• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5. Ringkasan. Menurut Kodansha (1993: ) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 5. Ringkasan. Menurut Kodansha (1993: ) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 Bab 5

Ringkasan

Menurut Kodansha (1993:649-658) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah 377.781km². Menurut Danandjaja (1997:1), kepulauan Jepang terbentang di sepanjang timur laut hingga barat daya dan terletak di sebelah timur Asia. Jepang terbagi atas empat pulau, yaitu Hokkaido (83.520km²), Honshu (230.940 km²), Shikoku (89.166 km²), dan Kyushu (36.554 km²).

Tidak hanya memiliki empat pulau, Jepang juga mempunyai banyak kebudayaan dan upacara-upacara ritual (matsuri) untuk menyembah para dewa-dewinya. Matsuri bermakna sebagai sarana penghubung manusia di dunia dengan dewa-dewa yang berada di dunia lain, diyakini bersama karena dipercaya merupakan sumber kehidupan orang Jepang. Dengan demikian, matsuri memiliki kategori-kategori yang sakral, seperti kami (dewa) – hito (manusia), sairei (upacara) – saigi (perayaan). Berdasarkan kategori-kategori ini, matsuri dilakukan oleh orang Jepang untuk dijadikan acuan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari mereka. Matsuri sendiri berfungsi sebagai “yang memantapkan keyakinan seseorang mengenai dunia (dunia nyata dan dunia gaib)” yang ingin dicapai, dan dijadikan simbol-simbol yang keberadaannya dirasakan sebagai nyata ada dalam suatu keteraturan. Beberapa masturi yang terkenal di Jepang, seperti: Gion matsuri, Tenjin matsuri, Kanda matsuri, dan Sendai tanabata matsuri. Salah satunya adalah matsuri yang cukup terkenal dan dilakukan pada saat pengangkatan kaisar yaitu Daijosai atau dikenal juga dengan Onie no matsuri.

Zaman Yayoi (弥生時代) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang

mengacu pada Jepang (dengan perkecualian Hokkaido) di abad ke-8 sebelum Masehi hingga abad ke-3 Masehi. Ciri khas pada barang peninggalan zaman Yayoi berupa tembikar gaya zaman Yayoi dan penguasaan teknik penanaman padi di sawah. Barang-barang peninggalan dari zaman ini pertama kali ditemukan di penggalian tumpukan kulit kerang di Yayoi-cho (sekarang distrik Bunkyō di Tokyo)

(2)

2 sehingga dinamakan zaman Yayoi. Kebudayaan zaman Yayoi berkembang dari pulau Kyushuu sampai sebelah timur pulau Honshu.

Sejalan dengan kemajuan dalam bidang pertanian dikenal perbedaan kelas dan perbedaan kaya miskin yang melahirkan pengelompokkan wilayah yang bisa disebut sebagai bentuk awal negara yang dikenal dengan sebutan kuni (negara-negara kecil).

Perebutan air dan tanah untuk memperluas penanaman padi di sawah menumbuhkan permukiman penduduk, wilayah terbentuk sebagai hasil perang antar desa, usaha perluasan wilayah dan penguasaan daerah menimbulkan perang antar negara-negara kecil yang meluas di seluruh kepulauan Jepang. Pada waktu itu berhasil terbentuk negara-negara kecil berdasarkan daerah seperti Kyushuu bagian utara , Kibi, San-in, Kinki, Toukai, dan Kanto. Pertempuran untuk mencari sekutu dan menyatukan wilayah kekuasaan yang terjadi berulang-ulang kali merupakan proses untuk membentuk negara Jepang zaman kuno.

Daijosai merupakan sebuah ritual persembahan kepada para dewa dan leluhur kaisar yang berasal dari hasil panen padi. Ritual tersebut setidaknya berlangsung pada akhir abad ke-7, menggantikan perayaan panen kekaisaran atau yang dikenal dengan niinamesai yang menandai ritual penobatan takhta bagi seorang kaisar baru. Pada era modern, Daijosai diadakan di tahun yang sama dengan wafatnya kaisar yang terdahulu. Sebenarnya Daijosai merupakan bagian dari rangkaian upacara penobatan takhta, yang juga meliputi dua ritual lainnya yakni senso dan sokui no rei.

