• Tidak ada hasil yang ditemukan

FPI Dilarang Melalui SKB, Due Process of Law : Hah? Gimana?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FPI Dilarang Melalui SKB, Due Process of Law : Hah? Gimana?"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

FPI Dilarang Melalui SKB, Due Process of Law : Hah? Gimana?

Oleh: Iqra Fadhila Zul Amirul Haq

Amanat Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menggariskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga menjadi hal yang sudah seharusnya segala sesuatu yang dijalankan berlandaskan pada hukum yang berlaku serta berjalan di atas koridor kepastian hukum yang berkeadilan, sebagaimana yang dituntut dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Segala bentuk tindakan pemerintah baik yang tertulis atau tidak tertulis haruslah berpedoman pada sebuah keadilan yang nyata serta tidak memihak dan tidak bertentangan dengan hukum yang ada (due procces of law). Karena pada dasarnya konsep due

process of law di dasari atas konsep hukum tentang keadilan yang fundamental (fundamental fairness) maka prosedur yang dihadirkan harus berbasis pada suatu hal yang adil, logis dan layak

untuk dihadirkan oleh pejabat yang berwenag (Munir Fuady, teori negara hukum modern, 2008, 21).

Due process of law merupakan ide mulia mengenai proses hukum yang adil dan tidak

memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh keadilan substantif. Hanya pada due process

of law kita dapat mengharapkan proses yang adil berlandaskan Hak Asasi Manusia pada

permasalahan yang ditemukan pada dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Larangan Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI pada 30 Desember 2020 (SKB FPI). Kedudukan dan kehadiran SKB FPI tersebut mengundang banyak kritik dari masyarakat yang menilai bahwa SKB FPI tersebut tidak layak diberlakukan.

Mengulik terlebih dahulu kedudukan dari SKB FPI dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan, berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara legalitas diakui sebagai bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang tertuang pada Pasal 8 ayat 1 nya bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

(2)

Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

Namun persoalan SKB di dalam undang-undang tersebut tidak berhenti sampai di Pasal 8 ayat 1, karena jika kita membedah lebih lanjut ke dalam Bab XIII Ketentuan Penutup Pasal 100 menyebutkan semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”. Artinya, SKB yang terbit setelah berlakunya undang-undang tersebut dianggap bukan sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling), melainkan hanya sebagai keputusan (beschikking).

Malahan saat ini kita menemukan SKB FPI yang dinilai menggeser fungsi sebagaimana seharusnya SKB berlaku. Bergesernya fungsi SKB tersebut menimbulkan suatu anomali yang menimbulkan sangkaan bahwa penguasa dengan sadar telah menggunakan SKB dengan sewenang-wenang, sehingga berdampak pada sempitnya ruang kemerdekaan untuk mendirikan perkumpulan sebagai bagian dari hak asasi bagi organisasi kemasyarakatan. Tentu apabila kebijakan tersebut dikeluarkan, justru akan menghasilkan SKB yang dapat digunakan untuk menunggangi kepentingan politik pihak tertentu.

Hilangnya kendali keadilan dalam pelaksanaan hukum mengingatkan kita pada suatu pemikiran yang disampaikan oleh Prof. Sadjipto raharjo, bahwa kita harus berhati-hati dalam berhukum, karena ketika kita membuat rumusan tertulis maka setiap kali itu pula kita mereduksi suatu gagasan realitas yang utuh ke dalam tata kalimat, sehingga di sinilah terjadi penyempitan lorong berhukum dengan akal sehat yang adil dan rasional (Andi Hamzah, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHP, 2001, 75). Konstruksi pemikiran tersebut sejalan dengan pokok pemikiran Mahatma Gandi bahwa hukum yang dibentuk tidak saja hanya menjadikan hukum sebagai law in

book namun hukum yang dibentuk juga diharapkan terimplementasi dengan baik sebagai law in action (Moh. Kusnardi dan Harmali Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia 1988, 153).

Jika kita vis a vis penggunaan istilah SKB (Surat Keputusan Bersama) dengan hierarki peraturan perundang-undangan sebenarnya istilah SKB sudah tidak dapat dikatakan tepat lagi

(3)

sebagai peraturan, namun jika ingin menggunakan istilah lain yang tepat ialah Peraturan Menteri agar tidak merusak tataran hierarki peraturan-perundang-undangan yang belaku. Namun, bahkan sampai saat ini kita masih menemukan keberlakuan SKB sebagai produk perundang-undangan yang bersifat mengatur.

