• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Menurut Kahn (1964) dalam Agustina (2009) teori peran (role theory)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Menurut Kahn (1964) dalam Agustina (2009) teori peran (role theory)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Peran

Menurut Kahn (1964) dalam Agustina (2009) teori peran (role theory) merupakan penekanan sifat individual sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku yang sesuai dengan posisi yang ditempati di masyarakat. Helriegel et al. (2001) dalam Zain dan Setiawan (2009) mendefinisikan peran (role) sebagai sekelompok tugas dan perilaku yang diharapkan oleh orang lain untuk dapat dilaksanakan oleh seseorang dalam menjalankan pekerjaannya.

Teori peran seperti yang dinyatakan dalam Lubis (2011:50) berkaitan dengan peranan sosial. Susunan atau tanggapan perilaku yang kita harapkan dan kehendaki disebut sebagai peranan sosial. Peran dapat digambarkan secara sederhana sebagai bagian dari orang-orang yang saling berinteraksi. Peranan sosial menggambarkan hak, tugas, kewajiban, dan perilaku yang sesuai dengan orang yang memegang posisi tertentu dalam konteks sosial tertentu. Peran membedakan perilaku dari orang yang menduduki posisi organisasi tertentu dan berfungsi mempersatukan pembagian kerja. Peran merupakan komponen perilaku nyata yang disebut norma. Norma-norma adalah harapan dan kebutuhan perilaku yang sesuai untuk suatu peranan tertentu. Tiap-tiap peran berhubungan dengan suatu identitas yang menggambarkan individu dalam hal bagaimana mereka perlu bertindak dalam situasi khusus. Suatu aspek penting dari teori peran adalah

(2)

14

identitas yang menduduki jabatan tertentu dalam suatu organisasi formal atau suatu kelompok informal membawa pola perilaku bersama yang diharapkan.

Seseorang memiliki peran, baik di dalam maupun di luar pekerjaannya. Masing-masing peran menghendaki perilaku yang berbeda-beda. Seorang karyawan dalam lingkungan pekerjaan mungkin memiliki lebih dari satu peran, seorang karyawan dapat berperan sebagai bawahan, penyelia, anggota serikat pekerja, dan wakil dalam panitia keselamatan kerja (Agustina, 2009).

Menurut Hutami dan Chariri (2011) peran yang dimainkan oleh seseorang dapat menjadi faktor penyebab stres karena seseorang dalam kehidupannya tidak hanya memainkan satu peran. Harapan dari lingkungan di sekitar individu atas peran yang dijalankannya akan memberikan tekanan-tekanan yang dapat memengaruhi bagaimana individu bertindak. Peran manajemen dalam suatu organisasi dapat menjadi salah satu aspek yang dapat berpengaruh pada tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related stress) di antara para karyawan. Karyawan dalam sebuah organisasi dapat menghadapi tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan melalui tekanan peran yang manajemen berikan (Pathak, 2012).

2.1.2 Tekanan Peran

Menurut Khattak et al. (2013), tekanan kerja (job stress) yaitu pandangan mengenai disfungsi individu yang disebabkan oleh lingkungan di dalam tempat kerja. Tekanan kerja merupakan multidimensional yang pada dasarnya yaitu tekanan beban kerja, tekanan waktu, tekanan kinerja, konflik peran, ketidakjelasan peran, konflik kerja dalam keluarga, dan lain sebagainya. Menurut Fisher (2001)

(3)

15

tekanan dalam pekerjaan (job-related stress) merupakan faktor yang sering dihubungkan dengan profesi auditing. Salah satu sumber tekanan (stress) yang secara teratur dialami dalam lingkungan kerja adalah tekanan peran (role stress) (Zain dan Setiawan, 2009).

Tekanan peran pada dasarnya adalah suatu kondisi di mana setiap peranan seseorang memiliki harapan yang berbeda yang dipengaruhi oleh harapan orang lain, di mana harapan-harapan tersebut dapat berbenturan, tidak jelas, dan menyulitkan peranan seseorang sehingga peranan seseorang menjadi samar-samar, sulit, bertentangan atau tidak mungkin untuk bertemu (Agustina, 2009). Teori tekanan peran menyatakan bahwa faktor-faktor organisasional menghasilkan harapan-harapan peran di antara pengirim peran, yang kemudian meneruskan hal tersebut sebagai tekanan peran terhadap seseorang. Pengalaman dan tekanan yang berkepanjangan menciptakan gejala atas gangguan kesehatan (Kahn et al., 1964 dalam Idris, 2011). Rebele dan Michaels (1990) dalam Widiastuti dan Sumiati (2011) menyatakan bahwa auditor profesional khususnya mudah mengalami tekanan peran dalam beberapa alasan di antaranya: pertama, sifat dasar dari rentangan yang terbatas (boundary spaning) auditor itu sendiri; kedua, potensi atas harapan dari klien dan inspektorat umum yang bertentangan; dan ketiga, kompleksitas audit modern maupun dampak yang disebabkan oleh kinerja peran yang rendah.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bamber et al. (1989), Gregson dan Wendell (1994) tentang tekanan peran (role stress) pada profesi akuntan publik menggunakan dua elemen dari tekanan peran, di mana elemen dari tekanan

(4)

16

peran yang didasarkan pada pengalaman auditor dan persepsi yang relevan dengan karakteristik organisasi akuntan publik yaitu konflik peran (role conflict) dan ketidakjelasan peran (role ambiguity). Sorensen dan Sorensen (1974) dalam Agustina (2009) menyatakan bahwa profesi akuntan publik dikarakteristikkan sebagai salah satu profesi yang potensial untuk konflik dan ketidakjelasan peran.

