• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pasteurisasi

Pasteurisasi merupakan suatu proses pemanasan pada suhu di bawah 100oC dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat mematikan sebagian mikroba susu dengan meminimalisasi kerusakan protein. Proses pasteurisasi yang dilanjutkan dengan pendinginan langsung akan menghambat pertumbuhan mikroba yang tahan terhadap suhu pasteurisasi dan akan merusak sistem enzimatis yang dihasilkannya (misalnya enzim phosphatase, lipase, dll) sehingga dapat mengurangi kerusakan zat gizi serta memperbaiki daya simpan susu segar. (Fakhrul Ulum, 2009). Proses pendinginan pada proses pasteurisasi juga dapat meminimalisasi terjadinya kerusakan protein (denaturasi protein) pada susu hasil pasteurisasi. Mikroba pembawa penyakit (pathogen) yang terdapat dalam susu adalah bakteri Staphylococcus Aureus, Salmonella sp. dan E. Coli (Widodo, 2010).

Pasteurisasi bisa dilakukan dengan dua metode yaitu metode batch dan metode continue. Metode batch digunakan untuk pasteurisasi skala kecil. Tipe pasteurisasi yang digunakan pada metode batch adalah tipe pasteurisasi LTLT (Low Temperature Long Time). Metode continue digunakan untuk pasteurisasi skala menengah sampai besar. Tipe pasteurisasi yang digunakan adalah tipe HTST (High Temperature Short Time), HHST (Higher Heat Short Time), dan UHT (Ultra High Temperature). Untuk waktu dan temperature proses yang digunakan pada tiap tipe pasteurisasi dapat dilihat pada tabel 2.1. Pada pengaplikasiannya di industri, metode pasteurisasi yang umum dipakai adalah metode kontinyu. Metode ini dipilih karena dapat menghasilkan volume susu pasteurisasi yang lebih banyak dengan waktu proses yang lebih singkat, pemakaian listrik yang lebih rendah, dan kerusakan protein yang lebih sedikit karena waktu pemanasan yang lebih singkat.

             

(2)

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pasteurisasi Temperatur (oC) Waktu (s) Tipe Pasteurisasi 63 1800 Vat Pasteurization

72 15 High Temperature Short Time Pasteurization (HTST)

89 1 Higher-Heat Shorter Time (HHST)

90 0,5 Higher-Heat Shorter Time (HHST)

94 0,1 Higher-Heat Shorter Time (HHST)

96 0,05 Higher-Heat Shorter Time (HHST)

100 0,01 Higher-Heat Shorter Time (HHST)

138 2,0 Ultra Pasteurization (UP)

Sumber : International Dairy Food Association, 2009

2.2 Susu Sapi

Susu merupakan hasil sekresi kelenjar susu hewan mamalia betina sebagai sumber gizi bagi anaknya. Kebutuhan gizi pada setiap hewan mamalia betina bervariasi sehingga kandungan susu yang dihasilkan juga tidak sama pada hewan mamalia yang berbeda (Potter, 1976). Menurut Winarno (1993), susu adalah cairan berwarna putih yang disekresi oleh kelenjar mammae (ambing) pada mamalia betina untuk bahan makanan dan sumber gizi bagi anaknya. Sebagian besar susu yang dikonsumsi manusia berasal dari sapi. Susu tersebut diproduksi dari unsur darah pada kelenjar susu sapi.

Susu merupakan makanan alami yang hampir sempurna. Sebagian zat gizi essensial ada dalam susu, di antaranya yaitu protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan tiamin (vitamin B1). Susu merupakan sumber kalsium yang paling baik, karena di samping kadar kalsium yang tinggi, laktosa di dalam susu membantu absorpsi susu di dalam saluran cerna. (Almatsier, 2002). Untuk keperluan komersial, sumber susu yang paling umum digunakan adalah sapi. Kandungan air di dalam susu sapi tinggi sekali yaitu ± 88,3%. Meskipun kandungan gulanya juga cukup tinggi yaitu 5%,              

(3)

tetapi rasanya tidak manis. Daya kemanisannya hanya seperlima kemanisan gula pasir (sukrosa). Kandungan laktosa bersama dengan garam bertanggung jawab terhadap terhadap rasa susu yang spesifik (Winarno, 1993).

Tabel 2.2 Kandungan Gizi Susu Sapi per 100 gram

Kandungan Gizi Komposisi

Energi (kkal) 61 Protein (g) 3,2 Lemak (g) 3,5 Karbohidrat (g) 4,3 Kalsium (mg) 143 Fosfor (mg) 60 Besi (mg) 1,7 Vitamin A (mg) 39 Vitamin B1 (mg) 0,03 Vitamin C (mg) 1 Air (g) 88,3

Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan (Depkes RI, 2005)

Pada susu sapi segar terkandung dua jenis bakteri merugikan yaitu bakteri saprofit dan juga bakteri patogen. Bakteri saprofit dapat merusak fisik susu dan mempercepat pembusukkan susu sedangkan bakteri patogen adalah bakteri pembawa penyakit yang dapat menyebarkan penyakit bagi pengkonsumsi susu yang tercemar bakteri patogen. Agar kualitas dan manfaat susu sapi tetap terjaga, maka kedua jenis bakteri ini harus dihilangkan dari kandungan susu. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan proses pasteurisasi.

Susu pasteurisasi adalah susu segar, susu rekonstitusi, susu rekombinasi yang telah mengalami proses pemanasan pada temperatur 63°C -66°C selama              

(4)

minimum 30 menit atau pada pemanasan 72°C selama minimum 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10oC, selanjutnya diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada suhu maksimum 4,4oC. (SNI 01-3951-1995).

Tabel 2.3 : Bakteri Saprofit dan Patogen pada Susu Sapi

Jenis Nama Bakteri Efek

Saprofit

S. Lactis mampu menguraikan laktosa sehingga menghasilkan

asam susu.

L. Lactis dapat menyebabkan air susu terkoagulasi

E. Coli dan Aerobacter Aerogenes

dapat melakukan fermentasi terhadap laktosa sehingga menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan H2. hal ini dapat menurunkan kualitas air susu.

dari genus Proteus, Bacillus, Clostridium,

dan Sarcina

keempat bakteri ini memegang peranan penting dalam pembusukan air susu karena mampu menguraikan protein

Alkaligenes Viscolactis spesies ini menyebabkan air susu berlendir Pseudomonas

Syncyanea spesies ini menyebabkan air susu berwarna biru

Serratia Marcescens spesies ini menyebabkan air susu berwarna merah

Patogen

Streptococcus Pyrogenes dan S.

Pgalactiae

kedua spesies ini dapat menyebabkan sakit tenggorokan pada manusia.

Mycobacterium

Tuberculosis spesies ini menyebabkan penyakit TBC

S. Thyphosa menyebabkan penyakit thyphus

S. Aureus menyebabkan keracunan pada susu.

Sumber : http://qforq.multiply.com/journal/item/8?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%

Susu pasteurisasi yang dihasilkan harus memenuhi standar maksimum jumlah total (total plate count) cemaran mikroba sesuai yang tercantum pada SNI 01-6366-             

(5)

2000 yaitu 3 x 104 CFU/gram atau ml dan kadar protein minimal 2,5 % sesuai yang tercantum pada SNI 19-1502-1989.

Tabel 2.4 Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Susu

Jenis Cemaran Mikroba

Batas Maksimum Cemaran Mikroba (Dalam satuan CFU/gram atau ml)

Susu Segar Susu Pasteurisasi Susu Bubuk Susu Steril/UHT

Jumlah Total (Total Plate Count) 1 x 106 < 3 x 104 5 x 104 10< 0,1

Eschericia Coli (Patogen) (*) 0 0 0 0

Enterococci 1 x 102 1 x 102 1 x 101 0

Staphylococcus Aureus 1 x 102 1 x 101 1 x 101 0

Clostridium sp. 0 0 0 0

Salmonella sp. (**) Negatif Negatif Negatif Negatif

Camphylobacter sp. 0 0 0 0

Listeria sp. 0 0 0 0

(*) : dalam satuan MPN/ gram atau ml (**) : dalam satuan kualitatif

Sumber : Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan (SNI 01-6366-2000) \

2.3 Alat Penukar Panas Pasteurisasi Susu

Alat Penukar Panas (Heat Exchanger) menjadi alat yang paling esensial dalam proses pasteurisasi karena kebutuhan panas yang digunakan untuk pasteurisasi dihasilkan oleh alat penukar panas. Jenis alat penukar panas yang biasa digunakan dalam proses pasteurisasi adalah jenis PHE dan jenis THE.

Pemakaian alat penukar panas pada proses pasteurisasi, baik Plate Heat Exchanger (PHE), maupun Tubular Heat Exchanger (THE) memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dan kekurangan dari penggunaan Plate Heat Exchanger dan Tubular Heat Exchanger dapat dilihat pada tabel 2.5.

Dari Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa alat penukar panas jenis Plate Heat Exchanger (PHE) merupakan alat penukar panas yang paling efektif dan efisien untuk              

(6)

proses pasteurisasi karena memiliki luas permukaan panas yang lebih tinggi dibandingkan Tubular Heat Exchanger (THE). Hal itu juga mengakibatkan efisiensi panas yang dihasilkan oleh alat penukar panas PHE lebih dari 85%. Namun apabila dilihat dari segi investasi yang diperlukan dan skala penggunaan alat tersebut, yaitu laboratorium maka alat jenis THE lebih memiliki keunggulan dibandingkan PHE.

(a) (b) Gambar 2.1 (a) Plate Heat Exchanger (b) Tubular Heat Exchanger

Sumber : http//www.google.com

Tabel 2.5 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan PHE dan THE

Pembanding Plate Heat Exchanger Tubular Heat Exchanger

Kelebihan Mudah dibersihkan Investasinya lebih murah

Pemindahan panas lebih efisien diatas 85 %

Dapat difabrikasi di dalam negeri

Mudah diperbesar kapasitasnya Secara mikrobiologis lebih aman, karena tidak memakai gasket

Biaya perawatan murah

Kekurangan

Investasinya mahal Koefisien pemidahan panas dibawah 85 %

Belum dapat dibuat di dalam negeri

Penambahan kapasitas lebih sulit

Jangka waktu pemesanan lama

Biaya perawatan tinggi

Sumber : http//www.jiwocore.com              

(7)

2.4 Perpindahan Panas

Perpindahan panas terjadi karena adanya perbedaan temperatur yang menjadi gaya penggeraknya dan aliran panas dari daerah yang bertemperatur tinggi ke daerah yang bertemperatur rendah. Pada proses industri perpindahan panas diantara dua fluida umumnya dilakukan oleh alat penukar panas (heat exchanger). Pada alat penukar panas fluida panas dan fluida dingin tidak bersentuhan secara langsung satu dengan yang lain, tetapi dipisahkan oleh dinding pipa atau permukaan datar atau permukaan melengkung. Pemindahan panas terjadi dari fluida panas ke dinding atau permukaan pipa dengan konveksi, melalui dinding pipa atau pelat dengan konduksi, ldan selanjutnya dengan konveksi ke fluida dingin.

(Geankoplis, 1993)

Persamaan perpindahan panas secara umum adalah :

Q = m x Cp x ∆T (2.1) Keterangan :

Q = laju perpindahan panas (J/s) m = laju massa (kg/s)

Cp = kapasitas panas (kJ/kg K) ∆T = beda suhu (K)

Sumber : (Geankoplis, 1993)

2.4.1 Jenis Perpindahan Panas

Perpindahan panas mungkin dapat terjadi oleh salah satu atau lebih dari tiga mekanisme dasar dari perpindahan panas, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Selanjutnya akan dijelaskan secara singkat mengenai mekanisme perpindahan panas dengan konduksi, konveksi, dan radiasi.

             

(8)

2.4.2 Perpindahan Panas Konduksi

Perpindahan panas secara konduksi terjadi karena adanya perbedaan suhu diantara suatu bahan padat (biasanya logam). Kalor mengalir pada suatu bahan tanpa disertai oleh pergerakan bahan padat tersebut. Kalor mengalir akibat dari pergerakan elektron bebas. Besarnya kalor yang mengalir pada suatu bahan padat bergantung pada nilai konduktivitas panasnya, semakin besar nilai konduktivitas panas suatu bahan padat, maka akan semakin bagus perpindahan kalor pada bahan padat tersebut. Contoh perpindahan panas terutama oleh konduksi adalah perpindahan panas melalui dinding penukar atau lemari es, pengolahan panas tempa baja.

Untuk mengetahui besarnya konduksi yang mengalir melalui suatu bahan digunakan Hukum Fourier.

Hukum Fourier menyatakan :

“Besarnya perpindahan panas secara konduksi adalah berbanding langsung dengan luas yang dilalui, beda suhu dan sifat bahan (konduktivitas panas) serta berbanding terbalik dengan tebal bahan yang dilaluinya”.

Gambar 2.2 Perpindahan Panas Secara Konduksi Pada Dinding

Sumber : (Geankoplis, 1993)

2.4.3 Perpindahan Panas Melalui Dinding Pipa

Dalam aliran panas melalui dinding datar, luas yang dilaluinya adalah konstan untuk seluruh jarak yang ditempuhnya. Hal yang demikian tidak terjadi dalam aliran panas melalui dinding pipa (lihat gambar 2.4), luas untuk aliran panas              

(9)

berubah-ubah dari dinding dalam sampai dinding luar pipa. Dengan memperhatikan gambar ini, maka luas perpindahan panas pada jari-jari r adalah 2πrL, dan seandainya panas mengalir dari dalam keluar, maka gradien suhu adalah (-dt/dr). Dengan demikian persamaan (2) berubah menjadi :

Q = 2πrLk [- ]

(2.2)

Keterangan :

Q = Laju perpindahan panas (Watt)

k = Koefisien perpindahan panas konduksi (W/m2.K) L = Panjang silinder (m)

r

= Jari - jari (m)

Gambar 2.3 Perpindahan Panas Konduksi Pada Pipa

Sumber : (Geankoplis, 1993)

2.4.4 Perpindahan Panas Konveksi

Konveksi ialah perpindahan panas diantara fluida yang lebih panas dan lebih dingin karena keduanya bercampur. Fluida dingin yang dekat kepada permukaan panas menerima panas dan kemudian memberikannya kepada bulk fluida dingin ketika bercampur. Ini terjadi karena ada gerakan fluida. Dalam konveksi dikenal 2 cara yaitu konveksi bebas atau konveksi alami dan konveksi paksa.

2.4.5 Perpindahan Panas Radiasi

Radiasi adalah peristiwa perpindahan energi melalui ruang oleh gelombang-gelombang elektromagnetik. Jika radiasi berlangsung melalui ruang kosong, ia tidak ditransformasikan menjadi kalor atau bentuk-bentuk lain dari energi, dan ia tidak pula              

(10)

akan terbelok dari lintasannya. Tetapi, sebaliknya, bila terdapat zat pada lintasannya, radiasi itu akan mengalami transmisi, refleksi,dan absorpsi. Hanya energi yang diserap saja yang muncul sebagai kalor, dan bersifat kuantitatif. Dan secara umum, radiasi menjadi sangat penting pada suhu tinggi. Daerah panjang gelombang yang dapat disebut radiasi panas terutama terletak antara 0,1-10 mikron. Daerah ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan radiasi elektromagnetik.

Gambar 2.4 Perpindahan Panas Secara Radiasi

Sumber : (Geankoplis, 1993)

2.4.6 Koefisien Perpindahan Panas Overall

Koefisien perpindahan panas keseluruhan adalah kemampuan keseluruhandari serangkaian hambatan konduksi dan konveksi untuk perpindahan panas. Hal ini umumnya diterapkan pada perhitungan perpindahan panas dalam alat penukar panas. Untuk kasus penukar panas, dapat digunakan untuk menentukan perpindahan panas total antara dua aliran dalam penukar panas oleh hubungan sebagai berikut :

Q = U A ∆Tlm

(2.3)

Keterangan :

Q = Laju perpindahan panas W/m2K4 U = Koefisiensiperpindahanmenyeluruh A = Luas area (m2)

Tlm = Beda suhu rata – rata logaritmik              

(11)

(a) (b)

Gambar 2.5 Perpindahan Panas Secara Kombinasi Konveksi dan Konduksi (a) pada dinding (b) silinder

Sumber : (Geankoplis, 1993)

2.4.7 Log Mean Temperature Difference (LMTD)

Pada double pipe heat exchanger fluida dapat mengalir dengan laju alir searah atau berlawanan arah. Selain itu, pada masukan dan keluaran fluida panas dan dingin terdapat perbedaan suhu yang berbeda - beda (lihat Gambar 2.6) maka diperlukan perumusan suhu rata –rata logaritmik (LMTD). Persamaan yang digunakan untuk mencari suhu rata – rata logaritmik sebagai berikut :

Untuk aliran counter current :

t1>∆t2

t = LMTD = = (2.4)

Untuk aliran cocurrent :

t = LMTD = = (2.5)

Sumber : (Geankoplis, 1993)

Log Mean Temperature Difference (LMTD) digunakan untuk menentukan seberapa besar gaya dorong untuk perpindahan panas dalam suatu sistem aliran, terutama dalam alat penukar panas. Semakin besar LMTD, semakin banyak panas yang ditransfer (en.wikpedia.org).

             

(12)

(a) (b) Gambar 2.6 Profil Temperatur Double Pipe Heat Exchanger

(a) countercurrent flow (b) cocurrent flow

Sumber : (Geankoplis, 1993)

2.4.8 Bilangan Reynold

Bilangan Reynold (NRe) adalah suatu bilangan tidak berdimensi yang menjadi parameter untuk menentukan apakah aliran yang terjadi pada suatu fluida adalah aliran laminer, aliran transisi atau aliran turbulen. Nilai bilangan Reynold yang dihasilkan dipengaruhi oleh empat besaran yaitu massa jenis, kecepatan aliran, diameter pipa, dan viskositas. Hubungan keempat besaran ini dapat dilihat dalam suatu persamaan : NRe = (2.6) Keterangan : NRe = Bilangan Reynold ᆑ = Massa Jenis (kg/m3) D = Diameter Pipa (m) v = Kecepatan Aliran (m/s) µ = Viskositas (kg/m.s) Sumber : (Geankoplis, 1993)

Sebuah aliran dikatakan laminer jika fluida bergerak secara lapisan-lapisan secara teratur atau nilai bilangan Reynold-nya kurang dari 2000, (Kreith, 1997). Sebuah aliran dengan bilangan Reynold antara 2100 – 4000 disebut aliran transisi.              

(13)

Sedangkan aliran dikatakan turbulen jika fluida bergerak dengan tidak menentu ditandai dengan timbulnya ulakan-ulakan pada aliran atau nilai bilangan Reynold-nya lebih dari 4000, (Kreith, 1997). Semakin turbulen suatu aliran maka koefisien perpindahan panasnya akan semakin besar (Geankoplis ,1993).

2.4.9 Bilangan Nusselt

Bilangan Nusselt (NNu) adalah suatu bilangan tak berdimensi yang menunjukkan perbandingan anatara koefisien perpindahan panas konveksi dengan koefisien perpindahan panas konduksi. Jika nilai NNu sama dengan 1 (satu), hal ini menyatakan bahwa panas konveksi dan panas konduksi besarnya sama, yang merupakan karakteristik dari aliran laminer. Semakin besar nilai NNu maka panas konvektif akan semakin dominan dengan aliran yang semakin turbulen (biasanya nilai NNu berada pada kisaran 100 -1000). Nilai dari bilangan Nusselt yang dihasilkan dipengaruhi oleh besaran koefisien perpindahan panas, diameter pipa, dan konduktivitas panas. Hal ini seperti terlihat pada persamaan berikut.

NNu = (2.7)

Keterangan :

NNu : Bilangan Nusselt

h : Koefisien perpindahan panas (W/m2.K) D : Diameter pipa (m)

k : konduktivitas panas (W/m.k)

Sumber : (Geankoplis, 1993)

Bilangan Nusselt pun merupakan fungsi dari bilangan Reynold dan bilangan Prandtl, hal ini dapat dilihat dari persamaan berikut :

NNu = C . NRem. NPr1/3 (2.8)

Keterangan :

NNu : Bilangan Nusselt NRe : Bilangan Reynold NPr : Bilangan Prandtl

C dan m : merupakan sebuah konstanta

Sumber : (Geankoplis, 1993)              

(14)

2.4.10 Bilangan Prandtl

Bilangan Prandtl (NPr) adalah bilangan tak berdimensi yangmerupakan rasio dari difusivitas momentum dan difusivitas panas. Nilai NPr dibawah 1 menunjukkan difusivitas panas lebih dominan dan panas konduksi lebih efektif dibandingkan dengan konveksi. Nilai NPr lebih dari satu dan semakin tinggi menunjukkan difusivitas momentum lebih dominan dan panas konveksi lebih efektif dibandingkan dengan konduksi. Nilai dari bilangan Prandtl yang dihasilkan dipengaruhi oleh kapasitas panas, viskositas, dan konduktivitas panas. Hubungan diantara keempat besaran tersebut dapat dilihat pada persamaan berikut.

NPr = (2.9) Keterangan : NPr : bilangan Prandtl Cp : kapasitas panas µ : viskositas k : konduktivitas panas Sumber : (Geankoplis, 1993) 2.5 Bakteri

Bakteri merupakan makhluk hidup bersel satu yang berukuran sangat kecil dan mempunyai bentuk yang beraneka ragam. Bakteri dapat berbentuk batang, spiral, atau bola. Bentuk tubuh ini dapat dijadikan dasar klasifikasi bakteri. Ukuran bakteri yang paling besar kira-kira 100 mikron. Ada pula yang kurang dari 1 mikron dan yang terkecil kira-kira berukuran 0,1 mikron (1 mikron = 0,001 mm). Bakteri hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Ukuran bakteri yang lebih kecil dari 0,1 mikron hanya dapat diamati dengan mikroskop elektron. Sekumpulan bakteri dapat membentuk koloni, yaitu kumpulandari bakteri-bakteri sejenis yang mengelompok menjadi satu membentuk suatu rumpun (koloni). Contohnya, pada makanan yang telah busuk, koloni bakteri dapat terlihat dalam bentuk cairan kental, lengket seperti lendir yang berwarna putih kekuningan.              

(15)

Gambar 2.7 : Berbagai Bentuk Bakteri

Sumber : http://zaifbio.wordpress.com/category/mikrobiologi/

Berdasarkan sumber zat makanannya, bakteri dibagi menjadi bakteri autotrof dan heterotrof. Bakteri autotrof adalah bakteri yang dapat menghasilkan makanannya sendiri, sedangkan bakteri heterotrof adalah bakteri yang hidup dan memperoleh makanan dari lingkungannnya karena tidak dapat membuat makanannya sendiri. Berdasarkan kebutuhan oksigen-nya, bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri aerob dan anaerob.

Gambar 2.8 : Struktur Dasar Sel Bakteri

Sumber : http://zaifbio.wordpress.com/category/mikrobiologi/

Bakteri aerob adalah bakteri yang hidupnya membutuhkan oksigen bebas, sedangkan bakteri anaerob adalah bakteri yang dapat hidup tanpa oksigen bebas. Berdasarkan suhu tumbuh bakteri dibagi menjadi bakteri psikrofil, bakteri mesofil, dan bakteri termofil. Bakteri psikrofil adalah bakteri yang dapat hidup diantara suhu 0 oC sampai 30oC, dengan suhu optimum antara 10oC sampai dengan 20oC.              

(16)

Bakteri mesofil adalah bakteri yang hidup baik pada suhu 15oC sampai 55oC, dengan suhu optimum antara 25oC sampai dengan 40oC. Bakteri termofil adalah bakteri yang hidup dengan baik sekali pada suhu tinggi antara 55oC sampai 60oC.

Bakteri berkembang biak secara aseksual dengan membelah diri pada lingkungan yang tepat atau sesuai. Proses pembelahan diri pada bakteri terjadi biner melintang. Pembelahan biner melintang adalah pembelahan yang diawali dengan terbentuknya dinding melintang yang memisahkan satu sel bakteri menjadi dua sel anak. Dua sel anak bakteri ini memiliki bentuk dan ukuran yang sama (identik). Sel anakan hasil pembelahan ini akan membentuk suatu koloni yang dapat dijadikan satu tanda pengenal untuk jenis bakteri. Misalnya, bakteri yang terdiri dari sepasang sel (diplococcus), delapan sel membentuk kubus (sarcina), dan berbentuk rantai (streptococcus). Reproduksi bakteri dapat berlangsung dengan sangat cepat. Pada kondisi optimal beberapa jenis bakteri dapat membelah setiap 20 menit. Dalam satu jam bakteri dapat berkembang biak menjadi jutaan sel.

2.5.1 Pengendalian Pertumbuhan Bakteri

Dilihat dari aspek manfaatnya untuk manusia, bakteri terbagi menjadi dua yaitu bakteri yang menguntungkan manusia dan bakteri yang merugikan manusia. Keberadaan bakteri yang merugikan manusia haruslah dikendalikan populasinya, terutama yang berada di bahan makanan, karena akan berdampak langsung pada orang yang mengkonsumsinya. Pengendalian pertumbuhan bakteri dapat dilakukan dengan menggunakan agen pengendali bakteri. Agen pengendali diantaranya adalah :

a) Fisik : panas, pembekuan kering, radiasi ultraviolet, dan filtrasi b) Kimia : desinfektan Lysol, karbol, dan clorox

c) Kemoterapi : antimikroba (antibiotik)

Modus tindakan pengendalian bakteri oleh agen pengendali terdiri dari 4 kategori dasar, diantaranya adalah sebagai berikut :

             

(17)

1) Perubahan Dinding Sel

Dinding sel bakteri mempertahankan integritas sel, memungkinkan untuk menjaga bentuknya bahkan ketika ditempatkan di lingkungan hipotonik. Ketika dinding sel melemah atau terganggu tidak dapat berfungsi lagi mencegah sel dari luapan/muntahan karena efek osmotik (air mengalir ke dalam sel).

2) Perubahan Membran Plasma

Membran luar sel mengandung sitoplasma dan seluruh isi sel internal, serta mengendalikan lorong bahan kimia yang masuk dan keluar dari sel. Ketika rusak, membran plasma memungkinkan isi selular bocor keluar.

3) Interferensi/Gangguan Struktur Protein

Fungsi protein tergantung pada bentuk molekul 3-D. Panas yang ekstrim atau bahan kimia tertentu dapat mengubah sifat suatu benda atau mengubah bentuk protein. Sebuah protein yang terdenaturasi tidak dapat lagi melaksanakan fungsinya dalam sel.

4) Interferensi/Gangguan Struktur Asam Nukleat

Asam nukleat (DNA dan RNA) dapat rusak atau hancur oleh bahan kimia, radiasi, dan panas. Hasilnya bisa berupa produksi mutasi fatal pada DNA atau gangguan sintesis protein melalui tindakan pada RNA.

2.5.2 Perhitungan Jumlah Mikroba

Untuk menghitung jumlah mikroba pada suatu bahan dapat dilakukan dengan metode langsung maupun metode tidak langsung. Perhitungan jumlah mikroba dengan metode langsung dapat dilakukan dengan menggunakan metode counting chamber, sedangkan perhitungan jumlah mikroba dengan metode tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan metode total plate count, most probable number, dan uji reduksi. Berikut akan dijelaskan mengenai metoda total plate count.              

(18)

2.5.3 Perhitungan Mikroba Metode Total Plate Count

Total Plate Count adalah cara perhitungan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang ditetapkan. Total Plate Count dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar.

2.6 Denaturasi Protein

Denaturasi dapat diartikan perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat pula dikatakan sebagai suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbentuknya lipatan atau wiru molekul (Winarno, 2002). Menurut Suhardi (1991), denaturasi dapat mengubah sifat protein menjadi sukar larut dan semakin kental. Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi oleh terkacaunya ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang memutuskan molekul protein. Akibat dari suatu denaturasi adalah hilangnya banyak sifat-sifat biologis suatu protein (Fessenden, 1989).

Gambar 2.9 : Telur Terdenaturasi Akibat Pemanasan Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Denaturasi              

(19)

Ada dua macam denaturasi protein, yaitu pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung pada keadaan molekul. Yang pertama terjadi pada rantai polipeptida, sedangkan yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder. Ikatan- ikatan yang dipengaruhi oleh proses denaturasi ini adalah :

1) Ikatan hidrogen

2) Ikatan hidrofobik misalnya pada leusin, valin, fenilalanin, triptofan yang saling berlekatan membentuk suatu miselle dan tidak larut dalam air

3) Ikatan ionik antara gugus bermuatan positif dan gugus bermuatan negatif

4) Ikatan intramolekuler seperti yang terdapat pada gugus disulfida dalam sistin (Winarno,2002)

Gambar 2.10 : Susu Terdenaturasi Akibat Proses Pengadukan Sumber : Foto Praktikum Tugas Akhir Juanan Rosul dan Ahmad Luthfi

             

(20)

Terjadinya denaturasi pada protein ini dapat disebabkan oleh faktor - faktor di bawah ini :

1) Pengaruh pemanasan

Pemberian panas pada pengolahan protein harus memperhatikan pemanasan yang menyebabkan protein terdenaturasi. Protein yang dipanaskan di atas 80oC umumnya akan mengalami denaturasi.

2) Pengaruh pengadukan

Pada pengadukan yang keras akan menyebabkan denaturasi dan terbentuknya buih.

3) Pengaruh asam

Adanya ion H+ menyebabkan sebagian jembatan atau ikatan peptida putus. Ion H+ akan bereaksi dengan gugus COO- membentuk COOH sedangkan sisanya (asam) akan berikatan dengan gugus amino membentuk ikatan, sehingga apabila larutan peptida dalam keadaan isoelektris diberi asam akan menyebabkan bertambahnya gugus bermuatan yang membentuk afinitas terhadap air dan kelarutan air meningkat meskipun tidak selamanya begitu. 4) Pengaruh basa

Penambahan basa misalnya KOH atau NaOH dapat menyebabkan denaturasi. Hal ini karena terjadi pemecahan ikatan peptida baik sebagian atau keseluruhan. Ion OH- akan bereaksi dengan gugus amino.

5) Pengaruh garam

Kation dan anion akan memecah ikatan peptida. Pemberian NaCl dalam jumlah kecil akan meningkatkan kelarutan protein dan sebaliknya akan mengendapkan protein jika penambahan berlebihan.

             

Gambar

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pasteurisasi  Temperatur  (oC)  Waktu (s)  Tipe Pasteurisasi  63  1800  Vat Pasteurization
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Susu Sapi per 100 gram
Tabel 2.3 : Bakteri Saprofit dan Patogen pada Susu Sapi
Tabel 2.4 Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Susu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Potensi wisata yang dimiliki oleh berbagai desa yang tercakup dalam DAS Pekerisan sangat besar, khususnya dalam sektor wisata heritage, agrowisata, dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fraksi serat yang terkandung dalam silase kulit pisang kepok (Musa paradisiaca) dengan penambahan level dedak

Teori medan kristal menyediakan cara penentuan melalui tinjauan elektrostatik yang sederhana, bagaimana energi dari orbital-orbital ion logam akan dipengaruhi oleh set

Lokasi : Laboratorium Bahan Struktur Teknik Sipil PNUP Dikerjakan : Sitti Hasma &amp; Rosdiana Julita Bara.. Data –

Sekali lagi, wacana dikonstruksi sebagai kritik atas konsep pengeramatan yang tidak berdampak apa-apa selain hilangnya pemahaman warga terhadap kekuatan kultural

Secara umum pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan pendekatan saintifik pada siklus I telah terlaksana cukup baik. Meskipun

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peningkatan

Karakter kerakyatan Karakter kerakyatan seseorang tecermin dalam perilaku yang seseorang tecermin dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak