Rio Dwi Setiawan
Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences Islamic University of Indonesia
riodwisetiawan@yahoo.com
ABSTRACT
This study aims to prove the hypothesis that the supportive group therapy can increase teenager self-compassion whose parents are divorced. The study involved 10 university students aged 18-20 years (late adolescent), whose parents had divorced. This study is a quasi-experimental model with pretest-posttest control group design. Measurement of self-compassion is done by providing a self-compassion scale (Neff, 2003) in experimental and control groups in pretest, posttest, and follow-up phases. Data was analyzed using ANOVA quantitatively and qualitative descriptive analysis. The results showed p = 0.020 (p < 0.05), which means that there are significant differences between the experimental and control groups after the implementation of supportive group therapy. Meanwhile, there is an increase in self-compassion in the experimental group based on average gained score.
Keywords: supportive group therapy, self-compassion, late adolescent, parental divorce
1
Perceraian adalah penyebab stres kedua tertinggi setelah kematian pasangan hidup (Gollop dkk, 2000). Perceraian diasosiasikan dengan penurunan kesejahteraan psikologis secara berkepanjangan (Lucas, 2005), dan meningkatkan risiko timbulnya penyakit fisik (Sbarra, Law, & Portley, 2011). Umumnya, orangtua akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan dengan anak-anak mereka. Tidak demikian halnya dengan anak yang harus menerima keputusan orangtua tanpa adanya bayangan bahwa hidup mereka akan berubah.
Anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena harus kehilangan salah satu orangtua mereka pasca perceraian. Sama halnya seperti orangtua mereka, anak juga merasa sedih, marah, takut, muncul penyangkalan dan rasa bersalah. Perasaan-perasaan tersebut dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku seperti suka mengamuk, menjadi kasar, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi, tidak berminat pada tugas sekolah sehingga nilai di sekolah menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu kembali (Gollop dkk, 2000).
Anak yang gagal beradaptasi dalam menjalani perubahan pola kehidupan pasca perceraian orangtuanya akan membawa perasaan yang tidak nyaman hingga dewasa kelak. Penelitian oleh Amato (2000) juga menunjukkan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang orangtuanya tidak bercerai. Perasaan-perasaan seperti ditolak, tidak berharga, dan tidak dicintai akan membentuk sikap takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis (Cole, 2005). Remaja yang orangtuanya bercerai juga memiliki kecenderungan yang lebih besar
untuk memiliki masalah sosial dan akademik dibandingkan remaja dari keluarga yang utuh (Kelly & Emery, 2003).
Perasaan-perasaan negatif yang dialami oleh remaja yang orangtuanya bercerai menyebabkan mereka kesulitan untuk menerima keadaan dan cenderung menyalahkan pihak luar dan bahkan dirinya sendiri mengenai kondisi yang dialami. Hal-hal negatif tersebut juga merupakan penderitaan batin yang menjadi penanda kurangnya rasa belas kasih pada diri sendiri (self-compassion). Self-compassion akan mendorong seseorang untuk benar-benar memperhatikan penderitaannya dan mengembangkan sikap berbaik hati pada diri sendiri dalam menghadapi penderitaan tersebut (Neff, 2011). Self-compassion terdiri dari 3 aspek, yaitu: self-kindness atau berbaik hati pada diri sendiri, common humanity yaitu kesadaran bahwa pengalaman baik dan buruk adalah bagian dari hidup manusia, dan mindfulness yaitu perspektif yang berimbang.
Kesadaran bahwa semua manusia adalah tidak sempuna, membuat kesalahan, dan memiliki tantangan hidup yang serius dapat difasilitasi oleh latihan interpersonal seperti berbagi cerita (Neff & Germer, 2012). Kegiatan saling berbagi cerita dan berdiskusi dapat diwujudkan dalam bentuk terapeutik melalui terapi kelompok suportif. Terapi kelompok suportif berisi sekelompok individu dengan masalah yang sama, saling memberikan dukungan sosial dan emosional (Smith, Cummings, & Constantinides, 2010). Terapi kelompok suportif sekaligus menjadi tempat yang aman untuk berbagi pikiran dan pengalaman negatif. Inspirasi bisa datang dari proses pengamatan dan refleksi terhadap pengalaman peserta lain. Terapi kelompok suportif sangat memungkinkan terjadinya proses pembelajaran sosial melalui imitasi dan modelling terhadap pengalaman peserta lain. Proses pembelajaran dan dukungan yang diperoleh melalui anggota kelompok dapat menjadi sumber kekuatan individu untuk bangkit dan memperoleh energi baru (Smith, Cummings, & Constantinides, 2010).