Selanjutnya Fogarty et al. (2000), Almer dan Kaplan (2002) dalam Agustina (2009) menambahkan satu elemen dari tekanan peran yaitu kelebihan peran (role overload) dalam penelitiannya pada akuntan publik. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan tiga elemen tekanan peran (role stress), seperti yang dikemukakan oleh Fogarty et al. (2000) dan Almer dan Kaplan (2002), yang terdiri dari konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (role ambiguity), dan kelebihan peran (role overload). Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Woelf dan Snoek (1962) dalam Anisykurlillah, dkk. (2013) bahwa tekanan peran (role stress) menunjukkan seberapa luas ekspektasi serangkaian peran anggota organisasi menghadapi situasi yang mengandung tiga dimensi, yaitu ketidakjelasan peran (ambiguity), ketidaksesuaian peran sehingga antar peran bertentangan satu sama lainnya (conflict), dan beratnya tekanan dalam pekerjaan (overload).

2.1.3 Auditing

Pengertian auditing menurut Mulyadi (2002:9) adalah suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut

(5)

17

dengan kriteria yang telah ditetapkan serta penyampaian hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Auditor dalam melakukan audit harus berdasarkan atas suatu standar yang disebut standar auditing. Standar auditing terdiri dari sepuluh standar dan semua Pernyataan Standar Auditing (PSA) yang berlaku. Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam PSA No. 1 (SA Seksi 150) adalah sebagai berikut :

1) Standar Umum

a) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.

b) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

c) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2) Standar Pekerjaan Lapangan

a) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.

b) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

c) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

(6)

18 3) Standar Pelaporan

a) Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

b) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.

c) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

d) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit, jika ada, dan tingkat tanggungjawab yang dipikul oleh auditor.

2.1.4 Jenis-jenis Auditor

Auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis menurut Yusup (2010:17), yaitu sebagai berikut:

1) Auditor Pemerintah

Auditor pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan negara pada instansi-instansi pemerintah. Di Indonesia auditor pemerintah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

(7)

19

a) Auditor eksternal pemerintah yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

b) Auditor internal pemerintah atau yang lebih dikenal sebagai Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) yang dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen/LPND, dan Badan Pengawasan Daerah.

2) Auditor Internal

Auditor internal adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas utama auditor internal ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat di mana ia bekerja. Auditor internal berkewajiban memberi informasi kepada manajemen yang berguna untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan efektifitas perusahaan.

3) Auditor Independen atau Akuntan Publik

Tugas utama auditor independen atau akuntan publik adalah melakukan fungsi pengaudian atas laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan-perusahaan terbuka yaitu perusahaan yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal, perusahaan-perusahaan besar, dan juga pada perusahaan-perusahaan kecil,

(8)

20

serta organisasi-organisasi nirlaba. Praktik sebagai akuntan publik harus dilakukan melalui suatu KAP yang telah mendapat ijin dari Departemen Keuangan.

2.1.5 Akuntan Publik

Pengertian akuntan publik berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tanggal 5 Februari 2008 adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa akuntan publik sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri. Berdasarkan PSA No. 02 seksi 110, akuntan publik mempunyai tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai (reasonable assurance) tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Akuntan publik tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan. Akuntan publik juga bertanggung jawab untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.

Menurut Febrianty (2012), terdapat empat tingkatan atau level jabatan yang dapat diemban akuntan publik dalam KAP. Masing-masing level memiliki tugas dan wewenang yang berbeda, yaitu seperti pada tabel berikut ini:

(9)

21

Tabel 2.1 Tingkatan Staf dan Tanggung Jawab Pekerjaan Akuntan Publik Tingkatan Staf Masa Kerja Tanggung Jawab Pekerjaan Junior Auditor atau

Staff Assistant

0-2 tahun Mengerjakan sebagian besar pekerjaan audit detail.

Senior atau Incharge Auditor

2-5 tahun Mengkoordinasikan dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan lapangan audit termasuk supervisor dan memeriksa pekerjaan.

Manajer 5-10 tahun Membantu dalam merencanakan dan mengatur audit, memeriksa pekerjaan senior dan mengukur hubungan dengan klien. Manajer juga mungkin bertanggung jawab untuk lebih dari satu kesepakatan pada saat yang sama.

