• Tidak ada hasil yang ditemukan

205366813-REFERAT-BRONKITIS-KRONIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "205366813-REFERAT-BRONKITIS-KRONIK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT PATOLOGI ANATOMI BLOK SISTEM RESPIRASI

BRONKITIS KRONIK Asisten : Rinda Puspita A. G1A010033 Disusun Oleh : Kelompok D1

Aldera Asa Dinantara G1A011103

Boma Bhaswara G1A011105

Riyanda Rama Putri G1A011107

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

(2)

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT PATOLOGI ANATOMI

BLOK SISTEM RESPIRASI BRONKITIS KRONIK

Disusun Oleh : Kelompok D1

Aldera Asa Dinantara G1A011103

Boma Bhaswara G1A011105

Riyanda Rama Putri G1A011107

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti Ujian Praktikum Patologi Anatomi Blok Respiratori

pada Jurusan Kedokteran

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

Diterima dan disahkan Purwokerto, Maret 2013

Asisten

Rinda Puspita A NIM. G1A010033

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Depan ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Daftar isi ... iii

Bab I Pendahuluan ... 1 Bab II Isi Definisi ... 2 Etiologi ... 2 Epidemiologi ... 3 Faktor resiko ... 4

Tanda dan gejala ... 4

Penegakan diagnosis ... 6 Patogenesis ... 9 Patofisiologi ... 10 Histopatologi ... 11 Terapi lama ... 12 Terapi baru ... 12 Komplikasi ... 13 Prognosis ... 14

Bab III Kesimpulan ... 16

(4)

I. PENDAHULUAN

Bronkitis kronik adalah salah satu penyakit paru dimana pasien memiliki batuk produktif kronik yang berhubungan dengan inflamasi bronkus. Diagnosis bronkitis kronik dinyatakan bahwa jangka waktu kronik pada penyakit ini adalah selama batuk produktif muncul, minimal selama tiga bulan setahun dan pada dua tahun berturut-turut. Sebelum terkena penyakit bronkitis kronik biasanya pasien pada awalnya mengalami batuk produktif yang didiagnosis terkena penyakit Tuberkulosis, kanker paru dan congestive heart failure (PDPI, 2003).

Bronkitis kronik termasuk dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). PPOK merupakan penyakit kematian keempat di Negara Amerika Serikat. Diperkirakan 12 juta orang Amerika menderita bronkitis kronik dan atau emfisema dan menyebablan 40.000 kematian setiap tahunnya (Wilkins, 2006).

Di Indonesia penyakit asma, bronkitis dan emfisema merupakan penyebab kematian ke sepuluh dan menduduki peringkat ke lima dalam pola morbiditas. PPOK menyerang pria dua kali lebih banyak daripada wanita, tetapi insidensi pada wanita semakin meningkat dan stabil pada pria (Price, 2007).

Dampak dari penyakit Bronkitis Kronik ini adalah infeksi saluran nafas yang berat dan sering, penyempitan dan penyumbatan bronkus, sulit bernafas, disability, hingga kematian. Kebiasaan merokok merupakan factor penting yang berkonstribusi menyebabkan bronkitis kronik (Price, 2007).

Pembuatan laporan penyakit bronkitis kronik ini didasarkan pada angka kejadian penyakit yang tinggi di Indonesia oleh karena pengetahuan masyarakat yang kurang akan penyakit ini. Diharapkan pembuatan laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca baik orang sekitar maupun masyarakat luas untuk mencegah dan mengurangi kejadian dari penyakit bronkitis kronik ini.

(5)

II. ISI A. Definisi

Bronkitis kronik adalah gangguan paru obstruktif yang ditandai produksi mukus berlebihan di saluran nafas bawah dan menyebabkan batuk kronik. Kondisi ini terjadi selama setidaknya 3 bulan berturut-turut dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Bronkitis kronik juga tidak disebabkan karena penyakit lainnya. (Corwin, 2009; PDPI, 2003).

Bronkitis kronik merupakan salah satu Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama. Umumnya ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Kumar, et al. 2007).

