• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Darmojo,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Darmojo,"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Defenisi Lansia

Undang-undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Darmojo, 2000). WHO mengelompokkan lansia menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) usia pertengahan (middle age) yaitu usia 45-59 tahun, (2) lansia (elderly) yaitu usia 60-74 tahun, (3) lansia tua (old) yaitu usia 75-90 tahun dan (4) usia sangat tua (very

old) yaitu usia diatas 90 tahun (Fatmah, 2010). Depkes (2006, dalam Fatmah,

2010) memberi batasan lansia menjadi tiga yaitu: (1) Virilitas (prasenium) yaitu usia 55-59 tahun, (2) usia lanjut dini (senescen) yaitu usia 60-64 tahun dan (3) lansia yang beresiko tinggi untuk menderita panyakit degeneratif yaitu usia diatas usia 65 tahun.

2. Perubahan pada Lansia yang Mempengaruhi Status Nutrisi

Proses menua pada lansia mengakibatkan banyak perubahan, antara lain perubahan struktur dan fungsi tubuh, kemampuan kognitif dan kesehatan mental. Salah satu diantaranya adalah perubahan anatomis dan fisiologis pada saluran pencernaan yang akan berdampak terhadap kemampuan kerja sistem pencernaan dan akan mempengaruhi status nutrisi lansia (Oktariyani, 2012).

Seiring bertambahnya usia, secara alami fungsi fisiologis tubuh lansia akan menurun termasuk fungsi yang berkaitan dengan sistem pencernaan. Sistem pencernaan tidak hanya melibatkan saluran pencernaan dari mulut hingga rectum,

(2)

Perubahan pada saluran pencernaan dimulai dari mulut hingga rectum sedangkan organ lain berupa hati dan pankreas.

Rongga mulut berfungsi sebagai tempat untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih kecil yaitu bolus. Untuk dapat berfungsi dengan optimal, rongga mulut harus dalam kondisi yang optimal pula. Akibat penuaan, rongga mulut akan mengalami perubahan struktur. Perubahan itu biasanya meliputi gigi, gusi dan ludah. Arisman (2010) menyatakan perubahan yang dapat terjadi pada rongga mulut antara lain penurunan sekresi saliva hingga 75%. Hal ini akan membuat mukosa pada rongga mulut akan mongering sehingga mungkin akan terjadi penurunan cita rasa pada makanan yang dikonsumsi (Arisman, 2010). Selain penurunan sekresi saliva, kehilangan indra pengecapan, penurunan ketajaman pengecapan, dan kerusakan indra penciuman dapat terjadi pada lansia (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Akibat yang mungkin ditumbulkan dari kondisi tersebut adalah kurangnya ketertarikan lansia pada makanan atau anoreksia (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Selain itu, Adriani & Wirjatmadi (2012) menyatakan penyakit periodental yang terjadi pada 80% lansia dan kehilangan gigi mengakibatkan kesulitan makan dan terbatasnya pilihan menu makanan.

Esophagus berfungsi mendorong makanan yang masuk ke rongga mulut untuk kemudian diproses oleh lambung. Proses pendorongan makanan dari rongga mulut ke lambung memerlukan gerakan yang disebut peristaltik. Seiring bertambahnya usia, esophagus dapat mengalami pengerasan. Pengerasan yang umumnya terjadi pada sfingter bagian bawah mengakibatkan esogafus akan sukar berkontraksi (Arisman, 2010). Kondisi ini lama kelamaan akan menyebabkan

(3)

esofagus melebar (presby esophagus) sehingga berdampak pada pengosongan lambung yang menjadi lebih lambat dan tidak jarang berlanjut sebagai hernia hiatal (Arisman,2010 ).

Setelah berhasil melewati esofagus, bolus akan masuk ke lambung untuk kemudian diproses sehingga bolus yang masuk ke saluran cerna berikutnya dapat diserap dengan baik. Lambung umumnya berfungsi sebagai pensekresi, sebab banyak enzim yang akan dikeluarkan ketika bolus masuk ke lambung. Seiring bertambahnya usia, lambung bagian atas akan menipis (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Penipisan ini akan mempengaruhi sekresi asam klorida (HCL), pepsin dan empedu yang berdampak pada penyerapan kandungan kalsium, zat besi, seng, protein, lemak dan vitamin yang larut lemak (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

Setelah mengalami proses sekresi di lambung, bolus akan memasuki usus. Usus berfungsi sebagai penyerap nutrisi yang terkandung di bolus. Atrofi mukosa usus halus akan menurunkan jumlah vili dan luas permukaannya (Fatmah, 2010). Akibatnya absorpsi terhadap nutrisi menurun dan akan menimbulkan masalah nutrisi pada lansia. Selain usus halus, usus besar pun akan mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan kelokan-kelokan pembuluh darah yang dapat menyebabkan berkurangnya motilitas usus (Fatmah, 2010). Motilitas usus berfungsi mendorong sisa makanan kedalam rectum. Namun, akibat dari penurunan motilitas usus, penyerapan air dan elektrolit lain akan meningkat sehingga akan menyebabkan feses menjadi lebih keras dan resiko untuk konstipasi juga akan meningkat (Fatmah, 2010). Selain kelemahan peristaltik kolon untuk mengosongkan rektum, kelemahan pada dinding abdomen juga akan

(4)

meningkatkan resiko konstipasi sebab proses defekasi dibantu oleh kontraksi dinding abdomen (Fatmah, 2010).

Pankreas merupakan organ yang berfungsi untuk mensekresi beberapa enzim. Enzim- enzim yang dihasilkan berfungsi untuk proses pencernaan. Penuaan berdampak pada penurunan enzim amilase, tripsin, dan lipase yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Fatmah, 2010). Akibatnya sering terjadi gangguan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh sebab karbohidrat, protein dan lemak merupakan penghasil kalori.

Hati, selain berperan dalam proses metebolisme karbohidrat, protein, dan lemak juga berperan besar dalam proses detoksifikai, sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi bilirubin dan sebagainya (Fatmah, 2010). Seiring pertambahan usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat atrofi pada sebagian besar selnya yang membuat sel tersebut menjadi jaringan fibrosa. Hal ini akan menyebabkan perubahan fungsi hati dalam berbagai aspek terutama dalam metabolisme obat-obatan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Nutrisi pada Lansia Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi seseorang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebab ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi lansia. Kebutuhan nutrisi lansia dipengaruhi oleh banyak faktor. Fatmah (2010) menyatakan ada empat faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada lansia, yaitu usia, jenis kelamin, lingkungan dan aktivitas tubuh.

(5)

Faktor pertama adalah usia. Pertambahan usia menyebabkan kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat karena ketiganya berfungsi sebagai anioksidan untuk melindungi tubuh dari radikal bebas. Jenis kelamin sebagai faktor kedua juga penting untuk diperhatikan sebab perbedaan tingkat aktivitas fisik menyebabkan kebutuhan kalori lansia pria lebih banyak daripada lansia wanita. Faktor lingkungan juga penting diperhatikan sebab perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi karena pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia merasa terisolasi dari kehidupan sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, banyak lansia kehilangan nafsu makan yang berdampak pada penurunan status nutrisi lansia. Faktor selanjutnya adalah aktivitas fisik. Pertambahan usia membuat seseorang untuk membatasi aktvitas fisik karena penurunan kemampuan kemampuan fisik terjadi secara alamiah. Lansia yang aktivitas fisiknya menurun, asupan energinya harus dikurangi untuk mencapai keseimbangan energi dan mencegah terjadinya obesitas, karena salah satu faktor yang menentukan berat badan adalah keseimbangan antara masukan energi dengan keluaran energi.

4. Kebutuhan Zat Gizi Lansia 4.1 Kalori

Perbedaan aktivitas fisik antara lansia dengan dewasa muda, dan penurunan laju metabolik mengakibatkan kebutuhan energi pada lansia lebih rendah (Barasi, 2009). Berbagai hasil penelitan menunjukkan kecepatan metabolisme

(6)

pada orang-orang berusia lanjut mengalami penurunan sekitar 15-20% (Fatmah, 2010).