Partner 10 tahun ke atas

Memerika pekerjaan audit keseluruhan dan terlibat dalam keputusan audit yang signifikan. Partner adalah pemilik perusahaan oleh karenanya bertanggung jawab juga atas pelaksanaan audit dan pemberian pelayanan terhadap klien.

Perbedaan tanggung jawab pada masing-masing tingkatan jabatan ini tentunya mengakibatkan perbedaan konflik-konflik, tekanan-tekanan, dan suasana dalam bekerja. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap tingkatan tentunya menuntut auditor untuk memberikan keputusan yang sesuai dengan karakteristik tingkatannya (Febrianty, 2012).

2.1.6 Kode Etik Akuntan Publik

Berdasarkan kode etik akuntan publik yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik – Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menyatakan bahwa setiap akuntan publik wajib mematuhi prinsip dasar etika profesi sebagai berikut:

(10)

22 1) Prinsip Integritas

Setiap praktisi harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam melaksanakan pekerjaannya.

2) Prinsip Objektivitas

Setiap praktisi tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undue influence) dari pihak-pihak lain memengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya.

3) Prinsip Kompetensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian Profesional (Professional Competence and Due Care)

Setiap praktisi wajib memelihara pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada suatu tingkatan yang dipersyaratkan secara berkesinambungan, sehingga klien atau pemberi kerja dapat menerima jasa profesional yang diberikan secara kompeten berdasarkan perkembangan terkini dalam praktik, perundang-undangan, dan metode pelaksanaan pekerjaan. Setiap praktisi harus bertindak secara profesional dan sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya.

4) Prinsip Kerahasiaan

Setiap praktisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya, serta tidak boleh mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien atau pemberi kerja, kecuali jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku. Informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan

(11)

23

hubungan bisnis tidak boleh digunakan oleh praktisi untuk keuntungan pribadinya atau pihak ketiga.

5) Prinsip Perilaku Profesional

Setiap praktisi wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.

2.1.7 Konflik Peran

Konflik peran (role conflict) adalah suatu konflik yang timbul karena mekanisme pengendalian birokrasi organisasi tidak sesuai dengan norma, aturan, etika, dan kemandirian profesional. Konflik peran timbul karena adanya dua perintah berbeda yang diterima secara bersamaan dan pelaksanaan atas hanya salah satu perintah akan mengakibatkan diabaikannya perintah yang lain (Agustina, 2009). Konflik peran dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan dapat menurunkan motivasi kerja karena mempunyai dampak negatif terhadap perilaku individu seperti timbulnya ketegangan kerja, banyak terjadi perpindahan pekerja, dan penurunan kepuasan kerja sehingga dapat menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan (Fanani, dkk., 2008).

Pada suatu titik tertentu atau pada rentang normal, konflik dapat bersifat membangun tetapi jika melebihi poin tersebut, konflik mungkin bersifat merusak. Konflik dapat menjadi positif ketika hal tersebut mengatasi ketidakberdayaan organisasi dan mengarahkan ke pembangunan organisasi, namun jika melebihi suatu titik tertentu, konflik dapat mengarah pada ketidakefektifan organisasi (Judeh, 2011).

(12)

24

Konflik peran mengarah pada ketidaksesuaian harapan dan permintaan yang dihubungkan dengan peran. Menurut Rizzo et al. (1970) dalam Idris (2011), konflik peran memiliki karakteristik yaitu: tanpa sumber yang memadai; yang harus membelokkan suatu aturan atau kebijakan; dan yang menerima permintaan yang berlawanan. Kantz dan Khan (1978) dalam Murtiasri dan Ghozali (2006) menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada diri seseorang.

Konflik peran didefinisikan sebelumnya sebagai kerugian atas ketidaksesuaian harapan. Harapan yang tidak beralasan ini dapat menghasilkan baik interrole conflict maupun intrarole conflict. Interrole conflict mengarah pada konflik yang terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lain. Intrarole conflict adalah konflik yang terjadi antara seseorang dengan orang lain, seperti seseorang menerima pesan-pesan yang berlawanan dari role senders mengenai bagaimana melakukan peran tertentu (Idris, 2011).

Di dalam kantor terdapat role senders yang merupakan pemberi informasi atau perintah (atasan maupun rekan kerja), dan memiliki ekspektasi terhadap bagaimana penerima informasi atau perintah (focal person) harus berperilaku. Role senders memiliki potensi untuk memengaruhi munculnya konflik peran. Persepsi focal person terhadap pesan dan perintah dapat mendorong terjadinya konflik peran. Konflik peran terjadi jika focal person mengalami adanya pesan-pesan dan perintah-perintah yang tidak cocok (incompatible) yang berasal dari role senders (Zain dan Setiawan, 2009).

(13)

25

Menurut Lubis (2011:56), konflik peran dapat ditimbulkan dari hal-hal sebagai berikut:

1) Koordinasi Arus Kerja

Berkaitan dengan seberapa baik berbagai aktivitas kerja yang saling berhubungan dapat dikoordinasikan dan seberapa jauh individu memeroleh informasi mengenai kemajuan tugasnya.

