• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit)."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III A. Hadits Shahih Menurut Ulama Hadits

Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit.

Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).1

Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits shahih dengan “Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.2

Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr lebih ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ‘illat dan tidak ber-syâdz”.3

Berangkat dari beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas diketahui lima macam kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya bersambung; kedua, para

1Shubhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, tahun 1988, hal. 145.

2Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd Rahman Ibn Shalah,‘Ulûm Hadits, Maktabah Islamiyah al-Madinah al-Munawwarah, tahun1972, hal. 10.

3

Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar ‘Asqalani, Nuzhah Nazhâr Syarh Nukhbah Fikâr, Maktabah

(2)

periwayatnya ‘adil; ketiga, para periwayatnya dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dan kelima, terhindar dari ‘illat.

1. Sanad Bersambung (Ittishâl al-Sanad)

Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadits itu.4 Persambungan sanad itu terjadi semenjak (penghimpun riwayat hadits dalam kitabnya) sampai pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi Saw.

Dengan kata lain, sanad hadits bersambung sejak sanad pertama sampai sanad terakhir dari kalangan sahabat hingga Nabi Muhammad saw, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi Saw pada periwayat pertama sampai periwayat terakhir (mukharrij hadits).

Hadits yang sanadnya bersambung, dikalangan ulama hadits dinamai dengan sebutan yang beragam. Al-Khathib al-Baghdadi (wafat 463 H/1072 M) menamainya dengan hadits musnad. Hadits musnad menurut Ibn ‘Abd al-Barr, adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw (sebagai hadits marfu’), sanad hadits musnad ada yang bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi’).5 Pendapat ini, menurut al-Sakhawi (wafat 902 H/ 1497 M), merupakan pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama hadits.6Dengan demkian, menurut kebanyakan ulama hadits, hadits

musnad pasti marfu’ dan bersambung sanadnya, sedangkan hadits marfu’ belum tentu

4Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab al-Islami , ttp., tahun1975, hal. 162. 5

Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 39.

6

Syam Din Muhammad ibn ‘Abd Rahman Sakhawi, Fath Mughts Syarh Alfiyah Hadits li al-‘Irâq, al-Maktabah al-Salafiyah, al-Madinah al-Munawwarah, juz I, tahun 1968), hal. 99.

(3)

hadits musnad. Hadits marfu’ dapat disebut sebagai hadits musnad bila seluruh rangkaian sanadnya bersambung, tiada yang terputus sejak awal sampai akhir.

Berkaitan dengan ketersambungan sanad ini, dikenal pula istilah hadits

muttashil atau mawshul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawi, yang dimaksud

dengan hadits muttashil atau mawshul adalah hadits yang bersambung sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi Saw maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi Saw saja.7 M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadits muttashil atau

mawshul ada yang marfu’ (disandarkan pada nabi), ada yang mawkuf (disandarkan

pada sahabat), dan ada juga yang maqthu’(disandarkan pada tabi’in). jika dibandingkan dengan hadits musnad, maka dapat dinyatakan bahwa hadits musnad pasti muttashil atau mawshul, tetapi tidak semua hadits muttashil atau mawshul pasti

musnad.8

Dengan kata lain, ketersambungan hadits muttashil atau mawshul tidak bisa dijadikan sebagai patokan penentuan keshahihan suatu hadits berbeda dengan ketersambungan hadits Musnad, karena hadits muttashil atau mawshul ada yang tersambung sampai Nabi Saw, ada yang hanya tersambung pada sahabat saja bahkan ada pula yang hanya sampai tabi’in sehingga dibalik ketersambungan sanad itu ada kemungkinan terdapat keterputusan informasi dari Nabi Saw. Berbeda dengan hadits

musnad yang dipastikan ketersambungan sanadnya sampai Nabi Saw, sehingga dapat

dijadikan patokan untuk kriteria sanad bersambung sebagaimana dijelaskan diatas. Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadits, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:

7

Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib al-Nawawi Fann Ushul al-Hadits, ‘Abd al-Rahman Muhammad, Kairo, tth., hal. 6.

(4)

a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang dilakukan:

(1) Melalui kitab-kitab Rijal al-Hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Kamal karya Mizzi, Tahdzib Tahdzib karya Ibn Hajar ‘Asqalani, dan kitab

al-Kasyif oleh Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi.

(2) Hal itu dimaksudkan untuk: - apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang tsiqah (‘adil dan dhabith), serta tidak suka melakukan

tadlis (menyembunyikan cacat), - apakah antara para periwayat dengan

periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan kesezamanan pada masa lampau dan hubungan guru-murid dalam periwayatan hadits.

c. Meneliti kata-kata (adah al-tahammul wa ada’ al-hadits) yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad. Kata-kata yang dipakai dalam sanad berupa: Haddatsani, Haddatsana, Akhbarani, Akhbarana, Sami’tu, ‘An, Anna, dan sebagainya.9

Melalui beberapa langkah di atas dapat diketahui apakah sanad suatu hadits dinyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu diketahui apakah para periwayat dipastikan benar-benar meriwayatkan hadits dari periwayat terdekat sebelumnya yang diketahui melalui usia mereka, terjadi hubungan guru dan murid, atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.

