• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan saat ini.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan saat ini."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan kajian terhadap penelitian mutakhir sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Dalam sub adalah uraian dari lima tesis dan satu artikel jurnal, yang dianggap relevan, terutama yang berhubungan dengan kajian pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat. Hasil-hasil penelitian tersebut selanjutnya dijadikan rujukan serta dipakai sebagai sumber kajian untuk menemukan konsep-konsep yang terkait dengan penelitian ini.

Beberapa peneliti, seperti Suwanda (2012), Saskara (2012), Sudamaryasa (2012), Sucipta (2010), Budiarti (2005), dan Sulistiyawati (2011) dalam jurnal analisis pariwisata. Berikut adalah uraian kajian penelitian-penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini:

Suwandana (2012) dalam penelitian yang berjudul “Pemberdayaan Petani Rumput Laut dalam Pengembangan Ekowisata di Desa Lembongan, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung”. Menganalisis bentuk dan peran pelaku pariwisata yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di Nusa Lembongan dengan mengkaji permasalahan yang terjadi adalah peran petani yang termarginalkan sebagai petani rumput laut akibat ketidakberdayaan dalam partisipasi aktif kegiatan ekowisata di Nusa Lembongan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberdayaan petani rumput laut memerlukan peran yang dibentuk melalui kemitraan agar memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan budaya bagi lingkungan sekitar serta masyarakat.

(2)

Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama meneliti lingkungan dengan konsep ekowisata sebagai pariwisata berbasis masyarakat. Perbedaannya terletak pada fokus permasalahan, lokasi dan objek penelitian. Dalam penelitian ini permasalahan yang diformulasikan berupa penyebab terjadinya konflik dalam pengelolaan ekowisata yang melatarbelakangi pemberdayaan masyarakat, bentuk-bentuk konflik, dan implikasi konflik dalam pengelolaan.

Saskara (2012) dalam penelitian yang berjudul “Strategi Pengembangan Daya Tarik Ekowisata Berbasis Kerakyatan di Desa Cau Belayu Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daerah tujuan wisata Desa Cau Belayu memiliki potensi wisata yang di dalamnnya memenuhi empat komponen penting dalam industri pariwisata yaitu, atraksi, aksesibilitas, fasilitas, dan kelembagaan yang cocok dikembangkan dengan teori perencanaan, dan pembangunan pariwisata yang mengisyaratkan pentingnya hubungan harmonis antara masyarakat setempat, sumber daya dan wisatawan sebagai kunci keberhasilan pembangunan sesuai dengan tahapan ekowisata.

Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pendekatan yang digunakan dengan pendekatan berbasis masyarakat dan persamaan penelitian terletak pada persamaan objek penelitian tentang wisata alam yang berbasis masyarakat dan objek penelitiannya sangat erat dengan lingkungan alam, pengelolaan ekowisata yang memanfaatkan sumberdaya lokal seperti agrowisata. Perbedaannya adalah pada lokasi penelitian, permasalahan yang dikaji, dan teori yang digunakan yaitu pengembangan ekowisata serta teori pariwisata yang berkelanjutan menjadi pembeda dalam penelitian ini.

(3)

Sudarmayasa (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Partisipasi Masyarakat Krayan Induk dalam Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Klayan Mentarang Kalimantan Timur”. Penelitian ini menggunakan kajian tulisan terdahulu serta konsep-konsep yang ada hubungannya dengan ekowisata yang berbasis masyarakat, daya tarik wisata, partisipasi masyarakat, teori konflik, dan teori partisipasi serta metode deskriptif kualitatif. Sumber daya manusia di taman nasional cukup banyak yang bekerja di berbagai sektor seperti pertanian, perkebunan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah terjadinya tarik ulur antara komponen masyarakat dengan pihak pengelola atas manfaat Taman Nasional Kayan Mentarang.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sangat besar dalam mendukung keberadaan taman nasional dan berusaha mengenalkan wilayahnya yang berada di kawasan taman nasional. Penelitian ini dapat dijadikan acuan terkait dengan penggunaan teori yang sama yaitu teori konflik, pemberdayaan masyarakat, dan kemiripan lokasi penelitian yang terkait dengan ekowisata. Perbedaannya terletak pada fokus permasalahan, dan lokasi penelitian.

Sucipta (2010) telah melakukan penelitian dengan judul “Strategi Pengelolaan Ekowisata Desa Belimbing Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan” dari hasil penelitian Sucipta diperoleh strategi pengembangan Desa Belimbing sebagai daya tarik ekowisata, yang dimulai dari penerapan prinsip dan kriteria pengembangan ekowisata hasil lokakarya pelatihan ekowisata, dan strategi pengembangan dengan menerapkan pendekatan teori 4A yang meliputi pengembangan, produk, peningkatan keamanan, pengembangan sarana dan

(4)

prasarana pariwisata, melakukan promosi, strategi pembentukan badan pengelola, strategi pengembangan sumber daya manusia untuk mendukung pengembangan objek ekowisata yang berkelanjutan.

Persamaan dalam penelitian tersebut adalah mengkaji pengelolaan ekowisata dan sama-sama melakukan program pelatihan terhadap masyarakat di sekitar kawasan. Perbedaannya terletak pada fokus permasalahan, lokasi, objek penelitian dan teori yang digunakan untuk menganalisis masalah yang terjadi akibat konflik sosial antara stakeholders.

Budiarti (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Pengelolaan Pengembangan Ekowisata di Kawasan Hutan Mangrove Benoa Bali”. Penelitian ini mengkaji tentang keterlibatan serta manfaat yang diperoleh oleh masyarakat lokal dengan adanya pengelolaan dan pengembangan di kawasan hutan mangrove, Benoa yang merupakan bentuk pemanfaatan yang sesuai dengan konsep Taman Hutan Raya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah peran stakeholders dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata di kawasan hutan mangrove Benoa masih belum optimal, dan belum terkoordinasi dengan baik.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran stakeholders dan masyarakat lokal harus dilibatkan dalam pengelolaan dan pengembangan di kawasan Hutan Mangrove supaya bermanfaat terutama manfaat ekonomi dan manfaat sosial. Penelitian ini dapat dijadikan acuan dengan penggunaan teori yang sama yaitu teori konflik, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Perbedaannya terletak pada permasalahan yang dikaji dan lokasi penelitian. Penelitian ini dijadikan sebagai perbandingan dengan penelitian

(5)

sekarang yang berjudul “Konflik Pengelolaan Ekowisata Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Bandung, Jawa Barat”. Penelitian ini membandingkan dengan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan ekowisata, kondisi keamanan yang berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan, dan kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat di Taman Hutan Raya.

Sulistiyawati (2011) dalam jurnal analisis pariwisata yang berjudul “Pengembangan Ekowisata di Banjar Nyuh Kuning Desa Mas Ubud Gianyar Bali dilihat dari Prinsip dan Kriteria Ekowisata di Bali”. Penelitian ini mengkaji prinsip dan ekowisata mempunyai kepedulian, komitmen, dan tanggungjawab terhadap konservasi serta warisan budaya seperti keseimbangan manfaat lahan, penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, pelestarian keaneragaman hayati, dan cagar budaya. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara prinsip perlu menyediakan pemahaman yang dapat memberikan peluang serta meningkatkan kecintaan terhadap alam. Persamaan dengan penelitian yang akan diteliti sama-sama mengkaji tentang ekowisata. Perbedaannya terdapat pada objek dan lokasi penelitian serta permasalahan yang akan dikaji lebih mendalam.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian tersebut memiliki kesamaan dalam formulasi permasalahan dan objek penelitian namun berbeda pada lokasi. Penelitian sebelumnya yang berjudul “Partisipasi Masyarakat Krayan Induk dalam Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Klayan Mentarang Kalimantan Timur” yang mendekati dengan penelitian ini dijadikan acuan. Dalam penelitian ini terdapat konsep-konsep yang ada hubungannya

(6)

dengan ekowisata yang berbasis masyarakat, daya tarik wisata, pemberdayaan masyarakat, teori konflik, dan penggunaan metode deskriptif kualitatif.

2.2 Konsep

Konsep dalam penelitian ini adalah definisi singkat dari kelompok atau fenomena. Konsep dalam penelitian ini adalah pengertian dasar yang terkait dengan topik penelitian secara langsung.

2.2.1 Potensi Wisata

Potensi wisata adalah modal yang dimiliki oleh suatu daerah atau aspek wisata yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tidak mengesampingkan aspek-aspek sosial budaya. Daya tarik itu sengaja ditonjolkan dan mempunyai sifat atraksi wisata. Potensi wisata secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (Yoeti, 1990:158).

1. Site Attraction

Suatu tempat yang dijadikan objek wisata seperti tempat-tempat tertentu yang menarik dan keadaan alam

2. Event Attraction

Suatu kejadian yang menarik untuk dijadikan kegiatan kepariwisataan, seperti pameran, pesta kesenian, upacara keagamaan, konvensi, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan dapat dipastikan bahwa potensi wisata Taman Djuanda Bandung yang dibahas dalam penelitian ini adalah potensi fisik seperti potensi alam, keadaan geografis, keadaan alam, dan sarana prasarana yang dimiliki Taman Djuanda Bandung, Jawa Barat.

(7)

2.2.2 Konsep Ekowisata

Ekowisata adalah jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan, melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuat mereka tergugah untuk mencintai alam, dan semuanya sering disebut back to nature. Damanik dan Weber (2006:370), mengatakan bahwa ekowisata adalah salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Bentuk kegiatan wisata yang khusus ini menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai lawan dari wisata massal. Sebenarnya yang lebih membedakannya dari wisata massal adalah karateristik produk dan pasar. Perbedaan ini berimplikasi pada kebutuhan, perencanaan, dan pengelolaan yang tipikal. Masyarakat ekowisata internasional mengartikan ekowisata sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (Damanik dan Weber, 2006:37).

Boo (1992) membuat batasan ekowisata sebagai wisata alam yang mendorong usaha pelestarian dan pembangunan berkelanjutan, memadukan pelestarian dengan pembangunan ekonomi, dan membuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat serta memberikan pendidikan lingkungan kepada pengunjung. Dalam pelaksanaan kegiatan ekowisata, Low Choy dan Heillbronn (1997:61) merumuskan lima faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu:

(8)

1. Lingkungan

Ekowisata harus bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang relatif belum tercemar atau terganggu.

2. Masyarakat

Ekowisata harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara langsung kepada masyarakat setempat.

3. Pendidikan dan Pengalaman

Ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya yang terkait, sambil memperoleh pengalaman yang mengesankan.

4. Berkelanjutan

Ekowisata harus dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi dari lingkungan tempat kegiatan dan tidak merusak serta menurunkan mutu, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

5. Manajemen

Ekowisata harus dapat dikelola dengan cara yang dapat menjamin keberlangsungan (daya hidup) lingkungan alam dan budaya yang terkait di daerah tempat kegiatan ekowisata, sambil menerapkan cara mengelola yang baik untuk menjamin kelangsungan hidup ekonominya.

Dengan demikian yang dimaksud dengan pengelolaan ekowisata dalam penelitian ini adalah perjalanan yang bertanggung jawab dan berwawasan lingkungan dengan aktivitas berjalan, melihat, menyaksikan keindahan alam serta kehidupan sosial budaya masyarakat setempat, dan dalam pelaksanaan tersebut melibatkan masyarakat lokal khususnya sebagai pemandu wisata dan pedagang di

(9)

sekitar kawasan sehingga masyarakat secara langsung merasakan manfaatnya secara ekologi, ekonomi, dan sosial.

2.2.3 Konsep Pengelolaan

Pengelolaan adalah proses pelaksanaan pencapaian tujuan tertentu yang diselenggarakan dengan pengendalian. Mengelola, pengertiannya lebih dekat ke arah mengendalikan atau menyelenggarakan. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat adalah industri kepariwisataan yang pelaku utamanya adalah masyarakat itu sendiri dengan bermodalkan pada kesederhanaan dan keunikan kehidupan keseharian dan adat budaya, di mana masyarakat akan mendapat nilai tambah (additional value) dalam kehidupan ekonominya maupun sosial (Soewamo dalam Tular 2005).

Tolok ukur pariwisata berbasis kerakyatan adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya alam, budaya, dan wisatawan (Natori, 2001:11-22), dan kondisi ini dapat dilihat dari:

1. Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat melalui pembentukan suatu wadah organisasi untuk menunjang segala aspirasi masyarakat melalui sistem kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal.

2. Keberlanjutan lingkungan fisik yang ada di masyarakat, dengan melalui konservasi, promosi, menciptakan tujuan hidup yang harmonis antara sumber daya alam, dan sumber daya budaya.

3. Adanya keberlanjutan ekonomi melalui pemerataan dan keadilan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.

(10)

4. Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat seperti sistem informasi yang dapat digunakan bersama-sama.

5. Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang baik, pengadaan informasi yang efektif, efisien, tepat guna, serta mengutamakan kenyamanan bagi wisatawan.

Pitana (2004) memberikan ciri-ciri pengelolaan pariwisata berbasis kerakyatan, yaitu :

1. Small Scale (menggunakan prinsip keruangan yang kecil)

2. Locally Owned and Managed (mengupayakan kepemilikan masyarakat lokal termasuk manajemennya).

3. Spatial Distribution (pembangunan pariwisata diharapkan dapat menjalankan prinsip partisipasi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan, baik pemerataan antar golongan (vertical distribution) maupun daerah (spatial distribution).

4. Local Culture and Culture Heritage (kebudayaan masyarakat lokal dapat di berdayakan atau dikembangkan juga terjadi revitalisasi budaya) adanya unsur konservasi warisan budaya.

5. Specificity/Locality (lebih bersifat spesifik dan kelokalan, memunculkan istilah local genious, kemampuan masyarakat lokal dalam menyediakan jasa atau kebutuhan untuk wisatawan, misalnya berupa munculnya kreativitas dalam seni ukir, life style, dan sebagainya). Wisatawan memperoleh sesuatu yang berbeda dan sangat dinikmati.

(11)

6. Quality Experience (adanya pengalaman yang berkualitas yang dimiliki oleh wisatawan karena produk yang ditawarkan bersifat khusus misalnya menikmati kehidupan masyarakat desa).

7. Authenticity (mencerminkan keaslian yang sangat dicari wisatawan, misalnya seni dan budaya masyarakat termasuk gaya hidupnya).

8. Special Niche-Market (menjadi pasar yang potensial bagi mass tourism) kecenderungan wisatawan mancanegara yang beralih dari mass tourism ke alternative tourism.

9. Participatory Approach (keterlibatan masyarakat lokal menjadi tujuan pembangunan dalam community based tourism development, baik dalam perencanaan, maupun implementasinya.

Dengan demikian segala potensi daerah dan SDM masyarakat lokal turut tergali dan berkembang.

Dapat disimpulkan bahwa, pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat pada penelitian ini adalah dengan upaya pengelolaan potensi di Taman Djuanda yaitu oleh masyarakat lokal terhadap seluruh aspek potensi alam yang tujuannya supaya tidak terjadi konflik antara pengelola dengan masyarakat sekitar kawasan, serta dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di Taman Djuanda Bandung, Jawa Barat.

2.2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat (komunitas setempat) yang berada di destinasi melalui kegiatan usaha kepariwisataan yang merupakan salah satu model pembangunan yang sedang mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan

(12)

dan akan menjadi agenda penting dalam proses pembangunan kepariwisataan ke depan. Pemberdayaan masyarakat menurut beberapa ahli seperti Adimihardja (1999) telah dimengerti sebagai suatu proses yang tidak saja mengembangkan potensi ekonomi masyarakat yang sedang tidak berdaya, namun juga harus berupaya meningkatkan harkat dan martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya, serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Bambang (2013:216) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses untuk memotivasi masyarakat yang sedang tidak berdaya agar memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.

Berdasarkan pengertian di atas, pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat supaya memiliki kemampuan untuk mangaktualisasi diri sehingga mampu menolong diri sendiri dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Oleh sebab itu pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat mampu memberdayakan masyarakatnya berbaur dengan kegiatan pariwisata sehingga sumber daya alam, budaya, industri, kearifan lokal, dan sumber daya lokal yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik wisata pariwisata tetap terjaga kelestariannya dan masyarakat lokal mendapatkan keuntungan ekonomi yang digunakan untuk kesejahteraan hidup masyarakat sekitar kawasan wisata dan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan sumber daya manusianya.

Tjokrowinoto (2001:29) menyatakan bahwa pemberdayaan identik dengan melakukan pengembangan sumberdaya manusia yang tidak hanya membentuk manusia profesional dan terampil sesuai dengan kebutuhan sistem untuk dapat

(13)

memberikan kontribusinya di dalam proses pembangunan, tetapi menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengaktualisasi potensinya sebagai manusia. Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara masyarakat didengar guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi komunitasnya. Memberikan orang lain pada hakikatnya merupakan perubahan seluruh budaya, sehingga pemberdayaan tidak akan berjalan jika dilakukan perubahan seluruh budaya organisasi secara mendasar.

Perubahan budaya sangat diperlukan untuk mampu mendukung upaya sikap dan praktik bagi pemberdayaan yang lebih efektif (Sumaryadi, 2005:105). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat dipahami bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun, meningkatkan dan memulihkan kemampuan suatu komunitas untuk menjadi lebih baik dan bertindak sesuai dengan hak, harkat, dan martabatnya.

Sumaryadi (2005:94-96) mengemukakan lima prinsip dasar dari konsep pemberdayaan masyarakat, pertama pemberdayaan masyarakat memerlukan break-even dalam setiap kegiatan yang dikelolanya, meskipun orientasinya berbeda dari organisasi bisnis, dimana dalam pemberdayaan masyarakat keuntungan yang diperoleh didistribusikan kembali dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan lainnya, kedua, pemberdayaan masyarakat selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan yang dilakukan, ketiga, kegiatan pelatihan merupakan unsur yang tidak bisa

(14)

dipisahkan dari usaha pembangunan fisik dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, keempat, implementasi usaha pemberdayaan harus dapat memaksimalkan sumber daya, khususnya dalam hal pembiayaan baik yang berasal dari pemerintah, swasta maupun sumber-sumber lainnya, dan kelima, kegiatan pemberdayaan masyarakat harus dapat berfungsi sebagai pendukung antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro dengan kepentingan masyarakat yang bersifat mikro.

Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menurut Natori (2001:3) didefinisikan sebagai aktivitas masyarakat lokal untuk mendorong pertukaran dan menciptakan sebuah masyarakat yang menghormati dan menghargai alam, budaya, sejarah, industri, bakat-bakat masyarakat, dan sumber daya lokal. Dari definisi tersebut secara jelas penekanan aktivitas pengelolaan sumber daya dimulai dari masyarakat setempat, baik dalam hal identifikasi kebutuhan, analisis kemampuan, termasuk pengawasan terhadap sumber daya lokal (local genius) yang ada.

Konsep pembangunan komunitas berwawasan masyarakat diartikan sebagai konsep yang menekankan pada ekonomi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Konsep alternatif ini digunakan sebagai reaksi atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan selama ini di negara-negara berkembang. Konsep pengambilan kebijakan top down dianggap telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri sehingga masyarakat bukannya semakin memperoleh peningkatan kualitas hidup tetapi semakin dirugikan dan cenderung termarginalkan di lingkungan miliknya sendiri.

(15)

Keterlibatan masyarakat setempat dalam setiap tahap pengembangan dan pengelolaan kepariwisataan di suatu kawasan objek wisata merupakan syarat utama dalam konsep pembangunan berbasis masyarakat. Kunci utama dalam pembangunan yaitu adanya keseimbangan dan keharmonisan antara lingkungan hidup dan sumber daya, serta kepuasan wisatawan yang diciptakan oleh kemauan masyarakat, sehingga ketiga faktor tersebut menjadi prioritas untuk keberlanjutan sistem sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi.

2.3 Landasan Teori

Dalam penelitian “Konflik Pengelolaan Ekowisata Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Bandung, Jawa Barat“, ada beberapa teori yang digunakan untuk menganalisis yang diuraikan sebagai berikut:

2.3.1 Teori Konflik

Pitana dan Gayatri (2005:20) dalam buku Sosiologi Pariwisata menyatakan bahwa teori konflik adalah dominasi dan sub ordinasi yang menjadi pokok bahasan penting, karena mengandung arti bahwa aturan, norma, dan nilai yang harus dianut oleh masyarakat sesungguhnya merupakan nilai, norma atau aturan dari kelompok dominan yang memaksakannya kepada kelompok sub ordinat. Dengan pemaksaan nilai dan aturan tersebut, kelompok dominan mempertahankan struktur sosial yang menguntungkan kelompoknya. Teori konflik ini menolak anggapan bahwa masyarakat ada dalam situasi stabil dan tidak berubah. Sebaliknya masyarakat selalu dilihat dalam situasi kondisi yang tidak seimbang atau tidak stabil dan keadilan atau keseimbangan dapat dicapai

(16)

dengan penggunaan kekuatan revolusi terhadap kelompok-kelompok yang memegang kuasa.

Ada 3 asumsi dasar yang menjadi acuan teori-teori konflik, yaitu:

1. Setiap orang mempunyai kepentingan (interest) yang sering berbeda bahkan bertentangan dengan orang atau kelompok lain di dalam suatu masyarakat.

2. Sekelompok orang mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan kelompok-kelompok lainnya.

3. Interest dan penggunaan kekuatan untuk mencapai interest tersebut dilegitimasi dengan sistem ide dan nilai-nilai yang disebut ideologi.

Nasdian (2004) menyatakan bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumber daya. Konflik dan kehidupan warga komunitas sangatlah sulit untuk dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumberdaya itu memang selalu terjadi. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia, warga komunitas, dan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia atau warga komunitas melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban.

Konflik dapat timbul di antara individu satu dengan yang lain (antar-individu) dan antar-kelompok individu. Konflik antar-individu meliputi: (1) antara individu dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, misalnya seorang warga suku dengan seorang warga suku yang lain; dan (2) antara individu-individu dalam satu kelompok misalnya perebutan tanah antar anggota suku, yang

(17)

disebut pula konflik interhouse atau inter-generational. Sedangkan yang termasuk ke dalam konflik antar-kelompok (intra group atau intrahouse) dapat berupa konflik antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok, dan konflik antar-kelompok besar yang otonom dalam komunitas atau masyarakat (Nasdian, 2004).

Fisher (2001: 6) membagi konflik ke dalam beberapa tipe, yaitu:

1. Tanpa konflik: Setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.

2. Konflik laten: Sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

3. Konflik terbuka: Konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.

4. Konflik di permukaan: Memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif, konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Konflik dibagi menjadi beberapa aspek diantaranya adalah sosial,

(18)

ekonomi, dan kekuasaan, konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, dan kejahatan. (Fisher, 2001:4).

Pada dasarnya manajemen konflik mengandung arti, bahwa konflik dapat memainkan peranan dalam rangka upaya pencapaian sasaran-sasaran secara efesien serta efektif (Winardi, 2014:270).

Adapun 3 hal pokok yang perlu ditekankan sehubungan dengan persoalan konflik, yaitu:

1. Konflik berkaitan dengan perilaku terbuka (Over behavior)

Merupakan hasil sebuah proses, selisih paham atau ketidaksetujuan antara individu-individu dan kelompok-kelompok dibiarkan memuncak, adalah penting bahwa para manajer perlu melaksanakan intervensi mereka dalam proses tersebut sebelum terjadinya konflik.

2. Konflik muncul karena dua macam persepsi, yakni :

Ketidaksesuaian tujuan yang dipersepsi dan peluang yang dipersepsi untuk mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan pihak lain. Ketidaksesuaian tujuan merupakan sebuah kondisi yang perlu, tetapi tidak cukup untuk konflik.

3. Perilaku yang dilakukan secara sadar (Deliberate behavior)

Konflik memerlukan perilaku yang dilakukan secara sadar atau tindakan-tindakan secara aktif (active striving) oleh salah seorang parsipan untuk menghalangi pencapaian tujuan atau partisipan lain (Rensis Likert, Jane Gibson Likert, 1976:7).

(19)

Albanese, (1978:425-426) menyatakan bahwa aneka macam aspek konflik ada sejumlah proposisi umum tentang konflik, yaitu :

a. Konflik senantiasa muncul dalam sebuah konteks interdepedensi, yang merupakan salah satu sumber konflik di dalam organisasi-organisasi. Interdepensi-interdepensi merupakan suatu sumber konflik, mereka juga merupakan sumber kerjasama di dalam organisasi-organisasi.

b. Kesamaan-kesamaan, merupakan proposisi kedua tentang konflik adalah sebagian besar konflik timbul karena adanya kesamaan-kesamaan dalam tuntutan-tuntutan para anggota organisasi. Semua organisasi dalam arti tertentu merupakan sebuah perekonomian di mana sumber-sumber daya langkah perlu dialokasi. Kelangkaan posisi kekuasaan secara relatif menyebabkan munculnya perilaku politikal. Jadi, sebagian dari konflik di dalam organisasi-organisasi timbul karena kelangkaan relatif sumber-sumber daya dan imbalan-imbalan yang tersedia untuk didistribusikan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan yang memiliki kebutuhan yang sama.

c. Perbedaan-perbedaan, proposisi ketiga tentang konflik ini terjadi karena adanya perbedaan dalam keinginan para anggota organisasi. Perbedaan pandangan para manajer tentang nilai-nilai yang perlu dikembangan oleh organisasi yang bersangkutan dan tujuan-tujuan organisasi tersebut, dapat menjadi sumber konflik yang kemudian menjalar pada seluruh organisasi yang ada. Terutama pada perbedaan-perbedaan dasar pada kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai para anggotanya dalam kasus-kasus ekstrem dapat menimbulkan suasana perang, di mana para pihak yang terlibat di dalamnya saling bertarung untuk memastikan

(20)

dominasi sistem nilai mereka. Perbedaan-perbedaan yang dimaksud ada dalam nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, gaya-gaya perilaku, cara-cara bertindak, dan motivasi-motivasi merupakan penyebab-penyebab timbulnya konflik.

Stoner dan Freeman (dalam Winardi 2014:262) menyatakan bahwa metode-metode untuk mengurangi konflik adalah masing-masing kelompok yang berkonflik diberi informasi yang menguntungkan tentang kelompok yang berhadapan dengan mereka, kontak sosial yang menyenangkan antara kelompok-kelompok diintensifkan dengan jalan makan bersama atau nonton bersama, dan pemimpin-pemimpin kelompok diminta untuk bernegosiasi dan memberikan informasi positif tentang kelompok yang berhadapan dengan keompok mereka.

Dapat disimpulkan bahwa konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, dan disisi lain kebanyakan kelompok berusaha untuk meminimalisasikan dan menyelesaikan konflik supaya tidak berlanjut. Oleh karena itu, konflik sebaiknya dapat dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja kerja organisasi-organisasi dalam hal ini Balai pengelolaan Taman Djuanda dan masyarakat. Dengan kata lain, permasalahan yang terjadi di Taman Djuanda harus segera ditangani supaya tidak terjadi konflik secara berlanjut dan tidak merugikan kedua belah pihak, justru konflik yang terjadi harus dijadikan motivasi dalam melakukan inovasi atau perubahan di dalam kelompok dan organisasi dalam pengelolaan ekowisata di Taman Djuanda demi menjaga kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat.

(21)

2.3.2 Teori Manajemen

Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan sumber daya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan, (Manulang, 2012:5). Manajemen yang baik dan efektif menghasilkan keberhasilan dalam suatu organisasi. Keberhasilan suatu organisasi tergantung dari manajemennya dan untuk memudahkan pencapaian tujuan, baik tujuan organisasi maupun tujuan pribadi diperlukan fungsi dan proses manajemen yang dibagi menjadi beberapa fungsi manajemen.

Menurut Flippo (2002:5) fungsi manajemen terdiri dari Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan, dan evaluasi. Tahap Perencanaan berkaitan dengan penentuan mengenai program tenaga kerja, program kegiatan akan dilaksanakan dan yang akan mendukung pencapaian tujuan dan penunjang manajemen yang telah ditetapkan oleh Taman Djuanda. Tahap Pengorganisasian yaitu organisasi yang dibentuk dengan merancang struktur hubungan yang mengaitkan antara pekerjaan, karyawan, dan faktor-faktor fisik sehingga dapat terjalin kerjasama satu dengan yang lainnya. Tahap Pengawasan adalah pengarahan yang terdiri dari fungsi staffing dan leading. Fungsi staffing yaitu menempatkan orang-orang dalam struktur organisasi, sedangkan fungsi leading dilakukan pengarahan SDM supaya karyawan bekerja sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan atau Taman Djuanda.

Pitana (2009:80) menekankan bahwa koordinasi merupakan fungsi utama dan terpenting yang harus dipisahkan dan memerlukan pembahasan tersendiri. Fungsi koordinasi merujuk kepada fungsi seorang menejer untuk menerjemahkan

(22)

sebuah informasi, seperti perencanaan dan pengawasan, dan mengaplikasikan informasi tersebut secara sistematis ke dalam semua fungsi manajerial yang diterjemahkan secara nyata dalam kegiatan pengarahan (directing), perencanaan (planning), dan pengawasan (controlling).

Hasibuan (2006:18-19) mengemukakan bahwa tujuan manajemen dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu menurut tipenya:

a. Profit objectives bertujuan untuk mendapatkan laba bagi pemiliknya b. Service objectives bertujuan untuk memberikan pelayanan yang baik bagi

konseumen dengan mempertinggi nilai barang dan jasa yang ditawarkan kepada konsumen.

c. Social objectives bertujuan meningkatkan nilai guna yang diciptakan oleh perusahaan untuk kesejahteraan masyarakat.

d. Personal objectives bertujuan agar para karyawan secara individual, economic, dan social psychologcal mendapat kepuasan di bidang pekerjaannya dalam perusahaan.

Dapat disimpulkan bahwa manajemen dapat dilakukan dengan baik apabila dalam hal ini adalah Taman Djuanda dapat menggerakkan, mengkordinir, mengarahkan dan mengatur sesuai proses pemanfaatan sumber daya organisasi serta sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan perencanaan bersama kelompok masyarakat sehingga terjalin kerjasama antara pengelola dengan masyarakat setempat dengan tujuan menjaga lingkungan sekitar Taman Djuanda dari kerusakan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

(23)

Teori manajemen dalam penelitian ini, dipergunakan untuk menganalisis implikasi konflik dalam pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat di Taman Djuanda Bandung sebagai rumusan masalah nomor tiga. 2.3.3 Teori Community Based Tourism

Bambang (2013:138) menyatakan bahwa Community Based Tourism Development (CBT), adalah pembangunan kepariwisataan sebagai strategi perencanaan pengembangan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan peran dan partisipasi masyarakat setempat sebagai subjek pembangunan.

Bambang (2013:139) menyatakan bahwa CBT pada hakekatnya merupakan salah satu pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal, baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak, dalam bentuk pemberian akses pada manajemen dan sistem pembangunan kepariwisataan yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan kepariwisataan secara lebih adil bagi masyarakat lokal. Sedangkan menurut Hudson dan Timothy (1999), CBT sebagai pemahaman yang berkaitan dengan kepastian manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta kelompok lain yang memiliki ketertarikan ataupun minat kepada kepariwisataan setempat, dan tata kelola kepariwisataan yang memberi ruang kontrol yang lebih besar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat.

(24)

Secara prinsipial, CBT berkaitan erat dengan adanya kepastian partisipasi aktif dari masyarakat setempat dalam pembangunan kepariwisataan yang ada. Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi yang berkaitan dengan kontribusi keuntungan yang diterima oleh masyarakat dari pembangunan pariwisata. Oleh karena itu pada dasarnya terdapat 3 (tiga) prinsip pokok dalam strategi perencanaan pembangunan kepariwisataan yang berbasis masyarakat, yaitu:

1. Mengikutsertakan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan.

2. Adanya kepastian masyarakat lokal menerima manfaat dari kegiatan kepariwisataan.

3. Pendidikan kepariwisataan bagi masyarakat lokal

Masyarakat lokal yang tumbuh dan hidup berdampingan dengan suatu destinasi wisata, tidak dapat dipungkiri sebenarnya telah menjadi bagian dari sistem ekologi kepariwisataan yang saling terkait. Oleh sebab itu dibutuhkan pengelolaan yang baik sehingga pelestarian aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta lingkungan akan selalu menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan pembangunan industri kepariwisataan tersebut.

Suatu program pembangunan dapat dikatakan sebagai proses pemberdayaan bila mengandung elemen-elemen (1) pengembangan kapasitas masyarakat untuk memenuhi felt-need (kebutuhan yang dirasakan) dan real-need (kebutuhan nyata) masyarakat sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan; (2) pengembangan kapasitas masyarakat untuk mempunyai akses yang lebih baik terhadap berbagai sumberdaya; (3) pengembangan kapasitas masyarakat untuk

(25)

mengelola organisasi lokal (self-management);(4) pengembangan critical thinking masyarakat, agar bisa berfikir lebih kritis terhadap diri dan lingkungannya; dan (5) pengembangan kapasitas masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap berbagai aspek kehidupannya (Kusumahadi, 2007).

Pemberdayaan bisa dilakukan dengan memfokuskan pada berbagai aspek pembangunan. Ada empat dimensi yang sering dilakukan dalam pemberdayaan, yaitu:

1. Economic empowerment (pemberdayaan ekonomi), dengan fokus perhatian kepada akses terhadap modal dan sumber daya.

2. Social empowerment (pemberdayaan sosial) dengan fokus perhatian peningkatan kontrol terhadap berbagai aspek kehidupam sosial masyarakat.

3. Cultural empowerment (pemberdayaan kebudayaan), proses pemberdayaan yang menekankan pada pelestarian atau revitalisai nilai-nilai budaya lokal, khususnya pada kelompok minoritas.

4. Political empowerment (pemberdayaan politik), yaitu pemberdayaan yang menaruh perhatian utama pada hak-hak masyarakat lokal serta tindakan kolektif (collective action)

Masyarakat berdaya adalah masyarakat yang mampu merencanakan dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki, melalui collective action (tindakan kolektif) dan networking sehingga pada akhirnya mereka mempunyai kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial (Subejo dan Supriyanto, 2004). Dengan memberdayakan, diharapkan masyarakat akan bisa menjadi pelaku utama dalam

(26)

pemanfaatan lingkungan strategis yang ada untuk mendapatkan manfaat secara berkelanjutan.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar (bagan, grafik, dan lain-lain). Berikut model penelitian yang dijelaskan:

Taman Djuanda Bandung merupakan kawasan wisata alam yang terletak di Bandung Utara yang memiliki banyak potensi wisata alam yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, dengan tidak mengesampingkan aspek sosial dan budaya. Potensi yang dapat dikembangkan di kawasan tersebut merupakan sumber daya alam yang diinvestasikan untuk pengelolaan ekowisata terhadap pemberdayaan masyarakat yang meliputi: Monumen Ir. H. Djuanda, gua jepang dan gua belanda, air terjun curug omas, air terjun curug lalay, air terjun curug lalay, prasasti raja thailand, dan keragaman flora dan fauna. Semua potensi wisata tersebut dalam pengelolaan ekowisata secara langsung dikelola oleh pengelola yaitu Balai Pengelolaan Taman Djuanda Bandung yang melibatkan masyarakat di sekitar kawasan. Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam proses pengelolaan ekowisata karena dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat terdiri dari program-program seperti sosialisai melalui pelatihan, pengelolaan ekowisata yang diselenggarakan dengan cara mengumpulkan masyarakat sekitar kawasan. Harapan dari program tersebut adalah masyarakat dapat berpartisipasi dalam menuntaskan program

(27)

pemberdayaan masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan alam dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia serta peningkatan taraf hidup. Namun pada kenyatanya masyarakat belum sepenuhnya mendapatkan apresiasi yang positif dalam menjaga lingkungan, dengan segala potensi wisata yang ada. Permasalahan tersebut mengakibatkan kurang selarasnya hubungan antara pengelola dengan masyarakat yang mengakibatkan konflik, karena masyarakat merasa memiliki kawasan wisata Taman Djuanda yang menjadi sumber pendapatan mereka, namun masyarakat belum memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan khusunya lingkungan alam yang mempunyai konsep ekowisata.

Berdasarkan fenomena tersebut, pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan di Taman Djuanda perlu dikaji lebih lanjut. Oleh sebab itu, penelitian ini memformulasikan tiga permasalahan pokok yaitu penyebab terjadinya konflik, bentuk konflik yang terjadi dalam pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat, implikasi konflik dalam pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat, dan solusi dalam mengatasi konflik yang terjadi. Permasalahan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan beberapa teori yaitu teori konflik untuk menjawab permasalahan pertama, teori manajemen dan teori community based tourism (CBT) untuk menjawab permasalahan kedua dan ketiga.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi seluruh komponen pariwisata (Stakeholders). Demi keberlangsungan pengelolaan ekowisata yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat dikelola dengan baik dan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan ke Taman Djuanda

(28)

Bandung. Untuk itu perlu adanya kerjasama yang berkelanjutan antara stakeholders dengan industri pariwisata dalam upaya pengelolaan ekowisata dan untuk mewujudkan pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat yang nantinya hasil penelitian ini dapat direkomendasikan kepada Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dan pengelola Taman Djuanda Bandung. Adapun model penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.

(29)

Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan :

: Hubungan satu arah : Hubungan dua arah

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Bandung

Konflik Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman

Djuanda Bandung

Penyebab Terjadinya Konflik dalam pengelolaan

ekowisata berbasis pemberdayaan masyarakat

Implikasi konflik dalam pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan

masyarakat

Pengelolaan Potensi Ekowisata Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan

Teori Konflik

Teori Community Based Tourism

Teori Manajemen

Pengelola Masyarakat

Solusi Konflik dalam pengelolaan ekowisata berbasis pemberdayaan

Referensi

Dokumen terkait

Ozagac menyatakan, bahwa dalam pemberian informasi berupa teks argumentatif juga disertai argumen baik itu argumen pendukung (PRO) maupun argumen penyanggah

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik sosial dalam karya sastra merupakan usaha yang dilakukan untuk memberikan penilaian baik buruknya suatu

Kajian pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai strategi pengembangan baik itu

Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu

Penelitian yang dilakukan Khanza Fairuz Islami (2018) dengan judul “Analisis Pengaruh NPF (Non Performing Financing), FDR (Financing to Deposit Ratio), ROA (Return On

(seharusnya dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) oleh anak dalam stadium yang berbeda-beda. Berdasarkan defenisi di atas, dapatlah disimpulkan bahwa “Moral

Dapat disimpulkan dari pakar bahasa dalam Bahasa Indonesia bahwa kata konjungsi merupakan kata yang berfungsi sebagai kata penghubung baik dalam kalimat,klausa, frasa maupun