Penurunan kebutuhan kalori pada lansia adalah sekitar 5% pada usia 40-49 dan 10% pada usia 50-59 dan 60-69. Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia pria (>60 tahun ) ialah 2200 kalori sedangkan pada lansia wanita ialah 1850 kalori (Fatmah, 2010)

4.2 Karbohidrat dan Serat

Untuk menjalankan fungsinya seperti bernapas, berkontraksi untuk jantung dan otot, serta menjalankan berbagai aktivitas seperti olahraga dan bekerja, tubuh memerlukan energi. Energi dihasilkan dari proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber utama penghasil energi. Setiap konsumsi 1 gram karbohidrat akan menghasilkan energi sebesar 4 kkal (Fatmah, 2010).

Miller (2004, dalam Oktariyani, 2012) menyatakan bahwa serat merupakan komponen penting dalam makanan yang memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Fungsi serat antara lain adalah mencegah penyakit jantung koroner, kanker kolon, diabetes melitus, penyakit divertikular dan menghindari kegemukan (Fatmah, 2010).

4.3 Protein

Protein merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh untuk membangun dan memelihara sel. Setiap konsumsi 1 gram protein mengsilkan 4 kkal. Seiring bertambahnya usia, kemampuan sel lansia untuk mencerna protein jauh lebih

(7)

menurun dari orang dewasa muda. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi sel yang tidak dapat dihindari.

Pakar gizi menyarankan kebutuhan akan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut. Oleh sebab itu kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan, dan protein hewani lainnya (Fatmah, 2010).

4.4 Lemak

Lemak adalah penyumbang energi terbesardi bandingkan energi lain seperti karbohidrat dan protein, sebab lemak menghasilkan 9 kkal setiap konsumsi 1 gramnya. Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E, K. Lemak di kategorikan menjadi dua, yaitu lemah jenuh dan tidak jenuh.

Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan akan meningkatkan kadaar kolesterol dan trigliserida dalam darah yang berbahaya bagi kesehatan.Sedangkan konsumsi lemak tak jenuh contohnya minyak kedelai, minyak zaitun dan minyak ikan yang mengandung omega 3 dapat menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida dan dapat mencegah pembekuan darah oleh trombosit yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah (Fatmah, 2010)

4.5 Cairan

Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air atau cairan. Oleh sebab itu cairan sangat dibutuhkan tubuh (Fatmah, 2010). Asupan air pada lansia harus diperhatikan karena omoreseptor kurang sensitif, sehingga seringkali mereka mereka tidak merasa haus (Fatmah, 2010).

(8)

Konsumsi 1500-2000ml (6-8 gelas) per hari diperlukan untuk menjaga hidrasi (Miller, 2004 dalam Fatmah 2010 ). Kositzke (1990) menyatakan bahwa lansia membutuhkan cairan sekitar 1.500 ml/hari dalam kondisi yang normal (Watson 2003).

5. Malnutrisi pada Lansia

Setiati & Dinda (2009) menyatakan malnutrisi merupakan keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dapat mengganggu fungsi tubuh. Malnutrisi pada lansia dapat berupa obesitas, malnutrisi energi protein dan defisiensi vitamin dan mineral (Setiati & Dinda, 2009). Watson (2003) menyatakan malnutrisi energi/protein merupakan kondisi yang paling banyak dialami lansia.

Malnutrisi Energi Protein (MEP) adalah kondisi dimana energi dan atau protein yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan metabolisme. MEP bisa terjadi karena buruknya asupan protein atau kalori, meningkatnya kebutuhan metabolik bila terdapat penyakit atau trauma, atau bahkan meningkatnya kehilangan zat gizi Sari (2009).

5.1 Penyebab malnutrisi energi protein

Darmojo (2000) menyatakan kekurangan nutrisi pada lansia disebabkan oleh sebab-sebab yang bersifat primer dan sekunder. Penyebab yang bersifat primer antara lain: ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indera, gangguan mental, kemiskinan dan iatrogenik. Sedangkan penyebab yang bersifat sekunder adalah:

(9)

gangguan nafsu makan/selera makan, gangguan mengunyah, malabsorbsi, obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme.