Berdasarkan penjabaran di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan self-compassion remaja yang orangtuanya bercerai dengan terapi kelompok suportif. Manfaat dari penelitian ini meliputi aspek teoritis dan praktis. Hipotesis yang diuji adalah skor self-compassion yang lebih tinggi akan didapatkan oleh kelompok remaja tingkat akhir yang orangtuanya bercerai kemudian mendapatkan terapi kelompok suportif, dibandingkan dengan skor self-compassion kelompok remaja dengan karakteristik serupa yang tidak mendapatkan terapi kelompok suportif.
METODE PENELITIAN Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Remaja tingkat akhir dengan usia 18 sampai 20 tahun
2. Orangtuanya telah bercerai baik secara hukum atau agama
3. Tingkat self-compassion yang dimiliki adalah sedang sampai rendah berdasarkan pengisian skala self-compassion
4. Para responden akan dibagi dalam 2 kelompok, yaitu 5 orang di kelompok eksperiman dan 5 orang di kelompok kontrol.
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimen dengan model rancangan penelitian yang digunakan adalah pretest-posttest control group design (Neuman, 2006). Disain ini bertujuan untuk melihat pengaruh suatu intervensi terhadap kelompok yang dikenakan perlakuan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dikenakan perlakuan.
Tabel 1. Rancangan penelitian
Kelompok Prates Perlakuan Pascates Tindak Lanjut
Eksperimen (KE) O1 X O2 O3 Kontrol (KK) O1 -X O2 O3 Keterangan: KE : Kelompok eksperimen KK : Kelompok kontrol O1 : Observasi prates O2 : Observasi pascates O3 : Tindak lanjut X : Perlakuan -X : Tanpa perlakuan
Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data dengan beberapa metode, di antaranya:
1. Skala
Skala yang akan diberikan pada subjek adalah skala self-compassion sebagai pre-test, yaitu sebelum pelatihan diberikan, dan post-test, yaitu sesudah pelatihan diberikan. Hal ini dilakukan peneliti untuk mendapatkan data secara kuantitatif mengenai perubahan yang dialami subjek setelah diberi pelatihan.
Skala self-compassion menggunakan 5 poin Likert yang memiliki rentang 1 (hampir tidak pernah) sampai 5 (hampir selalu). Penyekoran item favorable dilakukan sesuai rentang tersebut, sedangkan item unfavorable sebaliknya yaitu 5 untuk pilihan “hampir selalu” sampai 1 untuk pilihan jawaban “tidak pernah”. Penyekoran kemudian dilakukan dengan menambahkan skor masing-masing item dan membagi skor sesuai jumlah item,
yaitu 26. Interpretasi skor berupa kategorisasi tingkat self-compassion responden, sebagai berikut (Neff, 2003b):
a. 1 sampai 2,5 mengindikasikan self-compassion yang rendah b. 2,5 sampai 3,5 mengindikasikan self-compassion yang sedang
c. 3,5 sampai 5 mengindikasikan mengindikasikan self-compassion yang tinggi Tabel 2. Cetak biru Skala Self-Compassion 26 item (Neff, 2003b)
Aspek Sebaran item Jumlah
Favourable Unfavourable Self-kindness 5, 12, 19, 23, 26 1, 8, 11, 16, 21 10 Common humanity 3, 7, 10, 15 4, 13, 18, 25 8 Mindfulne ss 9, 14, 17, 22 2, 6, 20, 24 8 Jumlah 13 13 26 2. Wawancara
Wawancara akan dilakukan untuk mendapatkan data secara kualitatif dari responden mengenai permasalahan yang dihadapi sebenarnya. Selain itu, wawancara dipandang penting oleh peneliti agar mengetahui perlu tidaknya penambahan sub pelatihan tertentu.