2) Kecukupan Wewenang

Berkaitan dengan sampai sejauh mana individu berwenang mengambil keputusan yang perlu dan untuk mengatasi masalah kerja.

3) Kecukupan Komunikasi

Berkaitan dengan derajat penyediaan informasi yang akurat dan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan.

4) Kemampuan Adaptasi

Berkaitan dengan kemampuan menangani perubahan keadaan yang baik dan tepat waktu.

2.1.8 Ketidakjelasan Peran

Rebele dan Michaels (1990) dalam Agustina (2009) menyatakan bahwa ketidakjelasan peran (role ambiguity) mengacu pada kurangnya kejelasan mengenai harapan pekerjaan, metoda-metoda untuk memenuhi harapan-harapan yang dikenal, dan/atau konsekuensi dari kinerja atau peranan tertentu. Ketidakjelasan peran merupakan tidak cukupnya informasi yang dimiliki serta tidak adanya arah dan kebijakan yang jelas, kewajiban dan hubungan dengan

(14)

26

lainnya, ketidakpastian tentang otoritas, dan ketidakpastian sanksi dan ganjaran terhadap prilaku yang dilakukan (Maulana, dkk., 2012).

Ketidakjelasan peran muncul ketika individu tidak memiliki pengetahuan atau wewenang yang jelas mengenai bagaimana melakukan pekerjaan yang ditugaskan (Rizzo et al., 1970 dalam Idris, 2011). Hanif (2013) menyatakan bahwa ketidakjelasan peran muncul karena tidak cukupnya informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas atau pekerjaan yang diberikan dengan cara yang memuaskan.

Maulana, dkk. (2012) juga menyatakan bahwa individu dapat mengalami ketidakjelasan peran jika mereka merasa tidak adanya kejelasan mengenai harapan atas suatu pekerjaan, seperti kurangnya informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan atau tidak memperoleh kejelasan mengenai tugas-tugas dari pekerjaannya. Seseorang dapat dikatakan berada dalam ketidakjelasan peran apabila menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: (1) tidak jelas tujuan peran yang dimainkannya; (2) tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa yang melapor kepadanya; (3) tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan orang lain darinya, dan (4) tidak memahami dengan benar peranan dari pekerjaannya dalam rangka pencapaian tujuan secara keseluruhan (Febrianty, 2012).

Hanif (2013) menyatakan bahwa ketidakjelasan peran dibagi menjadi tiga bagian yaitu ketidakjelasan pertanggungjawaban, ketidakjelasan ketentuan, dan ketidakjelasan role sender. Ketidakjelasan pertanggungjawaban mengukur seberapa besar ketidakjelasan peran terjadi bila dikaitkan dengan tanggung jawab seseorang. Ketidakjelasan ketentuan mengukur tentang seberapa jelas

(15)

ketentuan-27

ketentuan disampaikan kepada pegawai. Ketidakjelasan role sender mengukur tentang bagaimana kesamaran role sender terjadi.

2.1.9 Kelebihan Peran

Abraham (1997) dalam Agustina (2009) mendefinisikan kelebihan peran (role overload) adalah konflik dari prioritas-prioritas yang muncul dari harapan bahwa seseorang dapat melaksanakan suatu tugas yang luas namun mustahil untuk dikerjakan dalam waktu yang terbatas. Menurut Iroegbu (2014), kelebihan peran didefinisikan sebagai suatu situasi di mana peran yang bervariasi, tugas-tugas atau pekerjaan yang diperlukan dari pemilik peran melampui sejumlah waktu dan sumber daya serta energi yang disediakan kepada individu tersebut.

Kelebihan peran mengarah pada konflik peran hanya ketika permintaan salah satu peran ganda membuatnya sulit untuk memenuhi permintaan peran lain. Kelebihan peran cenderung lebih mengarah pada konflik peran dalam situasi ketika tidak ada alternatif yang memekanisme untuk memenuhi beragam peran yang diharapkan orang lain. Seseorang mungkin dapat menghadapi permintaan yang berlawanan dari peran ganda (konflik peran) tetapi kecuali tekanan waktu adalah sebuah permasalahan, maka ia tentunya akan menemukan kelebihan peran (Coverman, 1989).

Mutiasri dan Ghozali (2006) menyatakan bahwa kelebihan peran terjadi ketika auditor memiliki beban pekerjaan yang sangat berat namun tidak sesuai dengan waktu dan kemampuan yang dimiliki. Beehr et al. (1976) dalam Yustrianthe (2008) menyatakan bahwa kelebihan peran akan terjadi ketika seorang karyawan atau profesional memiliki terlalu banyak pekerjaan yang harus

(16)

28

dikerjakan di bawah tekanan jadwal yang sangat ketat. Menurut Schaubroeck et al. (1989) dalam Idris (2011), kelebihan peran terjadi ketika harapan-harapan peran lebih besar dari kemampuan dan motivasi seseorang dalam melakukan suatu tugas.