Ketidaktahuan dapat dibawa sejak masa kanak-kanak atau karena terbatasnya tingkat pendidikan. Isolasi sosial yang terjadi pada lansia yang hidup sendiri menyebabkan lansia kehilangan gairah hidup dan tidak ada keinginan untuk masak. Gangguan fisik seperti hemiparesis/hemiplagia, artritis dan gangguan penglihatan menyebabkan keterbatasan lansia untuk menyaipkan makanan. Ganggaun mental seperti demensia dan depresi menyebabkan lansia lupa apakah sudah makan atau belum dan menurunkan minatnya untuk makan sedangkan kondisi iatrogenik merupakan kondisi yang dapat terjadi pada lansia yang mendapat diet lambung untuk jangka lama, sehingga terjadi kekurangan vitamin C (Darmojo, 2000).

Gangguan selera makan, gangguan mengunyah dan malabsorbsi terjadi karena penurunan fungsi alat-alat pencernaan dan panca indera, penyakit berat tertentu; paska operasi, iskemik dinding perut dan sensitifitas yang meningkat terhadap bahan makanan tertentu seperti “lombok”, santan, lemak dan tepung bergluten seperti ketan. Padahal kebutuhan akan nutrisi meningkat pada lansia yang mengalami keseimbangan nitrogen negatif dan katabolisme protein akibat tirah baring untuk jangka waktu yang lama dan hipertermia (Darmojo, 2000).

Rianto (2004) dalam penelitiannya melaporkan bahwa dari 74 lansia di masing-masing tempat yaitu Panti Werdha Pucang Gading dan RW III Kelurahan Barusari Kecamatan Semarang Selatan angka kejadian malnutrisi di panti sebesar 43,2% sedangkan di non panti sebesar 1.4%, dan angka kejadian resiko

(10)

malnutrisi di panti sebesar 48,6% sedangkan di non panti sebesar 9,5%. Malnutrisi yang terjadi pada lansia disebabkan oleh intake kalori dan protein yang kurang dari kebutuhan tubuh.

5.2 Dampak Malnutrisi

Ketidakadekuatan diet yang mengandung protein, karbohidrat dan lemak menyebabkan hati dan otot memecahkan protein menjadi glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh dan hal ini akan terus berlangsung jika kebutuhan akan protein, karbohidrat dan lemak tidak tercukupi (Watson, 2003). Kondisi ini akan memicu terjadinya pemecahan protein yang terus menerus di jaringan dan berimplikasi pada nilai indeks massa tubuh (IMT) lansia. Watson (2003) menyatakan lansia yang mengalami malnutrisi beresiko tinggi untuk jatuh atau terbatas dalam mobilisasi sehingga membuat lansia rentan untuk cedera atau mengalami luka tekan.

6. Status Nutrisi

Rospond (2008) menyatakan nutrisi adalah jumlah keseluruhan proses yang terlibat dengan asupan dan penggunaan bahan-bahan makanan. Status nutrisi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi/nutrisi (Supariasa, 2002).

5.1 Pengukuran Status Nutrisi Lansia

Depkes (2003 dalam Oktariyani, 2012) menyatakan untuk hasil yang akurat pengukuran status nutrisi lansia sebaiknya menggunakan lebih dari satu

(11)

parameter. Akronim ABCD dapat digunakan sebagai parameter untuk pengkajian nutrisi pada semua rentang usia termasuk lansia.

5.1.1 Antropometri

Antropomteri adalah serangkaian teknik pengukuran dimensi kerangka tubuh manusia secara kuantitatif. Seiring bertambahnya usia, lansia akan mengalami perubahan komposisi tubuh yang akan mempengaruhi pengukuran antropometri yaitu meliputi berat badan, tinggi badan, massa otot, lemak tubuh, kandungan cairan tubuh dan massa tulang (Fatmah, 2010).

Berbagai cara pengukuran antropometri dapat digunakan untuk menentukan status nutrisi, namun cara yang paling sederhana dan banyak digunakan adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan kuadrat dalam meter.

IMT= berat badan (kg) tinggi badan (m)²

Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Lansia Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (Depkes RI, 2005)

IMT Status Gizi

<18,5 kg/m² Gizi kurang

18,5-25 kg/m² Gizi normal

>25 kg/m² Gizi lebih

Sumber: Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Jakarta: EGC

Pengukuran tinggi badan lansia sangat sulit dilakukan mengingat adanya perubahan komposisi tubuh seperti perubahan tinggi badan dan masalah postur tubuh seperti kifosos atau skoliosis sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak. Hal ini akan mengurangi keakuratan nilai IMT. Oleh karena itu, pengukuran tinggi badan dapat diprediksi dengan mengkonversi tinggi lutut.

