• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGADILAN AGAMA MARTAPURA: DULU, SEKARANG DAN CITA-CITA YANG AKAN DATANG. Oleh : Samsul Muhana, S.Ag, S.H.*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGADILAN AGAMA MARTAPURA: DULU, SEKARANG DAN CITA-CITA YANG AKAN DATANG. Oleh : Samsul Muhana, S.Ag, S.H.*"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGADILAN AGAMA MARTAPURA: DULU, SEKARANG

DAN CITA-CITA YANG AKAN DATANG

Oleh : Samsul Muhana, S.Ag, S.H.*

Berbicara tentang perjalanan Pengadilan Agama Martapura yang telah

dilalui dalam rentang waktu yang demikian panjang berarti kita berbicara tentang sejarah Pengadilan Agama Martapura. Sebagai warga Pengadilan Agama Martapura Hal ini dianggap penting untuk rencana melangkah ke masa yang akan datang. Kelahiran Pengadilan Agama Martapura bisa dikatakan dipelopori oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, beliau merupakan ulama Kesultanan Banjar yang berkontribusi besar dalam penyebaran dan perkembangan dakwah Islam. Jasanya tidak saja dirasakan oleh rakyat Kalimantan Selatan, melainkan juga nusantara bahkan dunia Islam secara umum. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mempunyai hubungan yang luas ke dalam istana, serta keberhasilan beliau dalam membangun dan menggerakan masyarakat, menimbulkan simpatik Sultan Banjar (Sultan Tahmidillah II bin Sultan Tamjidilllah) untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad dalam rangka mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar.

Pada akhirnya, Sultanpun berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam yang merupakan wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian dibentuk lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam bidang pemerintahan semacam Mahkamah Syar’iyah, yang dijalankan oleh seorang Mufti dan Qadli.

Mufti adalah sebuah istilah jabatan yang berarti hakim yang tertinggi, pengawas peradilan pada umumnya. Di bawah mufti ada qadli, yaitu pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar dan benar. Mufti memimpin sebuah

(2)

2

Mahkamah Syar’iyah, tugasnya adalah untuk mengawasi pengadilan umum (masyarakat). Pejabat Mufti adalah orang yang betul-betul alim ilmu agama dan mengerti seluk-beluk hukum Islam secara mendalam. Sedangkan secara kelembagaan, Mufti juga bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerajaan Banjar yang pertama dipegang oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari). Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Sampai akhirnya syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Pada mukadimah Undang-Undang-undang Sultan Adam, dapat diketahui bahwa maksud dari dikeluarkannya undang-undang tersebut adalah untuk mendorong ketaatan segenap rakyatnya atas agama Islam, dalam mengatasi perbedaan dan untuk memberikan kemudahan memutuskan perkara. Undang-undang ini berisikan 38 pasal dengan komposisi untuk mengatur agama dan peribadatan, tata pemerintahan, perkawinan, hukum peradilan, tanah dan peralihan.

Kerajaan Banjar memberlakukan Undang-Undang Sultan Adam (UUSA) dibuat oleh Sultan Adam, dibantu Pangeran Syarif Husin (menantu Sultan Adam) dan Mufti H Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Ada dua Undang Undang Sultan Adam versi yang berkembang, versi Martapura dan Amuntai. Versi Martapura menyebut 31 pasal dan versi Amuntai berisi 38 Pasal. Adapun tujuan terbentuknya Undang Undang Sultan Adam adalah untuk memantapkan keyakinan rakyat membendung dan mencegah perpecahan, membantu hakim menetapkan kepastian hokum, dan untuk mensejahterakan rakyat. Materi yang termaktub ialah masalah agama dan peribadatan, hukum tata pemerintahan, hukum perkawinan, Hukum Acara Peradilan, hukum tanah, peraturan peralihan. Undang-Undang Sultan Adam ditetapkan Kamis 15 Muharam 1251 Hijriyah atau 11 Juni 1835 Masehi oleh Sultan Adam.