2.1.10 Tekanan Waktu

DeZoort dan Lord (1997) menyatakan bahwa tekanan waktu (time pressure) didefinisikan sebagai kendala yang timbul karena keterbatasan waktu atau keterbatasan sumber daya yang dialokasikan dalam melaksanakan penugasan. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tekanan waktu adalah persaingan fee antara KAP, kemampuan laba perusahaan, dan keterbatasan personil (DeZoort, 2002 dalam Rustiarini, 2013).

Heriningsih (2001) dalam Lestari (2010) menyatakan bahwa tekanan waktu memiliki dua dimensi yaitu tekanan anggaran waktu (time budget pressure) dan tekanan tenggat waktu (time deadline pressure). Tekanan anggaran waktu adalah keadaan di mana auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun, atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang sangat ketat dan kaku. Tekanan tenggat waktu adalah kondisi di mana auditor dituntut untuk menyelesaikan tugas audit tepat pada waktunya.

Menurut Silaban (2009) anggaran waktu dapat memberikan pengaruh pada kontrol auditor terhadap lingkungan kerjanya karena anggaran waktu dianggap sebagai mekanisme kontrol dan alat pengukuran kinerja pada KAP. Keberadaan anggaran waktu ini memaksa auditor untuk menyelesaikan tugas secepatnya atau

(17)

29

sesuai dengan anggaran waktu yang telah ditetapkan. Setiap melakukan audit, auditor akan menemukan adanya suatu kendala dalam menentukan waktu untuk mengeluarkan hasil audit yang akurat dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan (Utami dan Sirajuddin, 2010).

DeZoort dan Lord (1997) menyatakan bahwa ketika menghadapi tekanan waktu, auditor akan memberikan respon dengan dua cara, yaitu fungsional dan disfungsional. Jemada dan Yaniartha (2013) menyatakan tipe fungsional dalam menyikapi tekanan waktu yaitu dengan cara memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya guna memaksimalkan kinerja dan mencapai sasaran waktu yang telah ditetapkan. Tipe tersebut berbeda dengan tipe disfungsional yang memandang tekanan waktu tidak lebih dari sebuah keadaan yang menekan auditor secara psikologis agar sesegera mungkin menyelesaikan penugasan sekalipun kualitas audit yang dihasilkan rendah.

2.1.11 Kinerja Auditor

Kinerja (performance) merupakan hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan (Kalbers dan Fogarty, 1995). Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program, atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perencanaan strategis suatu organisasi (Wati, dkk., 2010). Menurut Trisnaningsih (2007), kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang

(18)

30

didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu.

Kinerja auditor merupakan hasil kerja yang dicapai oleh auditor dalam melaksanakan tugasnya, di mana sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya dan menjadi salah satu tolok ukur yang digunakan untuk menentukan apakah suatu pekerjaan yang dilakukan akan baik atau sebaliknya (Fanani, dkk., 2008). Kinerja auditor menjadi perhatian utama, baik bagi klien ataupun publik, dalam menilai hasil audit yang dilakukan (Maulana, dkk., 2012).

Menurut Goldwasser (1993), pencapaian kinerja atau prestasi kerja bagi auditor dapat dinilai dari tiga indikator yaitu: (1) kualitas pekerjaan, yaitu mutu pekerjaan audit yang didasarkan pada kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang dimiliki auditor; (2) kuantitas pekerjaan, yaitu jumlah hasil pekerjaan yang dapat diselesaikan sesuai dengan target yang diberikan kepada auditor dan kemampuan auditor dalam memanfaatkan sarana dan prasarana penunjang pekerjaan; serta (3) ketepatan waktu, yaitu ketepatan auditor untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah dianggarkan.

Mangkunegara (2010:13) menyebutkan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya kinerja auditor yaitu sebagai berikut: 1) Prestasi kerja yaitu keterampilan dan kecepatan yang dimiliki oleh auditor. Auditor memiliki kecakapan dan keterampilan yang luas dalam menyelesaikan tugasnya sendiri maupun dalam kelompok dengan baik.

(19)

31

2) Kejujuran (independen) yaitu penyampaian sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Auditor selalu melaksanakan tugasnya dengan baik dan tidak pernah menyalahgunakan wewenangnya.

3) Menyelesaikan tugasnya dengan baik. Auditor memiliki rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik.

4) Inisiatif yaitu kemampuan auditor untuk mengambil keputusan dalam keadaan mendesak. Auditor dapat mengambil keputusan atau tindakan yang diperlukan dalam keadaan yang mendesak dan tanpa menunggu petunjuk atau perintah atasan namun tidak bertentangan dengan kebijakan pemimpin.

5) Kerjasama yaitu kemampuan auditor untuk bekerjasama dengan rekan kerjanya, bawahan, maupun atasan. Auditor mampu bekerjasama dengan auditor lain untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik.