(12)

Ting prediktor bertamban tungkai, t Tinggi lut mengestim berdiri (Fa Ting pisau men yang terbu ditempatk dilakukan membentu proksimal ketelitian (a) Ga ggi lutut d tinggi bad nhya usia ti tetapi sanga tut erat kaita masi tinggi

atmah, 2010 ggi lutut diu nempel pada uat dari ka kan dalam pada kaki uk sudut 90 dari tulang 0,1 cm (Fat ) ambar 2. 1 P direkomend an pada se dak berpen at berpenga annya deng badan pada 0). ukur denga a sudut 90º. ayu. Cara m posisi du kiri subjek 0º. Alat uku g patela. Pe tmah, 2010) Pengukuran P dasikan ole eseorang ya ngaruh terha aruh terhad gan tinggi ba a subjek den an kaliper b Alat yang mengukur ti uduk atau k antara tul urnya ditem embacaan s ). (b) tinggi lutut Posisi berbar eh WHO ang berusia adap tulang dap tulang adan, sehin ngan gangg berisi mista digunakan inggi lutut berbaring lang tibia d mpatkan dia skala dilaku t lansia deng ring (b). untuk dig a ± 60 tahu panjang se belakang ( gga sering d guan spinal ar pengukur adalah alat adalah subj , selanjutn dengan tula antara tumi ukan pada a gan posisi d gunakan se un sebab p eperti lengan (Fatmah, 2 digunakan u atau tidak ran dengan ukur tinggi bjek yang d nya penguk ang paha de it sampai b alat ukur de duduk (a). ebagai proses n dan 2010). untuk dapat mata i lutut diukur kuran engan bagian engan

(13)

Menurut Fatmah (2010) ada beberapa model prediksi tinggi lutut salah satu diantaranya adalah model yang dikembangkan oleh Fatmah (2008) yang merumuskan sebagai berikut:

5.1.2 Pemeriksaan Biokimia

Pemeriksaan biokimia mencerminkan secara baik kadar nutrisi dalam jaringan maupun semua kelainan metabolisme penggunaan nutrisi. Pemeriksaan ini biasanya dilihat dari pemeriksaan kadar darah yakni protein serum, albumin serum dan globulin, transferin hemoglobin, vitamin A serum, karoten serta vitamin C dan pemeriksaan urin yakni kreatinin, tiamin, ribovlavin, niasin dan yodium (Brunner & Suddarth, 2002).

Protein yang kaya akan protein disebut juga dengan hemoglobin. Hemoglobin ini memiliki afinitas atau daya gabung terhadap oksigen dan oksigen tersebut membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein pada malnutrisi berat (Syahrul, 2013)

Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji status protein visceral. Serum transferin ini dihitung dengan menggunakan kapasitas total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Blackburn dalam Arisman, 2004).

Transferin serum = ( 8 x TIBC ) – 43

Indikator yang tak kalah pentingnya dalam menilai status nutrisi dan sintesa protein adalah nilai dari serum albumin. Kadar albumin rendah sering terjadi pada

TB pria = 56, 343 + 2,102 tinggi lutut TB wanita = 62,682 + 1,889 tinggi lutut

(14)

keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja dari hepar, ginjal, dan saluran pencernaan. Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal, tubuh memperoleh nitrogen melalui makanan dan kemudian dikeluarkan melalui urin.

Seseorang beresiko mengalami malnutrisi protein terjadi jika nilai keseimbangan nitrogen yang negatif terjadi secara terus menerus. Dikatakan keseimbangan nitrogen dalam tubuh negatif jika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan yang dikonsumsi setiap hari (Nurachmah, 2001 dalam Syahrul, 2013).

5.1.3 Pemeriksaan Klinis

Pada pemeriksaan ini terdapat dua jenis kategori untuk mengetahui status gizi pada lansia, diantaranya adalah :

a. Pemeriksaan fisik

Berbagai kelaianan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus dekubitus karena kekurangan protein dan energi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka yang lambat karena defisiensi seng dan vitamin C.