(3)

3

Kemudian seiring dengan terjadinya perebutan kekuasaan dalam kerajaan Banjar akibat campur tangan Belanda tahun 1857 sesudah wafatnya Sultan Adam, dan berujung pada dihapuskannya kerajaan Banjar secara sepihak pada 11 Juni 1860 oleh Belanda, maka pada waktu itu pula pemberlakukan Undang Undang Sultan Adam dihapuskan dari seluruh wilayah tanah Banjar. Walaupun secara formal Undang-Undang Sultan Adam sudah tidak diberlakukan lagi oleh Pemerintah Belanda namun dalam prakteknya hukum dalam masyarakat Banjar tetap melaksanakan Undang-Undang tersebut melalui para mufti dan qadhi. Para mufti dan qadhi inilah yang mempunyai peranan besar dalam tumbuh dan berkembanganya lembaga Mahkamah Syar’iyah.

Adapun para Mufti yang pernah memimpin Mahkamah Syar’iyah pada zaman Kesultanan Banjar antara lain :

1. Haji Muhammad As’ad bin Utsman Beliau adalah Mufti yang mula-mula di Kerajaan Banjar. 2. Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.( pemerintahan Sultan Banjar.) 3. Haji Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.(Pemerintahan Sultan Banjar.) 4. Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As’ad. (pemerintahan Sultan Banjar.) 5. Haji Syihabuddin. ( zaman pemerintahan Sultan Banjar.)

Pelaksanaan hukum Islam di Martapura cukup terasa berkat peranan para alim ulama dan para Mufti dan Qadhi. Walaupun Kerajaan Banjar sudah dihapuskan pada tahun 1860, namun kedudukan Mufti dan Qadhi dalam masyarakat masih tetap dominan sampai dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Belanda sendiri tetap mempertahankan peranan muftí dan Qadli walaupun Pemerintah Belanda sudah mengatur eksistensi Peradilan Agama dengan Keputusan Raja Belanda No. 24 tertanggal 19 Januari 1882, dimuat dalam Stb. 1882 No. 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Berpaling betrefende de priesterranden op java en Madoera). Dalam stablad tersebut secara resmi di Martapura tidak disebutkan secara khusus pembentukan Peradilan Agama seperti yang termuat dalam Stb. 1882 No. 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura namun organisasi Mahkamah Syar’iyah yang lahir pada zaman Kesultanan Banjar tetap berjalan dengan bukti masih adanya para Mufti yang pernah memimpin Mahkamah Syar’iyah pada zaman Belanda. Adapun mufti tersebut antara lain :

(4)

4

1. Haji Muhammad Khalid bin Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari 2. Haji Muhammad Nur bin Kadi Haji Mahmud.

3. Haji Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 4. Haji Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid

5. Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad Afif bin Kadi Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari

Pada masa kolonial Belanda Mahkamah Syar’iyah di bekas kerajaan Banjar ini dibiarkan tumbuh dan berkembang sesuai keadaan masyarakat, walaupun tidak mendapat perhatian dari pemerintah Belanda, Mahkamah Syariah di Kabupen Banjar ini terus tumbuh dan berkembang dengan fasilitas seadanya dan kantor yang selalu berpindah-pindah dari serambi masjid satu ke serambi masjid lain. Mahkamah Syariah pada waktu itu betul-betul dianggap sebagai lembaga peradilan layaknya sebuah lembaga peradilan, bukan sebagai lembaga agama semata. Pada masa ini Mahkamah Syariah hanya dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang diterimanya hal ini dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi Mahkamah Syariah untuk mengelolah administrasinya, termasuk tidak menggaji para qadhi dan pegawainya. Kenyataan bahwa qadhi dan pegawai Mahkamah Syariah menerima uang dari mereka yang menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa Mahkamah Syariah adalah sarang korupsi.

Pada tahun 1937 Pemerintah Belanda mengeluarkan Stbl No 638 dan 639 tahun 1937, tentang pembentukan Kerapatan Qadhi di, Martapura, dan kewenangannya terbatas sejalan dengan kebijakan Pemerintah Kolonial mengenai Pengadilan Agama. Mahkamah Islam dengan Stbl 1937 Nomor 610 yang berlaku 1 April 1937 kewenangannya dibatasi pada masalah perkawinan, sementara masalah waris yang oleh Stbl 1882 menjadi kewenangan Pengadilan Agama dicabut. Selain menentukan (membatasi) kewenangan dan membentuk Kerapatan Qadhi Stbl 1937 Nomor 638 dan 639, juga mengatur hal-hal yang spesifik yang berbeda dengan Mahkamah Islam di Jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 dan 639 mengatur tentang sengketa mengadili di Jawa dan Madura baru diatur dengan Stbl tahun 1940 No. 3. Sengketa kewenangan antara Kerapatan Qadhi diputus oleh Kerapatan Qadhi Besar, Pasal 11, tetapi sengketa mengadili antara Pengadilan Agama dengan Peradilan lainnya diputus oleh Gubernur

(5)

5

Jenderal pasal 15 Sebutan Kerapatan Qadhi untuk tingkat pertama dan Kerapatan Qadhi Besar untuk tingkat banding, terus berlangsung sampai dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 76 tahun 1980 tentang penyeragaman nama Peradilan Agama. Ketika Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 dikeluarkan Mahkamah Syariah dan Kerapatan Qadhi yang telah ada sebelumnya dibiarkan tanpa ada upaya penyatuan, walaupun ada pemikiran untuk menyatukan sebutan Peradilan Agama, namun karena Peraturan Pemerintah dianggap tidak cukup kuat mengganti kedua ordonansi yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Islam maupun Kerapatan Qadhi, maka penyatuan nama tersebut tidak jadi dilaksanakan.

Tidak banyak perkembangan yang terjadi pada masa kemerdekaan ini kecuali: Pertama, terjadi likuidasi 4 Kerapatan Qadhi yaitu Marabahan, Rantau, Pelaihari dan Negara karena berada bukan pada ibukota kabupaten/kota. Aturan ketataprajaan membatasi Pengadilan Agama hanya ada di ibukota kabupaten, dengan alasan itulah keempat Kerapatan Qadhi tersebut dilikuiidasi. Namun dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 89 Tahun 1967 ke empat Kerapatan Qadhi tersebut dibentuk kembali dengan dasar hukum Stbl 1937 Nomor 638 dan 639. Dengan terealisasi Pengadilan Agama Pelaihari dan Pengadilan Agama Marabahan yang diawali dengan pengangkatan personel baru terhitung mulai 1 April 1976. Sebagai akibat dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang disusul oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka pemerintah secara besar-besaran membangun gedung Pengadilan Agama secara nasional termasuk pembangunan kantor Pengadilan Agama Martapura yang terletak di Jalan Perwira yang ukurannya pun tidak begitu luas sehingga namanya pun bukan gedung Pengadilan, namun Balai Sidang. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang cepat dan kebutuhan yang meningkat, maka luas gedung itu sudah dirasa sangat sempit kemudian diperluas lagi sampai sekarang. Pada waktu soal sarana dan prasarana, jangan anda membandingkannya dengan keadaan seperti sekarang. Saat itu, sudah ada 1 atau 2 mesin tik saja sudah untung. Mobil ? Wah, itu masih merupakan barang yang sangat mewah untuk Pengadilan Agama Martapura.

Pemikiran tentang menyatukan seluruh lingkungan peradilan termasuk Peradilan Agama Martapura berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung baik aspek yudicial maupun

(6)

6

non yudicial sudah lama berlangsung. Pembahasan ini menimbulkan pro dan kontra pihak yang setuju beranggapan bahwa dengan satu atapnya peradilan dibawah Mahkamah Agung kemandirian hakim akan lebih terjamin sebab akan terhindar dari intervensi pihak eksekutif. Seperti kita ketahui bahwa pada waktu itu pihak eksekutif mempunyai kewenangan dalam melakukan pembinaan organisasi administrasi dan finansial peradilan. Sementara yang tidak setuju beranggapan bahwa jika pembinaan seluruh lingkungan berada di kekuasaan Mahkamah Agung tanpa melibatkan eksekutif, justru akan terjadi tirani tidak ada penyeimbang akibatnya kemandirian hakim akan terganggu. Dari sini kemudian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan berada pada Departemen masing-masing, dirubah oleh Undang-Undang nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang yang baru ini menyatakan bahwa organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan berada pada Mahkamah Agung. Dengan demikian maka berdasarkan Undang-Undang ini pembinaan aspek yudicial maupun non yudicial seluruh lingkungan peradilan berada pada Mahkamah Agung. Jadi sebetulnya satu atap itu secara formal sudah terjadi sejak 31 Agustus 1999, saat mana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 diundangkan pada Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 147. Menjelang 5 (lima) tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 pada tahun 2003 sudah mulai disiapkan pelaksanaan satu atap peradilan dengan mulai dibahasnya 5 Rancangan Undang-Undang, yang merupakan Rancangan Undang-Undang revisi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Revisi Undang-Undang Mahkamah Agung revisi Undang-Undang Peradilan Umum revisi Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan revisi Undang-Undang Kejaksaan Agung dalam perkembangan selanjutnya para anggota panja DPR sepakat agar Pengadilan Agama juga disatu atapkan di Mahkamah Agung. dengan pertimbangan untuk melaksanakan reformasi hukum sesuai Undang-Undang Dasar 1945 dan Tap MPR serta untuk kepentingan Pengadilan Agama itu sendiri sebagai lembaga pengadilan negara yang setara dengan peradilan lainnya.

Sistem satu atap terealisasi dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang kekuasaan kehakiman yang dikenal dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dalam pasal 13 (1) undang-undang tersebut dinyatakan bahwa organisasi administrasi dan financial

(7)

7

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Selanjutnya pada pasal 13 (3) disebutkan bahwa masing-masing lingkungan peradilan di atur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 4 Tahun 2004, badan peradilan agama sebagai salah satu badan dalam lingkup kekuasaan kehakiman memasuki babak baru, selanjutnya untuk melaksanakan pengalihan peradilan ke Mahkamah Agung sesuai dengan Undang-Undang tersebut Keppres Nomor 21 Tahun 2004 menentukan bahwa pada tangggal 30 Juni 2004 adalah waktu penyerahan Pengadilan Agama termasuk Pengadllan Agama Martapura dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Sistem peradilan satu atap (one roof system) mulai dilaksanakan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer sepenuhnya di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Mahkamah Agung. Dan untuk memantapkan kedudukan dan memperluas kewenangan Peradilan Agama agar setara dengan lembaga peradilan lainnya, maka Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama mengalami revisi menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Dengan berlakunya sistem peradilan satu atap tersebut kini Pengadilan Agama Martapura yang sebelumnya dianggap sebagai pengadilan kelas dua sudah sejajar dengan lembaga peradilan lainnya baik secara konstitusional maupun kelembagaan baik secara individual maupun secara organisatoris. Ia bukan lagi berfungsi sebagai quasi pengadilan dan anak bawang tetapi peradilan agama berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan lembaga peradilan lainnya yang ada dalam lingkup Mahkamah Agung. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hakim dari Pengadilan Agama martapura pun sudah bisa menjadi Ketua Mahkamah Agung.

Tak kalah ketinggalan dalam bidang fisik sekarang Pengadilan Agama Martapura sedang giat-giatnya mengadakan pembangunan gedung kantor. Ketua Pengadilan Agama Martapura menyadari bahwa Kantor Pengadilan Agama Martapura merupakan wadah aktivitas penyelenggaraan pelayanan masyarakat. Seiring dengan laju pertumbuhan perekonomian dan pembangunan yang semakin pesat dan jumlah perkara yang terus meningkat maka meningkat pula tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang profesional efisien, efektif dan transparan. Dengan adanya tuntutan pelayanan yang prima dari masyarakat maka dibutuhkan kantor

(8)

8

Pengadilan Agama Martapura yang berkonsep one stop service untuk memudahkan serta mampu memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

Dengan predikat bahwa Pengadilan Agama Martapura sejajar dengan Pengadilan lain di Indonesia serta finasial pegawai Pengadilan Agama Martapura yang sudah diperhatikan oleh pemerintah tidak lantas menjadikan pegawai Pengadilan Agama Martapura terlena dan sombong tapi mereka harus bekerja ekstra keras untuk melayani masyarakat. Pegawai Pengadilan Agama Martapura harus menyadari akan tingginya tuntutan kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat. Pengadilan Agama Martapura harus mampu menerapkan prinsip-prinsip pelayanan umum yang menjamin kemudahan, kelancaran, transparansi. tepat waktu, biaya murah dan menjamin adanya kepastian hukum.

Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat menjadi agenda pertama Pengadilan Agama Martapura dalam meningkatkan kualitas pelayanan dengan merubah kecenderungan orientasi pelayanan aparatur selama ini yang lebih suka dilayani menuju pada lebih suka melayani. Sekarang orientasi Pengadilan Agama Martapura adalah menempatkan masyarakat sebagai raja sedangkan karyawan dan pemimpin birokrasi pada posisi paling bawah. Ini berarti bahwa segala proses manajemen pelayanan yang dilakukan oleh pegawai Pengadilan Agama Martapura mempunyai sasaran untuk memuaskan masyarakat yang dilayani. Setiap pegawai Pengadilan Agama martapura harus berupaya secara sistematis untuk menciptakan kepuasan masyarakat yang dilayaninya.

Untuk menempuh hal-hal tersebut diatas Pengadilan Agama Martapura menetapkan langkah-langkah yang ditempuh dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai berikut :

1. Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur pelayanan diselenggarakan secara mudah dipahami lancar tidak berbelit-belit dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: a. Prosedur berperkara,

b. Persyaratan, berperkara, c. Biaya berperkara,

(9)

9

3. Kepastian, dalam arti bahwa proses dan hasil pelayanan dapat memberikan kepastian hukum.

4. Keterbukaan, dalam arti persyaratan prosedur dan waktu penyelesaian serta rincian biaya diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat.

5. Cepat, dalam arti bahwa penyelesaian berperkara di Pengadilan Agama Martapura tidak berbelit belit.

6. Biaya ringan artinya bahwa biaya perkara ditetapkan di Pengadilan Agama Martapura dilakukan secara wajar, bagi pihak/masyarakat yang tidak mampu Pengadilan Agama Martapura melayani mereka dengan cuma-cuma/gratis.

7. Untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang jauh dari pusat kota Pengadilan Agama Martapura juga mengadakan sidang keliling di mana Majelis Hakim Pengadilan Agama Martapura mengadakan sidang di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota Martapura.

Inilah cita-cita Pengadilan Agama Martapura ke depan dimana Pengadilan Agama Martapura tidak akan melupakan sejarah berdirinya Pengadilan Agama Martapura yang lahir dan berkembang karena dukungan masyarakat sehingga segala kemampuan yang ada di Pengadilan Agama Martapura adalah untuk kepentingan masyarakat.

(*) Penulis adalah Panitera/Sekretaris Pengadilan Agama Martapura

Referensi

Dokumen terkait

〔商法二〇二〕約束手形の支払期日の変造と手形法二〇条一項但書 の適用東京地裁昭和五〇年六月二五日判決 米津, 昭子Yonetsu, Teruko

Hasil dari peningkatan aktivitas integrasi pasokan logistik PT Astra Otoparts Divisi Adiwira Plastik (AWP) tidak hanya mempengaruhi kinerja kompetitif perusahaan

Peningkatan persentase bahan kering tanpa lemak susu pada kambing percobaan diduga berkaitan dengan adanya perlakuan suplementasi kolin klorida yang mampu

Bila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijazah yang

perbedaan tingkat kerentanan sapi dan kerbau terhadap Fasciola gigantica di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar dengan total prevalensi pada kerbau jantan; kerbau betina;

Sujud syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, ridho-Nya dan hidayahnya-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

Proses pembelajaran yang baik haruslah dilaksanakan secara menyenangkan sebagaimana disampaikan dalam Peraturan Pemerintah No 32 (2013) bahwa proses pembelajaran pada