Menurut Kumar (2007), bronkitis kronik memiliki beberapa bentuk : a. Bronkitis sederhana

Batuk produktif meningkatkan sputum mukoid, tetapi jalan napas tidak terhambat.

b. Bronkitis mukopurulen kronik

Jika sputum mengandung pus, mungkin karena infeksi sekunder. c. Bronkitis asmatik kronik

Beberapa pasien dengan bronkitis kronik memperlihatkan hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma atopik.

d. Bronkitis obstruktif kronik

Suatu subpopulasi pasien bronkitis mengalami obstruksi aliran keluar udara yang kronik berdasarkan uji fungsi paru.

B. Etiologi

Merokok merupakan faktor etiologi yang paling penting. Polusi udara dari lingkungan hidup dan kerja serta infeksi virus dan bakteri merupakan unsur

(6)

utama yang meningkatkan efek yang ditimbulkan oleh merokok (Udayana, 2008).

Menghentikan kebiasaan merokok merupakan tindakan yang paling efektif untuk mengubah perilaku dan pola hidup sering kali diabaikan dan sangat sukar dilakukan (Udayana, 2008).

Merokok menyebabkan hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronik perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal (emfisema), yang menyebankan hilangnya elastic recoil, hiperinflasi, terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk bernafas, sehingga terjadi sesak nafas. Dengan berkembangnya penyakit kadar CO2 meningkat dan dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia. Jika oksigen tambahan menghilangkan hipoksemia, dorongan pernafasan juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal nafas (Davey, 2006).

C. Epidemiologi

Di negara barat, kejadian bronkitis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara populasi. Di Inggris dan Amerika penyakit paru kronik merupakan salah satu penyebab kematian dan ketidakmampuan pasien untuk bekerja. Kejadian setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti dengan pengobatan memakai antibiotik. Bronkitis kronik ditemukan dalam angka yang lebih tinggi pada pekerja tambang, pedagang biji padi-padian, pembuat cetakan metal, dan orang lain yang terus menerus terpapar pada debu. Namun penyebab utama adalah merokok sigaret yang berat dan berjangka panjang, yang mengiritasi tabung-tabung bronkial dan menyebabkan mereka menghasilkan lendir yang berlebihan (Sutoyo, 2009).

Bronkitis kronik sering terjadi pada para perokok dan penduduk di kota-kota yang dipenuhi oleh kabut asap, beberapa penelitian menunjukan bahwa 20%

(7)

hingga 25% laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit ini (Kumar, et al. 2007).

D. Faktor Risiko

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan (PDPI, 2003) :

a. Riwayat merokok 1) Perokok aktif 2) Perokok pasif 3) Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : 1) Ringan : 0 - 200

2) Sedang : 200 - 600 3) Berat : > 600

c. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja d. Hipereaktiviti bronkus

e. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

E. Tanda dan Gejala

Gejala yang sering muncul pada penderita bronkitis kronik adalah batuk. Namun sulit melakukan diagnosis apakah seseorang menderita bronkitis kronik hanya dengan melihat batuk. Tanda dan gejalanya (Wilkins, 2006):

1. Batuk Produktif

Sifat batuk yang terdapat pada penderita bronkitis kronik berupa batuk yang berdahak kental terus-menerus menandakan terjadinya inflamasi lokal dan banyaknya kemungkinan kolonisasi dan infeksi bakteri. Kekentalan sputum (dahak) akan meningkat tajam sebagai hasil dari kehadiran DNA

(8)

bebas (berat molekul dan kekentalan tinggi). Batuk produktif yang berdahak terjadi pada perokok dengan angka lebih dari 50%. Hal ini biasanya terjadi dalam waktu sepuluh tahun setelah mulai terbiasa merokok. Pada COPD atau bronkitis kronik, batuk biasanya parah atau kambuh pada pagi hari namun. sering kali disalahartikan sebagai 'batuk perokok'. Namun, pada perokok yang berhenti, batuk akan hilang namun kerusakan pada fungsi paru akan menetap (Wilkins, 2006).

2. Sesak Nafas

Sesak nafas merupakan gejala yang paling signifikan pada pasien COPD. Sesak nafas dapat didefinisikan sebagai usaha pernafasan yang meningkat atau tidak sesuai. Gejala ini merupakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Pasien biasanya mendeskripsikan sesak nafas sebagai kesulitan dalam melakukan inspiratori (Wilkins, 2006).

