• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku. Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sabagai berikut.

Tanggapan terhadap karya Kuntowijoyo melalui artikel, dimulai Prihatmi di

Kompas pada tanggal 13 Oktober 1971 lewat “Sorotan Selintas atas Khotbah di Atas

Bukit” dan tahun 1988 beliau juga menulis makalah serupa yaitu, “Karya Kuntowijoyo: Menolak Ratu Adil dan Gagasan Nietsche Tentang Manusia Agung”. Kemudian, Mangunwijaya pun menulis artikel dalam Berita Buana pada tanggal 02 Desember 1986 yang berjudul “Roman Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo, Beberapa Catatan”. Lalu, Pinem menulis di koran yang sama pada tanggal 07 Februari 1989. Artikel itu bertajuk “Suluk Awang-Uwung, Renungan Sufistik Kuntowijoyo”. Tidak mau ketinggalan, Sumardjo juga menulis “Khotbah di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo” di Pikiran Rakyat tanggal 2 Juli 1976. Terakhir,Wangsitalaja menulis artikel tentang Kuntowijoyo ini di majalah yang sama dan waktu yang bersamaan pula. Masing-masing dimuat di Horison dan pada Februari 2001, berjudul “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dan “Kuntowijoyo: Bermula dari Sebuah Surau”.

(2)

Penulisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Jabrohim yang berjudul Pasar

dalam Perspektif Greimas, terbit tahun 1996. Buku ini merupakan naskah laporan

penelitian beliau yang diformat ulang oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Jabrohim menggunakan pendekatan struktural A.J. Greimas terhadap novel Pasar karya Kuntowijoyo dengan menggunakan skema aktan dan struktur fungsionalnya. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami struktur fungsional novel

Pasar tersebut.

Wan Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten yang juga pengamat sastra, menulis buku yang berjudul Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya, terbit tahun 2007. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Kuntowijoyo:

Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999), Khotbah di Atas Bukit (1971), Pasar (1972), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin dan Satinah (2003). Juga dibahas tiga kumpulan puisi Kuntowijoyo : Suluk Awang-Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Buku

yang ditulis Anwar ini sangat membantu penulis dalam memahami novel-novel Kuntowijoyo.

Selanjutnya, Maria A. Sardjono menganalisis paham Jawa lewat bukunya yang berjudul Menguak Falsafah Hidup Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir

Indonesia, terbit tahun 1995 di Jakarta. Metode pendekatan yang digunakan oleh

Maria A. Sardjono adalah deskripsi fenomenologis dan analisis filosofis. Buku ini memberi kesimpulam bahwa para pengarang dalam karya-karya itu banyak menampilkan pribadi-pribadi manusia Jawa yang memandang ke dalam diri mereka

(3)

sendiri, yang lebih asyik mencari jalan keluar dalam menanggulangi kenyataan atau pengalaman yang dihadapinya daripada mengenai gambaran tentang masalah-masalah sosial yang lebih luas. Sedikit banyaknya penelitian ini akan mengacu pada buku tersebut, terutama untuk memahami budaya Jawa yang terdapat dalam novel-novel Kuntowijoyo.

Djoko Suryono, tahun 1998 pernah menulis tentang budaya Jawa dalam disertasinya yang berjudul Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi

Indonesia. Beliau menggunakan pendekatan sosiokultural dalam memahami

nilai-nilai budaya Jawa. Tesis tersebut menjadi salah satu acuan dalam penelitian ini, terutama mengenai sosiokultural masyarakat Jawa.

Sementara itu, pembicaraan tentang mitologi Jawa terhadap karya sastra sudah dilakukan oleh Zaidan A. Rozak dkk. yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta tahun 1997. Penelitian itu berjudul Mitologi Jawa

dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970. Penelitian ini memfokuskan mitologi

pada wayang sebagai kerangka acuan dan arah orientasinya. Penelitian ini dapat membantu penulis memahami penerapan mitologi Jawa terhadap karya sastra.

Dengan demikian, diketahui bahwa pembicaraan tentang mitologi terhadap novel-novel Kuntowijoyo, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.

(4)

2.2 Konsep

2.2.1 Nilai Budaya

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil.

Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia, dan makna-makna kebudayaan itu disampaikan satu sama lain dalam hidup manusia. Nilai budaya ini, juga merupakan suatu bentuk dari kehidupan dan memuat ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku yang menyangkut penilaian baik buruk kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam bermasyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat.

(5)

Koentjaraningrat (2002:190) juga menambahkan bahwa nilai budaya daerah tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret, manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan, lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.

Ada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya menurut Kluckhohn, yaitu :

1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, 2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia,

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, 4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, 5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya

(Koentjaraningrat, 2002:191).

Dengan demikian, dalam tiap masyarakat baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Kemudian, sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan dan menjadi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.

(6)

2.2.2 Budaya Jawa

Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat bahwa kata budaya sebagai suatu perkenbangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’. Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama.

Jawa (Java), atau sebutan lain Djawa Dwipa atau Jawi adalah pulau yang terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia. Orang Jawa (Javanese) adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa (Suseno, 2003:15). Kemudian, Geertz (Sani, 2008:7) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu kaum abangan,

priyayi, dan santri. Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi

sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Lalu, priyayi adalah kelompok yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi, sedangkan kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi Islam dan sinkretisme pada umumnya berhubungan dengan kaum pendatang dan

(7)

petani. Klasifikasi masyarakat Jawa ini menjelaskan budaya hierarkis masyarakat Jawa.

Manusia Jawa adalah pendukung dan penghayat kebudayaan Jawa. Orang Jawa tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Cirebon Jawa Barat, di banyak kepulauan Indonesia kini sampai Irian Barat setelah transmigrasi, di semenanjung Malaysia, di Muangthai, Birma, dan Vietnam yang dibawa oleh Jepang sebagai romusha, di Suriname, Kurasao, Kaledonia Baru sejak zaman penjajahan sebagai tenaga perkebunan. Yang amat sedikit diketahui adalah orang Jawa yang ada di Afrika Selatan, Sri Langka, dan Asia Tenggara.

Menurut Partokusumo (Setyodarmodjo, 2007:73), salah seorang pakar budaya dari Lembaga Javanologi, jumlah orang Jawa di berbagai tempat di penjuru dunia itu tidak diketahui dengan pasti, kecuali taksiran yang ada di seluruh kepulauan Indonesia ± 60% dari seluruh penduduk di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah lebih dari 160 juta.

Orang Jawa itu sendiri berpendapat bahwa kebudayaan tidak merupakan sesuatu yang homogen. Mereka sadar akan adanya keanekaragaman yang sifatnya regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok dengan daerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara, rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994:25).

Oleh karena budaya yang tidak homogen tadi, maka sifat tablat pendukungnya berbeda satu sama lain. Semua mempunyai individualitas yang kuat,

(8)

tidak ada yang khas ‘Jawa’. Ada yang polos, dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus, ada yang kasar, ada yang berterus terang, ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya, dan ada yang bekerja fanatik, serta ada yang tidak bertindak sendirian dan yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya (Suseno, 2003:31).

Mengingat kenyataan bahwa kebudayaan Jawa tidak homogen dan sifat orang Jawa berbeda satu sama lain, maka watak dan tingkah laku orang Jawa tidak dapat dipukul rata. Meskipun demikian, kiranya patut dikemukakan sifat-sifat orang Jawa hingga sekarang masih banyak dilestarikan, yakni sifat yang lebih umum namun tetap khas Jawa antara lain : rukun, damai, hormat, ramah, tenggang rasa (tepa selira), dan keselarasan (harmonis). Sifat-sifat ini membangkitkan kemampuan memahami perbedaan, tetapi tetap berpegang pada pendapat dan pendiriannya sendiri tanpa menimbulkan suatu ketegangan. Inilah yang disebut kebijaksanaan. Sifat-sifat itulah sebagai ‘kiblat’ manusia Jawa mengenal asal usulnya di mana pun mereka berada.