Asal mulanya dinamakan Daijousai adalah karena festival panen padi yang dilakukan untuk mempersatukan propinsi sebelum bangkitnya Taika (yaitu sebelum abad ketujuh pertengahan). Sebelum acara ritual Daijousai, diadakan acara onie no matsuri, Yaitu penanaman padi yang didoakan oleh para pendeta Shinto agar padi tersebut bisa tumbuh dengan cepat dan tidak terkena hama.

Senso merupakan tahapan pertama dalam rangkaian upacara penaikan takhta kekaisaran, yang berupa pemberitahuan serta pengakuan secara resmi bahwa akan segera diadakan penobatan kaisar yang baru dan

(3)

3 pergantian tampuk kepemimpinan. Ritual senso itu sendiri terbagi dalam dua versi, pertama, pemberitahuan yang ditujukan untuk arwah para leluhur atau nenek moyang kekaisaran dan para dewa yang telah berjasa memelihara alam semesta negeri Jepang (shunkyo-den), dan kedua, pemberitahuan yang ditujukan bagi seluruh rakyat Jepang (shinshin-den). Biasanya upacara senso dilaksanakan tepat setelah kaisar yang terdahulu meninggal dunia, agar dapat mempermudah pelaksanaan penobatan takhta bagi seorang putra mahkota yang ditandai dengan penyerahan tiga pusaka kekaisaran yaitu sebilah pedang kusanagi, batu permata magatama, dan terakhir sebuah cermin yang terbuat dari perunggu kashiko dokoro. Selain itu, upacara ini harus segera dilakukan tentu saja agar tampuk kekuasaan kekaisaran Jepang tidak dibiarkan kosong terlalu lama yang dapat berakibat fatal bagi kehidupan masyarakat Jepang (Holtom, 1996: 55-67). Tahapan kedua dalam upacara penaikan takhta seorang kaisar adalah sokui no rei, upacara pemberitahuan kepada masyarakat, bahwa sang kaisar akan diserahi tiga regalia kekaisaran. Peristiwa ini menandai telah berpindahnya tampuk kepemimpinan ke tangan kaisar yang baru secara sah. Daijosai merupakan tahapan terakhir sekaligus penutup dari serangkaian ritual penobatan kaisar . Sebelum penyelenggaraan daijousai yang biasanya diadakan pada awal musim gugur (November)

Rumusan Lingkup Permasalahan ini berdasarkan latar belakang dari penelitian ini, adalah pengaruh Shinto dalam Daijosai di Jepang. Khususnya pada: 1. Tujuan diselenggarakannya Daijousai, 2. Unsur- unsur matsuri dalam Shinto dalam Daijousai, 3. Benda-benda yang digunakan sebagai persembahan dalam Daijousai. Ruang lingkup permasalahan ini adalah Saya akan meneliti perayaan Daijousai dari empat unsur Shinto dalam ritual dan alat-alat perayaan yang digunakan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh unsur-unsur matsuri dalam Shinto yang mempengaruhi acara ritual Daijousai. Manfaat dari penelitian ini adalah agar penulis dan pembaca dapat memahami dan mengetahui pengaruh agama Shinto pada acara ritual Daijousai di Jepang. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, yakni dengan menganalisa mendeskripsikan data-data yang berhubungan dengan objek penelitian kepustakaan, kemudian menganalisa data-data tersebut. Sistematika Penulisan ini dilakukan untuk mencapai penulisan

(4)

4 yang mengenai sasaran maka perlu dibuat suatu sistematika, adapun sistematika penulisan karya tulis ini akan saya jabarkan berikut ini:

Pada bab 1 ini berisi mengenai latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan permasalahan, pokok permasalahan yang akan di analisis oleh penulis dalam skripsi ini adalah pengaruh Shinto dalam Daijousai. Ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode penelitian. Bab 2, yakni teori-teori yang akan digunakan untuk menganalisa data-data yang ada. Dalam bab 3 berisi analisis data. Bab 4 berisi simpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan dalam skripsi ini. Bab 5 berisi ringkasan yang merupakan isi skripsi secara singkat.