Manifestasi klinis lain yang sering dijumpai pada lansia adalah gangguan keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi pada lansia dapat berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume urin, penurunan tekanan darah, mual, muntah, dan gagal ginjal akut (Darmojo, 2010 dalam Syahrul, 2013).

(15)

b. Pemeriksaan Fungsional

Gangguan fungsi pada kemampuan untuk menyiapkan makanan dan makan secara mandiri dapat menganggu asupan makan seorang lansia. Seorang lansia yang dapat bergerak bebas di dalam rumah akan banyak menyiapkan makanan sesuai dengan yang diinginkannya sedangkan lansia yang menderita stroke, misalnya, tidak dapat bergerak bebas untuk menyiapkan makanan sesuai seleranya sehingga hanya bergantung kepada orang lain untuk makan. Fungsi kognitif dan psikologis juga menentukan status gizi lansia. Sebagian besar kehilangan berat badan pada lansia disebabkan karena depresi (Darmojo, 2010 dalam Syahrul, 2013).

5.1.4 Penilaian Dietetik

Keseimbangan antara kebutuhan dan laju metabolisme membuat kecukupan asupan makanan harus memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan dan juga frekuensi nya. Biro et al. (2002) dalam Fatmah (2010) mendefinisikan penilaian dieteik merupakan suatu penilaian yang menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan.

Setiati & Dinda (2009) menyatakan ada 4 cara untuk mendapatkan informasi tentang asupan makanan:

a. Food record

Dalam waktu 7 hari klien diminta untuk mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi. Cara ini merupakan cara yang paling akurat dan praktis untuk mengumpulkan data namun, pasien harus kooperatif.

(16)

b. Food frequency questionnaire

Merupakan cara untuk mendapatkan/menilai perilaku makan klien selama satu bulan terakhir dengan menanyakan frekuensi, jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi dalam 1 minggu terakhir dengan bantuan food model sebagai panduan klien untuk membantu ingatannya.

Selanjutnya, data yang diperoleh dalam ukuran rumah tangga (URT), dikonversikan dalam ukuran gram menggunakan daftar bahan makanan penukar dan dianalisis dengan program nutrisurvey 2005. Dibandingkan dengan sebelumnya, cara ini kurang akurat dan lebih rumit.

c. 24-hour recall

Merupakan cara mendapatkan data dengan mengingat semua makanan yang dikonsumsi dalam 24 jam. Cara ini kurang akurat jika diterapkan pada lansia sebab biasanya lansia mangalami keterbatasan daya ingat, dipengaruhi oleh variasi makanan dari hari ke hari dan tergantung pada keterampilan penanya. d. Riwayat diet

Untuk mendapatkan data dari riwayat diet, diperlukan keterampilan khusus oleh dietisien. Untuk klien yang dirawat di rumah sakit pengkajian asupan makanan tidak hanya ditanyakan sebelum paien dirawat, tetapi juga selama klien dalam perawatan ( Setiati & Dinda, 2009)

5.2 Penilaian Status Nutrisi

The Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan sebuah alat pengkajian

nutrisi yang khusus di desain dan divalidasi untuk mengidentifikasi PCM (Protein

(17)

2012). MNA telah dikembangkan sejak tahun 1990-an, dan seiring berjalannya waktu berkembang menjadi tiga tahap, yaitu (1) versi original MNA (didesain sebagai full MNA atau versi 1) yang berisi 18 pertanyaan di tahun 1990-an, (2)

MNA tahap kedua yang diinkorporasi sebuah formulir pengkajian pendek (yang

disebut MNA-SF atau versi kedua) yang terdiri dari 18 pertanyaan pada full MNA pada tahun 2001 dan (3) Tahun 2009 MNA-SF atau versi kedua direvisi menjadi

newest MNA-SF atau versi ketiga. The newest MNA-SF merupakan formulir

penilaian yang berdiri sendiri dengan enam pertanyaan pada MNA-SF ditambah sebuah pilihan jika berat badan tidak tersedia.