6) Ketepatan waktu yaitu sesuai tidaknya waktu penyelesaian pekerjaan dengan waktu yang ditetapkan sebelumnya. Auditor selalu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan waktu penyelesaian audit yang telah disepakati sebelumnya. 7) Kecepatan kerja yaitu mengenai seberapa cepat auditor dapat menyelesaikan

pekerjaan rutin tanpa mengurangi kualitas kerja. Auditor harus melakukan pekerjaan dengan baik dalam menyeimbangkan kecepatan dan kualitas kerja yang dihasilkan.

8) Tingkat kesalahan kerja yaitu penyelesaian pekerjaan oleh auditor yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Auditor seharusnya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik tanpa kesalahan.

(20)

32 2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Konflik Peran Terhadap Kinerja Auditor

Zain dan Setiawan (2009) menyatakan bahwa dari sudut pandang individual auditor, konflik peran memiliki efek tertentu terhadap perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan ( job-related attitude) auditor yang pada akhirnya dapat memengaruhi cara kerja dan hasil kerja auditor. Konflik peran dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan dapat menurunkan motivasi kerja karena mempunyai dampak negatif terhadap perilaku individu, seperti timbulnya ketegangan kerja, banyaknya terjadi perpindahan karyawan, dan penurunan kepuasan kerja sehingga dapat menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan (Fanani, dkk., 2008).

Pengaruh konflik peran sangat besar, tidak hanya bagi individu tapi juga perusahaan. Bagi individu, konsekuensinya dapat dirasakan dengan tingginya tekanan dalam pelaksanaan tugas, rendahnya kepuasan kerja, kinerja yang buruk. Sedangkan bagi perusahaan, dapat dilihat dengan rendahnya kualitas, semakin tingginya pergantian pekerja, dan menurunkan kinerja secara keseluruhan (Hanif, 2013).

Khoo dan Sim (1997) meneliti tentang konflik auditor dengan membahas latar belakang konflik peran auditor dan meninjau secara empiris masalah lingkungan audit di Korea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama dari konflik auditor di Korea adalah ketidakkonsistenan peranan struktural, free engagement system, dan kesenjangan harapan. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa auditor di Korea mengalami konflik peran yang signifikan

(21)

33

sehingga dalam bekerja mereka cenderung berkompromi dengan motif ekonomi dan kurang memerhatikan etika profesional sehingga kinerja tidak menjadi perhatian utama.

Penelitian mengenai pengaruh konflik peran terhadap kinerja auditor telah banyak dilakukan sebelumnya. Babin et al. (1996), Fanani, dkk. (2008), Maulana, dkk. (2012), dan Ermawati, dkk. (2014) menyatakan bahwa konflik peran berpengaruh terhadap kinerja auditor. Fisher (2001), Agustina (2009), serta Putra dan Ariyanto (2012) menyatakan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1: Konflik peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor.

2.2.2 Pengaruh Ketidakjelasan Peran Terhadap Kinerja Auditor

Rahmawati (2011) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami ketidakjelasan peran (role ambiguity) cenderung mengalami penurunan kesehatan fisik dan psikis. Individu yang mengalami ketidakjelasan peran akan mengalami kecemasan, menjadi lebih tidak puas, dan melakukan pekerjaan dengan kurang efektif dibanding individu lain sehingga menurunkan kinerja mereka (Fanani, dkk., 2008). Ketidakjelasan peran juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan dapat menurunkan motivasi kerja karena mempunyai dampak negatif terhadap perilaku individu, seperti timbulnya ketegangan kerja, banyaknya terjadi perpindahan pekerja, dan penurunan kepuasan kerja sehingga dapat menurunkan kinerja auditor secara keseluruhan.

(22)

34

Fried (1998) yang menguji pengaruh ketidakjelasan peran terhadap kinerja pegawai perusahaan industrial Israel menyatakan bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh pada level kinerja yang lebih rendah. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan Sumiati (2011), Santoso (2012), serta Gunawan dan Ramdan (2012) menyatakan bahwa bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh terhadap kinerja auditor. Fisher (2001), Agustina (2009), serta Putra dan Ariyanto (2012) menyatakan bahwa bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H2 : Ketidakjelasan peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor.

2.2.3 Pengaruh Kelebihan Peran Terhadap Kinerja Auditor

Menurut Agustina (2009), tanpa adanya perencanaan mengenai kebutuhan tenaga kerja yang baik dapat membuat auditor mengalami kelebihan peran, terutama pada masa peak season di mana KAP akan kebanjiran pekerjaan dan staf auditor yang tersedia harus mengerjakan semua pekerjaan pada periode waktu yang sama. Hal tersebut dapat berdampak pada kinerja auditor yang cenderung menurun karena menyebabkan terjadinya tekanan atau stres pada auditor.

Kelebihan peran yang terjadi pada seseorang akan menyebabkan timbulnya stres yang dapat merusak dan merugikan dalam pencapaian tujuan. Apabila stres terjadi secara terus-menerus dan berkepanjangan, maka akan menyebabkan timbulnya penurunan prestasi seseorang (reduced personal accomplihsment) yang akhirnya menyebabkan tingkat kepuasan kerja rendah (Yustrianthe, 2008).