Pembentukan SKB yang bersifat mengatur tentu merupakan bentuk siasat untuk menghindari konsekuensi apabila kebijakan tersebut dibuat dalam bentuk peraturan menteri, karena peraturan menteri tidak dapat memberlakukan suatu sanksi atas tindakan yang sebenarnya perlu dibuktikan terlebih dahulu dalam proses peradilan (kompetensi pengadilan), atau kewenangan tersebut memang dipegang bukan oleh lembaga eksekutif, melainkan lembaga yudikatif. Oleh karena itu SKB FPI terkesan digunakan sebagai alat “cuci tangan” untuk menyingkirkan kelompok yang tidak disukai. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan konsep keadilan yang ditawarkan oleh aristoteles bahwa hukum di bangun harus berdasarkan suatu fikiran yang adil dan penguasa hanya sebagai pemegang kendali dari hukum dan keseimbangan yang ada di masyarakat (Philipus M hadjono, perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia, 1987, 33)

Mencoba untuk mengulas ketidaksepakatan kami terhadap beberapa poin yang terdapat dalam SKB FPI dimulai pada Poin 1 SKB tersebut, dimana Front Pembela Islam (FPI) secara de

jure dianggap bubar dan dinyatakan tidak terdaftar lagi sebagai Organisasi Kemasyarakatan

terthitung dari tanggal 21 Juni 2019. Hal tersebut dikarenakan FPI tidak memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), FPI dikatakan tidak memenuhi persyaratan karena tidak ingin mengubah anggaran dasar sesuai dengan UU Ormas. Hal tersebut tentu tidak memberikan esensi yang nyata untuk sekedar menyampaikan sudah tidak terdaftarnya FPI sebagai ormas, karena secara tidak langsung menjadikan kedudukan SKB tersebut hanya sebagai surat kabar.

Apalagi dengan ditambahnya poin 2 yang dimana FPI dielukan tetap melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum, kendati secara de jure dinyatakan sudah bubar. Artinya, sejak saat itu FPI sebenarnya sudah tidak memiliki legalitas / kedudukan sebagai ormas (yang terdaftar). Lantas, legalitas apa yang dimiliki FPI untuk layak menerima sanksi (yang dinilai sebagai bentuk sanksi administratif) tersebut jika semenjak tanggal 21 Juni 2019 FPI sudah dianggap sebagai ormas tidak terdaftar? Hal tersebut diibaratkan seperti sebuah kampus yang men-drop out mahasiswa, kemudian jelang setahun setelah dinyatakan drop out, mantan mahasiswa tersebut

(4)

diberikan sanksi atas pelanggaran tidak mengerjakan tugas perkuliahan setahun kemarin. Lagi, tindakan yang bertentangan dengan hukum yang dimaksud seharusnya dihitung tindakan oleh oknum/individu bukan sebagai tindakan FPI, karena dalam SKB dikatakan tindakan tersebut dilakukan setelah secara de jure FPI dinyatakan bubar.

Kemudian, pada poin ke 3 SKB tersebut menyatakan melarang penggunaan simbol dan atribut FPI. Apa dasar yang membuat simbol dan atribut itu dilarang? alasan pelarangan tersebut juga tidak dituangkan secara tegas. Apabila dasarnya FPI sebagai organisasi yang tidak terdaftar saja, sangat jauh dari kata cukup sebagai alasan pelarangan simbol dan atributnya. Apa karena FPI sebagai organisasi yang bertentangan dengan Pancasila? Kalau kita lihat pada poin a bagian menimbang disebutkan memang bahwa untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, tapi mengapa tidak disebutkan secara eksplisit saja dalam SKB bahwa anggaran dasar maupun kegiatan FPI terbukti bertentangan dengan Pancasila? Hal tersebut mengindikasikan jika SKB tersebut menghindari due process of law yang dimana untuk membuktikan adanya ketidaksesuaian anggaran dasar atau tindakan tersebut sifatnya harus dibuktikan melalui pengadilan, inipun apabila FPI masih dalam status terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan.