Full MNA terdiri dari 18 pertanyaan yang sebelumnya sudah dikembangkan

oleh ahli dan partisipasi dari lansia di Amerika Serikat dan Eropa yang bekerjasama dengan Nestle Research Center untuk menyediakan alat yang sederhana dan reliabel untuk mengkaji status nutrisi lansia 65 tahun keatas (Guigoz, Vellas & Garry, 1994 dalam Skates & Anthony, 2012). Full MNA menggunakan 30 pertanyaan yang dapat mengklasifikasikan klien menjadi status gizi normal, beresiko malnutrisi dan malnutrisi. Full MNA sudah divalidasi di rumah sakit, komunitas dan perawatan dengan jangka panjang. Full MNA menjadi penting dalam pengkajian lansia secara komprehensif sebab ada komponen Mini

Mental State Examination (MMSE) untuk mengidentifikasi Skala Depresi Lansia

dan Katz Basic Activities Daily Living Scale (Vellas et all, 1999 dalam Skates & Anthony, 2012).

MNA-SF atau versi kedua dikembangkan untuk menghemat waktu dalam

(18)

pendek dari full MNA yang terdiri dari 6 pertanyaan dari full MNA dengan korelasi terkuat dari skor full MNA. MNA-SF disebut juga MNA 2 langkah. MNA-SF membagi klien menjadi status gizi normal atau beresiko malnutrisi dan mengeliminasi klien dengan status nutrisi normal untuk melengkapi full MNA. Jika skor di MNA-SF mengindikasikan beresiko malnutrisi, maka 12 pertanyaan pada full MNA harus dilengkapi untuk mengidentifikasi apakah termasuk malnutrisi. (Skates & Anthony, 2012).

Selanjutnya, sebuah study mengembangkan tiga poin penting untuk mengetahui status nutrisi yang disebut dengan newest MNA-SF yang digunakan untuk mengidentifikasi klien dengan malnutrisi versus resiko malnutrisi versus status nutrisi normal tanpa perlu mengisi lengkap full MNA (Kaisar et al., 2009 dalam Skates & Anthony, 2012). Alat ini mampu mengidentifikasi status nutrisi lansia kurang dari 5 menit. Format baru ini terdiri dari sebuah pilihan untuk mensubstitusi lingkar betis ketika IMT tidak tersedia pada pasien yang tidak bisa ditimbang berat badannya.

Kemudahan penggunaan dan validasi sebagai alat yang berdiri sendiri, saat ini newest MNA-SF diharapkan mampu digunakan secara luas untuk menilai status nutrisi. Newest MNA-SF dilengkapi oleh saran intervensi setelah status nutrisi lansia didapatkan. Intervensi ini diharapkan mampu membantu lansia untuk mempertahankan atau meningkatkan status nutrisinya (Nestle Nutrition Institute, 2009).

(19)

Intervensi yang disarankan adalah:

a. Apabila status nutrisi yang didapat normal, yaitu skor 12-14 maka intervensi yang dapat disarankan adalah jika ada penyakit akut, lansia yang di komunitas perlu melakukan skrining ulang sedangkan untuk yang tinggal di panti. Skrining ulang dilakukan per tiga bulan.

b. Apabila status nutrisi yang didapat beresiko malnutrisi, yaitu skor 8-11 maka intervensi dipertimbangkan berdasarkan kehilangan berat badan. Intervensi yang disarankan yaitu:

b.1 tidak ada kehilangan berat badan

Jika tidak ada kehilangan berat badan maka intervesnsi yang dapat dilakukan adalah memantau berat badan secara intensif dan skrining ulang stiap tiga bulan.

b.2 kehilangan berat badan

Jika ada kehilangan berat badan maka intervensi berupa tindakan yang dapat dilakukan adalah (1) dukungan nutrisi, yaitu peningkatan diet dan pemberian suplemen oral (400 kkal/day), (2) monitoring berat badan secara intensif dan (3) pengkajian nutrisi lebih lanjut.

c. Apabila status nutrisi yang didapatkan malnutrisi, yaitu 0-7 maka intervensi yang dilakukan berupa tindakan. Tindakan yang daat dilakukan yaitu (1) dukungan nutrisi, yaitu peningkatan diet dan pemberian suplemen oral (400-600 kkal/hari), (2) monitoring berat badan secara intensif dan (3) pengkajian nutrisi lebih lanjut.

