perakitan dan atau data teknik pembuatan sebagaimana diuraikan di atas dan dokumen teknik yang terkait dengan fondasi, pemipaan, dan lain-lain. b)

(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan STPD sebagaimana

Event-driven Process Chain(2) Tindakan Medis Bed Alat Medis Obat- obatan X Pelayanan Bedah Pelayanan Lab PK Pelayanan Radiologi V Pelayanan Medis Selesai Dilakukan XOR Pasien

Keterampilan Menyusun RPP sesuai dengan kaidah-kaidah BK Pengamatan Tes tertulis Penugasan Lembar pengamatan Pilihan ganda Rubrik penilaian  Modul  Bahan Tayang 