(23)

35

Fogarty et al. (2000) menyatakan bahwa kelebihan peran mempunyai efek negatif terhadap kinerja, sehingga dapat dikatakan apabila lebih tinggi kelebihan peran yang dialami auditor maka akan lebih rendah kinerja auditor tersebut. Widyastuti dan Sumiati (2011) serta Gunawan dan Ramdan (2012) menyatakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan kelebihan peran berpengaruh terhadap kinerja auditor. Agustina (2009) menyatakan bahwa kelebihan peran berpengaruh nergatif terhadap kinerja auditor. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H3 : Kelebihan peran berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor.

2.2.4 Tekanan Waktu Memoderasi Pengaruh Konflik Peran Terhadap Kinerja Auditor

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh konflik peran terhadap kinerja auditor. Hasil penelitian Khoo dan Sim (1997), Fisher (2001), Fanani, dkk. (2008), Agustina (2009), Putra dan Ariyanto (2012), Maulana, dkk. (2012), serta Ermawati, dkk. (2014) menunjukkan bahwa konflik peran berpengaruh terhadap kinerja auditor. Sedangkan hasil penelitian Rahayu (2002), Widyastuti dan Sumiati (2011), Santoso (2012), serta Gunawan dan Ramdan (2012) menunjukkan hasil bahwa konflik peran tidak berpengaruh pada kinerja auditor.

Ketidakkonsistenan hasil penelitian tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor lain yang mampu memperkuat maupun memperlemah pengaruh konflik peran terhadap kinerja auditor. Tekanan waktu merupakan salah satu faktor yang diduga mampu memengaruhi pengaruh konflik peran terhadap kinerja auditor.

(24)

36

Studi Maynard (1997) dan Joiner (2001) dalam Prasita dan Adi (2007) menunjukkan bahwa kualitas kinerja seseorang akan sangat dipengaruhi oleh tekanan atau tuntutan tugas yang dihadapi. Tekanan dapat dihasilkan dari anggaran waktu penugasan yang sempit serta adanya konflik peran yang muncul karena terdapat pertentangan atas beberapa permintaan atau harapan yang disampaikan kepada auditor.

Utami dan Sirajuddin (2010) menyatakan bahwa tekanan waktu yang dialami oleh auditor dapat berpengaruh terhadap menurunnya kualitas audit namun auditor dituntut untuk menghasilkan hasil audit yang baik sesuai kesepakatan waktu dengan klien. Kualitas audit yang menurun tersebut lebih lanjut dapat memengaruhi kinerja auditor. Waggoner dan Cashell (1991) menemukan bahwa semakin sedikit waktu yang disediakan (tekanan waktu semakin tinggi), maka makin besar transaksi yang tidak diuji oleh auditor. Adanya tekanan untuk menyelesaikan penugasan audit dengan anggaran waktu yang singkat ketika auditor menghadapi permintaan dari klien untuk menghasilkan audit yang berkualitas dengan opini wajar cenderung memengaruhi pengaruh antara konflik peran terhadap kinerja auditor. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4: Tekanan waktu memoderasi pengaruh konflik peran terhadap kinerja auditor.

2.2.5 Tekanan Waktu Memoderasi Pengaruh Ketidakjelasan Peran Terhadap Kinerja Auditor

Beberapa penelitian terdahulu menyatakan hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh kelebihan peran terhadap kinerja auditor. Hasil penelitian

(25)

37

Agustina (2009), Widyastuti dan Sumiati (2011), Santoso (2012), serta Gunawan dan Ramdan (2012) menyatakan bahwa ketidakjelasan peran berpengaruh terhadap kinerja auditor. Sedangkan Fanani, dkk. (2008), Putra dan Ariyanto (2012), serta Maulana, dkk. (2012) menyatakan hasil bahwa ketidakjelasan peran tidak berpengaruh pada kinerja auditor.

Ketidakkonsistenan hasil penelitian tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor lain yang mampu memperkuat maupun memperlemah pengaruh ketidakjelasan peran terhadap kinerja auditor. Tekanan waktu merupakan salah satu faktor yang dianggap mampu memengaruhi pengaruh konflik peran terhadap kinerja auditor. Berdasarkan hasil penelitian Alderman dan Detrick (1982), Willett dan Page (1996) dalam Rustiarini (2013) menunjukkan bahwa tekanan waktu dari pihak manajemen adalah salah satu faktor utama yang dapat mengurangi kinerja auditor.

Menurut Kelley dan Margheim dalam Rusyanti (2010), auditor menetapkan alokasi waktu audit yang sangat ketat, namum dampaknya yaitu muncul perilaku yang mengancam kualitas audit. Perilaku menyimpang tersebut antara lain penurunan tingkat pendeteksian dan penyelidikan aspek kualitatif salah saji, gagal meneliti prinsip akuntansi, melakukan review dokumen secara dangkal, menerima penjelasan klien secara lemah, dan mengurangi pekerjaan pada salah satu langkah audit. Perilaku-perilaku kontradiktif tersebut dapat menggambarkan bahwa auditor mengalami ketidakjelasan peran di mana auditor tidak mampu memahami maupun melaksanakan tanggung jawab serta deskripsi pekerjaannya dengan benar.