Yang menjadi sumber data untuk penelitian ini adalah buku, internet, jurnal, serta artikel-artikel. Selain itu saya juga akan menghubungkan beberapa teori yang ada dengan permasalahan yang saya teliti, kemudian menganalisis data yang ada dengan teori tersebut. Teori – teori yang mendukung penelitian ini menjadi landasan teori untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, saya mengunakan beberapa konsep sebagai berikut : 1. Teori Budaya 2. Konsep Shinto, Shinto adalah kepercayaan tradisional atau kepercayaan asli masyarakat Jepang yang sering dikenal pula sebagai hati dari masyarakat Jepang. Sejak zaman dahulu Shinto telah menjadi bagian dari pandangan hidup orang Jepang. Shinto sering dideskripsikan sebagai agama nasional Jepang berdasarkan cara hidup masyarakat Jepang yang menunjukkan ketegasan religi Jepang. Kemunculan Shinto di Jepang menunjukan awal mula terbentuknya Jepang, baik pulau maupun masyarakatnya. Seperti yang dikatakan oleh Reader (1994:64-67), Shinto adalah agama yang fokus terhadap keutuhan Jepang dan komunitasnya, juga dengan masyarakat Jepang dan keberadaannya di dunia. Shinto juga menggabungkan beberapa hal yang beragam, mulai dari yang berorientasi kepada kepercayaan tradisional hingga ke nasional dan politik.

Asal-usul Shinto terdapat dalam Nihonshiki dan Kojiki. Di dalam Nihonshiki dan Kojiki terdapat ulasan mengenai kepercayaan politheisme yang terkandung dalam aspek-aspek ajaran agama Shinto, seperti dewa yang merupakan pasangan suami istri Izanagi dan Izanami sebagai pembentuk pulau Jepang. Dalam Nihonshiki dan Kojiki juga diceritakan mengenai asal-usul kekaisaran Jepang. Kaisar Jepang dianggap

(5)

5 sebagai keturunan langsung dari para dewa. 3. Konsep Ritual, Turner (1989:3) mengungkapkan bahwa makna kata “ritual” berasal dari kata chidika, yang dalam bahasa Ndembu berarti “kewajiban”. Menurut Turner (1989:95), ritual merupakan kewajiban yang harus dilalui oleh seseorang dengan melakukan serangkaian kegiatan, yang menunjukkan suatu proses dengan tata cara tertentu. Seseorang atau kelompok yang menjalani ritual berada di dalam liminalitas, yaitu masa seseorang atau sekelompok menjalani suatu rangkaian kegiatan yang diperlukan dalam kehidupannya. 4. Konsep Matsuri, perayaan tahunan di Jepang dibagi menjadi dua bagian, yaitu matsuri (pesta rakyat) dan nenchuu gyouji (perayaan tahunan) yang juga sering disebut dengan Nenju gyouji. Lawanda (2000: 55-58), mengatakan pengertian matsuri sebagai agama dan sosial menjadikan matsuri sumber dari dan untuk kehidupan masyarakat orang Jepang. Matsuri sendiri merupakan sistem kepercayaan keagamaan sekaligus merupakan ekspresi keyakinan keagamaan Jepang. Sebagai keyakinan, matsuri diselenggarakan dengan struktur-struktur yang terkait dengan dan ada di dalam matsuri yaitu Ie yang menjadi dasar dalam kehidupan sosial orang Jepang dan sumber hidup orang Jepang.

Menurut Ono (1998:51-52), ada empat unsur penting dalam matsuri:

a) Monoimi(Penyucian)

Monoimi adalah penyucian yang harus dilakukan ketika akan melaksanakan matsuri. Monoimi biasanya dilakukan oleh para Toya, yaitu pemimpin upacara ritual dalam matsuri itu sebagai orang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan matsuri. Monoimi diadakan dengan maksud untuk membersihkan diri dari dosa dan hal-hal yang bersifat kotor dalam diri manusia.

(6)

6 Harai

Harai merupakan penyucian yang dilakukan oleh pendeta dengan menggunakan harai-gushi (sebuah tongkat yang ditempelkan kertas putih yang berbentuk zig-zag). Harai-gushi tersebut dilambaikan pada tempat atau orang yang menginginkan penyucian.