Pertanyaan juga diberikan untuk mengetahui perkembangan peserta selama proses intevensi. Pertanyaan terbuka akan diberikan untuk memberikan keleluasaan bagi peneliti dalam mengeksplorasi pengalaman peserta. Contoh pertanyaan yang akan diajukan peneliti dalam penggalian masalah dan selama proses intervensi antara lain:
a. Bagaimana perasaan Anda mengenai perceraian orangtua Anda?
b. Apa saja perubahan yang Anda rasakan setelah orangtua Anda bercerai?
c. Pelajaran atau hikmah apa yang Anda dapatkan dari intervensi pertama/kedua/ketiga ini?
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Peneliti juga menggunakan teknik analisis data kualitatif terhadap hasil observasi dan wawancara anggota kelompok. Analisis data kuantiatif menggunakan perangkat lunak Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini akan menggunakan uji beda analisis varian (analysis of variant / ANOVA), karena mengukur perbedaan yang terjadi pada lebih dari 2 kelompok responden dan atau lebih dari 2 kelompok skor (Aron, Aron, & Coups, 2006). Penggunaan ANOVA juga dikarenakan data penelitian ini normal dan homogen.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan uji asumsi diketahui bahwa data yang didapatkan normal dan homogen, sehingga analisis parametrik dapat dilakukan. Analisis untuk uji hipotesis menggunakan ANOVA. Data yang dianalisis berdasarkan skala self-compassion pada tahap pretest, post-test, dan follow up pada kelompok eksperimen dan kontrol. Berikut adalah hasil uji hipotesis menggunakan ANOVA.
Tabel 3. Hasil uji hipotesis
Tahap Sig. Keterangan
Pretest 0.938 Tidak signifikan
Post-test 0.020 Signifikan
Berdasarkan analisis data tersebut diketahui jika signifikansi pada skor pretest p = 0,938. Hal ini menandakan bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol. Kemudian, untuk post-test didapatkan angka signifikansi p = 0.020 yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol setelah intervensi diberikan. Pada tahap follow up didapatkan angka signifikansi p = 0.035 yang artinya juga terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol pada tahap ini. Berdasarkan uji hipotesis ini dapat disimpulkan bahwa terapi kelompok suportif dapat meningkatkan self-compassion remaja yang orangtuanya bercerai, sehingga hipotesis diterima.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis terapi kelompok suportif akan meningkatkan self-compassion remaja yang orangtuanya bercerai. Pengukuran self-compassion dilakukan sebelum dan sesudah terapi kelompok suportif diberikan, serta pada periode follow up pada kelompok eksperimen dan kontrol. Berdasarkan analisis kuantitatif menggunakan ANOVA pada kelompok eksperimen dan kontrol didapati perbedaan self-compassion yang signifikan antara sebelum dan setelah intervensi diberikan pada kelompok eksperimen. Angka signifikansi adalah p=0.020, p<0.05. Peningkatan self-compassion pada kelompok eksperimen juga dapat dilihat dari skor rerata sebelum dan sesudah mengikuti intervensi, yaitu 2.94 menjadi 3.79.
Hasil analisis kuantitatif ini menandakan bahwa hipotesis diterima. Hasil ini sejalan dengan pendapat Bryner (2001), yang menyatakan bahwa terapi kelompok bernilai efektif untuk dilakukan pada anak yang orangtuanya bercerai. Olivia dkk (2009) juga menjelaskan bahwa terapi kelompok suportif cocok untuk remaja yang mengalami tekanan dan mempunyai efek protektif yang
signifikan. Salah satu peristiwa tidak menyenangkan bahkan bersifat traumatik yang dapat dialami remaja adalah perceraian orangtua (Shehan, 2003).