2. Periwayat Bersifat ‘Adil

Para ulama berbeda pendapat tentang kriteria-kriteria periwayat hadits disebut ‘Adil. Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil apabila beragama Islam,

(5)

tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat maksiat.10 Ibn al-Shalah menetapkan lima kriteria seorang periwayat disebut ‘adil, yaitu beragama Islam, baligh, berakal, memelihara maru’ahdan tidak berbuat fasik.11

Berdasarkan peryataan para ulama di atas diketahui berbagai kriteria periwayat hadits dinyatakan ‘adil. Secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah (1) beragama Islam; (2) baligh; (3) berakal; (4) takwa; (5) memelihara maru’ah; (6) teguh dalam beragama; (7) tidak berbuat dosa besar; (8) tidak berbuat maksiat; (9) tidak berbuat bid’ah; dan (10) tidak berbuat fasik. Dari sekian banyak kriteria di atas kemudian diringkas menjadi empat kriteria, yaitu: (1) beragama Islam; (2) mukalaf; (3) melaksanakan ketentuan agama; dan (4) memelihara maru’ah.

Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadits ulama telah menetapkan beberapa cara, yaitu pertama, melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadits. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri tidak diragukan ke‘adilannya. Kedua, penilaian dari para kritikus periwayat hadits. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al-Ta’dil) dan kekurangan (al-Tarjih) yang ada pada diri periwayat hadits. Ketiga, penerapan kaidah

al-jarh wa al-ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadits tidak

sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.12

Ketiga cara di atas diprioritaskan dari urutan yang pertama kemudian yang berikutnya. Jelasnya, keadilan seorang periwayat hadits dapat diketahui melalui popularitas keutamaannya dikalangan para ulama. Jika seorang periwayat hadits terkenal dengan keutamaannya seperti Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri, maka

10

Al-Hakim al-Naysaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Maktabah al-Mutanabbih, Kairo, tth., hal. 53. 11

Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 94.

(6)

dipastikan mereka bersifat ‘adil. Jika periwayat tidak terkenal bersifat ‘adil, namun berdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadits diketahui bahwa ia bersifat ‘adil, maka ditetapkan pula sifat ‘adil baginya. Akan tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat tentang ‘adil tidaknya seseorang periwayat hadits, maka digunakanlah kaidah-kaidah

al-jarh wa al-ta’dil.

Ketiga cara tersebut tidak dapat dibalik penggunaannya, dalam arti seorang periwayat hadits yang terkenal ‘adil tidak dapat dinilai dengan penilaian yang berlawanan baik berdasar pendapat salah seorang kritikus periwayat hadits maupun berdasar penetapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil. Popularitas keadilan seseorang didahulukan sebab kualitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukan mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak, berbeda dengan cara yang kedua yang hanya dinyatakan (disaksikan) oleh satu atau beberapa orang saja.

Demikian pula, seorang periwayat hadits yang dinilai ‘adil oleh seorang atau beberapa kritikus periwayat dan tidak ada kritikus lain yang menentangnya, maka penilaian tersebut yang digunakan, bukan dengan menetapkan kaidah jarh wa al-ta’dil. Sebab, para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas periwayat hadits yang mereka nilai. kaidah al-jarh wa al-ta’dil baru digunakan bila ternyata terjadi perbedaan pendapat di kalangan kritikus periwayat tentang kualitas seorang periwayat hadits.

3. Periwayat Hadits Bersifat Dhâbith

Untuk hadits shahih, para periwayatnya berstatus dhâbith. Secara sederhana kata dhâbith dapat diartikan dengan kuat hafalan. Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi,

(7)

maka kata dhâbith terkait dengan kualitas intelektual.Dhâbithbukan hanya hafalan para periwayat saja tapi juga catatannya.

Antara sifat ‘adil dan dhâbith terdapat hubungan yang sangat erat. Seseorang yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur, amanah dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila ia tidak mampu memelihara informasi itu. Sebaliknya, orang yang mampu memelihara, hafal dan paham terhadap informasi yang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka informasi yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadits keadilan dan kuat hafalan dan terjaganya catatan periwayat hadits kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayat yang tsiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dhâbith.

Dikalangan ulama, pengertian dhâbith dinyatakan dengan redaksi yang beragam. Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang disebut dhâbith orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.13

Muhammad ‘Ajaj al-Khatib sesorang disebut dhâbithyaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengar serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain.14

Sementara itu, Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dhâbith adalah orang yang mendengarkan riwayat hadits sebagaimana seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna dan memiliki

13

Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, op.cit., halaman. 13.

14

Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Parma ,Jakarta, tahun 2007, hal.

(8)

kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.15

Ini merupakan terjemahan harfiah dari kata Hafidz yang sebenarnya mengandung makna memelihara atau menjaga baik di hafalan maupun catatannya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama hadits diatas, M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa kriteria dhâbith adalah:

Pertama, periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadits yang telah

didengar. Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat memahami dengan baik riwayat hadits yang telah didengar, dengan kemungkinan pertimbangan bahwa: (1) Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya ia telah memahami apa yang telah dihafalnya. (2) Dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya. Pertimbangan pertama tidak cukup kuat karena orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham dengan sesuatu yang dihafalnya. Karena itu, pertimbangan kedua merupakan dasar ke- dhâbith-an menurut sebagian ulama diatas.

Kedua, periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadits yang telah didengar

atau diterimanya. Kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat disebut sebagai orang yang dhâbith, meskipun ada ulama yang mendasarkan

ke-dhâbith-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada

kemampuan pemahaman. Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap hadits dengan baik dapat disebut dhâbith dan jika disertai dengan pemahaman terhadap hadits tersebut, maka tingkat ke-dhâbith-an lebih tinggi dari periwayat tersebut.

(9)

Ketiga, periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang dihafal dengan

baik, kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang lain. Kemampuan hafal yang dituntut dari seseorang periwayat, sehingga ia disebut seorang yang dhâbith adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain kapan saja ia menghendakinya. Kriteria ini dimaksudkan pada kenyataan bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau karena sebab lainnya. Periwayat hadits yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau sebab lainnya, seperti Sa’id ibn Iyas Jurayji, Sa’id ibn Abi ‘Arubah, Rabi’ah al-Ra’i ibn Abi ‘Abd al-Rahman.16 Periwayat yang mangalami kemampuan hafalan tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dhâbith sampai saat sebelum mengalami perubahan, sebaliknya periwayat yang mengalami perubahan hafalan dinyatakan tidak dhâbith.

Sebagaimana halnya periwayat yang ‘adil, periwayat yang dhâbith dapat diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dhâbith-an periwayat hadits menurut berbagai pendapat ulama adalah:

(1) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama;

(2) Ke-dhâbith-an periwayat dapat diketahui juga berdasar kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal

ke-dhâbith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat

harfiah;

16

Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi, al-Mughn fi al-Dhu’afa’ Dar al-Ma’arif, Suriah, tahun 1971, juz I, hal. 177, 230, 256, 264, 268-269, juz II, hal. 412.

(10)

(3) Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhâbith asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadits, maka tidak disebut dhâbith.17

Kualitas ke-dhâbith-an periwayat dengan periwayat lain tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ke-dhâbith-annya, ada yang dhâbith saja bahkan ada yang kurang dhâbith serta tidak dhâbith. Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang

dhâbith dapat dikelompokkan pada hadits shahih.

Hadits yang disampaikan oleh periwayat yang kurang dhâbith dapat dikelompokkan pada hadits hasan, karena periwayat yang hafal hadits yang diriwayatkan tetapi sekali-kali mengalami kekeliruan dalam menyampaikan hadits itu kepada orang lain.

Periwayat disebut tidak dhâbith apabila tidak hafal terhadap hadits yang diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruan dalam meriwayatkan hadits dan hadits yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadits dha’if.

4. Terhindar dari Syâdz

Secara bahasa, Syâdz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti menyendiri. Menurut istilah ulama hadits, Syâdz adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat periwayat yang lebih tsiqah.18 Pendapat ini dikemukan oleh al-Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan ulama hadits. Menurut al-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan riwayat banyak periwayat yang lebih tsiqah. Suatu hadits tidak dinyatakan mengandung Syâdz bila

17

Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh Nawawi, Mathba’ah al-Mishriyyah, Mesir, juz I, tahun 1987, hal. 50.

(11)

hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah sedang periwayat lain yang tsiqah tidak meriwayatkannya.19

Jadi, bagi as-Syafi’i, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; (2) para periwayat hadits seluruhnya tsiqah; dan (3) matan dan/atau sanad hadits itu mengandung pertentangan. Bagi al-Hakim, suatu hadits dinyatakan mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat; (2) periwayat yang sendirian itu bersifat tsiqah.

Sebaliknya, menurut al-Syafi’i, suatu hadits tidak mengandung Syâdz apabila: (1) hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat; (2) periwayat yang tidak

tsiqah.

5. Terhindar dari ‘Illat

Jika dalam sebuah hadits terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak shahih, maka hadits itu dinamakan hadits mu’allal, yaitu hadits yang mengandung ‘illat. Kata al-Mu’allal merupakan isim maf’ul dari kata a’allah (ia mencacatkannya).20 Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit, dan keburukan.21 Menurut istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadits.22 Ibn Shalah, Nawawi, dan Nur al-Din‘Itr menyatakan bahwa ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak

19Al-Hakim al-Naysaburi, op.cit., halaman. 119.

20Mahmud al-Thahan, Taysîr Musthalah al-Hadits, Syirkah Bungkul Indah, Surabaya, tth., hal. 100-101. 21

Muhammad ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arâb, Dar al-Mishriyah, Mesir, juz XII, tth., hal. 498 dan Ahmad ibn Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbâh, juz II, hal. 509.

(12)

kualitas hadits, yang menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualits shahih menjadi tidak shahih.23

Sebagai sebab kecacatan hadits, pengertian ‘illat di sini berbeda dengan pengertian ‘illat secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat hafalan. Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadits disebut dengan istilah al-tha’n atau al-jarh dan terkadang diistilahkan juga dengan ‘illat dalam arti umum. Cacat umum ini dapat mengakibatkan pula lemahnya sanad, tetapi hadits yang mengandung cacat itu tidak disebut sebagai hadits mu’allal. Menurut Shalah al-Din al-Adhabi, yang dimaksud dengan hadits mu’allal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tsiqah, yang berdasarkan telaah seorang kritikus ternyata mengandung ‘illat yang merusak keshahihannya, meski secara lahiriah tampak terhindar dari ‘illat tersebut. Atau hadits yang secara lahiriah terhindar dari ‘illat tetapi setelah diteliti ternyata mengandung ‘illat yang merusakkan keshahihannya.24

Dilihat dari segi periwayat, hadits mu’allal sama dengan hadits syadz, yaitu keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat tsiqah. Bedanya, dalam hadits mu’allal, ‘illatnya dapat ditemukan sedangkan dalam hadits syadz tidak karena dalam hadits syadz memang tidak terdapat ‘illat. Sebagimana telah dijelaskan, tidak adanya ‘illat merupakan salah satu syarat keshahihan suatu hadits. Jika sesuatu hadits mengandung ‘illat, maka hadits dinyatakan tidak shahih. mrnurut istilah ahli hadits, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadits.

23Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, op.cit., halaman. 81. Abu Zakariya Yahya ibn

Syarf al-Nawawi, hal. 10, dan Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits al-Nabawi, Dar al-Fikr, Damaskus, tahun 1997) hal. 447.

24

Shalah Din ibn Ahmad Adhabi, Manhaj Naqd Matn ‘Ind ‘ulama’ Hadits Nabawi, Dar al-Aflaq al-Jadidah, Beirut, tahun 1983 M, hal. 147.

(13)

Ini berarti, suatu sebab yang tidak tersembunyi dan tidak samar serta tidak merusak keshahihan hadits tidak disebut ‘illat.

Mengetahui ‘illat suatu hadits tidak mudah sebab membutuhkan upaya menyingkap ‘illat yang tersembunyi dan samar yang tidak dapat diketahui selain orang yang ahli dalam bidang ilmu hadits. Tidak banyak orang yang dapat menyingkap ‘illat tersebut kecuali beberapa ulama hadits saja seperti Ibn al-Madini, Ahmad, al-Bukhari, Ibn Abi Hatim, dan al-Daruqutni.25

Menurut al-Khathib al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘illat hadits adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan diantara para periwayatnya dan memperhatikan status hafalan, keteguhan dan kedhabithan masing-masing periwayat.26Menurut ‘Abd al-Rahman bin Mahdi, untuk mengetahui ‘illat hadits diperlukan intuisi (ilham).27 Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabithan periwayat, dan ahli dibidang sanad dan matan hadits.28 Al-Hakim al-Naysaburi berpendapat, acuan utama peneliti ‘illat hadits adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits.29

Suatu ‘illat hadits dapat terjadi pada sanad, pada matan atau pada sanad dan matan sekaligus. Akan tetapi, yang terbanyak ‘illat terjadi pada sanad.

Masing-25Mahmud al-Thahan,op.cit., halaman. 99-100.

26Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi,op.cit., halaman. 148.

27Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Dar al-Fikr, Beirut, juz I, tahun 1988, hal. 252.

28

Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Shalah,op.cit., halaman. 81.

(14)

masing hadits, baik ‘illatnya terjadi pada sanad, matan atau pada sanad dan matan sekaligus dapat disebut dengan hadits mu’allal.

Baik hadits shahih maupun hadits hasan telah dikodifikasikan oleh para ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Di antara kitab itu ada yang hanya memuat hadits-hadits shahih saja seperti kitab Shahih al-Bukhari karya al-Imam al-Bukhari (194-256 H) dan kitab Shahih Muslim oleh Muslim Ibn al-Hajjaj (204-261 H). Ada pula kitab-kitab yang disamping memuat hadits-hadits shahih juga memuat hadits

hasan dan hadits dha’if seperti kitab-kitab sunan yang empat, yaitu Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (202-275 H), Sunan al-Turmudzi karya Abu

‘Isa al-Turmudzi (209-279), Sunan al-nasa’i karya Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasa’i (215-303 H), Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah al-Qazwini (209-273 H). Hadits-hadits shahih terdapat pula dalam Musnad Ahmad karya Ahmad ibn Hanbal dan dalam al-Muwaththa’ karya Imam Malik ibn Anas.

B. Hadits Shahih menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memahami hadits shahih mengikuti ulama hadits sebelumnya. Beliau cenderung mendefinisikan Hadits shahih mengikuti dengan definisi hadits shahih Menurut imam Ibn al-Shalah, yaitu hadits yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan

dhâbith, diterima dari periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak

ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat).30

Metode beliau dalam menilai hadits shahih terlihat dalam salah satu kitabnya yang berjudul Tamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah. Dalam kitab tersebut

30

Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd Rahman Ibn Shalah, ‘Ulûm Hadîts, Maktabah Islamiyah,

(15)

tertuang pedoman-pedoman pokok yang harus diketahui oleh setiap orang yang berkepentingan dengan penguasaan ilmu hadits.

Pedoman Pertama: Menolak hadits Syadz. Salah satu syarat hadits shahih ialah tidak ada syadz. Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya dan diterima periwayatannya, namun bertentangan dengan riwayat lain yang memiliki tinggat validasi lebih tinggi.31

Pedoman yang kedua: menolak hadits mudhtharib(goncang). Salah satu syarat hadits shahih ialah tidak memiliki ‘illah (cacat), dan ketahuilah bahwa goncang itu tergolong cacatnya hadits.32

Dinamakan hadits goncang jika dua riwayat itu sejajar, apabila salah satunya lebih unggul dari yang lain seperti penerima riwayat lebih kuat hafalannya dan lebih banyak berkumpul atau bertemu dengan pemberi riwayat maka yang unggul itu tidak disebut hadits goncang. Kegoncangan ini bisa terjadi pada redaksi hadits, mata rantai hadits, pada seorang perawi dan pada perawi secara jama’ah.