Misogi

Misogi merupakan penyucian dengan menggunakan air. Misogi dapat dilakukan dengan cara mengambil air dengan tangan atau ember kecil atau dengan cara berdiri dibawah air terjun.

Schumacher (2007) juga mengatakan bahwa air digunakan sebagai salah satu bentuk penyucian. Hal ini dikarenakan bahwa air dianggap sebagai air mata dewa sehingga memiliki kekuatan yang besar untuk mengusir roh jahat. Api, garam, dan sake (arak beras khas Jepang) juga digunakan sebagai alat penyucian atau oharai. Dalam ritual upacara Shinto, pemercikan yang menggunakan air ini disebut dengan misogi.

Imi

Imi merupakan penyucian dengan cara menghindari kata-kata atau tindakan tertentu, seperti larangan penggunaan kata-kata “kiru” dan “deru” pada hari pernikahan.

b) Shinzen (Persembahan Sesajian)

Shinzen adalah sesajian yang diadakan untuk persembahan kepada dewa. Sesajian yang paling umum adalah kue mochi, arak (sake), ganggang laut, sayur-sayuran, buah-buahan, serta bunga-bunga petik. Menurut Picken (1994 : 183), ada empat jenis persembahan pada umumnya yakni :

(7)

7 Uang

Persembahan uang biasanya dilakukan dengan melempar koin ke dalam kotak persembahan di depan dekat altar atau dengan menyumbangkan dana untuk kepentingan kuil.

Makanan dan Minuman

Persembahan makanan berupa makanan yang belum dimasak maupun yang sudah dimasak. Persembahan ini berupa makanan kesukaan dari kami yang dihormati sebagai orang yang bersejarah.

Barang

Berbagai macam benda yang hebat termasuk ke dalam persembahan ini, seperti kertas zaman dulu, kain sutra atau katun, senjata, bahkan alat pertanian. Di beberapa kuil terdapat pula persembahan berupa hewan.

Kegiatan simbolis

Berbagai macam hiburan, seperti tarian, drama, gulat, dan panahan juga dianggap sebagai persembahan kepada kami. Musik dan tarian juga bertujuan untuk memberikan hiburan kepada kami tetapi para pemuja juga dapat menikmatinya. Berbagai hiburan itu disebut juga dengan gagaku yang sering ditampilkan pula di berbagai matsuri.

Dalam analisis data pada bab 3, saya menganalisis mengenai tujuan diadakannya Daijousai berdasarkan konsep Shinto. Daijousai bertujuan untuk pernyataan terima kasih atas kesempatan ketika beras yang pertama disajikan kepada dewa, Daijousai dilaksanakan pertama kali pada abad ke-7 pada masa pemerintahan Meiji. Ritual ini menandai ritual penobatan takhta bagi seorang kaisar baru dan mengucap syukur kepada para dewa-dewi dan leluhur atas anugerah yang diberikan. Ritual ini juga sebagai media persembahan makanan yang terbuat dari padi kepada para dewa dan leluhur, diantaranya: nasi putih, kue mochi, sake putih, dan sake hitam. Makanan tersebut dipersembahkan kepada para dewa dan leluhur untuk menandai kedekatan hubungan kaisar dengan nenek moyangnya yaitu dewi Amaterasu.

(8)

8 Setelah dipersembahkan kepada dewi Amaterasu, hidangan tersebut dihidangkan untuk kaisar yang baru dinobatkan.

Kemudian saya akan menganalisis mengenai tahapan-tahapan yang akan dijalani oleh calon kaisar. Tahapan-tahapan tersebut adalah, Mitamashizume, Shinsen, Naorei, dan Utage. Ke empat tahapan tersebut mendapat pengaruh dari Shinto, dan memiliki empat unsur-unsur penting yang terdapat di dalam konsep matsuri. Seperti analisis mengenai tiga regalia yang diserahkan kepada calon kaisar, tiga regalia tersebut merupakan peninggalan dari nenek moyang kaisar yaitu dewi Amaterasu, yang terdiri dari: pedang Kusanagi, perhiasan Magatama, dan cermin, Kashiko dokoro. Selain itu juga terdapat tari-tarian dan sebuah lagu積みの稲 (penumbukan beras).