Hardjowirogo (1984:7) juga menambahkan bahwa semua orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam penghayatan hidup budaya mereka, baik yang tinggal di Pulau Jawa maupun yang di tempat lain, bahkan yang tinggal di Suriname, orientasi nilai mereka tetap terarah ke kota Solo dan Yogya. Oleh sebab itulah, kesatuan budaya yang dipegang oleh orang Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini, mau ataupun tidak, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia.

(9)

Bagi orang Jawa ‘budaya’ bukanlah konsep antropologi yang samar-samar, melainkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan itu disadari benar. Hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, mengetahui dan memperlihatkan tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas, mempertahankan tatanan yang ada, manusia dan benda-benda berada di tempat masing-masing yang teratur, dapat diramalkan, dan tanpa gangguan (Mulder, 2005:42).

Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung serta disadari atau tidak. Dari pengalaman hidup ini, kemudian diperoleh citra lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah definisi yang dituliskan oleh Partokusumo tersebut bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum kemauan, cita-citanya, idenya, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.

2.2.3 Mitologi

Mitologi berasal dari bahasa Inggris mytology dan bahasa Prancis mythologie, yang bermakna kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang pokok ceritanya sama; studi tentang mitos.

(10)

Mitos juga berasal dari kata myth (Inggris), mythe (Prancis), dan mythos (Yunani). Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai cerita yang mempunyai struktur berarti mitos dibangun oleh satuan-satuan minimal yang bermakna. Satuan minimal yang membangun struktur cerita mitologis sehingga struktur itu sendiri mengandung makna.

Junus (1981:90) mengatakan bahwa hubungan antara mitos dan realitas itu sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Beliau menambahkan bahwa mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Manusia itu hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak-tanduknya. Ketakutan dan keberanian terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos di sekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat berlaku hanya karena penganutnya memercayai sebuah mitos. Dan ketakutan manusia akan sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang sebenarnya.

Kehadiran suatu mitos merupakan keharusan terutama pada hal-hal yang bersifat abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang

ambiguous. Suatu mitos dari masa lampau akan tetap berlaku dalam masanya. Sekali

(11)

Mitos bagi masyarakat primitif merupakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat ini. Namun, mitos penciptaannya tidak mengantarkan manusia pada sebab pertama atau dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan dengan aktivitas yang supranatural mitos dianggap sebagai yang benar, suci, dan bermakna, serta menjadi pedoman berharga bagi yang memercayai dari lingkungan tempat tinggalnya.

Antropolog sosial, seperti Malinowski dalam buku William A. Lessa dan Evon Z. Vogt yang berjudul Reader In Comparative Religion (1979:101) berpendapat bahwa mitos sebagaimana ada dalam suatu masyarakat primitif, bukanlah semata-mata cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos merupakan daya aktif dalam kehidupan masyarakat primitif. Atas dasar ‘realitas’ mitos menjadi penghubung dari institusi-institusi sosial yang ada (Minsarwati, 2002:27).

Senada dengan Malinowski, Anderson (2008:10) mendefinisikan mitologi sebagai seperangkat simbol-simbol nasional atau kultural yang membangkitkan kesetiaan yang boleh dikatakan seragam pada masyarakat, baik secara horizontal lintas wilayah maupun secara vertikal lintas kelas.

Simbol-simbol nasional dan kultural tersebut tercermin dalam sebuah karya sastra. Karya sastra yang merupakan produk kebudayaan menyimpan berbagai mitos kedaerahan masing-masing. Kebudayaan Jawa, misalnya penuh dengan mitologisasi (memitoskan), sakralisasi (mengkeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala

(12)

sesuatu sebagai misteri). Kesemuanya itu merupakan mitologi yang dapat ditemukan pada orang, tempat, waktu, dan peristiwa. Hal tersebut terlihat menonjol dalam nama, kelahiran, waktu, keberuntungan, angka, dan huruf.

Dengan demikian, realitas mitos Jawa diwujudkan manusia melalui bentuk upacara ritual. Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual berarti menghidupkan kembali dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi masyarakat Jawa, mengetahui mitos adalah sesuatu yang penting karena mitos tidak hanya mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh model tentang keberadaannya di dunia, tetapi mereka harus menjalankan dan mengulangi kembali apa yang telah Tuhan dan alam supranatural kerjakan pada waktu permulaan. Jadi, jelaslah bahwa mitos bagi masyarakat Jawa bukan merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang Illahi.

2.2.4 Kosmologi

Secara etimologi kosmologi berasal dari istilah Yunani, yaitu kosmos yang berarti susunan, atau ketersusunan yang baik. Menurut Bakker (1995:27) kosmologi adalah ilmu pengetahuan tentang alam ataupun dunia. Titik tolak konkret kosmologi adalah kesatuan manusia dan dunia. Pemahaman antara manusia dan dunia dalam antropologi ini selanjutnya dikatakan kosmologi yang bersifat metafisik.

Hal itu sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari Antropologi karena setiap struktur metafisik dalam substansi-substansi duniawi, pertama-tama

(13)

direalisasikan dalam manusia dengan cara paling jelas dan sadar sejauh substansi lainnya (dalam rangka dunia) merupakan bayangan dan pemikiran manusia yang berkurang. Namun, kosmologi juga berbeda karena secara implisit terkandung kesimpulan-kesimpulan tentang substansi-substansi dunia lainnya, tetapi dalam kosmologi substansi-substansi dunia lain itu termasuk obyek penyelidikan secara langsung (Bakker, 1995:38).

Kosmologi selalu berhubungan dengan lingkungan, salah satunya adalah ekologi. Ekologi yang diartikan sebagai ilmu tentang lingkungan hidup, merupakan ilmu majemuk atau disiplin lintas semu (an inter diciplinary study). Ekologi memiliki keistimewaan di antara ilmu-ilmu spesifik, terutama yang eksakta, sebab dengan jelas berciri normatif. Ekologi bukan hanya mempelajari struktur alam dunia, tetapi juga menentukan norma-norma untuk memelihara dan mengembangkan.

Pemahaman antara kosmologi dan ekologi menambah pengertian bahwa gagasan pengalaman-pengalaman hidup manusia merupakan fungsi dari kualitas alam lingkungan yang terlihat dari perjuangan antara manusia dengan alam. Melalui sudut ini akan terlihat bahwa sekalipun kosmologi bukan ilmu praktis yang dapat menyajikan pemecahan untuk persoalan ekologi, tetapi kosmologi dapat menyediakan dasar tempat suatu filsafat lingkungan dapat dibangun. Kosmologi menjadi ruang dialog ekologi dan keduanya bersama-sama memberi pengertian skala besar dan skala kecil tentang oikos.

Berdasarkan uraian di atas, kerjasama antara kosmologi dengan ekologi, maupun antropologi ternyata mampu memahami keberadaan alam semesta konkret,

(14)

baik itu asal mula, gejala-gejala, substansi-substansi, serta sebab-akibat yang ditimbulkannya, maka sangat relevan sekali apabila kosmologi ini sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam yang berusaha tampil untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tetap mengacu pada manusia makhluk dengan kecerdasan dan kesadaran diri.

Sehubungan dengan itu, masyarakat Jawa pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung ataupun tidak, dan disadari ataupun tidak ia akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya. Dari pengalaman hidup ini kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya. Keberadaan kosmos dengan keteraturannya mengantarkan pada pemahaman yang lebih realistis, bahkan alam dengan gejala-gejala yang muncul pasti ada yang mengatur dan mengendalikan.

2.2.5 Filsafat Jawa

Brown dalam bukunya yang berjudul Psycolinguistics (1980:11) berpendapat bahwa salah satu hakikat bahasa adalah dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kemampuan berbahasa manusia dapat mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke

(15)

generasi berikutnya. Dengan bahasa pula, manusia dapat berpikir secara sistematis dan teratur.

Anderson (2008:10) juga menambahkan bahwa bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada. Kelahiran bahasa itu bergandengan dengan kelahiran budaya. Melalui budaya segala cipta kognisi seseorang dapat dimiliki oleh orang lain dan dapat juga diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sejak adanya manusia, ada dua evolusi yang bersamaan, yaitu evolusi fisiologi (berkenaan dengan tubuh) dan evolusi budaya. Keduanya diikuti pembesaran otak manusia dan perluasan pemakaian bahasa. Jadi, dapat dipastikan bahwa manusia, bahasa, dan budaya lahir dan tumbuh secara bersama-sama.

Pada kenyataannya, tidak semua manusia berbahasa secara lugas. Adakalanya dalam menyampaikan maksudnya, manusia menggunakan perbandingan-perbandingan atau simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu, manusia memerlukan proses berpikir dan perenungan yang cukup panjang untuk memahami maksud tersebut. Di sinilah, muncul filsafat budaya yang berfungsi sebagai pedoman dan pengarah kebudayaan tertentu. Salah satu pengemban kebudayaan yang cukup besar di Indonesia adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa itu telah mengejawantahkan pemikiran-pemikiran filosofis tersebut dalam kehidupannya. Pemikiran filosofis itu disebut Ciptoprawiro sebagai filsafat Jawa.

Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157), memberikan pengertian tentang filsafat Jawa. Menurutnya filsafat Jawa adalah ‘filsafat Sangkan Paraning Dumadi’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka dapat dialihbahasakan menjadi

(16)

‘filsafat asal dan arahnya yang ada’. Bila disebut pandangan hidup orang Jawa itu dengan kata-kata filsafat, maka kita perlu berhati-hati dalam mengartikannya. Hal ini karena arti kata filsafat itu sendiri bermacam-macam.

Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157) juga mengartikan filsafat atas tiga pengertian. Pertama, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan hidup, atau yang dalam bahasa Jerman dinamakan ‘Weltanschauung’. Kedua, filsafat diartikan sebagai pemikiran yang logis, radikal sistematis tentang apa yang ada dalam kerangka kesemestaan atau universalitas. Sebagai contoh, bagaimana filsafat kebenaran itu menurut seorang pemikir. Demikian pula filsafat tentang susila, hukum, kekuasaan, dan seterusnya. Ketiga, filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang filsafat yang disebutkan dalam arti pertama dan/atau arti yang kedua.

Di pihak lain, Ciptoprawiro (2000:11) mendefinisikan filsafat sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar. Berfilsafat dalam arti luas, dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu.

Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan tiga komponen pokok yang memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan

cipta, rasa, dan karsa, yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut ‘trisakti jiwa’.

Kemudian oleh Bung Karno dalam sambutannya pada upacara menerima gelar

(17)

dijadikan trilogi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu : nationale geest, nationale will,

nationale doad (jiwa nasional, kemauan nasional, dan perilaku nasional).

Pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dan keutuhan itu secara konsekuen dipegang teguh oleh orang Jawa dalam berolah filsafat. Inilah yang memberi ciri khas pandangan hidup (filsafat) dan ilmu (kawruh) Kejawen yang secara diametral berlawanan dengan filsafat serta penerapan ilmu pengetahuan manusia Barat yang cenderung memisahkan jiwa dan materi dan menjurus ke suatu dualisme.

Jadi, perbandingan antara filsafat Barat dan filsafat Jawa dapat dirumuskan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ciptoprawiro (2000:16) bahwa filsafat Barat mengidentifikasikan aku (ego) manusia dengan ciptanya (rasio, akal). Dengan demikian, cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya hingga terlepasnya dari hubungan dengan lingkungannya hingga terjadi jarak (distansi) antara manusia dengan lingkungannya. Bagi filsafat Barat, manusia adalah manusia lepas hubungan. Filsafat Barat beranggapan bahwa manusia adalah animal rationale (binatang yang bernalar, Socrates).

Sebaliknya, menurut filsafat Jawa manusia itu selalu dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan serta Alam Semesta, dan menyadari kesatuannya. Maka bagi filsafat Jawa manusia adalah manusia dalam hubungan. Saat mempergunakan kodrat kemampuannya, manusia Jawa senantiasa mengusahakan kesatuan

cipta-rasa-karsa. Filsafat Jawa (Filsafat Timur umumnya) beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Ciptoprawiro, 2000:15).

(18)

Dengan demikian, filsafat Jawa menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi, artinya menyadari kesatuan hubungannya dengan Tuhan. Maka paham Jawa melihat sesuatu yang tidak mudah terjangkau oleh sembarangan orang sebagai gejala metaempiris yang berasal dari wahyu Illahi.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra. Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini, tampaknya masih jarang diminati. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia.

Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthoropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti : bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks aktivitas,

(19)

dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide.

Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-negara kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropah dalam rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber yang sangat penting.

Dalam ruang lingkup regional dan nasional jelas antropologi sastra perlu dibina dan dikembangkan. Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana tidak semata-mata berorientasi ke Barat, sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, Polemik Kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasar-dasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model kesenian berikutnya, khususnya kesusastraan. Dengan memanfaatkan bahasa Indonesia yang secara definitif sudah mulai digunakan sejak Kebangkitan Nasional (1908), yang kemudian disahkan dalam Sumpah Pemuda (1928), karya sastra Indonesia modern diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu untuk memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan spritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi, tetapi perlu

(20)

diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermain-mainkan’, di situlah lokus penelitian antropologi sastra (Ratna, 2004:352).

Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Jadi, penelitian sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.

Menurut Kleden (2004:356), refleksi kebudayaan harus selalu diadakan karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi, bukan tidak mungkin bahwa suatu masyarakat akan hanyut dalam semacam determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tidak boleh digugat, dan bukannya juga produk-produk bersama yang telah dihasilkan dan diciptakan, dan karena itu dapat selalu berubah dan diubah bilamana tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini. Sesuai kedudukannya sebagai kata benda kebudayaan harus kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja kebudayaan harus digarap dan diolah kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat Wallace (1966:70) bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah sistem kepercayaan yang merupakan serangkaian pengetahuan manusia mengenai kosmologi, seperti makhluk halus, mitos, serta dunia nyata yang kompleks.

(21)

Hoed (2007:122) menjelaskan bahwa setiap lapisan kebudayaan mengandung prinsip-prinsip supraindividual dengan warga masyarakatnya yang masing-masing mempunyai benih otonomi individual. Benih-benih itu menjadi kuat dan mulai meninggalkan sebagian prinsip-prinsip supraindividual dalam kebudayaan internasional atau global untuk membentuk kebudayaan baru.

Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai

animal rationale. Cassirer (1990:65) menyatakan bahwa sistem simbol mendahului

sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh Eliade (2002:12) bahwa pemikiran simbolik merupakan salah satu bagian mutlak manusia. Pemikiran simbolik adalah awal dari bahasa dan pemikiran deskriptif.

Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.

Di pihak lain, sesuai dengan pendapat Bloch (Ratna, 2004:351), manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling memengaruhi, yaitu : a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan

(22)

institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius.

Menurut Forde (Minsarwati, 2002:48), hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Melalui kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola untuk perilaku dan berupa pola kompleks nilai yang bersumber dari etika dan pandangan.

Pada umumnya penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (Endraswara, 2008:109) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia/orang, (b) artikel tentang sastra, (c) bibliografi. Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut dipahami karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi.

Selanjutnya, antropologi sastra ini termasuk juga ke dalam pendekatan arketaipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Hal tersebut berhubungan dengan unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, fantasi, dan sejarah dalam karya sastra. Satu lagi yang menjadi inti pendekatan ini ialah penelitian terhadap konsep kesadaran kolektif dan primordial images yang terungkap dalam karya sastra. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut menguasai sistem dan budaya masyarakat.

(23)

Scott (Sikana, 2008:137), dalam buku teori klasiknya Five Approaches of

Literary Criticism menjelaskan arketaipal menjurus kepada pencarian simbol, ritual,

dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketaipal lebih bertumpu kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia dengan tindak-tanduknya daripada mengkaji unsur estetik dan intrinsik karya. Oleh karena itu pendekatan ini berhubungan dengan psikologi manusia, sebab manusia dalam setiap zaman tidak terlepas dari tindakan-tindakan yang berbentuk budaya dan kesenian.

Jung (1875-1961) kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih lanjut, Jung (Sikana, 2008:138) mengemukakan bahwa dalam diri manusia, terutama pengarang, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya.

Sangat beralasan jika Sikana mengemukakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan pada karya-karya yang kaya dengan unsur-unsur mitos. Hal itu sejalan dengan pendapat Frye, yang menegaskan bahwa karya yang paling banyak dapat dihubungkan dengan mitologisme dan arkaisme ini ialah yang bercorak keagamaan, yaitu segala bentuk kepercayaan tradisi; seperti animisme, totemisme, berhala, dan agama Kristiani sendiri. Menurutnya, setiap kepercayaan itu kaya dengan unsur-unsur mitos; malah kelahiran kepercayaan itu sendiri dibina oleh mitos-mitos (Sikana,

(24)

2008:134). Mitos ini pula dalam interpretasi yang luas dapat dikaitkan dengan teori psikologi Jung. Dengan demikian, antropologi sastra dapat mengkajinya dalam bentuk paparan etnografi.

(25)

2.4 Model Penelitian

. ↓ ↓ ↔ ↔

Bagan 1 : Model Penelitian Budaya Jawa

Pengarang Novel-Novel Kuntowijoyo Peneliti/Pengamat

Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, Wasripin

Mitologi Filsafat Representasi Nilai Budaya

- Sikap kosmologis - Pandangan hidup - Mitos-mitos masa kini

- Metafisika - Epistemologi - Aksiologi

- Hubungan manusia dengan Tuhan - Hubungan manusia dengan alam -Hubungan manusia dengan masyarakat - Hubungan manusia dengan orang lain - Hubungan manusia dengan diri sendiri

(26)

Keterangan:

→ : Hubungan langsung : Hubungan tidak langsung

Model penelitian merupakan kerangka berpikir dari suatu penelitian. Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dengan paradigma budaya yang dikaitkan dengan budaya Jawa, khususnya mitologi.

Pengarang yang menggunakan budaya Jawa yang berpusat di Solo dan Yogyakarta sebagai inspirasi untuk menciptakan novel-novel P, MPU, dan WdS memadukannya dengan keadaan dan situasi soaial, budaya, dan politik.

Peneliti atau pengamat menginterpretasikan novel-novel Kuntowijoyo dalam bentuk mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya sebagai suatu kajian yang berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena hubungan realitas budaya Jawa dengan novel-novel Kuntowijoyo bukanlah hubungan langsung, maka untuk memahami mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya tersebut dipergunakan teori antropologi sastra dan semiotika.

Mitologi Jawa yang merupakan struktur dari novel-novel Kuntowijoyo diamati secara totalitas dan dipadukan pada tokoh Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan Wasripin, sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu. Kemudian, tokoh-tokoh tersebut dihubungkan dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga tergambar sikap kosmologis masyarakat, pandangan hidup, dan mitos-mitos masa kini. Sementara itu, filsafat Jawa akan diuraikan pada tingkatan metafisika,

(27)

epistemologi, dan aksiologi. Melalui tahapan-tahapan tersebut akan terlihat keutuhan filsafat Jawa.

Representasi nilai budaya dikaitkan pada lima buah hubungan manusia yang paling mendasar yakni : hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah menerapkan sistem penilaian ujian essay secara otomatis berbasis web secara online menggunakan metode GLSA, menghasilkan

Batas toleransi kadar Aflatoksin, sebagaimana telah tercantum pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Pakan maupun perubahannya, pada Persyaratan Mutu Bahan Baku Pakan dan pada

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan data merupakan teknik yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dari

R4.19 Kalo dari conference call for paper itu eemm pengetahuan tentang bahasa mungkin mas ya karena bahasa Inggris ini kan luas tidak hanya dari Amreika saja dari British saja

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan: Tingkat stres kerja karyawan sebelum diberikan terapi ROP berada pada kategori

Dari hasil diatas, maka dapat disimpulkan belajar passing sepakbola dengan penerapan possession game sudah terlaksana dengan baik, ini dibuktikan pada tabel 5 ada

*euntungan pada kon(igurasi 1uck antara lain adalah e(isiensi yang tinggi, rangkaiannya sederhana, tidak memerlukan trans(ormer, tingkatan  stress  pada komponen

Bidang adalah Bidang-Bidang pada Dinas Daerah Kabupaten Buleleng yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melalui