Pedoman yang ketiga: menolak hadits mudallas (penipuan/pengaburan).33Hadits

Mudallas menurut istilah hadits yang diriwayatkan dengan cara yang diperkirakan bahwa

hadits itu tidak bercacat. Periwayat yang menyembunyikan cacat disebut al-Mudallis, haditsnya disebut al-mudallas, dan perbuatan menyembunyikan disebut al-tadlis.

Pedoman yang keempat: menolak hadits majhul (perawi yang tidak dikenal).34 Dalam al-Kifayah halaman 88 al-Khatib berkata: “al-Majhul dari ahli hadits ialah orang yang tidak populer proses perolehan ilmunya dan tidak dikenal oleh para ulama.” Orang

31Muhammad Nashiruddin al-Albani, TerjemahanTamamul minnah fit-Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Maktabah salafy Press, Tegal, tahun 2001, hal. 2

32

Ibid, halaman 4.

33

Ibid, halaman 5.

(16)

ini hanya meriwayat hadits dari satu sumber. Ketidak kenalnya akan terangkat sedikit karena adanya dua atau lebih perawi yang terkenal keilmuannya yang meriwayatkat hadits darinya.

Pedoman yang kelima: tidak mengandalkan tautsiq Ibnu Hibban.35Telah dijelaskan pada pedoman keempat bahwa hadits majhul tidak dapat diterima riwayatnya menurut jumhur ulama terkecuali Ibnu Hibban. Karena beliau menerima hadits majhul dan menjelaskan argumentasinya dalam shahihnya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan berkata: Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang yang teringkari haditsnya tidak boleh dipercaya. Jika ia meriwayatkan hadits-hadits munkar tetapi tidak bertentangan dengan hadits-hadits terpercaya, maka ia termasuk perawi yang ‘adil dan dapat diterima riwayatnya, karena manusia pada dasar baik dan ‘adil ucapannya kecuali jika jelas-jelas ia melakukan hal yang tercela. Hukum ini berlaku pada perawi yang terkenal. Adapun perawi yang tidak dikenal yang hanya menurunkan perawi-perawi lemah, mereka ditinggalkan dalam kondisi kemajhulan mereka (adh-Dhu’afa: II/192,193).

Al-Hafidz berkata:“pendapat Ibnu Hibban terhadap perawi yang telah hilang dan ketidak kenal pribadinya berarti adil adalah pendapat yang aneh, dan kebanyakan ulama menentangnya. Jalan yang ditempuh Ibnu Hibban dalam kitab karangannya

Kitabuts-Tsiqat menyebutkan bahwa sejumlah perawi yang dicatat olah Abu Hatim dan yang lain

adalah tidak dikenal, dan seakan-akan Ibnu Hibban berpendapat bahwa ketidak kenal pribadi perawi akan terangkat oleh satu perawi terkenal. Ini pendapat gurunya, Ibnu Khuzaimah.

(17)

Dalam karyanya diatas, Ibnu Hibban dengan berpegang pada kaidah yang diunggulkan, menuliskan sekelompok perawi yang dia tidak mengenal baik mereka maupun bapak-bapak mereka. Ibnu Hibban berkata dalam ath-Thabaqah ketiga: “Sahl meriwayatkan dari Shaddad bin al-Hadi dan darinya Abu Ya’fur meriwayatkannya. Saya tidak mengenalnya dan saya tidak tahu siapa bapaknya.” Tautsiq Ibnu Hibban terhadap seseorang yang hanya disebutkan pada karyanya ini berada pada tingkat yang paling rendah.

Oleh sebab itu para peneliti hadits, seperti adz-Dzahabi, al-Asqalani dan yang lain tidak mempercayai orang yang hanya dipercaya oleh Ibnu Hibban. Hal yang yang perlu diperhatikan ialah bahwa kata-kata Abdul Hadi: “Dan jika ia tidak dikenal maka keadaannya pun tidak dapat diketahui.” Bukan pendapat yang tepat, sebab mengandung pengertian bahwa Ibnu Hibban tidak menyebutkan perawi yang tidak dikenal pribadinya dalam karyanya Kitab ats-Tsiqat. Padahal kenyataannya tidak demikian, seperti dibuktikan oleh pernyataannya dalam “Sahl”: “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak tahu siapa bapaknya.”

Begitu juga pendapat al-Hafidz: dengan riwayat dari satu orang yang terkenal mengandung praduga bahwa Ibnu Hibban memberi kepercayaan hanya kepada orang yang menurunkan satu perawi masyhur, sebab jika yang dimaksud masyhur (terkenal) oleh al-Hafidz adalah terpercaya, berarti ia bertentangan dengan kenyataan kebanyakan tingkat-tingkat orang-orang yang dipercaya oleh Ibnu Hibban. Jika bukan itu yang dimaksud, maka pendapat ini tidak ada nilainya, sebab baik yang lemah maupun yang

majhul sama-sama mempunyai perawi dalam kitab ats-Tsiqat. Dibawah ini ada sebagian

(18)

1. Ibrahim bin Abd ar-Rahman al-‘Udzri

Dikatakan olah Ibnu Hibban (4/10): “ia meriwayatkan hadits-hadits mursal dan menurunkan riwayat kepada Mu’an bin Rifa’ah.” Kemudian ia menyebutkan salah satu hadits dengan sanad mursal: “Ilmu ini diwarisi oleh setiap penerusnya yang adil…” al-hadits.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: Dan Mu’an ini, kata al-Hafidz sendiri adalah lemah haditsnya. adz-Dzahabi berkata: Ia bukan pokok. Lebih-lebih ia seorang yang didatangkan tidak diketahui siapa dia. Yakni Ibrahim, ia tidak dikenal pribadinya. Dan dijelaskan olah Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa tentang Mu’an: ia munkar haditsnya, meriwayatkan hadits-hadits yang mursal menceritakan dari orang-orang yang tidak dikenal. Haditsnya tidak bisa menyerupai hadits perawi-perawi yang teguh.

2. Ibrahim bin Isma’il

Dikatakan (IV/4-15): “ia meriwayatkan dari Abu Hurairah dan dari nya al-Hajjaj bin Yasar meriwayatkan.”

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: al-Hajjaj ini disebut juga Ibnu ‘Ubaid- kata al-Hafidz, ia tidak dikenal. Dalam al-Mizan, Adz-Dzahabi berkata:” Darinya hanya Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan.” Dan Laits ini lemah dan kabur riwayatnya seperti apa yang diketahui, bahkan menurut Ibnu Hibban sendiri.

3. Ibrahim al-Anshari

Ibnu Hibban berkata (IV/15): “Ia meriwayatkan dari Maslamah bin Makhlad, dan darinya anak Isma’il bin Ibrahim meriwayatkan.”

(19)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: Isma’il ini tidak dikenal. Begitu kata al-Hafidz dan orang sebelumnya, yaitu Abu Hatim.

Dari penyelidikan ini jelaslah bahwa menurut Ibnu Hibban, ‘Jahalatul ‘ain’(ketidak dikenalan pribadi) akan terangkat oleh satu riwayat meskipun lemah dan majhul. Berbeda dengan pendapat al-Hafidz terdahulu secara lahir, meskipun tidak menyatakan dengan tegas, beliau berkata: “dan seakan-akan Ibnu Hibban…” beliau menjalin kata-kata Ibnu Hibban: “Ini ketentuan perawi-perawi masyhur. Adapun perawi-perawi yang tidak dikenal…” dst. Ini dibatalkan oleh contoh kedua sebagimana apa yang tampak.

Secara garis besar, ketidak kenalan pribadi itu saja menurut Ibnu Hibban bukanlah cacat. Keyakinan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bertambah terhadap hal ini Setelah mempelajari penjalasan-penjelasan di dalam karyanya: adh-Dhu’afa, dimana jumlah perawi lemah hampir mencapai 1400. Saya tidak melihat dari mereka yang dinyatakan tidak dikenal, kecuali empat perawi saja, dan Ibnu Hibban mencela mereka bukan karena mereka tidak dikenal, tetapi karena meriwayatkan hadits-hadits munkar. Mereka itu adalah:

1. Humaid bin Ali bin Harun al-Qaisi.

Disebutkan olah Ibnu Hibban beberapa hadits munkar yang diriwayatkannya. Ibnu Hibban berkata: “Ia tidak boleh dijadikan hujjah setelah meriwayatkan hal-hal seperti ini dari perawi-perawi terpercaya, karena banyak orang yang tidak mengenalnya.” 2. Abdullah bin Abu laila al-Anshari.

(20)

Ibnu Hibban berkata: Orang ini tidak dikenal. Saya tidak mengetahui darinya sesuatu apapun kecuali huruf Munkar yang ia riwayatkan yang disaksikan kebathilan oleh ijma’ semua kaum muslimin.

3. Abdullah bin Ziyad bin Sulaim.

Ibnu Hibban berkata: “Ia Syaikh yang tidak dikenal. Darinya Baqiya bin al-Walid meriwayatkan. Saya tidak hafal perawinya kecuali Baqiya. Kelemahan riwayat Baqiya ini saya sebutkan pada bagian pertama karya saya. Oleh karena itu, saya tidak sempat mencelanya, padahal apa yang diriwayatkannya harus ditinggalkan dalam segala hal.”

4. Abu Zaid.

Dikatakan (III/158): “Abu Zaid meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud hadits yang tidak dapat di telusuri. Tidak diketahui siapa dia, siapa bapak dan dari mana ia berasal. Orang yang memiliki sifat seperti ini kemudian meriwayatkan hanya satu hadits, berarti ia bertentangan dengan al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan ijtihad dan ia harus dijauhi serta tidak boleh dijadikan hujjah.”

Ibnu Abdul Hadi berkata tentang hal ini: “Caranya dalam hal ini ialah menyebutkan orang tidak dikenal cacat, dan jika ia tidak dikenal berarti tidak dikenal keadaannya.”

Yang benar adalah disebutkan: “tidak dikenal pribadinya,” sebagai contoh-contoh terdahulu. Wallahu A’lam.

Intinya bahwa rekomendasi Ibnu Hibban harus lebih diwaspadai karena berbeda dengan ulama-ulama lain dalam merekomendasikan orang-orang yang tidak dikenal. Tetapi itu tidak mutlak sebagaimana dijelaskan oleh al-Mu’Allimi dalam at-Tankil (I/437-438).

(21)

Hal yang perlu diperhatikan ialah masalah penting dalam pernyataan al-Mu’allimi yang sedikit sekali disadari orang, bahkan dilalaikan oleh kebanyakan penuntut ilmu. Hal tersebut ialah menyampaikan riwayat hadist mungkar adalah orang yang jujur yang dapat dijadikan pegangan. Berkaitan dengan hal ini,al-albani menguatkan beberapa hadist seperti hadist tentang bangkit dari sujud dalam shalat. Beberapa penuntut ilmu mengira bahwa al-albani mengingkari pendapatnya sendiri dan sependapat dengan Ibnu Hibban dalam melemahkan hadist ‘ajn (bangkit dari sujud dengan menyandarkan tangan (mengepal) diatas tempat sujud).

Pedoman yang keenam: para perawinya adalah para perawi hadits shahih. bukan penilaian shahih atas suatu hadits.36Peryataan ahli hadits “Para perawinya adalah para perawi hadits shahih” atau “Para perawinya adalah orang-orang terpercaya,” tidak sama dengan peryataan “Rantai periwayatannya itu shahih.” Karena peryataan yang kedua menujukkan adanya semua persyaratan keotentikan seperti terbebas dari cacat. Adapun pernyataan pertama hanya menunjukkan satu syarat yaitu tentang keadilan dan dipercayanya para perawi bukan menunjukkan keotentikan suatu hadits.

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan yaitu jika hadits yang dibahas meskipun terbebas dari cacat-cacat, tidak otomatis hadits tersebut hadits shahih, karena terkadang dalam rantai periwayatannya ada seorang perawi yang tidak menjadikan hadits tersebut sebagai acuan, tetapi ia meriwayatkannya sekedar sebagai saksi, karena ia lemah hafalannya, atau termasuk perawi yang direkomendasikanoleh Ibnu Hibban.

(22)

Pedoman ketujuh: tidak bersandar pada diamnya Abu Daud.37 Abu Daud pernah berkata dalam kitabnya as-Sunnah: “hadits yang memiliki kelemahan yang terdapat dalam kitab saya ini, saya jelaskan dan hadits yang tidak saya beri catatan apa-apa adalah hadits yang layak.”

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata “layak” ini, sebagian mereka berpendapat, bahwa maksud Abu Daud adalah hadits hasan yang dapat dijadikan hujjah dan yang lain berpendapat lebih umum dari hal itu, sehingga pengertian hadits ini mencangkup hadits yang dapat dijadikan hujjah dan hadits yang dapat digunakan sebagai saksi, pendapat ini tidak terlalu lemah.

Pernyataan: “dan hadits yang memiliki kelemahan yang terdapat dalam kitab saya ini, saya jelaskan” menunjukkan pengertian bahwa Abu Daud tidak menjelaskan hadits yang tidak terlalu lemah. Jadi, tidak setiap hadits yang dijelaskan oleh Abu Daud itu hasan menurutnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya banyak hadits riwayat Abu Daud yang tidak diragukan kelemahannya karena tidak ada penjelasan dari beliau. Imam Nawawi mengomentari sebagian hadits tersebut: “Abu Daud tidak menjelaskan kelemahan hadits ini karena sudah jelas.”

Pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani tentang tidak bersandar pada diamnya Abu Daud telah diunggulkan oleh para ulama peneliti hadits seperti Ibnu Mandah, adz-Dzahabi, Ibnu Abdil dan Ibnu Katsir. Peryataan mereka telah disalin beliau kedalam mukaddimah kitabnya Shahih Abu Daud.

Pedoman kedelapan: kode-kode as-Suyuthi dalam Jami’ as-Shaghir tidak dapat dipercaya,38karena dua hal yaitu:

37

Ibid, halaman 16.

(23)

Pertama, adanya perubahan kode-kode as-Suyuthi yang dilakukan oleh para penyalin, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani sering menemukan hadits as-Suyuthi yang diberi kode berbeda dengan apa yang disalin oleh pensyarahnya al-Munawi dan as-Suyuthi sendiri, beliau menyalin al-Jami’ dengan tulisan tangan pengarangnya, sebagaimana beliau pada permulaan syarhnya, seraya berkata: “Adapun kode-kode tentang hadits shahih, hasan dan dha’if dengan inisial huruf shad, ha’ dan dhad dalam beberapa naskah, tidak selayaknya untuk dapat dipercaya, karena sudah ada perubahan dari para penyalinnya pada sebagian hadits-hadits yang beliau tulis sebagimana yang Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani lihat.

Kedua, as-Suyuthi dikenal kurang hati-hati dalam menshahihkan atau mendha’ifkan hadits, sehingga banyak hadits yang beliau nilai shahih atau hasan ternyata dibantah oleh pensyarahnya, al-Munawi. Hadits yang terbantah ini mencapai ratusan. Begitu juga dalam al-Jami’ banyak terdapat hadits-hadits maudhu’ (palsu). Padahal as-Suyuthi berkata dalam pendahuluan kitab itu: “Dan saya menjaganya dari hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi-perawi palsu dan dusta.” Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pernah menghitung hadits-haditsnya yang maudhu’ hingga mencapai kurang lebih 1000 hadits.

Pedoman kesembilan: diamnya al-Mundziri tidak mengukuhkan hadits dalam

at-targhib.39Dikarenakan banyak orang menduga bahwa hadits-hadits dalam at-Targhib wa

at-Tarhib yang tidak mendapatkan penjelasan dari al-Mundziri tidak lemah. Seperti

Sayyid Sabiq banyak menampilkan hadits-hadits dari kitab tersebut.Mugkin beliau tidak paham pernyataan yang dijelaskan sendiri oleh al-Mundziri dalam pendahuluan kitabnya halaman 4 di bawah ini:

(24)

Maka jika rantai periwayatan hadits itu shahih dan hasan atau mendekati keduanya, saya riwayatkan dengan kata: ‘an’ begitu juga dengan hadits-hadits mursal (tersampaikan), munqati’ (terputus), mu’dhal (rumit), atau di antara para perawinya ada perawinya yang samar, lemah yang dipercayakan atau terpercaya yang dilemahkan, sedangkan perawi-perawi yang lain terpercaya atau ucapan mereka tidak berbahaya,

muttasil (bersambung) tetapi otentik kemursalannya, atau hadits yang lemah sanadnya

tetapi telah dishahihkan atau dihasankan oleh sebagian oleh para pentakhrijnya, hadits-hadits seperti ini saya riwayatkan dengan kata: ‘an’ juga, kemudian saya jelaskan ketersampaian, keterputusan atau kerumitannya, dan saya jelaskan pula perawi-perawinya yang beragam, saya berkata: “Hadits ini telah diceritakan oleh Fulan dari riwayat Fulan, melalui jalur Fulan dalam rantai periwayatannya ada Fulan dan lain sebagainya.

Apabila dalam rantai periwayatan hadits ada perawi yang pendusta, perawi hadits maudhu’, tercurigai atau disepakati untuk ditinggalkan atau dilemahkan, hilang haditsnya, rusak, gugur, tidak dianggap, sangat atau sekedar lemah, atau saya tidak melihat kepercayaan pada dirinya sehingga tidak ada tanda-tanda kemungkinan diperbaiki, maka hadits-hadits seperti ini saya riwayatkan dengan kata: ‘Ruwiya’. Saya tidak menyebut perawi itu dan apa yang disebut-sebut tentang dirinya. Dengan ini maka sanad yang lemah mempunyai dua petunjuk: disahkan dengan kata-kata ‘ruwiya’ dan tidak ada pembicaraan pada bagian akhirnya.

Pedoman kesepuluh: mengukuhkan hadits dalam banyak jalur tidk bersifat mutlak.40Sudah diketahui oleh ahli ilmu bahwa hadits akan menjadi kuat dan dapat dijadikan hujjah apabila diriwayatkan dari berbagi jalur, meskipun secara tersendiri masing-masing jalur itu lemah. Ini tidak bersifat mutlak.

(25)

Artinya, menurut para penenliti hadits, Kekuatan hadits ini tetap ada jika kelemahan para perawinya berbagai jalur berada pada jeleknya hafalan mereka, bukan pada kejujuran atau keberagaman mereka yang dipertanyakan, yang hal ini menyebabkan tidak kuatnya hadits meskipun banyak memiliki jalur.

Beginilah apa yang disalin oleh peneliti hadits al-Munawi, dalam Faidh al-Qodir dari para ulama, mereka berkata: “Jika sudah parah, kelemahan itu tidak dapat diperbaiki denga mendatangkannya dari sisi lain meskipun banyak jalur.”

Meskipun banyak jalur karena kelemahan yang berat dan tidak bisa diperbaiki. Berbeda jika masih ringan, kelemahan itu dapat diperbaiki dan diperkuat.Bagi orang yang ingin memperkuat hadits dengan banyaknya jalur periwayatan hendaknya memperhatikan para perawi masing-masing jalur, sehingga menjadi jelas apakah hadits itu memiliki kelemahan atau tidak.

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbandingan Metode ANP dan AHP Dalam Pemilihan

Ditinjau dari kesesuaian dengan metode pembelajaran, LKPD Berbasis Problem Based Learning pada materi gelombang elektromagnetik diperoleh hasil validitas 82.28

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, perlindungan serta anugerah kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat

Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen kebijakan multi-fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Secara

sempurna pada ruang bakar adalah 1 : 14,7. Namun pada prakteknya, perbandingan campuran ideal tersebut tidak bisa tercapai secara konstan pada setiap keadaan operasional. Nilai

Perwujudan pengelolaaan Piutang Daerah melalui Sistem Aplikasi Piutang Daerah Pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bungo merupakan sebuah terobosan untuk menghasilkan

Teman-teman keluarga besar Program Sarjana Binus UNIVERSITY, Edwin, San-san, Try Sutrisno, Hindi Huang, Dameria, Alika Cha-cha, Metta, dan seluruh teman-teman

(3) Sesuai dengan konsep ESQ Ary Ginanjar Agustian, maka nilai-nilai karakter terdapat pada 6 rukun Iman, 5 rukun Islam dan Ihsan yang masing-masing terkandung