Terapi kelompok suportif mengumpulkan anggota-anggota yang memiliki masalah dan rentang usia yang berdekatan, sehingga memungkinkan interaksi yang lebih nyaman. Remaja cenderung lebih merasa nyaman dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang dewasa (Aronson & Kahn, 2004). Terapi kelompok suportif akan berfungsi sebagai media bagi remaja untuk menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi juga dialami oleh remaja lainnya. Perasaan terisolasi dapat mulai diturunkan pada fungsi ini, sehingga aspek common humanity dapat meningkat.
Para subjek menyatakan bahwa sebelum intervensi diberikan mereka menganggap bahwa penderitaan pasca perceraian orangtua adalah perasaan yang unik. Emosi negatif seperti sedih, marah, dan malu tidak dapat dipahami orang lain, sehingga mereka cenderung menutup-nutupi kondisi tersebut. Para subjek juga menutup diri mengenai kondisi ini karena merasa bahwa perceraian orangtua adalah aib dalam kehidupan mereka. Kondisi ini menyebabkan para subjek merasa lelah dan kesepian. Mereka juga merasa bahwa orang lain selalu memiliki kehidupan yang lebih baik.
Setelah intervensi diberikan, para subjek melaporkan bahwa muncul kesadaran bahwa mereka tidak menghadapi penderitaan sendirian. Para subjek mengalami kondisi dan perasaan yang sama. Masalah yang mereka hadapi seperti masalah finansial, kebingungan dalam menentukan sikap, dan emosi negatif dialami oleh semua subjek. Padahal masing-masing orangtua subjek bercerai pada kurun waktu yang berbeda-beda. Para subjek pun berada pada usia yang berbeda-beda saat orangtua mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan penelitian Santrcok (2003)
yang menjelaskan bahwa perceraian menyebabkan munculnya emosi negatif pada anak di segala usia.
Aspek common humanity yang berkembang juga dapat dilihat dari perasaan yang muncul setelah subjek berbagi cerita dan mendapatkan dukungan. Para subjek melaporkan bahwa perasaan mereka menjadi lebih baik setelah mereka berbagi cerita. Kesadaran bahwa seseorang tidak sendiri dalam menghadapi situasi yang berat akan mengurangi perasaan terisolasi dan meningkatkan coping yang adaptif (Neff, 2003a).
Terapis pada terapi kelompok suportif memfasilitasi masing-masing subjek untuk mengemukakan pendapatnya. Para subjek juga diberi kesempatan untuk saling memberi komentar. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan pemikiran yang lebih luas dan objektif pada masalah yang sedang dihadapi. Subjek semakin menyadari adanya peristiwa-peristiwa yang menyakitkan tetapi disertai dengan ketenangan dan kesabaran karena mendapatkan perspektif lain.
Para subjek melaporkan bahwa mereka sulit untuk fokus pada kegiatan sehari-hari karena pemikirannya diliputi emosi negatif. Sikap yang dibentuk pun merupakan manifestasi dari keputusan yang emosional. Sikap yang dilaporkan oleh subjek misalnya enggan komitmen dalam hubungan romantis dan tidak mau memaafkan orangtua. Hal ini menandakan aspek mindfulness yang rendah.
Komentar dari subjek lain membantu untuk menyeimbangkan pemikiran melalui perspektif yang berbeda. Para subjek melaporkan munculnya perspektif baru mengenai perceraian, sikap terhadap orangtua, pasangan hidup kelak dan cara menghadapi masalah. Aspek mindfulness pun meningkat dari jalannya terapi kelompok suportif. Peningkatan mindfulness dapat terlihat dari meluasnya perspektif yang didapatkan dari kesadaran yang objektif dan seimbang sehingga tidak
memikirkan hal negatif secara berlarut-larut (Neff, 2003a). Hal ini bahkan mendorong para subjek untuk lebih bersyukur dengan kehidupan yang mereka jalani saat ini.
