• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. banyak mengandung air. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut: Divisio:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. banyak mengandung air. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut: Divisio:"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut Sharma (2009), tanaman Sansevieria diklasifikasikan kedalam family Agavaceae yang umumnya mempunyai daun yang berdaging tebal dan banyak mengandung air. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut: Divisio: Magnoliophyta; Kelas: Liliopsida; Subkelas: Lilidae; Ordo: Liliales; Famili: Agavaceae; Genus: Sansevieria; Spesies: Sansevieria cylindrica

Sansevieria memiliki akar serabut berwarna putih kekuningan sampai kemerahan. Pada tanaman yang sehat, akarnya banyak dan berserabut. Akar tumbuh dari rimpang (rhizome) yang dapat menghasilkan tunas anakan. Namun pada beberapa jenis seperti S. tom grumbly dan S.ballyii tunas anakan keluar dari ketiak daun melalui stolon. Pada dasarnya batang tidak tampak pada tanaman ini sehingga banyak orang mengenal sansevieria sebagai tanaman tak berbatang (stemless). Pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Sansevieria juga memiliki batang, baik batang sejati maupun batang semu. Batang sejati terletak di dalam tanah yang dikenal sebagai sebutan rimpang dan batang semu yang terletak dipermukaan tanah. Biasanya batang semu disebut stolon

(Tahir dan Sitanggang, 2008).

Bila dilihat sepintas bentuk daun sansevieria hanya 2 macam, yaitu pipih panjang dan bulat panjang. Namun bila diteliti lebih lanjut, ada sekitar 12 tipe yang dijumpai. Diantaranya berbentuk pipih seperti lidah, sendok, gada, pedang, pisau, bulat seperti pinsil golok atau pemukul bola baseball. Sebagian sansevieria berpenampang bulat seperti rotan, penampang daun yang pipih seperti pisau, permukaan daun bagian atas dan bawah bertekstur halus, ada pula yang halus

(2)

hanya dipermukaan atas serta permukaan atas dan bawah yang kasar. Sebagian daun tumbuh tegak, sebagian lainnya melengkung ke belakang, juga ditemukan beberapa daun yang tumbuh sejajar sehingga mirip kipas, yang lain mempunyai daun yang tumbuh menyebar seperti air mancur. Jumlah daun pun berbeda-beda antar jenis (Trubus, 2008).

Bunga kecil sampai sangat besar dan amat menarik, kebanyakan banci, aktinomorf atau sedikit zigomorf. Hiasan bunga berupa tenda bunga yang menyerupai mahkota dengan atau tanpa pelekatan berupa buluh, terdiri atas 6 daun tenda bunga, jarang hanya 4 atau lebih dari 6, kebanyakan jelas tersusun dalam 2 lingkaran. Benang sari 6, jarang sampai 12 atau hanya 3, berhadapan dengan daun-daun tenda bunga. Tangkai sari bebas atau berlekatan dengan berbagai cara. Kepala sari beruang 2, membuka dengan celah membujur, jarang dengan suatu liang pada ujungnya (Tjitrosoepomo, 2002 )

Buah sansevieria adalah jenis buah beri, yaitu buah yang memiliki celah berisi biji. Warna kulit buah saat masih muda hijau, setelah tua ada yang merah, oranye, hitam, dan hijau kusam. Jumlah biji dalam satu celah antar spesies yang satu dengan yang lain berbeda, yaitu 1-4 biji. Saat masih muda kulit buah halus setelah tua kasar (Lingga, 2008)

Keragaman Sansevieria

Sansevieria sangat mudah mengalami mutasi. Tanaman ini memiliki gen yang tidak stabil. Perubahan yang terjadi menyangkut warna daun, corak warna daun atau bentuk daun. Anakan tanaman yang mengalami mutasi, sama halnya dengan hibrida, bisa menjadi kultivar atau spesies baru. Mutasi pada sansevieria bisa bersifat sementara, bisa juga permanen. Tanaman yang mengalami mutasi

(3)

sementara akan kembali seperti asalnya jika mendapatkan perlakuan tertentu. Mutasi ini diantaranya disebabkan oleh beberapa hal berikut:

- Perbanyakan sansevieria melalui stek daun.

Contohnya, hasil setek daun S. ’hahnii’ bisa menjadi S. ’golden hahnii’. Namun stek daun S. ’golden hahnii’ akan menjadi S. ’hahnii’ kembali. - Perubahan perlakuan perawatan.

Misalnya, pemberian pupuk organik cair secara berlebihan dapat menyebabkan perubahan bentuk daun yang bersifat sementara. Setelah pemberian pupuk dihentikan, sansevieria tersebut akan kembali ke bentuk semula (Pramono, 2008).

Bertambahnya variasi penampilan dan karakter sansevieria juga banyak dipengaruhi karena adanya mutasi dari spesies yang sama sehingga menampilkan bentuk, ukuran, dan warna daun yang berbeda. Mutasi dapat terjadi akibat perbanyakan melalui stek daun dan karena adanya pengaruh dari faktor lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah, suhu, dan pengaruh cahaya. Sinar matahari memiliki spectrum yang beragam berdasarkan panjang gelombang elektromagnetik, salah satunya adalah sinar X dan gamma yang bergelombang pendek. Keduanya merupakan radiasi pengion yang dapat melepas energi (ionisasi) ketika melewati atau menembus materi. Proses ionisasi itu terjadi dalam jaringan tanaman sehingga menyebabkan perubahan sel, genom, kromosom, dan DNA atau gen. Perubahan ini disebut mutasi, hanya saja intensitas sinar X dan gamma dalam sinar matahari sangat rendah sehingga mutasi di alam sangat lamban (BBPP Lembang, 2010).

(4)

Bentuk daun bulat panjang seperti tongkat dengan permukaan ellips. Daun hijau keperakan dan panjang, berhiaskan cross banding yang mirip dengan S. trifasciata. Jenis ini tidak mempunyai saluran dipermukaan daun. Ada beberapa varian yang kerap dijumpai. Bentuk daun bulat, panjang dan tumbuh berpasang-pasangan. Ukuran daun panjang 150 cm dengan ketebalan 3 cm, namun daun bagian luarnya hanya 12 cm. Warna daun hijau, tangkai bunga 90-100 cm. Ciri khas daun bulat dan ada garis memanjang (Trubus, 2008).

Kultur Jaringan

Pemuliaan tanaman in vitro mencakup semua teknik kultur sel dan jaringan yang meliputi perbanyakan, pengamatan dan manipulasi genetik tanaman tanpa melibatkan siklus seksual. Pada dasarnya kultur in vitro merupakan suatu proses perbanyakan sel, jaringan, organ atau protoplas dengan teknik steril (Nasir, 2002)

Dibandingkan dengan perbanyakan tanaman secara konvensional, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut:

1. Untuk memeperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat diperbanyak secara konvensional. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis.

2. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang luas.

(5)

3. Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim.

4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat.

5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.

Walaupun banyak kelebihannya, teknik ini juga mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:

1. Dibutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia.

2. Dibutuhkan keahlian khusus untuk melaksanaknnya.

3. Tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptik dan terbiasa hidup di tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal (Yusnita, 2003).

Salah satu prasyarat utama dalam teknik kultur in vitro adalah kebersihan dan sterilitas alat serta tempat yang digunakan. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh bakteri atau jamur yang pertumbuhannya jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan kultur sel atau jaringan tanaman. Oleh karena itu pekerjaan kultur in vitro sebaiknya dilakukan di tempat tertutup dan tidak digunakan untuk aktivitas yang lain (Yuwono, 2006).

Eksplan

Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur.

(6)

Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003).

Kondisi fisiologi eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian-bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh. Sama halnya dengan kasus dormansi pada eksplan biji (Zulkarnain, 2009).

Kalus yang diperoleh dari inisiasi awal akan memiliki kemampuan untuk beregenerasi membentuk embryo somatik yang tinggi dibandingkan dengan kalus hasil subkultur. Seperti pada embriogenesis langsung, kemampuan ini tergantung kepada eksplan awal yang dikulturkan. Eksplan memiliki kemampuan untuk menghasilkan embriogenesis langsung, namun dapat juga membentuk kalus embryonik. Kalus yang dihasilkan ada yang memiliki kemampuan embryo somatik dan ada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan morfogenetik karena eksplan yang dikulturkan juga mengandung sel atau jaringan yang mampu mengadakan morfogenesis dan ada yang tidak (Wattimena dkk, 1992).

Media Tumbuh

Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antarspesies ataupun antarvarietas. Bahkan jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda nutisinya. Oleh karena itu, tidak ada satupun medium dasar yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan

(7)

organ. Meskipun demikian, medium dasar MS adalah yang paling luas penggunaannya dibandingkan dengan media dasar lainnya. Medium MS banyak digunakan. Hal itu dikarenakan medium MS memiliki kandungan garam-garam yang lebih tinggi daripada media lain, disamping kandungan nitratnya juga tinggi (Zulkarnain, 2009).

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Media kultur tersebut, fisiknya dapat berbentuk cair atau padat. Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara invitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhkan di tanah, meliputi hara-hara makro dan mikro Komponen media kultur yang lengkap sebagai berikut.

1. Air distilasi (akuades) atauair bebas ion sebagai pelarut atau solven. 2. Hara makro dan mikro

3. Gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi 4. Vitamin, asam amino dan bahan organik lain 5. Zat Pengatur Tumbuh

6. Suplemen berupa bahan-bahan alami, jika diperlukan

7. Agar-agar atau gelrite sebagai pemadat media (Yusnita, 2003).

Vitamin memiliki fungsi katalitik pada sistem enzim dan dibutuhkan dalam jumlah kecil. Satu-satunya vitamin yang dianggap esensial pada kultur invitro adalah tiamin (vitamin B1). Tiamin diberikan pada medium kultur dalam

bentuk tiamin HCl. perlunya kehadiran tiamin pada kultur invitro terutama pada kondisi kandungan sitokinin yang rendah didalam medium (Zulkarnain, 2009).

(8)

Zat Pengatur Tumbuh

Keberadaan hormon dan zat pengatur tumbuh dalam kegiatan kultur jaringan adalah mutlak. Karena kegiatan kultur jaringan umumnya menggunakan bahan tanam yang tidak lazim (sel, jaringan atau organ) dan budidayanya adalah budidaya yang terkendali. Pengaturan proses tumbuh dan berkembangnya eksplan dapat dilakukan dengan mengatur macam dan konsentrasi hormon atau zpt tertentu sehingga menghasilkan kombinasi yang tepat sesuai dengan harapan (Santoso dan Nursandi, 2001).

Peranan auksin dalam kultur in vitro terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in vitro antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar tanaman dan induksi umbi mikro kentang (Widyastuti dan Tjokrokusumo, 2007)

Auksin merupakan istilah generik untuk substansi pertumbuhan yang khususnya merangsang perpanjangan sel, tetapi auksin juga menyebabkan suatu kisaran respon pertumbuhan yang berbeda-beda. Kadar auksin endogen dan aktivitasnya dalam jaringan berhubungan dengan keseimbangan antara sintesis dengan hilangnya auksin karena transpor dan metabolisme. Auksin diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif yaitu tunas, daun muda dan buah

(Gardner dkk, 2008).

Umumnya sitokinin paling banyak terdapat di organ muda (biji, buah, daun) dan di ujung akar. Daun, buah dan biji muda, tidak mudah memindahkan sitokininnya ke tempat lain, baik melalui xilem maupun floem. Sitokinin eksogen

(9)

akan menghambat pertumbuhan in vitro jika konsentrasi zpt dalam jaringan menjadi berlebihan. Tidak mudah untuk mengatasi masalah ini tanpa mengukur konsentrasi dalam sitokinin pada irisan jaringan, terutama pada sel epidermis yang diduga menghalangi keseluruhan laju pemanjangan

(Salisbury and Ross, 2002).

Auksin terutama untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel dan pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki. Pemilihan konsentrasi dan jenis auksin ditentukan oleh kemampuan dari jaringan yang dikultur (eksplan) untuk mensintesis auksin secara alamiah. Pada sitokinin dengan konsentrasi tinggi yang mendorong proliferasi tunas sebaliknya menghambat penghambat akar. Zat pengatur pada eksplan tergantung dari zat pengatur tumbuh endogen dan zat pengatur eksogen yang diserap dari media tumbuh. Konsentrasi yang diperlukan dari masing-masing ZPT auksin dan sitokinin tergantung dari jenis eksplan, genotip, kondisi kultur serta jenis auksin dan sitokinin yang dipergunakan (Wattimena dkk, 1992).

Skinner dan Shive, 1955; Fries, 1960 dalam Wilkins (1992) menyatakan bahwa sitokinin diproduksi oleh akar, jika pemakaian zpt eksogen menghasilkan tingkat yang supra optimal, dalam beberapa kasus sitokinin akan merangsang pembentukan akar dan menghambat pertumbuhan tunas.

Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan sitokinin. Kedua kelompok zat pengatur tersebut berinteraksi pula dengan senyawa-senyawa kimia lainnya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu, auksin dapat bereaksi menyerupai sitokinin, atau sebaliknya. Terdapat keragaman yang tinggi antargenus,

(10)

antarspesies bahkan antarkultivar dalam hal jenis serta takaran auksin dan sitokinin yang dibutuhkan untuk menginduksi terjadinya morfogenesis. Tunas dapat mengalami habituasi terhadap sitokinin setelah diperlakukan dengan sitokinin konsentrasi tinggi. Karakteristik kultur yang mengalami habituasi sitokinin sebagai akibat kurangnya pembentukan akar. Hal ini dapat disebabkan oleh pertumbuhan tunas yang berlebihan dan mengakibatkan penghambatan pembentukan akar (Zulkarnaian, 2009)

Pengaruh dari suatu ZPT bergantung pada spesies tumbuhan, situs aksi ZPT pada tumbuhan, tahap perkembangan tumbuhan dan konsentrasi ZPT. Satu ZPT tidak bekerja sendiri dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, pada umumnya keseimbangan konsentrasi dari beberapa ZPT-lah yang akan mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Dewi, 2008).

Lingkungan Tumbuh

Secara umum agar kegiatan kultur jaringan berjalan baik dan bahan tanaman dapat tumbuh berkembang seperti yang diharapkan maka pada tahap inkubasi di ruang kultur pengendalian temperatur, cahaya, tingkat kelembaban dan beberapa faktor lain yang menunjang adalah merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Pada ruang inkubasi atau kultur adanya air conditioner (AC) sangat

baik untuk menjamin lancarnya aerasi udara dan pengaturan suhu (Santoso dan Nursandi, 2001).

Kondisi lingkungan yang menentukan keberhasilan pembiakan tanaman dengan kultur jaringan meliputi cahaya, suhu dan komponen atmosfer. Cahaya dibutuhkan untuk mengatur proses morfogenetik tertentu. Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas

(11)

dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan untuk mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. Energi radiasi dekat spektrum ultra violet dan biru merupakan kualitas cahaya yang paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, sedangkan pembentukan akar dirangsang oleh cahaya merah dan sedikit cahaya biru. Untuk itu, pada tahap inisiasi dan multiplikasi tunas digunakan pencahayaan dengan lampu fluorescent. Kultur yang kurang cahaya biasanya menunjukkan gejala etiolasi dan virtifikasi. Etiolasi ditunjukkan dengan panjangnya ruas (internode) pada tunas yang terbentuk, sedangkan virtifikasi ditandai dengan sukulensi, batang tampak bening atau terlalu lemas karena banyak mengandung air (hiperhydricity). Suhu juga berpengaruh terhadap kesehatan tanaman yang dikulturkan. Suhu yang umum digunakan untuk pengkulturan berbagai jenis tanaman adalah ± 26°C. Untuk kebanyakan tanaman, suhu yang terlalu rendah (kurang dari 20°C) dapat menghambat pertumbuhan dan suhu yang terlalu tinggi (lebih dari 32°C) menyebabkan tanaman merana (Yusnita, 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan pemberian terapi akupuntur efektif dalam menurunkan nyeri lutut pada pasien dengan osteoartritis, dengan rata-rata skala nyeri sebelum diberikan terapi

Teknologi mobile phone adalah suatu kebutuhan yang utuh untuk mereka, dengan menggunakan teknologi mobile phone mereka dapat menjaga komunikasi dengan keluarga,

Jenis – jenis tubuh batuan ini \yaitu Dyke ( tubuh batuan yang memotong perlapisan disekitarnya dan memiliki bentuk tabular atau memanjang), Batolith ( tubuh batuan yang

Pada tahun 2016, jumlah Produk hukum yang diterbitkan sebanyak 421 produk, dimana Keputusan walikota adalah produk hukum yang terbanyak diterbitkan.. Semua produk

ketebalan bervariasi antara 0,50 – 7,40 m yang terbentuk pada sayap timur struktur antiklin. Bitumen padat memperlihatkan ciri fisik : perselingan batulanau pasiran dan

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat jawa.. Kepercayaan animisme dan dinamisme sangat mempercayai

Berdasarkan uraian di atas maka masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah perkuliahan elektrometri berbasis aktivitas Inkuiri laboratorium dalam