3. Suara nafas mendecit

Penyempitan saluran pernafasan yang terus-menerus dan obstruksi mukus dapat menyebabkan terjadinya suara nafas yang mendecit. Keluhan ini sulit untuk dievaluasi karena sifat dasarnya yang memang terputus-putus, tidak muncul terus-menerus serta pemahaman pasien mengenai hal ini memang terbatas (Wilkins, 2006).

Gambar. Perbedaan bronkus normal dengan bronkus dengan penyakit bronkitis. Sumber (Wilkins, 2006)

(9)

Selain itu ada tanda gejala lain (Gleadle, 2005): 1. Peningkatan volume sputum

2. Sesak nafas yang progresif

3. Dada terasa sesak (chest tightness) 4. Sputum yang purulen

5. Meningkatnya kebutuhan bronkodilator 6. Lemah, lesu

7. Mudah lelah 8. Demam 9. Wheezing

F. Penegakan Diagnosis

Secara umum pendekatan cara diagnosis penyakit bronkitis kronik berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Gleadle, 2005): 1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan wawancara pada penderita atau pekerja mengenai riwayat pekerjaan, pajanan, dan riwayat penyakit. Selain itu, anamnesis dapat dari data pajanan dan MSDS. Riwayat merokok merupakan hal yang penting untuk diketahui karena kebiasaan merokok berkontribusi besar dalam timbulnya penyakit bronkitis kronik.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan melihat tanda-tanda yang umum seperti batuk yang retentif, suara nafas yang mendecit, dan juga sianosis di bagian lidah dan membran mukosa akibat pengaruh sekunder polisitemia. Dari postur, penderita memiliki kecenderungan overweight. Sedangkan melihat dari usia, kebanyakan penderita berumur 45-60 tahun. Penderita bronkitis kronik juga mengalami perubahan pada jantung berupa pembesaran jantung, cor pulmonal.

(10)

Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan untuk mengukur paru antara lain adalah Uji fungsi paru, yaitu tes yang dilakukan untuk mengukur kemampuan paru dalam melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.

Tes ini dilakukan menggunakan alat-alat khusus dan di dalamnya terdapat beberapa tes diantaranya (Bastiansyah, 2008):

a. Spirometri

Pengukuran dilakukan menggunakan spirometer. Spirometri merupakan salah satu evaluasi paru yang sederhana. Fungsi dari spirometri sendiri antara lain untuk menentukan seberapa baik menerima, menahan, dan menggunakan udara, untuk memonitor penyakit paru, untuk memonitor keefektifan dari sebuah pengobatan, untuk menentukan tingkat keparahan sebuah penyakit paru, untuk menentukan apakah penyakit paru tersebut restriktif (penurunan laju udara) atau obstruktif (gangguan laju udara) (Bastiansyah, 2008).

b. Pengukuran peak flow rate

Peak Flow Rate (PFR) adalah kecepatan maksimum aliran ekspirasi selama ekshalasi paksa. Uji yang dilakukan mengukur seberapa

Manfaat tes faal paru.

1. Menilai tingkat berat obstruksi dan memantau hasil terapi 2. Mendeteksi tanda dini serangan asma

3. Menilai tingkat variasi sirkardian PEF yang menggambarkan besarnya hiperresponsif bronkus

Nilai yang penting pada asma/penyakit paru obstruktif adalah : 1. Spirometri : FEV 1 L/mnt dan FEV 1% nilai normal > 80% 2. PF Meter : - PEFR % (Peak Expiratory Flow Rate/ Arus

Rate/ Arus Puncak Ekspirasi/ APE)

- PEFR personal best % : APE yang terbaik pada seseorang yang asmanya telah terkontrol 3. Variasi FEV1/PEFR = Nilai tertinggi – N. terendah x 100

Nilai tertinggi

4. Tes Bronkodilator : Kenaikan FEV1 %. Kenaikan APE %. Nilai > 15% menyokong asma

5. Tes Provokasi/Histamin : Nilai PC 20, untuk penurunan FEV1 sebesar 20%

(11)

cepat seseorang dapat meniupkan udara keluar dari paru. Pada penderita asma atau beberapa penyakit parulainnya, besar jalan udara di dalam paru akan semakin mengecil. Hal ini akan menyebabkan melambatnya kecepatan udara yang meninggalkan paru. Evaluasi ini penting untuk mengevaluasi pengontrolan dari sebuah penyakit (Bastiansyah, 2008).

Gambar . Tafsiran Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) Sumber (Bastiansyah, 2008)

c. Arterial Blood Gas (ABG)

Tes darah ini merupakan tes yang digunakan untuk melihat kemampuan paru menyediakan darah dengan oksigen dan menghilangkan karbondioksida, dan untuk mengukur pH darah (Bastiansyah, 2008). d. Pulse Oxymetry

Pengukuran dilakukan menggunakan oksimeter. Oksimeter berfungsi untuk mengukur kadar oksigen di dalam darah (Bastiansyah, 2008).

3. Evaluasi laboratorium (Pemeriksaan non-fisik) a. Tes darah  CBC (Complete Blood Count)

Aman APE 80-100% dan VAPE kurang dari 20% : 1. Tidak ada peningkatan

2. Pakai obat seperti biasa

3. Teruskan usaha pencegahan asma Waspada APE 50-80% dan VAPE 20-30% :

1. Tingkatkan pemakaian obat sesuai petunjuk dokter/ klinik

2. Jika dalam 1-3 jam VAPE masih <70 %: konsultasi ke dokter klinik

Bahaya PE di bawah 50% dan PAVE lebih dari 30% : 1. Tingkatkan pemakaian obat sesuai petunjuk

dokter/ klinik dan segera konsultasi dengan dokter/ klinik

2. Namun bila bibir/ kuku menjadi biru, bernafas terasa sulit dan tak ada perbaikan dalam setengah jam pemakaian obat

tambahan, segeralah dating ke dokter/ klinik atau Rumah Sakit

(12)

Pengukuran ini digunakan untuk melihat kenaikan jumlah sel darah merah jika terdapat hipoksemia kronik. Jumlah sel darah putih akan meningkat jika terdapat infeksi pada pasien pneumonia. Namun, pada penderita bronkitis kronik, pengukuran jumlah sel darah ini tidaklah terlalu abnormal. Identifikasi pasien COPD yang mengalami polycythaemia sangatlah penting karena hal ini merupakan faktor predisposi kejadian-kejadian yang berhubungan dengan vaskular. Seseorang dapat diduga mengalami polycythaemia bila hematokrit > 47% pada wanita dan > 52% pada pria (Bastiansyah, 2008).

b. Radiografi thoraks

Bronkitis kronik juga dapat dilihat melalui radiografi dada. Pada penderita bronkitis kronik biasanya radiografi dada menemukan peningkatan volume dada dengan diafragma dalam keadaan hiperinflasi. Kemudian, dinding bronkial juga mengalami penebalan. Ukuran jantung membesar menyebabkan volume jantung sebelah kanan terbebani terlalu berat (Bastiansyah, 2008).

G. Patogenesis

Berikut ini patogenesis bronkitis kronik (Esikawati, 2009):

Asap rokok, polutan

Hambatan mucociliary clearance

Iritasi bronkial

Hiperplasia, hipertrofi dan proliferasi kelenjar mukus

Hipersekresi mukus

Obstruksi

(13)

H. Patofisiologis

Perubahan struktur pada paru menimbulkan perubahan fisiologik yang merupakan karakteristik bronkitis kronik seperti batuk kronik, sputum produksi, obstruksi jalan napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dan kor-pulmonal. Akibat perubahan bronkiolus dan alveoli terjadi gangguan pertukaran gas yang menimbulkan 2 masalah yang serius yaitu (Sutoyo, 2009):

1. Aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli yang tidak sesuai (mismatched). Sebagian tempat (alveoli) terdapat adekuat aliran darah tetapi sangat sedikit aliran udara dan sebagian tempat lain sebaliknya.

2. Performance yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot respirasi sehingga terjadi overinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli menyebabkan CO2 darah meningkat dan O2 dalam darah berkurang.

Mekanisme patofisiologik yang bertanggung jawab pada bronkitis kronik sangat kompleks, berawal dari rangsang toksik pada jalan napas menimbulkan 4 hal besar seperti inflamasi jalan napas, hipersekresi mukus, disfungsi silia dan rangsangan refleks vagal saling mempengaruhi dan berinteraksi menimbulkan suatu proses yang sangat kompleks (Sutoyo, 2009).

(14)

Gambar . Mekanisme patofisiologik Bronkitis Kronik Sumber (Sutoyo, 2009)

I. Gambaran Histopatologi

Gambar. Histopatologi Bronkitis Kronik. Sumber (Djojodibroto, 2009) Bronkitis adalah suatu penyakit yang mempunyai gambaran histopatologi hipertrofi kelenjar mukosa bronchial dan peradangan peribronkial yang

(15)

menyebabkan kerusakan lumen bronkus berupa metaplasia skuamosa, silia menjadi abnormal, hiperfalsia otot polos saluran pernafasan, peradangan dan penebalan mukosa bronkus. Sel neutrofil banyak ditemukan pada lumen bronkus dan infiltrate neutrofil pada submukosa. Pada bronkiolus respiratorius terjadi peradangan, banyak ditemukan sel mononuclear, banyak sumbatan mukus, metaplasia sel goblet, dan hiperflasia sel otot. Seluruh kelainan ini akan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan (Djojodibroto, 2009).

J. Penatalaksanaan Lama

Penatalaksanaan pada bronkitis kronik (Esikawati, 2009): 1. Non Farmakologis

a. Bed Rest (Tirah Baring Lama) b. Meningkatkan daya tahan tubuh 2. Farmakologis

a. Pengobatan polifarmasi seperti penisilin, kloramfenikol atau ampicilin b. Cairan IV untuk dehidrasi

c. Oksigen untuk sesak nafas

K. Penatalaksanaan Baru

Berikut ini penatalaksanaan bronkitis kronik (Esikawati, 2009): 1. Non Farmakologi

a. Menghentikan kebiasaan merokok

b. Rehabilitasi paru secara komprehensif dangan olahraga dan latihan pernafasan

c. Perbaikan Nutrisi

d. Edukasi, memberikan pemahaman mengenai gejala dan faktor-faktor pencetus

2. Farmakologi

(16)

First line therapy, dosis harus cukup tinggi: 2 puff 4-6x/hari, jika sulit, gunakan nebulizer 0.5 mg setiap 4-6 jam bila perlu, contoh: ipratropium atau oxytropium bromide.

b. Simpatomimetik

Second line therapy: terbutalin, salbutamol. c. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik

Untuk meningkatkan efektivitas. d. Metilxantin

Banyak ADR, dipakai jika yang lain tidak mempan. e. Mukolitik

Membantu pengenceran dahak, namun tidak memperbaiki aliran udara.

f. Kortikosteroid

Efektivitasnya masih bervariasi, kecuali jika pasien juga memiliki riwayat asma.

g. Oksigen

Untuk pasien hipoksemia, cor pulmonal. Digunakan jika baseline PaO2 turun sampai < 55 mmHg.

h. Antibiotik

Digunakan bila ada tanda infeksi, bukan untuk maintenance therapy. Bila ada eksaserbasi oleh infeksi kuman.

i. Vaksinasi

Direkomendasikan untuk high-risk patients: vaksin pneumococcus (tiap 5-10 tahun) dan vaksin influenza (tiap tahun).

L. Komplikasi

Ada beberapa komplikasi bronkitis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain (Corwin, 2009):

(17)

2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektaksis, bronkitis sering mengalami infeksi berulang biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran nafas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka drainase sputumnya kurang baik.

3. Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya pleuritis sicca pada daerah yang terkena.

4. Efusi pleura atau empisema

5. Abses metastasis diotak, akibat septikemi oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian.

6. Haemaptoe terjadi kerena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis), cabang arteri (arteri bronchialis) atau anastomisis pembuluh darah. Komplikasi haemaptoe hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan beah gawat darurat.

7. Sinusitis merupakan bagian dari komplikasi bronkitis pada saluran nafas 8. Kor pulmonal kronik pada kasus ini bila terjadi anastomisis cabang-cabang

arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus akan terjadi arterio-venous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor pulmoner kronik. Selanjutnya akan terjadi gagal jantung kanan.

9. Kegagalan pernafasan merupakan komlikasi paling akhir pada bronkitis yang berat da luas.

10. Amiloidosis keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik dan jarang terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini dapat ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinurea.

M. Prognosis

Prognosis pasien bronkitis tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak

(18)

akan lebih dari 5-10 tahun. Kematian pasien karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, haemaptoe dan lainnya (Djojodibroto, 2009).

(19)

III. KESIMPULAN

1. Bronkitis kronik adalah gangguan paru obstruktif yang ditandai dengan batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya.

2. Penyebab utama dari bronchitis kronik adalah merokok.

3. Pengobatan pada penderita bronchitis kronik antara lain mengehentikan kebiasaaan merokok, perbaikan nutrisi serta edukasi. Selain itu penderita bornkitis kronik dapat diberikan obat antibiotic, metilxantin, antikolinergik inhalasi, simpatomimetik, mukolitik, kortikosteroid, oksigen dan vaksinasi.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Bastiansyah, Eko. 2008. Panduan Lengkap Membaca Hasil Tes Kesehatan. Jakarta: Penebar Plus

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC

Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series

Esikawati, Zulli. 2009. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada

Gleadle, Jonathan. 2005. At a Glance Anamnesis. Jakarta: Erlangga Medical Series

Kumar, V., Ramzi S., Stanley L Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Ed. 7. Jakarta: EGC

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK (PPOK). Available at :

https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:j5KGK9Q4r2oJ:www.klikpd pi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf+&hl=en&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgLPWhnV9RqAw 4eGpkGjbEMt0bP67hfdD0tU4jpd9eFRgSy0II9jBmmVMSNzeNNrcu4Slyc FeXrogBE-JCiZdfZozWfXLzTX-iHetZ484jNR6Xjspn_nj-E_l4i-hfrhb6VTFXO&sig=AHIEtbRYxLfdSb2UrYNxRdhWbZVjjITbjQ (Diakses pada maret 2013)

Price & Wilson. 2007. Patofisilologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC

Sutoyo, Dianiati Kusumo. 2009. Bronkitis Kronik dan Lingkaran yang tak Berujung Pangkal (Vicious Circle). Jakarta: Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – SMF Paru RSUP Persahabatan

Udayana, Gendo. 2006. Integrasi Kedokteran Barat dan Kedokteran Tradisional Cina. Yogyakarta: Kanisius

Wilkins, Robert L. 2006. Respiratory Disease: Principles of Patient Care. USA: F.A. Davis Company

Gambar

Gambar . Tafsiran Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE)  Sumber (Bastiansyah, 2008)
Gambar . Mekanisme patofisiologik Bronkitis Kronik   Sumber (Sutoyo, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor.. Nilai Ujian

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bila suatu balok hanya mengalami satu beban terpusat gaya geser bernilai konstan di antara beban dan momen lentur

Gambar di atas menampilkan layar “Edit Supplier Confirmation”. Pada layar ini terdapat tiga checkbox yang dapat dipilih untuk mengkonfirmasi data apa saja pada supplier yang

Ada pengaruh yang signifikan secara parsial maupun simultan personal selling dan promosi pen- jualan terhadap peningkatan vo- lume penjualan produk fashion SM (Multi

Dalam Panduan RPI2JM Desain program keterpaduan pembangunan bidang Cipta Karya dikelompokkan berdasarkan 4 (empat) skala entitas yaitu entitas regional, entitas

Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan syukur Alhamdulillahi robbil’alamin atas limpahan rahmat, karunia, hidayah dan barokahnya, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi

Di dalam hidup berumah tangga, keluarga mempunyai beberapa fungsi, sebagai berikut :.. Fungsi Pendidikan : Dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak

45 yang dimana mereka tidak menetap agamanya, seperti halnya pada saat pendeta atau ustad yang datang ke Desa Petani tersebut untuk datang penyuluhan agama maka