Terapi kelompok suportif memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk dapat bertukar pengalaman tertentu, baik mengenai fisik maupun emosional (Yalom & Lesczc, 2005). Interaksi di dalam kelompok akan menciptakan rasa empati dan berbaik hati pada anggota kelompok lainnya. Rasa empati dan kebaikan yang diarahkan pada orang lain maka akan mulai dapat diarahkan pada diri sendiri (Barnard & Curry, 2011). Para subjek melaporkan bahwa stelah intervnesi diberikan mereka lebih dapat memahami diri sendiri, mengembangkan sikap positif, bersyukur, dan lebih menyayangi diri, berkat masukan dari subjek lainnya. Padahal, sebelum intervensi diberikan para subjek mengeluhkan adanya perasaan tidak berharga, kegiatan mengkritik diri karena gagal mencapai sesuatu, dan optimisme yang hilang akan masa depan yang lebih baik. Hal ini menandakan adanya peningkatan self-kindness. Perkembangan self-kindness ditandai dengan pemahaman mengenai diri sehingga lebih peduli dan tidak mengkritik diri sendiri (Germer & Neff, 2013).
Peningkatan ketiga aspek tadi menandakan berkembangnya self-compassion ynag dimiliki subjek. Subjek belajar untuk membuka diri dan memahami bahwa hal negatif yang mereka rasakan juga dialami oleh orang lain, sehingga aspek common humanity berkembang. Hal ini mendorong mereka untuk lebih toleran terhadap masukan dari pihak luar, sehingga perspektif akan meluas dan objektif dalam memandang masalah, serta tidak lagi terlibat dalam emosi yang berlarut-larut. Hal ini menandakan aspek mindfulness yang berkembang. Pengalaman selama berinteraksi dengan perspektif yang luas telah membantu subjek untuk lebih memahami dan lebih peduli pada diri sendiri. Hal ini menandakan aspek self-kindness yang juga berkembang. Barnard & Curry (2011)
menjelaskan bahwa tiga aspek pembentuk self-compassion saling berhubungan satu sama lain. Perkembangan pada salah satu aspek akan akan mempromosikan aspek lainnya.
Para subjek terbukti mengalami peningkatan self-compassion dari penjabaran di atas. Mereka melaporkan bahwa saat ini merasa lebih mengenal diri sendiri, bahagia, optimis, termotivasi, dan lebih menerima keadaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Neff & Beretvas (2012) yang mengatakan bahwa individu yang mengalami peningkatan self-compassion akan merasa lebih bahagia, optimis, puas akan kehidupannya, peningkatan kecerdasan emosional, coping yang adaptif, bijaksana, dan resilien.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan self-compassion yang signifikan antara remaja yang mendapat terapi kelompok suportif dan yang tidak mendapatkannya. Terapi kelompok suportif terbukti efektif untuk meningkatkan self-compassion remaja yang orangtuanya bercerai. Hal ini dapat diketahui dari perbedaan skor yang didapatkan sebelum dan sesudah terapi kelompok suportif dilaksanakan.
Saran 1. Bagi subjek penelitian
Para subjek penelitian disarankan untuk tetap menjaga komunikasi. Interaksi yang intens dapat membantu subjek untuk tetap mengingat pengetahuan yang telah didapatkan dari intervensi. Interaksi juga akan mendorong subjek untuk terus saling mendukung dan mengembangkan sikap positif. Pengetahuan yang dimiliki subjek juga diharapkan dapat diteruskan pada individu lain yang menghadapi kondisi yang sama.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian selanjutnya diharapkan memperhatikan kelemahan-kelemahan dalam penelitian ini, seperti durasi dan frekuensi intervensi, serta instrumen pendamping alat ukur. Subjek pada kelompok eksperimen dalam penelitian ini adalah remaja perempuan yang orangtuanya bercerai. Variasi jenis kelamin pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk memberikan informasi yang lebih kaya. Variasi subjek lain yang dapat diteliti adalah terkait usia, tahap penerimaan terhadap perceraian, dan bentuk coping.
Penelitian selanjutnya yang menggunakan terapi kelompok suportif membutuhkan sikap yang fleksibel dari peneliti. Hal ini diperlukan karena terapi kelompok suportif berjalan dengan menyesuaikan keadaan subjek pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Pelaksanaan terapi kelompok suportif yang tidak terlalu sesuai dengan perencanaan yang dibuat sangat mungkin terjadi.