(20)

Formulir MNA terdiri dari 7 pertanyaan tetapi 1 merupakan pertanyaan pengganti jika BMI tidak dapat diukur. Total skor dalam formulir Mini Nutritional Assessment (MNA) adalah 14 dan skor ini dapat dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu: jika skor 0-7 maka lansia dikategorikan malnutrisi, jika skor 8-11 maka lansia dikategorikan beresiko malnutrisi dan jika skor 12-14 maka lansia dikategorikan nutrisi baik.

Pertanyaan pertama adalah apakah lansia mengalami penurunan asupan makanan selama tiga bulan terakhir dikarenakan kehilangan selera makan, masalah pencernaan, kesulitan mengunyah atau menelan? Jika lansia menjawab iya mengalami penurunan asupan makanan berat/parah maka skornya 0, jika lansia menjawab iya mengalami penurunan asupan yang sedang maka skornya 1 dan jika lansia menjawab tidak mengalami penurunan asupan maka skornya 2.

Pertanyaan kedua adalah apakah lansia kehilangan berat badan selama 3 bulan terakhir? Jika lansia menjawab kehilangan berat badan lebih dari 3 kilogram maka skornya 0, jika lansia menjawab tidak tahu maka skornya 1, jika kehilangan berat badan antara 1-3 kilogram maka skornya 2 dan jika lansia menjawab tidak kehilangan berat badan maka skornya 3.

Pertanyaan ketiga menanyakan pergerakan atau aktivitas lansia. Bagaimana pergerakan atau aktivitas anda sehari-hari? Jika lansia menjawab hanya ditempat tidur atau kursi roda mka skornya 0, jika lansia menjawab hanya mampu turun dari tempat tidur atau kursi roda namun tidak bisa jalan-jalan keluar maka skornya 1 dan jika lansia menjawab dapat jalan-jalan/beraktivitas di luar rumah maka skornya 2.

(21)

Pertanyaan keempat adalah apakah lansia mengalami stress psikologis atau penyakit akut selama 3 bulan terakhir? Jika lansia menjawab ya maka skornya 0 dan jika lansia menjawab tidak maka skornya 1.

Pertanyaan kelima adalah apakah anda mengalami masalah neuropsikologis? Jika lansia mengalami masalah neuropsikologis seperti demensia dan depresi berat maka skornya 0, jika lansia mengalami demensia ringan maka skornya 1 dan jika lansia tidak mengalami masalah neuropsikologi maka skornya 2.

Selanjutnya adalah pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Jika IMT kurang dari 19 maka skornya 0, jika IMT 19 sampai kurang dari 21 maka skornya 1, jika IMT 21 sampai kurang dari 23 maka skornya 2 dan jika IMT 23 atau lebih maka skornya 3.

Jika IMT tidak didapatkan, maka pengukuran IMT dapat diganti dengan mengukur lingkar betis. Jika lingkar betis kurang dari 31 maka skornya 0 dan jika lingkar betis 33 atau lebih maka skornya 3 ( Skates & Anthony, 2012 ).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pengukuran antropometri dan body mass index (BMI) lebih rendah pada anak yang terinfeksi Blastocystis hominis dibandingkan dengan

13 Tujuan penilaian status nutrisi pada anak yang dirawat di rumah sakit adalah untuk menentukan status nutrisi pasien pada saat tersebut, mengidentifikasi adanya malnutrisi

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan

Cara penggunaan antropometri dalam ergonomi fisik adalah dapat digunakan untuk memperkirakan posisi tubuh yang baik dalam bekerja.. Pengukuran dimensi struktur tubuh

Pada metode antopometri kita kenal dengan Indeks Antropometri. Indeks antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi dari beberapa parameter

Dalam keadaan ini, indeks antropometri yang menggunakan berat badan tidak dapat digunakan lagi untuk menilai status gizi. Tinggi Badan Menurut

Menurut Loh analisis radiografi tangan dapat digunakan untuk menentukan usia pertumbuhan skeletal pasien pada saat itu, menentukan status pertumbuhan pasien, mengetahui saat

Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan,