• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Peraturan Paten di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Reformasi Peraturan Paten di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Reformasi Peraturan Paten di Indonesia

Rindia Fanny K.*

Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Perlindungan paten khususnya di Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah karena paten itu sendiri terkait dengan bidang teknologi yang secara cepat terus mengalami perubahan dan terus berkembang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang selalu berubah dan kondisi masyarakat yang senantiasa ikut berubah karena perkembangan teknologi tersebut. Ini membawa konsekuensi dengan adanya perkembangan teknologi, masyarakat dituntut untuk lebih berpikir kreatif atau mempunyai ide kreatif inovasi untuk bisa menciptakan suatu teknologi tepat guna yang tentunya bisa bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan bisa bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya.

Kata kunci: Paten, Reformasi Peraturan, Hukum, Indonesia

Pendahuluan

Pemahaman negara hukum di Indonesia dapat dipahami dari semangat perjuangan sebagai substansi hukum yang tidak tertulis dan hukum formilnya yang bersifat tertulis. Semangat perjuangan menimbulkan rasa persatuan dan kesatuan yang tercermin dalam kesepakatan untuk mendirikan negara Indonesia yang satu. Artinya negara hukum Indonesia bertolak dari pluralisme pandangan hidup yang menjelma menjadi kesatuan pandangan hidup. Kesatuan pandangan hidup menciptakan proses dialogis nilai-nilai kebangsaan yang terjelma dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Oleh karena itu identitas negara hukum Indonesia berisi kristalisasi nilai-nilai pluralisme dari berbagai golongan yang dijadikan sebagai suatu kesepakatan politik.

Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan segenap bangsa dalam melawan penindasan penjajah. Perjuangan inilah

(2)

yang pada akhirnya menimbulkan negara hukum Pancasila yang demokratis. Selanjutnya, pembentukan negara hukum Pancasila yang demokratis tidak hanya bertolak dari perlawanan terhadap penjajah yang absolute saja, akan tetapi juga untuk melawan penguasa yang absolut.

Fenomena negara hukum Pancasila yang demokratis memperlihatkan bahwa adanya karakteristik jiwa dan nilai bangsa tersendiri yang memunculkan karakteristik negara hukum Pancasila yang demokratis. Dalam konteks ini, negara hukum Pancasila yang demokratis tidak bisa disamakan begitu saja dengan konsep negara hukum lainnya.1

Kekayaan Intelektual (KI) adalah sebuah kekuatan untuk pembangunan ekonomi dan penciptaan kekayaan kreasi yang pada saat ini belum digunakan untuk memberikan hasil yang optimal di semua Negara, terutama di dunia yang sedang berkembang.2 Perkembangan

teknologi yang sangat pesat pada saat ini mempengaruhi berbagai bidang baik bidang ekonomi, bidang sosial budaya dan juga bidang hukum.

WIPO mempercayai bahwa KI berasal dari semua orang dan relevan dalam semua waktu dan budaya, dan bahwa secara historis KI telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan masyarakat. KI adalah sebuah kekuatan yang dapat digunakan untuk memperkaya kehidupan seseorang dan masa depan suatu bangsa secara material, budaya dan sosial.3

Hal ini yang mendasari KI sebagai sesuatu kekayaan ekonomis bagi para pencipta ataupun penemu invensi dikarenakan hasil ciptaan atau invensinya merupakan sesuatu ide yang muncul dari karya-karya intelektualitas manusia yang diwujudkan dalam bentuk fisik yang nyata sehingga dapat mempunyai nilai kemanfaatan bagi semua orang. Dalam menciptakan sebuah karya atau menemukan sebuah teknologi membutuhkan proses yang sangat lama dan tentunya membutuhkan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Hal ini perlu diapresiasi sebagai bentuk perlindungan bagi karya-karya intelektual dengan adanya suatu aturan yang jelas,tegas dan tentunya memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pencipta dan inventor terhadap hasil karya dan penemuannya.

Bidang KI begitu luas, dimana dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Hak Cipta dan Hak Milik Industri yang terbagi menjadi berbagai bidang

1 H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si., 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum Dan Konstitusi, cetakan pertama, Yogyakarta : Liberty, hlm. 24

2 Kamil Idris, 2000, Kekayaan Intelektual Sebuah Kekuatan Untuk Pertumbuhan Ekonomi, Jakarta:Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,Departemen

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, hlm. 1

(3)

yaitu merek, paten, desain industri, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Bidang KI yang berkorelasi langsung dengan teknologi baru yaitu bidang paten.

Paten melindungi ide-ide yang baru dan berguna, memberikan perlindungan sementara bagi penemu dari kekuatan-kekuatan kompetisi pasar. Perlindungan ini dibatasi untuk syarat-syarat yang jelas sebagaimana dinyatakan dalam klaim paten, tetapi perlindungan ini juga sangat kuat dan berlangsung selama bertahun-tahun.4

Dasar pemikiran tentang sistem paten adalah bahwa perlindungan dan keuntungan kompetitif yang dihasilkan mendorong munculnya invensi karena para inventor mengetahui bahwa mereka dapat memperoleh keuntungan secara keuangan dari keahlian mereka. Hal ini menjadi suatu dasar banyak para penemu atau inventor ingin mendaftarkan invensinya karena di Indonesia sendiri sistem pendaftaran paten menggunakan sistem konstitutif, jadi siapa yang mendaftarkan untuk pertama kali hasil invensinya dialah yang berhak atas hak paten tersebut atau dengan kata lain sebagai pemegang hak eksklusif paten. Sistem ini dirasa masih mempunyai kelemahan karena para inventor yang berhasil menemukan invensinya seringkali tidak segera mendaftarkan ke Dirjen KI karena menurut inventor yang utama adalah hasil penemuannya diketahui terlebih dahulu oleh masyarakat luas, dan setelah masyarakat mengetahui teknologi yang ditemukan memberikan manfaat bagi masyarakat barulah inventor mempunyai kemauan untuk memperbanyak hasil invensinya dan mendaftarkan hasil invensinya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Justru kondisi yang seperti inilah menjadi celah bagi pihak-pihak yang mempunyai itikad tidak baik untuk mendaftarkan terlebih dahulu terhadap invensi milik orang lain dengan tujuan mencari keuntungan secara instan.

Perlindungan paten khususnya di Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah karena paten itu sendiri terkait dengan bidang teknologi yang secara cepat terus mengalami perubahan dan terus berkembang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang selalu berubah dan kondisi masyarakat yang senantiasa ikut berubah karena perkembangan teknologi tersebut. Ini membawa konsekuensi dengan adanya perkembangan teknologi, masyarakat dituntut untuk lebih berpikir kreatif atau mempunyai ide kreatif inovasi untuk bisa menciptakan suatu teknologi tepat guna yang tentunya bisa bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan bisa bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya. Sehingga kita mampu membantu mewujudkan pembangunan ekonomi Negara Indonesia sekaligus mensejahterakan rakyat Indonesia melalui penemuan-penemuan invensi baru anak bangsa.

(4)

Paten dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dalam 4 cara utama yaitu:5

1. Informasi paten memudahkan alih teknologi dan investasi 2. Paten mendorong penelitian dan pengembangan pada

universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian

3. Paten sebagai katalisator untuk teknologi baru dan bisnis 4. Bisnis menghimpun dan menggunakan paten dalam pemberian

lisensi, usaha bersama dan transaksi-transaksi lain yang menghasilkan keuntungan

Hal penting yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi khususnya negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia dalam percepatan alih teknologi dalam bidang paten yaitu dibutuhkan peran dari Perguruan Tinggi dalam melakukan penelitian-penelitian berbasis penemuan teknologi. Sebuah Universitas, yang menjadi kaya dengan pendapatan dari pemberian lisensi pada gilirannya dapat mendanai kegiatan penelitian dan pengembangan lebih lanjut, dan juga memperkuat misi pendidikan yang utama.6

Pusat penelitian/universitas menjadi pusat sebuah lingkaran bagi kegiatan inovatif yang bersifat dinamis, lingkungan ini memiliki dampak ekonomi makro yang bermanfaat termasuk mengurangi hijarahnya para sarjana ke luar negeri, menghasilkan dukungan keuangan bagi pendidikan dan mempromosikan penelitian yang bersifat baru. Oleh karena itu pendanaan penelitian yang sebagian besar didanai oleh universitas sering kali tidak mencukupi, sehingga untuk meningkatkan jumlah investasi/pendanaan penelitian adalah melalui investasi langsung pihak asing dan pengkongsian antara pusat-pusat penelitian lokal/universitas-universitas dan sektor swasta. Hal ini juga perlu didukung suatu perangkat hukum di bidang KI dan juga mengubah undang-undang serta kebijakan-kebijakan untuk memfasilitasi pemberian lisensi teknologi dari universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian kepada sektor swasta.7

Peraturan perundang-undangan dan kebijakan tersebut akan memungkinkan universitas-universitas dan institusi umum untuk mendapatkan paten, memberi ijin lisensi eksklusif atau non eksklusif kepada perusahaan-perusahaan swasta dan memperoleh pendapatan royalty dari invensinya.Sebagai contoh di Amerika Serikat (UU Bayh-Dole tahun 1980) mengijinkan universitas-universitas dan industri kecil untuk menetukan sendiri kepemilikan dari sebuah invensi yang dibuat dengan dana federal dan untuk terlibat secara langsung dalam proses komersialisasi. Kebijakan baru ini juga mengijinkan pemberian lisensi atas invensi-invensi baru dari universitas-universitas kepada perusahaan

5 Ibid, hlm.10 6 Ibid, hlm.11 7 Ibid, hlm.12

(5)

swasta yang kemudian akan memproduksinya, UU ini telah menyebabkan peningkatan yang substansial dalam alih teknologi antara universitas dengan lembaga industri.8

Indonesia sebagai Negara berkembang dibutuhkan suatu kebijakan paten yang pro aktif artinya dirancang suatu kebijakan untuk memajukan pelisensian paten, usaha-usaha bersama dan kemitraan usaha yang strategis karena hal tersebut dapat mendorong penemuan di tingkat nasional dan juga investasi langsung asing, Bersamaan dengan investasi langsung asing melalui kebijakan paten yang pro aktif merangsang penelitian dan pengembangan di universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian merupakan cara lain untuk meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan di dalam negeri untuk menjaga agar lingkaran inovasi nasional tetap berjalan. Bila ditangani dengan baik, paten akan menjadi penggerak yang efisien bagi inovasi nasional, penelitian dan pengembangan, penciptaan produk dan transaksi bisnis yang memiliki manfaat ekonomi makro dan mikro.9

Sehingga peran Pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan dalam membuat suatu kebijakan di bidang paten khususnya bagi Negara Indonesia sebagai Negara berkembang dalam menggunakan kekuatan sistem paten yang sudah ada yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten apakah sudah cukup efektif atau mengganti UU Paten Tahun 2001 dengan UU yang baru yang tentunya disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya karena pengaruh dari perkembangan teknologi yang sangat cepat.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: Apakah aturan terkait paten yang diatur dalam UU No.14 Tahun 2001 sudah tidak relevan dalam memberikan perlindungan hukum paten di Indonesia sehingga dibentuk Rancangan Undang-Undang Paten yang baru? Dan apa saja yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis di dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Paten? Sehingga tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui relevansi dari UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dalam memberikan perlindungan hukum bagi para inventor terhadap invensinya dan mengetahui landasan filosofis (keadilan), sosiologis (kemanfaatan), dan yuridis (kepastian hukum) dibentuknya RUU tentang paten yang baru.

Relevansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Paten di Indonesia

Kemajuan teknologi merupakan salah satu faktor utama yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Teknologi erat

8 Ibid. 9 Ibid, hlm.17

(6)

kaitannya dengan paten, menurut Goans dalam buku Endang Purwaningsih menyatakan bahwa sistem paten yang kuat dapat menciptakan iklim yang mendorong industri untuk menginvestasi dan mengalihkan teknologi baru di Negara berkembang,10 seperti halnya

Negara Indonesia. Indonesia sampai saat ini masih membenahi peraturan perundang-undangan paten untuk menggantikan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dengan adanya Rancangan Undang-Undang Paten yang baru.

Paten berasal dari bahasa latin yang berupa auctoryang berarti dibuka, merupakan suatu penemuan yang mendapatkan paten menjadi terbuka untuk diketahui oleh umum. Paten yang memiliki sifat terbuka,bukan berarti setiap orang bisa mempraktikkan penemuan tersebut.Penemuan bisa didayagunakan oleh orang lain setelah habis masa perlindungan patennya dan menjadi milik umum (publik domain).11

Patenmerupakan hak istimewa (eksklusif) yang diberikan kepada seorang penemu (inventor) atas hasil temuannya (invention)yang dilakukan di bidang teknologi, baik berbentuk produk ataupun hanya proses. Hak istimewa yang merupakan hak inventor untuk melakukan sendiri penemuannya untuk mendapatkan manfaat ekonomis bagi inventor itu sendiri. Hak paten diberikan jangka waktu tertentu dan setelah habis masa waktu perlindungannya penemuannya itu menjadi milik umum.Penemuan yang telah didaftarkan paten oleh inventor akan mendapatkan hak monopoliuntuk melaksanakan hasil temuannya.

Pengertian paten dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten,yang berbunyi:

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya;

Perlindungan hukum paten untuk invensi yang sudah didaftarkan diberi jangka waktu selama 20tahun untuk paten biasa dan 10 tahun untuk paten sederhana. Selama jangka waktu tersebut penemu dapat melaksanakan sendiri invensinya ataupun menyerahkan kepada orang lain untuk melaksanakannya.Patenmerupakan hak kebendaan yang dapat beralih ataupun dialihkan baik seluruh maupun sebagian.Mekanisme yang dapat ditempuh dalam kerangka pengalihan

10 Endang Purwaningsih, 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property

Right:Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Bogor:Ghalia Indonesia, hlm. 157

11 Usman, Rachmadi. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: P.T. ALUMNI, hlm. 205

(7)

ini antara lain; pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis ataupun sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Perlindungan patendi negara pada umumnya mensyaratkan bahwa perlindungan paten, hanya diberikan kepada:12

1. Invensi yang baru (novelty) maksudnya invensi yang akandidaftarkan tidak ada sebelumnya pada saat permohonan pendaftaran paten. Penemuan dimintakan paten tidak boleh lebih dahulu diungkapkan dimanapun dan dengan cara apa pun;

2. Mengandung langkah inventif (inventive step) maksudnya invensi tersebut merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya bagi seseorang yang memiliki keahlian tertentu di bidang teknologi; 3. Dapat diterapkan dalam industri (industrial applicability) maksudnya

suatu invensi dapat diberi paten jika invensi tersebut didayagunakan 4. secara berulang-ulang dan praktis dalam skala ekonomis bagi dunia

industri.

Kemajuan teknologi sekarang ini membuat perkembangan bisnis yang sangat cepat dialami oleh sebuah negara. Peranan undang-undang dalam hal melindungi kepentingan masyarakat sangat penting di era teknologi sekarang ini. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat di Indonesia untuk mendaftarkan invensinya dikarenakan kurangnya informasi tentang perlindungan paten serta masih adanya beberapa kekurangan dalam UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten. Sehingga dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten belum bisa secara penuh melindungi penemuan terkait teknologi yang menjadi faktor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, kurangnya manfaat UU Paten disebabkan masih adanya beberapa peraturan pelaksananya yang belum diatur, padahal peraturan itu sangat diperlukan, misalnya: Peraturan Pemerintah tentang Lisensi, Peraturan Pemerintah tentang Lisensi Wajib, Peraturan Pemerintah tentang impor produk farmasi (pararel) dan memproduksi produk farmasi sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan paten, dan sebagainya. Peraturan pelaksana ini menjadi terkendala akibat dinamika kebutuhan yang berkembang yang belum tertampung dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Belum optimalnya pemanfaatan Undang-Undang Paten juga bisa dilihat dari masih rendahnya jumlah permohonan paten dalam negeri, sebagaimana dapat dilihat dari tabel permohonan paten berikut ini:

(8)

Dari data di atas menunjukkan bahwa jumlah permohonan paten di Indonesia masih sangat sedikit jumlah permohonan paten dalam negeri yang diajukan. Kondisi tersebut kurang menguntungkan apabila dibandingkan dengan jumlah pemohonpaten dalam negeri di negara lain, misalnya: Cina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Padahal Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak awal organisasi itu berdiri dan telah berusaha mengharmonisasikan sistem kekayaan intelektualnya dengan ketentuan paten internasional sejak akhir tahun 1999.

Berdasarkan TRIP’s Agreement, ketentuan-ketentuan paten diatur pada Section 5, dari Article 27 sampai dengan Article 34. Dan seluruh ketentuan itu telah diharmonisasikan atau dicakup kedalam Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001.WTO telah mempercepat era globalisasi yang membuka sekat kendala perdagangan antar negara menjadi era perdagangan bebas. Dan era ini akan memberi manfaat bagi Indonesia apabila kita mampu menghasilkan inovasi dan invensi yang dipatenkan, memiliki kemampuan penerapan teknologi yang efektif dan kemampuan berbisnis yang efisien sehingga produk- produk barang, dan atau jasa Indonesia yang berbasis paten memiliki daya saing yang kuat di pasar manca negara. Dan tentunya diharapkan ekspor produk Indonesia tidak sekedar mengandalkan sumber daya alam yang tidak tergantikan.

Dengan disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diantaranya memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap transaksi yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Perkembangan hukum baru itu selayaknya mampu meningkatkan pelayanan Pemerintah di bidang paten dengan menggunakan transaksi elektronik atau e-filling sebagaimana yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen AHU) dalam memberikan pelayanan dibidang pendirian badan hukum, dan aktifitasnya. Disisi lain permohonan paten melalui e-filling merupakan hal yang lazim diterapkan oleh negara-negara lain, misal: Jepang, Uni Eropa, dan sebagainya. Di Indonesia penggunaan e-filling

(9)

baru diterapkan pada tahun 2014 sampai saat ini. Pendaftaran paten menggunakan e-filling diharapkan dapat mampu memudahkan inventor dalam hal mendaftarkan paten. Sehingga diharapkan dengan adanya sistem pendaftaran menggunakan e-filling dapat meningkatkan invensi penemu dalam hal pendaftaran paten di Indonesia.

Penerapan e-filling dalam permohonan paten sangat sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan kondisi geografis yang luas dan terpencar. Pelayanan secara e-filling akan sangat efektif dan efisien untuk meningkatkan jumlah permohonan dalam negeri dan meningkatkan perlindungan paten di tanah air. Permohonan paten secara e-filling merupakan suatu kebutuhan yang belum diatur secara tegas dalam Undang- Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001.

Selain hal di atas, beberapa masalah yang berkembang saat ini di masyarakat yang tidak memadai lagi pengaturannya dalam Undang-Undang Paten yang berlaku saat ini, yaitu:13

1. Adanya kondisi yang menyebabkan pemerintah tidak mampu menyediakan berbagai kemudahan kepada inventor dalam negeri, UKM, peneliti dalam pengurusan Paten sehingga berdampak pada peningkatan permohonan Paten dalam negeri.

2. Permohonan paten dari dalam negeri yang berasal dari lembaga penelitian nirlaba, inventor individu cukup banyak sehingga perlu dipertimbangkan agar biaya pemeliharaan paten untuk paten sederhana dilakukan perubahan termasuk pemberlakuan sistem grace

period selama 6 (enam) bulan terkait pembayaran biaya tahunan serta tunggakan biaya pemeliharaan yang diperlakukan seperti piutang negara yang wajib ditagih;

3. Pengungkapan permohonan tentang sumber teknologi apabila teknologi tersebut berasal dari Sumber Daya Genetik (Genetic Recouses) masih belum memiliki kejelasan dalam pelaksanaannnya. 4. Sikap cepat dan tanggap Pemerintah diperlukan dalam hal

pelaksanaan Paten oleh Pemerintah yang sangat diperlukan oleh masyarakat, bangsa atau negara pada saat itu. Oleh karena itu keputusan melaksanakan sendiri Paten tertentu untuk diperbaiki pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dikaitkan dengan pertahanan dan keamanan negara selain hal-hal yang sifatnya mendesak;

Sebagai negara kepulauan dan agar memberi kesempatan kepada seluruh inventor dari seluruh nusantara dengan biaya yang terjangkau maka Pemerintah harus segera menerapkan pendaftaran paten secara electronic filling (e- filling) yang sesuai juga dengan perkembangan teknologi informasi pada saat ini dan telah banyak juga dilakukan oleh negara-negara lain.

13 Tim Naskah Akademik RUU Paten, Laporan Akhir Naskah Akademik RUU

Paten Tahun 2008, BPHN-Kemenkumham, hlm.3, yang telah dilakukan perbaikan/penyempurnaan terakhir bulan Maret 2015.

(10)

Sejak Indonesia meratifikasi Nagoya Protokol menjadi kewajiban kita untuk mengimplementasikan treaty tersebut dalam sistem perundangan nasional termasuk dalam sistem hukum Paten. Kewajiban tersebut di antaranya adalah untuk mencantumkan asal sumber daya genetik serta skema profit sharing apabila terbukti menggunakan sumber daya genetik dari negara lain.

Penggunaan tenaga-tenaga pemeriksa atau sistem lain sehingga pendaftaran Paten dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Penerapan skema pembagian royalti kepada para peneliti di instansi Pemerintah apabila invensinya berhasil dilakukan komersialisasi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas peneliti lokal untuk menghasilkan paten serta memperoleh imbalan yang layak atas invensi yang telah dilakukan.

Pengaturan biaya tahunan yang ada telah membawa kesulitan tersendiri pada pemerintah, dikarenakan konsep biaya tahunan yang apabila 3 tahun berturut- turut tidak dibayar maka akan batal demi hukum dan biaya tersebut menjadi piutang negara. Piutang negara ini menjadi beban tersendiri bagi Ditjen KI selama ini.

Dilakukan pelarangan bagi Paten-Paten farmasi yang telah lewat jangka waktu perlindungan, komposisinya sama tetapi tetap memperoleh perlindungan hukum karena memiliki fungsi/khasiat yang baru. Hal ini dikenal sebagai “second medical use” yang berdampak pada makin panjangnya perlindungan Paten yang dimonopoli penemunya. Padahal apabila invensi tersebut telah publik domein maka komposisinya dapat dipergunakan pihak lain sehingga kesehatan masyarakat lebih terpenuhi dengan tersedianya obat yang mahal.

Diperkenalkannya Konsep “bolar provision” dimana bukan merupakan tindak pidana apabila produksi produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia, jika dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum berakhirnya perlindungan Paten dengan tujuan dipergunakan untuk proses perizinan, kemudian dilakukan pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir.

Konsep Pararel Import tetap hanya untuk bidang “farmasi” dan tidak diperlebar pada bidang Paten yang lain dan tindakan tersebut tidak lagi hanya dikecualikan di bidang pidana namun juga dikecualikan dari bidang Perdata. Sehingga bukan tindak pidana atau pelanggaran perdata bagi tindakan impor suatu produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dan produk tersebut telah dipasarkan di suatu negara secara sah, dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perubahan nomenklatur kata Hak Kekayaan Intelektual pada nama instansi menjadi Kekayaan Intelektual yang sudah digunakan sampai saat ini tidak tepat, karena yang lazim digunakan di seluruh dunia terkait nama instansi yang seharusnya adalah Kantor Kekayaan

(11)

Intelektual, hal tersebut sejalan dengan pengertian dari Intellectual Property Office.

Dengan adanya UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pemengang paten. Dalam perkembangannya ditemukan beberapa permasalahan yaitu:

1. Permohonan Paten dalam Negeri

Implementasi pemanfaatan perlindungan paten di Indonesia belum maksimal dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari data yang disajikan pada tabel jumlah pemohon paten di Indonesia yang dibuat oleh Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.Keadaan tersebut disebabkan karena masyarakat belum memahami pentingnya suatu perlindungan paten terhadap hasil invensi. Disamping itu pemberdayaan paten yang kurang maksimal, untuk pendaftaran paten masih mewajibkan inventor datang langsung ke Ditjen Kekayaan Intelektual untuk mendaftarkan invensinya, adanya kekhawatiran para investor dalam menggunakan teknologi dalam negeri yang dipatenkan dan juga cara pandang masyarakat Indonesia.

2. Paten Sederhana

Permohonan paten sederhana di Indonesia masih minoritas dibandingkan negara-negara lain Hal itu disebabkan untuk mengajukan permohonan paten relatif lama dan biaya permohonan paten serta biaya pemeliharaan paten relatif masih dianggap mahal bagi para inventor nasional yang pada umumnya bukan para pengusaha besar. Oleh karena itu untuk meningkatkan permohonan paten sederhana diperlukan perubahan makna kepentingan nasional sebagaimana dilakukan oleh administrator paten di negara-negara lain. Upaya untuk mendorong peningkatan permohonan paten sederhana harus dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak kasat mata dengan mengubah perilaku administrator paten dalam memproses permohonan paten dari dalam negeri dengan mengutamakan efisiensi dan efektif dalam penerapan undang-undang paten.

Dalam perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 perlu dipertimbangkan biaya pemeliharaan paten sederhana agar dihapus, sehingga mendorong inventor nasional untuk mengajukan paten-paten sederhana. Dengan demikian jumlah permohonan paten dari dalam negeri terutama yang diajukan para inventor nasional semakin berkembang. Kondisi tersebut akan meningkatkan nilai kompetitif Negara Indonesia dan memperoleh penghargaan dari negara-negara lain.

(12)

3. Pendaftaran

Permasalahan pemohonan paten yang relatif lama dan mewajibkan inventor untuk datang langsung ke Ditjen KIbila ingin mendaftarkan invensinya, menjadi salah satu hambatan dalam meningkatkan jumlah pemohon paten dalam negeri. Seperti diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan. Jarak antara satu pulau dengan pulau lainnya cukup memakan waktu dan biaya.Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan tentu lebih banyak penelitian-penelitian yang telah dilakukan dan menghasilkan suatu invensi baik di universitas yang ada di berbagai provinsi maupun invensi yang dihasilkan oleh individu yang ada di pulau-pulau terpencil sekalipun. Pendaftaran yang relatif lama dan mewajibkan inventor untuk datang langsung ke Ditjen KI bila ingin mendaftarkan invensinya menjadi hambatan bagi inventor yang berada di pulau-pulau lain. Upaya peningkatan pelayanan pendaftaran paten dan peningkatan jumlah pemohon paten lokal maka diperlukan suatu pengaturan administrasi dengan menggunakan e-filling.Pengaturan e-filling merupakan bentuk penyesuaian dengan sistem Industrial Property Automation System (IPAS). IPAS merupakan bantuan WIPO (World Intellectual Property Organization) kepada Indonesia untuk sistem automasi dalam pendaftaran, proses permohonan pendaftaran kekayaan intelektual termasuk Paten, sertifikat dan pembayaran biaya tahunan. Dengan adanya sistem automasi tersebut diharapkan memudahkan bagi Pemohon dalam mengajukan Permohonan dan mendapatkan informasi mengenai proses permohonan sampai status permohonantersebut diberi atau ditolak. Demikian juga memudahkan bagi masyarakat mengakses informasi mengenai kekayaan intelektual. Selama ini dengan sistem manual dalam pendaftaran permohonan menjadi lebih lambat dan biaya yang cukup besar.

Dengan pesatnya kemajuan teknologi, pendaftaran melalui e-filling menjadi kebutuhan untuk memudahkan Pemohon yang ingin mendaftarkan Invensinya untuk dapat dilindungi Paten. Dengan sistem e-filling pengajuan Permohonan menjadi lebih sederhana, cepat dan biaya yang dikeluarkan Pemohon (selain biaya pendaftaran Paten) menjadi lebih murah.

Secara umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten antara lain mengatur tentang hak (Paten), cara memperoleh dan mempertahankan hak, dan pembatasan-pembatasan untuk mewujudkan keseimbangan antara hak dan kewajiban pemilik atau pemegang paten. Walaupun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2001, namun dalam waktu 15

(13)

(lima belas) tahun ini, keberadaan Undang-Undang Paten tersebut dirasakan sudah tidak mampu lagi mengatasi berbagai permasalahan tentang perlindungan atas invensi yang timbul dan berkembang di masyarakat, serta mengayomi berbagai kepentingan dari para pemangku kepentingan terkait dengan kebutuhan akan perlindungan atas Paten dan kebebasan menggunakan teknologi yang seharusnya menjadi milik umum.

Hal ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan pengaruh perkembangan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat. Perkembangan itu tidak hanya di bidang teknologi tinggi seperti informasi, telekomunikasi, serta bioteknologi, tetapi juga di bidang mekanik, kimia atau lainnya. Di samping itu kesadaran masyarakat juga semakin tinggi untuk meningkatkan pendayagunaan teknologi yang sederhana. Sesuai dengan tujuan pemberian Paten yaitu untuk memberikanpenghargaan atas suatu hasil karya berupa invensi baru yang dengan adanya penghargaan dimaksud akan mendorong invensi teknologi baru, maka sudah sepatutnya undang-undang memberikan perlindungan atas Invensi dimaksud bagi para Inventornya.

Kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

1. Ditinjau dari Aspek Substansi Undang-Undang Nomor 14 Tahun2001 tentang Paten

Proses pelaksanaan Persetujuan TRIP’s di Indonesia masih terhambat beberapa kendala yang merupakan kelemahan, antara lain yaitu:

Ketentuan mengenai lingkup perlindungan Paten sehubungan dengan penggunaan baru dari Paten yang sudah ada, baik mencakup proses maupun produk, khususnya Paten di bidang farmasi. Diharapkan dapat diakomodir ketentuan tentang “second medical use” yang akan membatasi semakin lamanya waktu monopoli terhadap suatu komposisi obat, padahal Paten tersebut sudah merupakan public domain.

Dalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten kesempatan masyarakat menggunakan suatu Invensi tanpa membayar royalti dan lepas dari tuntutan hukum apabila Paten yang melindungi Invensi tersebut telah batal. Harus dipertimbangkan adanya kesempatan masyarakat menggunakan suatu Invensi tanpa membayar royalti dan lepas dari tuntutan hukum diperluas dari yang diaturdalam UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Aturan ini dapat berupa aturan tidak memberikan Paten atas permohonan yang mengandung second use atau second medical use. Kemudian paten yang sudah public domain karena habis masa berlaku (20 tahun untuk Paten dan 10 tahun untuk Paten sederhana), atau Paten batal atas permohonan Pemegang Paten, atau Paten dibatalkan oleh putusan Pengadilan atau Paten batal

(14)

karena tidak membayar biaya tahunan maka Invensi tersebut dapat dimanfaatkan oleh mayarakat tanpa membayar royalti.

UU No. 14 Tahun 2001 belum mengatur secara jelas pemberian lisensiwajib atas permintaan negara berkembang (developing country) atau negara belum berkembang (least developed country) yang membutuhkan produk farmasi yang diberi Paten di Indonesia untuk keperluan pengobatan penyakit yang sifatnya endemi, dan produk farmasi tersebut dimungkinkan diproduksi di Indonesia, untuk diekspor ke negara tersebut. Sebaliknya diperlukan pemberian lisensiwajib untuk mengimpor pengadaan produk farmasi yang diberi Paten di Indonesia namun belum mungkin diproduksi di Indonesia untuk keperluan pengobatan penyakit yang sifatnya endemi.

2. Perlu ada kejelasan pengaturan mengenai hak atas Paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.

Adanya kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Patenakibat kemajuan teknologi sekarang ini harus ditindaklanjuti. Pemerintah telah menyiapkan RUU Paten guna untuk menutupi kekosongan hukum, sehingga selain untuk perlindungan juga untuk meningkatkan pendaftaran paten oleh inventor dalam negeri. Selain itu dalam RUU paten juga mengatur sistem pendaftaran yang menggunakan elektronik serta terdapat pasal dimana paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.

Indonesia dalam memberikan perlindungan paten masih memberikan perlindungan secara luas, dari sudut pandang kepentingan teknologi apabila perlindungan terlalu luas maka tidak akan terjadi pengembangan teknologi karena modifikasi sebesar apapun akan dikualifikasi sebagai pelanggaran. Sebaliknya bila perlindungan diberikan terlalu sempit maka akan merugikan pihak penemu (inventor), yakni akan muncul banyak penemuan dengan teknologi yang mirip-mirip atau pengembangan sedikit saja (tidak substansial) akan dianggap sebagai penemuan baru yang bisa memperoleh paten dengan relatif lebih mudah.14

Dalam pengaturan paten yang baru diharapkan kajian yang lebih mendalam terkait dengan perlindungan paten itu sendiri karena teknologi cakupannya sangat luas dan apabila paten di Indonesia diberikan perlindungan secara luas jangan sampai memberikan pemahaman bahwa teknologi yang sudah ditemukan hanya dapat dimonopoli oleh penemu/inventor, hal ini bisa saja mempengaruhi lambatnya perkembangan teknologi di Negara Indonesia dikarenakan banyak orang yang enggan melakukan penelitian untuk menemukan

(15)

teknologi baru yang bisa dikembangkan dari teknologi yang sudah ada atau sebelumnya.

Pengaturan Paten harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya dan kemajuan teknologi yang sangat cepat. Oleh karena itu adanya RUU Paten yang baru diharapkan dapat memberikan kejelasan aturan paten di Indonesia yang pada hakekatnya dapat memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi semua masyarakat Indonesia dan kelompok penemu yang potensial pada khususnya seperti kelompok perorangan (pribadi) biasanya ahli teknik yang masih bekerja dalam bidangnya, kelompok perusahaan biasanya karyawan sebuah perusahaan yang menemukan sesuatu yang akan bermanfaat bagi perusahaan, kelompok lembaga penelitian teknologi, dan kelompok lembaga pendidikan teknologi.15

Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Dalam Pembentukan Rancangan Undang-Undang Paten

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan nilai-nilai moral atau etika dari bangsa Indonesia. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik, merupakan pandangan dan cita hukum bangsa Indonesia berakar pada Pancasila yang dijunjung tinggi, didalamnya terkandung nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan serta berbagai nilai lainnya yang dianggap baik dalam menata kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Sebagai pengaktualisasian nilai kebenaran, keadilan yang terkandung pada Pancasila tersebut merupakan dasar dalam melakukan pembentukan perubahan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norm) oleh suatu masyarakat menuju cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang hendak diarahkan. Karena itu, undang- undang dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Oleh sebab itu, cita-cita sebagai landasan filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah sejalan dengan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri.16

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas maka landasan filosofis dalam melakukan perubahan terhadap Undang- Undang Nomor 14

15 Amir Pamuntjak,dkk, 1994, Sistem Paten Pedoman Praktik dan Alih Teknologi,

Jakarta:Djambatan, hlm. 42- 44

16 Bagir Manan, 1991, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia, Yogyakarta:

(16)

Tahun 2001 tentang Paten, yang merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor dan/atau pemegang hak, dan merupakan intangibleassets (benda tidak berwujud) yang disamakan dengan barang bergerak yang dapat dialihkan hak kebendaannya, atau dimanfaatkan untuk jangka waktu tertentu oleh pihak lain melalui perjanjian lisensi dan pembayaran royalti. Selain itu karena paten sebagai barang bergerak yang tidak berwujud juga dapat dialihkan dengan cara jual-beli, hibah, pewarisan, putusan pengadilan, atau ketentuan hukum lain yang dibenarkan oleh undang-undang.

Paten diberikan oleh negara terhadap setiap invensi yang memenuhi syarat kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dibidang industri. Persyaratan ini berlaku secara universal meski dengan gaya bahasa masing-masing negara. Dan patenyang merupakan hak eksklusif atau hak monopoli terbatasdiberikan negara sebagai penghargaan atau insentif kepada inventor terhadap invensinya sekaligus perlindungan hukum agar inventor bermotivasi terus-menerus melakukan penelitian, mencari solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat dibidang teknologi, dan memperoleh perlindungan hukum atas invensinya yangtelah melalui proses yang cukup lama serta membutuhkan tenaga dan biaya yang tidak sedikit untuk menghasilkan suatu invensi.

2. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan Negara.17

Dalam rangka menata kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara tidak hanya bermakna filosofis, tetapi juga bermakna sosiologis. Dimana kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian besar masyarakat dipatuhi dan ditaati karena merupakan pegangan baginya. Hubungan antar manusia serta antara manusia dan masyarakat atau kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah yang lama kelamaan melembaga menjadi adat istiadat.Jadi sejak dilahirkan didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia merupakan bagian dari kesatuan manusiayang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain itu, manusia sebetulnya telah mengetahui bahwa kehidupan mereka dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan atau pedoman.

17 D. Djamal, 1984, Pokok-Pokok Bahasan Pancasila, Edisi Kedua Cetakan Pertama,

(17)

Dengan demikian, seorang awam secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang sebenarnya menjadi objek atau ruang lingkup dari kehidupan sehari-harinya, salah satunya adalah kekayaan intelektual yang dimilikinya.

Kekayaan intelektualmilik seseorang diatur oleh undang-undang dan memberi kesempatan baginya untuk menuntut dilaksanakan hak-hak yang dimilikinya dan yakin ada aturan-aturan dan pola-pola yang mengatur interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat berdasakan pada struktur sosial, proses-proses sosial, perubahan sosial dan budaya. Memperhatikan proses-proses peradilan, konsep-konsep keadilan yang berlaku dalam masyarakat sebagai pengendali sosial, dan bahasa yang dipakai dan kerangka pemikiran dalam menafsirkan pasal-pasal dalam undang-undang dalam masyarakat dengan struktur sosial yang berbeda dapat menimbulkan salah persepsi. Hal ini yang menjadi landasan untuk perlu dilakukannya perubahan-perubahan dalam pasal-pasal undang-undang.

Menyadari efek suatu peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah undang-undang tersebut berfungsi atau tidak. Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakanbaik, belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis dan yuridis saja, karena secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukan berarti setiap peraturan perundang- undangan harus segera diganti apabila ada gejala bahwa peraturan tadi tidak hidup. Peraturan perundang-undangan tersebut harus diberi waktu agar meresap dalam diri masyarakat. Apabila sering terjadi pelanggaran-pelanggaran (tertentu) terhadap suatu peraturan perundang-undangan, maka hal itu belum tentu berarti peraturan tersebut secara sosiologis tidak berlaku dalam masyarakat.

Perubahan dan perkembangan perlindungan paten disatu sisi membawa dampak yang sangat baik dalam perkembangan teknologi, sehingga mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek kehidupan baik berupa sarana maupun berupa prasarana. Di sisi lain perlindungan paten juga membawa dampak yang baik bagi inventor sehingga lebih banyak lagi invensi-invensi yang dihasilkan, yang pada gilirannya juga akan menjamin investasi dan penanaman modal, sehingga dengan investasi tersebut teknologi makin berkembang dan hal tersebut akan memacu perkembangan perekonomian yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan umat manusia.

3. Landasan Yuridis

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

(18)

permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam sebuah negara hukum, setiap tindakan pemerintah harus dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Suatu tindakan pemerintahan yang dilakukan tanpa dasar kewenangan akan berakibat batal demi hukum.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten keberadaannya adalah dalam rangka mengakomodasi beberapa ketentuan TRIP’s Agreement yang mana sebelumnya dalam Undang-Undang Paten Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 belum terakomodasi. Ketentuan TRIP’s yang merupakan lampiran dari persetujuan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang dikenal dengan Uruguay Round, yang memuat standar minimum perlindungan kekayaan intelektual termasuk Paten, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Sesuai dengan hasil perkembanganperundingan perdagangan dunia WTO di DOHA pada tahun 2001 dimana negara-negara berkembang dan negara yang tergolong Lease Develop Countries (LDC) berhasil merundingkan pengadaan produk farmasi untuk tujuan kemanusiaan, hasil kesepakatan DOHA tersebut diikuti dengan perubahan pada tahun 2005 dengan mengamandemen hasil persetujuan TRIP’s khususnya Article 31 bis huruf f.

Landasan yuridis dalam perumusan setiap undang- undang haruslah ditempatkan pada bagian Konsideran “Mengingat”. Dalam konsideran mengingat ini disusun secara rinci dan tepat (i) ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan ayat atau bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar 1945 harus ditentukan secara tepat; (ii) Undang-undang lain yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang- undang yang bersangkutan, yang harus jelas disebutkan nomornya, judulnya, dan demikian pula dengan nomor dan tahun Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara.

Simpulan

Kemajuan teknologi sekarang ini membuat perkembangan bisnis yang sangat cepat dialami oleh sebuah negara terutama dalam bidang paten. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten belum bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia untuk mendaftarkan invensinya. Sehingga adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten belum bisa secara penuh sebagai faktor penggerak

(19)

pertumbuhan ekonomi nasional dalam melindungi sebuah invensi yang terkait dengan teknologi, mengingat teknologi sebagai faktor utama dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara.Pengaturan pendaftaran paten secara elektronik (e-filling) belum diatur secara lebih jelas dan harus dicantumkan dalam Undang-Undang Paten yang baru, sehingga penggunaanya jelas dan tidak menimbulkan masalah kedepannya. Dengan berbagai kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten menyebabkan pendaftaran invensi di Indonesia terbilang minoritas dibandingkan dengan negara-negara lain. Perlindungan paten secara luas di Indonesia juga merupakan hal yang perlu dipertimbangkam karena inventor terkesan memonopoli teknologi temuannya, mengingat perkembangan teknologi yang begitu cepat menuntut adanya invensi-invensi baru yang bisa dikembangkan dari invensi yang sudah ada.

Landasan filosofis merupakan nilai-nilai moral atau etika dari bangsa Indonesia. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik, merupakan pandangan dan cita hukum bangsa Indonesia. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norm) oleh suatu masyarakat menuju cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang hendak diarahkan. Pembentukan RUU Paten yang baru secara filosofis didasarkan untuk memberikan rasa keadilan bagi para inventor terhadap invensinya baik dari segi pendaftaran sampai dengan penegakan hukumnya. Karena itu, undang- undang dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat. Secara sosiologis kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian besar masyarakat dipatuhi dan ditaati karena merupakan pegangan baginya, oleh karena itu RUU Paten memberikan nilai kemanfaatan bagi masyarakat luas dan inventor pada khususnya dalam membentuk sistem paten yang mempunyai kekuatan menumbuhkan perekonomian suatu negara. Dan secara yuridis dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten keberadaannya adalah dalam rangka mengakomodasi beberapa ketentuan TRIP’s Agreement yang telah dikonversi menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang paten dan adanya RUU Paten yang baru ada suatu kepastian hukum terkait aturan paten yang belum diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001.

(20)

Daftar Pustaka

Bungin, Burhan, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif:Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada.

Djamal, D., 1984, Pokok-Pokok Bahasan Pancasila, Edisi Kedua Cetakan Pertama, Bandung: CV Remadja Karya.

Idris, Kamil, 2000, Kekayaan Intelektual Sebuah Kekuatan Untuk Pertumbuhan Ekonomi, Jakarta:Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Manan, Bagir, 1991, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Pamuntjak, Amir, dkk, 1994, Sistem Paten Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, Jakarta:Djambatan.

Purwaningsih, Endang, 2005, Perkembangan Hukum Intellectual Property Right:Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Bogor:Ghalia Indonesia.

Thaib, Dahlan, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum Dan Konstitusi, cetakan pertama, Yogyakarta: Liberty.

Tim Naskah Akademik RUU Paten, Laporan Akhir Naskah Akademik RUU Paten Tahun 2008, BPHN-Kemenkumham.

Usman, Rachmadi. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesua,Bandung: P.T. ALUMNI.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten Naskah Akademik RUU Paten

Referensi

Dokumen terkait

Penukar kalor yang paling sederhana adalah satu penukar kalor yang mana fluida panas dan dingin bergerak atau mengalir pada arah yang sama atau berlawanan dalam sebuah pipa

Kenyataan empiris juga menunjukkan bahwa video on demand mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya aplikasi video on demand membutuhkan alokasi bandwidth yang

EKONOMI Pengawasan Perencanaan Perbaikan Toilet Kamar Mandi Gd.Baru 4.250.000 1 Paket Medan PNBP September. 133

Pengetahuan tentang prilaku konsumen tersebut meliputi karakteristik konsumennya, proses pengambilan keputusan dalam memilih jasa layanan pra sekolah dan tanggapan konsumen

Komponen utama pembelajaran CTL mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika akan menerapkannya dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut : 1) Konstruktivisme

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Tingkat Pemanfaatan Facebook sebagai Media Informasi Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Strategi penetapan harga dengan metode menaikan harga jual produk yang diakibatkan oleh adanya kenaikan bahan baku utama dalam memproduksi bahan bangunan akan

Pada bulan Januari 2016, dari sebelas sub kelompok dalam Kelompok Bahan Makanan, 7 (tujuh) sub kelompok mengalami kenaikan. indeks dan 2 (dua) sub kelompok