Penelitian selanjutnya juga diharapkan untuk memasangkan terapi kelompok suportif ataupun variabel self-compassion dengan variabel-variabel lainnya. Variabel lain yang diasumsikan juga terjadi pada remaja yang orangtuanya bercerai adalah kepercayaan diri, pemaafan, dan kesejahteraan psikologis. Sementara itu, untuk intervensi yang disarankan untuk meningkatkan self-compasssion adalah terapi pemaafan dan kebersyukuran, ataupun terapi lain yang berhubungan dengan spiritualitas. Hal ini disarankan mengingat konsep self-compassion berakar dari ajaran agama.
DAFTAR PUSTAKA
Amato, P.R. (2000). The Consequences of Divorce for Adults and Children. Journal of Marriage and Family vol. 62, p. 1269-1287.
Aronson, S. & Kahn, G. B. (2004). Group Interventions for Treatment of Psychological Trauma, Module 3: Group Interventions for Treatment of Trauma in Adolescents. USA: American Group Psychotherapy Association.
Aron, A., E. N. Aron., E. J. Coups. (2006). Statistics for Psychology: Fourth Edition. New Jersey: Pearson Education International.
Barnard, L.K. & Curry, J.F. (2011). Self-Compassion: Conceptualizations, Correlates, & Interventions. Review of General Psychology, American Psychological Association DOI: 10.1037/a0025754
Bryner Jr., C.L. (2001). Children of Divorce. Journal of the American Board of Family Medicine vol. 14, pp. 3-15
Cole, K. (2005). Mendampingi Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
Germer, C.K & Neff, K. (2013). Self-Compassion in Clinical Practice. Wiley Periodical, Inc. J. Clin. Psychol: In Session 69: 1-12.
Gollop, M., Taylor, N., and Smith, A. (2000). Children’s perspectives on their parents’ separation. In A. Smith, N. Taylor, and M. M. Gollop (Eds.), Children’s voices. Auckland, New Zealand: Pearson Education
Kelly, J.B. & Emery, R.E. (2003). Children’s Adjusment Following Divorce: Risk and Resilience Perspectives. Family Relations vol. 52, p. 352-362.
Lucas, R.E. (2005). Time Does Not Heal All Wounds: A Longtudinal Study of Reaction and Adaptation to Divorce. Psychological science, 16, 945-950.
Neff, K. (2003a). Self-compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Identity. 2, p.85-101.
Neff, K. (2003b). The Development and Validation of a Scale to Measure Self-Compassion. Self and Identity, 2, p.223-250.
Neff, K. (2011). Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. New York: William Morrow.
Neff, K. & Beretvas, S.N. (2012). The Role of Self-Compassion in Romantic Relationship. Self and Identity, 2, p.85-101.
Neff, K. & Germer, C.K. (2012). A Pilot Study and Randomized Controlled Trial of The Mindful Self-Compassion Program. Wiley Periodical, Inc. J. Clin. Psychol. 00: 1-17.
Neuman, W. L. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach (6th Edition). Boston: Pearson Education.
Olivia, dkk. (2009). Protective Effect of Supportive Family Relationship and The Influence of Stresful Life Events on Adolescent Adjusment. Journal of Anxiety, Stress & Coping, 22 (2): 137-152.
Sbarra, D.A., Law, R.W., & Portley, R.M. (2011). Divorce and Death: A Meta-analysis and Research Agenda for Clinical, Social, and Health Psychology. Perspective on Psychological Science, 6, p. 454-474.
Shehan, C.L. (2003). Marriages and Families second ed. New York: Pearson Education, Inc. Smith, J.C., A. Cumming., & Constantinides, S.X. (2010). A Decade of Parent and Infant
Relationship Support Group Therapy Programs. International Journal of Group Psychotherapy vol 60 no 1 pg 59-89.
Yalom, I. D & Leszcz, M. (2005). The Theory and Practice of Group Psychotherapy Fifth Edition. New York: Basic Books.