(26)

38

Tingginya tekanan waktu dalam melakukan audit, membuat auditor semakin meningkatkan efisiensi dalam pengauditan sehingga seringkali pelaksanaan audit yang dilakukan oleh auditor tidak selalu berdasarkan prosedur audit dan perencanaan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Kurnia, 2014). Apabila prosedur audit dan ketentuan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik maka hal tersebut akan cenderung menyebabkan penilaian atas kinerja auditor menjadi buruk. Tingginya ketidakjelasan peran yang dialami auditor disertai dengan tekanan waktu cenderung menyebabkan kinerja auditor semakin menurun. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Tekanan waktu memoderasi pengaruh ketidakjelasan peran terhadap kinerja

auditor.

2.2.6 Tekanan Waktu Memoderasi Pengaruh Kelebihan Peran Terhadap Kinerja Auditor

Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh kelebihan peran terhadap kinerja auditor. Fogarty et al. (2000), Agustina (2009), Widyastuti dan Sumiati (2011), serta Santoso (2012) mengungkapkan bahwa kelebihan peran berpengaruh terhadap kinerja auditor. Sedangkan penelitian Gunawan dan Ramdan (2012) mengungkapkan bahwa kelebihan peran tidak berpengaruh pada kinerja auditor.

Ketidakkonsistenan hasil penelitian tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor lain yang mampu memperkuat maupun memperlemah pengaruh konflik peran terhadap kinerja auditor. Tekanan waktu merupakan salah satu faktor yang diduga mampu memengaruhi pengaruh kelebihan peran terhadap kinerja auditor.

(27)

39

Tekanan waktu menyebabkan menurunnya efektifitas dan efisiensi kegiatan pengauditan (McDaniel, 1990 dalam Prasita dan Adi, 2007). Adanya tekanan waktu menyebabkan perhatian auditor akan lebih terfokus pada tugas yang dominan seperti tugas pengumpulan bukti berkaitan dengan frekuensi dan jumlah salah saji serta mengorbankan perhatian yang diberikan seperti tugas yang memberikan aspek kualitatif atas terjadinya salah saji yang menunjukkan potensial kecurangan pelaporan keuangan (Rusyanti, 2010). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tekanan waktu menghasilkan kinerja yang buruk.

Menurut Ahituv et al. (1998), tekanan waktu dapat memengaruhi kinerja seseorang. Auditor dalam melakukan audit dituntut untuk dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah disepakati dengan klien (Kurnia, 2014). Sementara pada saat peak season auditor biasanya menerima lebih banyak penugasan yang harus dikerjakan bersamaan dalam waktu yang singkat. Auditor seringkali menghadapi kondisi di mana penugasan audit sangat kompleks. Auditor juga seringkali bekerja dalam keterbatasan waktu sehingga dapat memengaruhi kinerjanya untuk memperoleh hasil audit yang berkualitas. Adanya tuntutan untuk menyelesaikan penugasan audit yang kompleks ketika auditor menerima tekanan dari anggaran waktu yang telah disepakati dengan klien menyebabkan pengaruh kelebihan peran terhadap kinerja auditor cenderung mampu dimoderasi oleh tekanan waktu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H6: Tekanan waktu memoderasi pengaruh kelebihan peran terhadap kinerja

Gambar

Tabel 2.1 Tingkatan Staf dan Tanggung Jawab Pekerjaan Akuntan Publik  Tingkatan Staf  Masa Kerja  Tanggung Jawab Pekerjaan  Junior Auditor atau

Referensi

Dokumen terkait

Kinerja auditor merupakan hasil kerja yang dicapai oleh auditor dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tangung jawab yang diberikan kepadanya, dan menjadi salah satu tolak ukur

Auditor yang independen adalah auditor yang tidak terpengaruh oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam

Mangkunegara (2009: 18) kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

Independensi merupakan kode etik yang harus dimiliki oleh setiap auditor, maka setiap KAP yang memiliki auditor dengan disiplin yang tinggi akan kepatuhan terhadap kode etik

2.2.4 Reputasi KAP memoderasi pengaruh profitabilitas pada audit delay Kantor Akuntan Publik akan melaksanakan prosedur audit sesuai dengan standar yang berlaku untuk dapat

SPAP seksi 341 (IAPI, 2011) paragraf 2 menyatakan bahwa, auditor memiliki tanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan entitas

Bukti-bukti empiris diatas dapat dilihat, baik dari aspek perusahaan maupun auditor menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil penelitian yang menunjukkan

1) Menerapkan prinsip corporate govenrnance yang baik. 2) Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. 3) Membuat laporan tentang kegiatan tentang penanaman modal dan