Atau karena FPI organisasi terlarang yang diduga terlibat dengan jaringan terorisme? Untuk membuktikan hal tersebut perlu pembuktian juga di pengadilan, namun kami coba mengansumsikan bahwa alasan tersebut diambil dari poin e bagian menimbang yang menyebutkan pengurus dan/atau anggota FPI berdasarkan data sebanyak 35 (tiga puluh lima) orang terlibat tindak pidana terorisme dan 29 (dua puluh sembilan) orang diantaranya telah dijatuhi pidana, namun nampaknya pihak penggagas SKB FPI lupa jika tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan organisasi, melainkan individu/oknum yang merupakan anggota atau bagian dari organisasi, lagipula terhadap orang yang dijatuhi pidana adalah atas tindakannya sebagai individu. Untuk menyatakan bahwa organisasi tersebut terlibat tindak pidana terorisme harus terbukti secara sah terlebih dahulu oleh pengadilan sebagai lembaga yang mempunyai kompetensi atas permasalahan tersebut. Apalagi terkait dengan tindak pidana terorisme adalah tindak pidana luar biasa, sehingga dugaan atau tuduhan diawal dengan memberikan keputusan pelarangan melalui SKB tersebut adalah keputusan yang amat prematur, kecuali terhadap pernyataan tersebut sudah ada putusan pengadilan yang tetap yang menyatakan bahwa FPI terbukti secara sah terlibat

(5)

tindak pidana terorisme. Namun kami memahami pengenyampingan hal tersebut karena ketentuan baru dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan PerUndang-undang-Undang-undangan Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang pada intinya terdapat ketentuan mengeliminasi mekanisme pemberian sanksi ormas yang dilakukan melalui jalur pengadilan. Hal ini yang kami sebut sebagai kebijakan yang tidak satu perahu dengan due process of law.

SKB tersebut bukan hanya tidak melaksanakan due process of law, bahkan tidak melaksanaan proses penegakan hukum yang tepat. Hanya karena secara prosedural diakui oleh Undang-undang Ormas, bukan berarti proses tersebut telah memenuhi keadilan subtansial, justru bahkan Undang-undang tersebut juga bermasalah secara subtansial. Kebijakan pemerintah yang menjadi perhatian publik inipun mengingatkan kita pada apa yang di sampaikan oleh Lord Acton “power tends to corrupt and absolute power corrups absolutely”, selalu terdengar klise namun benar nyatanya.

Sebagai ujung dari coretan singkat ini kita sama-sama menitipkan harapan kepada penguasa untuk tetap menjalankan hukum sesuai pada koridor nilai yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena fungsi hukum selain sebagai produk norma yang bersifat mengatur hukum juga berfungsi sebagai obat untuk memecahkan problematika yang ada. Karena hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (Sadjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Mayarakat, 2020, 167). Maka perlu adanya pola pemahaman terhadap nomenklatur SKB dengan mengetahui secara sadar kedudukan dan keberadan SKB.

(6)

Referensi

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama, Bandung 2009. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988. Philipus M. Hadjono, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, 1987.

Prof. Dr. Sartjipto rahardjo, SH, Sosiologi Hukum ‘Perkembangan Metode dan Pilihan

Referensi

Dokumen terkait

Permensos itu menyebutkan, pedoman rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) bertujuan

Dalam perhitungan sales mix untuk mencapai titik impas, Hotel Manau Samarinda dapat mencapai titik impas dengan melakukan penjualan kamar sebanyak 2.117 unit dengan komposisi

SEQUENTIAL CLOSE READ WRITE REWRITE START DELETE Boleh Boleh Tidak Tidak Boleh Tidak Boleh Tidak Boleh Tidak Tidak Tidak Boleh Boleh Tidak Boleh Boleh Boleh

Business case adalah serahan pertama dalam IT Project Life Cycle. Didalamnya terdapat analisa organisasi, kelayakan, biaya – biaya, keuntungan – keuntungan, dan resiko –

Gagasan dan proses perancangan Plaza Bacaan di Manado menggandeng tema “Atmospheres: Parameter Desain Peter Zumthor dalam Arsitektur” sebagai pendekatan dalam merancang,

Perancangan tata letak dengan menggunakan metode Systematic Layout Planning (SLP) diawali dengan mengetahui hubungan kedekatan antar stasiun stasiun Laboratorium PT

Wakil Gubernur Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Jurusan mempunyai tugas yaitu membantu dan menggantikan Gubernur Mahasiswa yang berhalangan hadir dalam menjalankan kegiatan HMJ

Adapun yang menjadi sasaran pengabdian masyarakat ini adalah para jamaah dan takmir masjid Muhammadiyah di Malang, sebab selama ini para pengurus Muhammadiyah tersebut