Saya juga menganalisis konsep Shinto pada bangunan Yuki-den dan Suki-den, yaitu bangunan yang digunakan pada saat kegiatan Shinsen. Ruangan Yuki-den dan Suki-den sama satu sama lain, berdiri di atas panggung kayu dan mencerminkan permukiman primitif Jepang. Tinggi kayu penyangga atapnya melebihi tinggi punggung atap, beberapa aspek arsitektur yang menyerupai struktur tipe polynesia, telah dipertahankan pada beberapa kuil Shinto. Kulit kayu tidak ada yang dibuang dari kayu-kayu yang digunakan pada bangunan-bangunan tersebut. Atap-atapnya terbuat dari jerami dari tanaman miscanthus, sedangkan dinding dan langit-langit terbuat dari bahan tikar. Beranda tiap bangunan terbuat dari bambu yang ditutupi oleh bahan tikar. Setiap ruangan ritual dibagi menjadi ruang dalam dan ruang luar, oleh layar merah yang dibatasi oleh kertas putih yang tergantung diantaranya.

Menurut analisis saya, dua buah bangunan yuki-den dan suki-den memiliki kaitan yang erat dengan Shinto. Seperti shimenawa yang tergantung dalam torii mempunyai kaitan erat dengan Shinto. Shimenawa biasa digunakan untuk menandakan kediaman dari para dewa atau kami. Menurut Ono (1992: 25), shimenawa digunakan untuk memberi simbol tempat-tempat suci sebagaimana dipercayai sebagai tempat kediaman para dewa atau kami.

(9)

9 Selain dua buah bangunan yang digunakan, saya juga menganalisis konsep Shinto pada persembahan dalam Daijousai dan analisis konsep Shinto pada padi dalam Daijousai. Analisis konsep Shinto pada persembahan dalam Daijousai menurut analisis saya beras yang dijadikan sebagai media persembahan ini mendapat pengaruh dari Shinto, karena media persembahan merupakan salah satu unsur dari ke empat unsur matsuri yang sesuai dengan ajaran Shinto. Sedangkan analisis konsep Shinto pada padi dalam Daijousai menurut analisis saya, padi selain berfungsi sebagai media persembahan kepada para dewa karena makna sakral yang begitu melekat pada padi, maka hidangan atau sajian yang disajikan pada setiap ritual adat dan ritual keagamaan, umumnya terbuat dari bahan dasar beras atau padi. Alasannya tentu saja karena menurut kepercayaan masyarakat Jepang, padi merupakan tanaman yang bibitnya diberikan langsung oleh dewi Amaterasu kepada manusia di bumi, sebagai sumber bahan makanan guna memenuhi kebutuhan jasmani mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik itu sendiri. Menurut Mantle Hood organologi adalah

Untuk mengetahui jawaban dari indicator ketiga ini peneliti melakukan wawancara kembali dengan narasumber yang sudah peneliti tentukan. Berdasarkan wawancara dengan Noora

Untuk penelaahan data sifat fisis mekanis (kerapatan dan keteguhan tarik sejajar serat) dari 23 jenis rotan berdiameter kecil (<1,2 cm), digunakan analisa keragaman

Dari hasil uji-coba terhadap sistem pengenalan individu berbasis warna iris dengan dukungan algorima yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa sistem yang dikembangkan

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul Pembebanan Jaringan Jalan dengan

John dan Bowyer (1986) menyatakan bahwa kulit batang akasia mengandung lignin dan polisakarida. Diharapkan bahan ini jika melapuk akan terurai menjadi bahan yang lebih

Jumlah Responden Petani Padi di Kabupaten Sragen dan Karanganyar berdasarkan Kombinasi Jenis Pupuk yang Digunakan. Multifungsi Sistem

Pada kelompok II merupakan sampel malapari dari desa Pengulon3 dengan tingkat kemiripan sebesr 80,16% sampel ini mempunyai 24 persamaan morfologi antara lain bentuk