• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyaknya kemunculan gagasan pembangunan perkotaan saat ini merupakan reaksi terhadap permasalahan perkotaan global yang sudah sedemikian kompleks. Salah satunya yang telah populer adalah konsep kota kreatif (The

Creative City). Konsep ini lahir dari pandangan beberapa ahli mengenai

ketidakberhasilan paradigma pembangunan lama dalam memecahkan permasalahan perkotaan. Hal ini ditegaskan oleh Landry (2008), sebagai berikut: “We cannot solve 21st-century problems with 19th-century mindsets: the

dynamics of cities and the world urban system have changed too dramatically”.

Munculnya gagasan kota kreatif ini kemudian disebut sebagai cara kota-kota di dunia beradaptasi dalam menghadapi abad ke-21. Mengingat, bahwa saat ini lebih dari setengah penduduk dunia hidup di perkotaan. Pada kasus negara-negara di Eropa menunjukkan sudah lebih dari 75% penduduk tinggal di kawasan perkotaan dan pada negara berkembang sudah mencapai 50%. Padahal pada tahun 1980 hanya berkisar pada angka 29% di seluruh dunia (Landry, 2008). Hal ini menunjukkan perkembangan penduduk dunia begitu cepat yang kemudian diikuti dengan segenap permasalahannya.

Untuk menanggapi hal itu, Landry (2008) dan Florida (2005) memberi pandangan bahwa kepadatan penduduk yang tinggi seharusnya tidak melulu menjadi sumber permasalahan. Mereka menegaskan bahwa sejatinya manusia justru merupakan sumber daya yang penting di perkotaan. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa sebuah kota akan bisa lebih antisipatif terhadap permasalahan yang muncul jika manusianya mendapatkan jaminan kenyamanan hidup. Dengan demikian akhirnya masyakakat perkotaan bisa memberi kontribusi yang baik terhadap kotanya, baik dari sisi produktifitas ekonomi (ekonomi kreatif), maupun kemampuan memecahkan permasalahan kota. Oleh karena itu, sebuah kota seharusnya mampu mengoptimalkan kreativitas masyarakat untuk menggantikan sumber daya yang lain. Bisa dikatakan bahwa benang merah dari gagasan kota

(2)

kreatif adalah mengenai upaya perencanaan kota strategis yang menekankan pada persoalan bagaimana manusia bisa berpikir, berencana dan bertindak kreatif di kota. Intinya, gagasan ini tentang ekplorasi mengenai bagaimana manusia bisa hidup layak di kota dengan imajinasi dan bakatnya masing-masing.

Terkait hal itu, beberapa fakta yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut adalah data yang didapatkan melalui survey rutin yang dilakukan di Inggris yang menyatakan bahwa lebih dari 80% orang ingin hidup di perdesaan dan dari sejumlah orang itu hanya 4% dari mereka yang akhirnya memutuskan untuk tinggal di perdesaan (Landry, 2008). Artinya, orang-orang yang tinggal di kota pada dasarnya bukan karena keinginannya, namun kebutuhan. Kota telah menyediakan segalanya. Paling utama tentu peluang bisnis yang lebih menjanjikan serta kemudahan akses sarana prasarana, yang notabene tidak dimiliki perdesaan. Sebaliknya, dari segi keinginan untuk kehidupan yang nyaman tentulah perdesaan yang lebih memungkinkan. Oleh karena itu, saat ini tantangannya adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai perdesaan di kawasan perkotaan, yang meliputi rasa memiliki yang kuat (sense of place and belonging), jaminan keamanan, keterbukaan, toleransi, ramah tamah dan sebagainya. Hal ini tentu tidak lepas dari semakin sulitnya mendapatkan nilai-nilai manusiawi tersebut di kawasan perkotaan yang semakin sesak.

Untuk memenuhi kebutuhan akan nilai-nilai tersebut, dari sisi keruangan salah satunya bisa dipenuhi dengan menghadirkan ruang publik yang memadai di tengah perkotaan. Menurut Landry (2008) hal ini juga menjadi salah satu aspek dalam mewujudkan kota kreatif. Kualitas manusia perkotaan ditentukan juga oleh ketersediaan ruang publik di perkotaan. Hal ini menyangkut pada kualitas interaksi sosial, penyaluran kegemaran, kebutuhan keindahan yang pada akhirnya memberi rasa nyaman bagi masyarakat untuk berkreativitas, harapannya kemudian berujung pada peningkatan produktifitas. Dalam konteks kota kreatif, Evans, dkk (2006) kemudian menyebutnya sebagai ruang kreatif publik. Pengalaman keberhasilan dari kasus kota-kota dunia, seperti Toronto dan Barcelona menunjukkan mengenai bagaimana ruang perkotaan menjadi ruang

(3)

kreatif publik yang memberi kebahagiaan sekaligus menambah rasa cinta masyarakat terhadap kotanya.

Penegasan lainnya mengenai ruang publik dan kreativitas manusia dinyatakan juga oleh Landry dan Bianchini (1995) bahwa ruang publik yang baik adalah ruang publik yang mampu menjadi katalisator masyarakat untuk melakukan kegiatan kreatif, seperti museum, galeri, perpustakaan, taman kota dan ruang publik lainnya. Dengan adanya ruang publik, masyarakat bisa berinteraksi, berkumpul, berekreasi, maupun melakukan kegiatan kreatif. Hal ini juga ditegaskan dengan pernyataan Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dalam acara Talkshow pada rangkaian kegiatan Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI), di Jakarta, 22 November 2012, yang mengatakan bahwa ruang terbuka publik di perkotaan berperan sebagai wadah interaksi sosial bagi masyarakat, dan melalui beragam interaksi yang terjadi mampu merangsang terjadinya proses kreatif1. Kemudian disusul pernyataan dari Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa penyediaan ruang publik di kota penting untuk menunjang iklim ekonomi kreatif, karena dalam ruang publik tersebut banyak kegiatan kreatif yang dapat dilakukan2. Pernyataan senada juga dinyatakan oleh Ridwan Kamil, penggagas Bandung Creative City Forum (BCCF) yang mengatakan bahwa ruang publik yang diperuntukkan sebagai arena bermain menjadi satu hal yang penting untuk merangsang warga kota agar lebih kreatif3.

Dalam konteks Indonesia, sudah terdapat beberapa kota yang sering disebut sebagai kota kreatif. Kota Bandung dengan geliat ekonomi kreatifnya sering disebut-sebut sebagai pelopor. Bisa dilihat dari fisik perkotaan dan kemajuan ekonomi kreatifnya, yang meliputi kemajuan pesat factory outlet (FO), musik indie dan aktivitas anak muda lainnya. Kemudian, Kota Yogyakarta

      

1 Dikutip dari Website Resmi Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum pada artikel

berjudul “RTH sebagai Ruang Publik Pembangun Kreativitas” 23 November 2012 http://www.penataanruang.net/detail_b.asp?id=2192 diakses pada 1 Mei 2013 Pukul 16:12

2 Ibid.

3 Dikutip dari tulisan Idhar Resmadi pada artikel berjudul “Ridwan Kamil: Merangsang Ruang Bermain yang

Kreatif bagi Kota” 26 Oktober 2011

(4)

sebagai kota pelajar juga potensial sebagai kota kreatif dengan beberapa aspek pendukungnya, yaitu keberadaan tenaga kerja kreatif (Creative Class), keterbukaannya terhadap pendatang dari luar, latar belakang historis serta seni budayanya. Kota Surabaya juga sepertinya tengah mengoptimalkan kreativitas perkotaan dengan menambah ruang-ruang kreatif publik di tengah perkotaan untuk memberikan keindahan kota dan sebagai sarana bermain masyarakatnya. Selain ketiga kota tersebut, Kota Denpasar sebagai ibukota Provinsi Bali ternyata tidak mau kalah. Dalam visi pembangunannya secara formal dicanangkan “Terwujudnya Kota Kreatif yang Berbasis Budaya Unggulan”. Hal itu tentu cukup beralasan, mengingat kota Denpasar merupakan ibukota Propinsi Bali yang sangat identik dengan kekayaan kreativitas berupa seni dan budaya. Pengembangan kota kreatif di Kota Denpasar dianggap sebagai langkah yang tepat untuk menjaga identitas lokal masyarakat yang kreatif. Seiring dengan itu, saat ini Pemerintah Kota Denpasar sedang gencar mensosialisasikan city branding Kota Denpasar yang bertajuk “Denpasar, The Heart of Bali” yang menghiasi setiap iklan pariwisata. Hal ini terobosan yang cukup baik dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dalam upaya mewujudkan kota kreatif Denpasar.

Meskipun secara eksplisit terlihat visi tersebut cenderung pada basis kebudayaan unggulan saja, namun tidak ada salahnya sisi keruangan juga seharusnya menjadi pertimbangan penting bagi Pemerintah Kota Denpasar sebagai pemangku kebijakan. Keberaniannya untuk mencantumkan kata kunci kota kreatif dalam visi pembangunan secara formal tentu perlu diapresiasi. Dengan melihat potensi Kota Denpasar dengan latar belakang historis dan ciri khas masyarakat yang kreatif, rasanya sangat memungkinkan Kota Denpasar mampu memenuhi kriteria pengembangan kota kreatif yang dicetuskan oleh para ahli. Landry (2008) menjelaskan keseluruhan ada tujuh prasyarat untuk mewujudkan kota kreatif dari berbagai aspek, yaitu: kualitas personal; kepemimpinan; keragaman jenis dan bakat manusia; budaya organisasi; identitas lokal; ruang perkotaan dan fasilitas; serta dinamika jejaring. Selain itu, Evans, dkk (2006) juga memberikan beberapa aspek penting dari kota kreatif yang didapatkan dari pengalaman Toronto dan New York, antara lain: kualitas manusia yang

(5)

kreatif; dukungan dari wirausaha dan inovasi kreatif untuk peningkatan perekonomian; ruang sebagai wadah kegiatan kreatif sekaligus menjadi stimulan masyarakat untuk berkreativitas; dukungan kebijakan politik yang terkandung dalam visi pembangunan; serta konektivitas inrastruktur yang baik.

Salah satu yang menarik dari Kota Denpasar untuk dikaji lebih lanjut adalah keberadaan taman kota yang bernama Lapangan Puputan Badung. Lokasinya di titik 0 km Kota Denpasar sangat strategis menjadi ruang kreatif publik, yaitu sebuah tempat bagi masyarakat untuk berekreasi, mencari inspirasi, berinteraksi sosial dan melakukan kegiatan kreatif secara bebas tanpa ada batasan tertentu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan ruang kreatif publik sedemikian pentingnya dalam kualitas kreativitas masyarakat. Lapangan Puputan Badung yang berlatarbelakang historis yang sangat kental, dimana pada tahun 1906 merupakan medan pertempuran Perang Puputan saat ini berubah menjadi taman kota indah yang selalu ramai dikunjungi masyarakat. Lokasinya yang strategis juga sering digunakan sebagai setting pagelaran kesenian maupun festival yang diselenggarakan Pemerintah Kota Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang tersebut ditarik beberapa rumusan masalah penelitian, yaitu dijabarkan sebagai berikut:

1. Pengembangan kota kreatif berorientasi pada peningkatan sumber daya manusia berupa kreativitas manusia

2. Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai manusiawi berupa keamanan, keterbukaan, toleransi dan ramah tamah di perkotaan sebagai cikal bakal tumbuhnya kreativitas masyarakat 

3. Salah satu prasyarat yang dianjurkan dalam pengembangan kota kreatif adalah tersedianya ruang kreatif publik  

4. Kota Denpasar dalam visi pembangunannya mencanangkan “Terwujudnya Kota Kreatif yang Berbasis Budaya Unggulan”. Hal ini kemudian bisa diartikan bahwa Kota Denpasar membutuhkan ruang kreatif publik

(6)

5. Salah satu potensi yang dimiliki Kota Denpasar adalah Lapangan Puputan Badung berupa taman kota yang berlokasi strategis dan selalu ramai dikunjungi masyarakat setiap hari. Lapangan Puputan Badung dipandang berpotensi sebagai ruang kreatif publik bagi Kota Denpasar

6. Hal tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, apakah Lapangan Puputan Badung sudah sesuai dengan prinsip ruang kreatif publik?

Berdasarkan rumusan masalah tersebut penelitian mengenai Lapangan Puputan Badung sebagai ruang kreatif publik bagi Kota Denpasar dirasa perlu untuk dilakukan. Penelitian ini ditujukan untuk melakukan verifikasi aspek ruang kreatif publik pada Lapangan Puputan Badung sebagai ruang kreatif publik dan menjabarkan faktor-faktor utama dalam ruang kreatif publik.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pada penelitian yang diberi judul “Lapangan Puputan Badung sebagai

Ruang Kreatif Publik bagi Pengembangan Kota Kreatif Denpasar” ini

dirumuskan dua pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Sejauh mana Lapangan Puputan Badung memenuhi prinsip ruang kreatif publik?

2. Faktor apa saja yang menjadi kepentingan pengunjung dalam aspek ruang kreatif publik?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:

1. Untuk memverifikasi aspek ruang kreatif publik pada Lapangan Puputan Badung.

2. Untuk menjabarkan faktor-faktor utama yang menjadi kepentingan pengunjung dalam aspek ruang kreatif publik.

1.5 Manfaat Penelitian

(7)

1. Bagi dunia akademik, menambah literatur mengenai konsep ruang kreatif publik yang selanjutnya bisa dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Bagi pemerintah, memberi pertimbangan kepada Pemerintah Kota Denpasar mengenai ruang kreatif publik untuk menunjang visinya sebagai kota kreatif.

3. Bagi masyarakat, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi merawat dan menjaga ruang kreatif publik.

1.6 Batasan Penelitian

Dalam lingkup areal, batasan penelitian ini adalah pada area Lapangan Puputan Badung yang disebut juga lokasi penelitian. Secara temporal, penelitian ini dilakukan pada bulan Juni tahun 2013. Dalam lingkup substansi, penelitian ini dibatasi oleh aspek ruang kreatif publik yang diverifikasi dengan penilaian pengunjung terhadap kondisi di lokasi penelitian, kemudian memunculkan faktor-faktor utama yang menjadi kepentingan pengunjung terhadap ruang kreatif publik.

1.7 Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa judul penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini, sehingga memantapkan langkah untuk melakukan penelitian yang berfokus pada ruang kreatif publik ini. Penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, dijabarkan sebagai berikut:

1. Manisyah, Miranti. 2009. Kota Kreatif : Penelusuran terhadap Konsep

Kota Kreatif melalui Pengamatan Studi Kasus. Skripsi Teknik

Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.

Penelitian ini membahas mengenai konsep kota kreatif di London yang dikomparasikan dengan kota kreatif Bandung. Kemudian disimpulkan sejauh mana Bandung dapat mengambil London sebagai sebuah contoh pengembangan kota kreatif. Penelitian dilakukan dengan studi literatur dengan pendekatan kualitatif-kuantitatif. Dalam penelitian ini disebutkan juga mengenai pentingnya ruang kreatif publik untuk mewujudkan kota kreatif.

(8)

2. Fitriyana, Freska. 2012. Pengembangan Bandung Kota Kreatif Melalui

Kekuatan Kolaboratif Komunitas. Magister Perencanaan Wilayah Dan

Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan Dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK-ITB).

Penelitian ini terfokus pada kekuatan kolaborasi komunitas Bandung

Creative City Forum (BCCF) dalam pengembangan kota kreatif Bandung

dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya kekuatan kolaboratif komunitas. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Kekuatan komunitas kreatif merupakan salah satu faktor yang penting untuk mewujudkan kota kreatif. Disinggung juga mengenai kebutuhan ruang untuk berkumpul bagi komunitas kreatif.

3. Irawati, Ira. 2011. City as Idea Generator for Creative Industries (Case

Study: Bandung’s Creative Industry, Clothing and Indie Music

Industries). Paper ini dipublikasikan dalam 3rd World Planning Schools

Congress, Perth, 4-9 July 2011.

Penelitian ini terfokus pada peranan sektor industri kreatif dan musik indie dalam perkembangan kota kreatif Bandung.

4. Anderson, Kristin, dkk. 2008. Bandung Creative City Movements : An

Exploration of the Social and Spatial Implications of Policy Transfer.

Penelitian ini terfokus pada identifikasi dampak spasial dan sosial akibat kebijakan perkembangan kota kreatif Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

5. Hadi, Rohman. dkk. 2012 Evaluasi Indeks Kenyamanan Taman Kota

(Lapangan Puputan Badung, Denpasar, Bali). E-Jurnal

Agroekoteknologi Tropika Vol.1, No.1, Juli 2012. Universitas Udayana. Penelitian ini merupakan penilaian kenyamanan di Lapangan Puputan

Badung dari indeks kenyamanan Thermal Humidity Index (THI), berupa suhu, kelembaban udara dan vegetasi. Pengambilan data persepsi kenyamanan pengunjung juga dilakukan dengan metode tabulasi dan uji

(9)

chi square. Disimpulkan bahwa Lapangan Puputan Badung termasuk

dalam kondisi nyaman sebagai ruang publik di Kota Denpasar.

6. Evans, Graeme, dkk. 2006. Strategies for Creative Spaces and Cities :

Lesson Learned. London Metropolitan University dan Munk Centre for

International Studies, University of Toronto.

Penelitian ini merupakan laporan terkait keberhasilan pengembangan kota kreatif Toronto dan London. Fokus dari penelitian adalah strategi ruang kreatif untuk merangsang industri kreatif yang dilakukan oleh Toronto dan London.

7. Adi, Luwi Wahyu. 2010. Ruang Kreatif Wonosono. Skripsi Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Penelitian ini berfokus pada perkembangan dinamika kegiatan dan menemukan konsep ruang kreatif di alun-alun Wonosobo, Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode induktif –kualitatif.

8. Sambodo, Prio. 2013. Pola Persebaran dan Tipologi Amenitas

berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja Kreatif (Creative Class) di Perkotaan Yogyakarta. Skripsi Program Studi Perencanaan Wilayah dan

Kota, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Penelitian ini mengindentifikasi pola persebaran amenitas yang digunakan tenaga kerja kreatif di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dan menkonstruksikan tipologi karakreristik amenitas yang digunakan berdasarkan usia dan jenis pekerjaan. Penelitian ini menggunakan metode deduktif kuantitatif kualitatif.

Untuk lebih mudah memahami perbedaan antara penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini bisa digambarkan dalam tabel berikut ini:

(10)

Tabel 1.1

Penelitian Sebelumnya Mengenai Kota Kreatif

Penulis Judul Fokus Metode Lokasi

Miranti Manisyah, 2009 Kota Kreatif : Penelusuran terhadap Konsep Kota Kreatif melalui Pengamatan Studi Kasus Komparasi pengembangan konsep kota kreatif di London dan Bandung Studi literatur dengan pendekatan kualitatif-kuantitatif. London-Bandung Freska Fitriyana, 2012. Pengembangan Bandung Kota Kreatif Melalui Kekuatan Kolaboratif Komunitas. Kolaborasi komunitas Bandung Creative City Forum (BCCF) dalam pengembangan kota kreatif Bandung dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya kekuatan kolaboratif komunitas. Metode kualitatif. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling Kota Bandung Ira Irawati, 2011 City as Idea Generator for Creative Industries (Case Study: Bandung’s Creative Industry, Clothing and Indie Music Industries).

Peran sektor industri kreatif dan musik indie dalam perkembangan kota kreatif Bandung Kualitatif Kota Bandung Kristin Anderson, dkk, 2008 Bandung Creative City Movements : An Exploration of the Social and Spatial Implications of Policy Transfer.

Identifikasi dampak spasial dan sosial akibat kebijakan perkembangan kota kreatif Bandung. Kualitiatif Kota Bandung Rohman, Hadi, dkk. 2012 Evaluasi Indeks Kenyamanan Taman Kota (Lapangan Puputan Badung, Denpasar, Bali). . Penilaian kenyamanan di Lapangan Puputan Badung dari indeks kenyamanan Thermal Humidity Index (THI), berupa suhu, kelembaban udara dan vegetasi

Metode tabulasi dan uji chi-square Lapangan Puputan Badung, Denpasar, Bali Graeme Evans, dkk, 2006 Strategies for Creative Spaces and Cities : Lesson

Strategi ruang kreatif untuk merangsang industri kreatif yang

Toronto dan London

(11)

Learned. dilakukan oleh Toronto dan London

Luwi Wahyu Adi, 2010 Ruang Kreatif Wonosono. Perkembangan dinamika kegiatan dan menemukan konsep ruang kreatif alun-alun Wonosobo, Jawa Timur Induktif-kualitatif Wonosobo, Jawa Timur Sambodo, Prio. 2013. Pola Persebaran dan Tipologi Amenitas berdasarkan Karakteristik Tenaga Kerja Kreatif (Creative Class) di Perkotaan Yogyakarta. Identifikasi pola persebaran amenitas yang digunakan tenaga kerja kreatif dan karakteristik amenitas yang digunakan

berdasarkan usia dan jenis pekerjaan Deduktif- kuantitatif-kualitatif Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Sumber : Konstruksi Peneliti, 2013

                                     

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Kerja Pembangunan Daerah

Dalam rangka akuntabilitas pelayanan publik, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pendayagunaan aparatur negara bidang pelayanan publik melalui Keputusan Menteri

Pemerintahan Metropolitron Seoul dan Yayasan Pariwisata Seoul mengumumkan bahwa BTS akan tetap menjadi Duta Pariwisata pada tahun 2021 dengan kampaye “Your Seoul

3) Terkait dengan diundangkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian Dan Evaluasi

Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Timur dilihat dari segi jumlah pengikut pada media sosial jauh lebih banyak dibandingkan Suku Dinas yang lainnya, hal ini

Bertolak dari literatur yang telah diuraikan di atas dan kasus yang terjadi pada beberapa BUMN beberapa tahun terakhir, serta pernyataan-pernyataan tertulis dari Menteri BUMN

Jadi, untuk iklan di media televisi diperlukan berbagai strategi kreatif sehingga pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak mampu menstimulasi pikiran mereka,

Badan Pusat Statistik juga menjelaskan lebih lanjut tentang Sektor ekonomi kreatif yang terdiri atas 15 subsektor sehingga dapat diketahui perolehan kontribusi Nilai Tambah