RUANG TIGA
SKRIP KARYA SENI
OLEH :
I WAYAN DIANA PUTRA NIM : 2007.02.043
PROGRAM STUDI S-1 SENI KARAWITAN
JURUSAN SENI KARAWITAN
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR
RUANG TIGA
SKRIP KARYA SENI
Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai Gelar Sarjana Seni (S1)
MENYETUJUI :
PEMBIMBING
Hendra Santosa, SS. Kar., M.Hum NIP : 196710311992031001
ii
PEMBIMBING
Ni Wayan Ardini, S.Sn., M.Si NIP : 197007172003122001
Skrip karya seni ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh Panitia Ujian Akhir Sarjana (S1) Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar.
Pada :
Hari/Tanggal :
Ketua : I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn
NIP. 19681231 199603 1 007 (………)
Sekretaris : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum NIP.19641231 199002 1040
Dosen Penguji :
1. Drs. Rinto Widyarto., M.Si NIP.19660425 199203 1015 2. Hendra Santosa, SS. Kar., M.Hum
NIP.19671031 199203 1001 3. A.A.A Mayun Artati, SST., M.Sn
NIP.19641227 199003 2001
(………)
(………)
(………)
(………)
Disahkan pada tanggal :………
Mengetahui :
Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia
Denpasar
I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn NIP : 19681231 199603 1 007
iii
Ketua Jurusan Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar
I Wayan Suharta, SS.Kar., M.Si NIP : 19630730 199002 1001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skrip Karya Seni ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis, dirujuk dan dicantumkan di dalam daftar pustaka.
Denpasar, Mei 2011
I Wayan Diana Putra
Motto:
Untuk ibu yang telah mengandungku 9 bulan dan
ayah yang telah membesarkanku, karya ini
sebagai sujud baktiku.
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur penata panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, karena berkat Asung Kertha Wara Nugraha-Nya sehingga penata
dapat menyelesaikan Skrip Karya Seni Musik Ruang Tiga ini tepat pada waktunya. Skrip karya seni ini digunakan sebagai laporan pertanggungjawaban mengenai karya yang dibuat dalam penyelesaian Ujian Tugas Akhir (TA) di Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Penata menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah bersedia membantu baik moril dan spiritual, sehingga skrip karya seni ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya diberikan kepada :
1. Prof. Dr. I Wayan Rai S.,MA, selaku Rektor di Institut Seni Indonesia
Denpasar, yang telah bersedia memberikan motivasi yang sangat bermanfaat selama ini.
2. I Ketut Garwa, SSn., M.Sn, selaku Dekan Fakultas Seni Pertunjukan di Institut Seni Indonesia Denpasar dan selaku Pembimbing Akademik, yang telah membantu kelancaran persiapan terselenggaranya Ujian Tugas Akhir pada tahun 2011 ini.
3. I Wayan Suharta, SS.Kar., M.Si, selaku Ketua Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, yang telah membantu persiapan Ujian Tugas Akhir pada tahun 2011 ini.
4. Wardizal, S.Sen., M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, yang telah membantu persiapan Ujian Tugas Akhir pada tahun 2011 ini serta masukannya yang bermanfaat dalam proses kreativitas.
5. Hendra Santosa, SS.Kar., M.Hum, selaku pembimbing I yang telah
memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam proses penggarapan karya seni dan penulisan skrip karya seni.
6. Ni Wayan Ardini, S.Sn., M.Si, selaku pembimbing II yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam proses penggarapan karya seni dan penulisan skrip karya seni.
7. Tjokorda Ngurah Suyadnya (Cok Wah) dan Tjokorda Putra Sukawati, yang telah memberikan fasilitas berupa alat musik dan tempat berkreativitas. 8. I Nyoman Windha, SS.Kar., MA, I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn dan I Gede
Mawan, S.Sn yang telah banyak memberikan penata arahan dalam berkomposisi musik.
9. I Wayan Sudirana, Ida Bagus Md.Widnyana, I Dewa Putu Rai, I Wayan Pasek Sucipta, Agus Teja Santosa, I Wayan Sugandya dan Indra Sadguna, selaku guru kendang penata. Tanpa bimbingan maha guru mustahil saya bisa berada pada fase ini.
10. I Ketut Gede Asnawa, MA, Dw Alit, Paddy Sandino, Pette Stele, Tri
Haryanto dan Saptono yang telah memberikan pencerahan terhadap pola pikir tentang musik.
11. Keluarga I Wayan Pasek Sucipta, yang dengan ikhlas memberikan tempat dalam proses penggarapan.
12. Juru Kendang Dek Uli, Eka Sutawan, Agus, Sudibya dan Dwi Andika yang telah bersedia meluangkan waktu dan membantu dengan ikhlas dalam proses penggarapan karya musik Ruang Tiga.
13. Orang Tua Tercinta I Wayan Astika dan Ni Nyoman Rutini serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materiil.
14. Baris Bala (Karawitan) angkatan 2007 (Geng Gong) sebagai teman seperjuangan dalam mengharumkan nama bangsa, lembaga, keluarga dan pribadi.
15. Pacar Tercinta, Ni Luh Lisa Susanti, yang selalu memberikan segenap doa, dorongan dan semangat dalam menempuh Ujian Tugas Akhir ini.
Penata menyadari tentunya dalam skrip karya seni ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penata mengharapkan kritik dan saran positif dari pembaca guna lebih menyempurnakan skrip karya seni ini.
Om Chantih, Chantih, Chantih Om
Denpasar, Mei 2011 Penata
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA PENGUJI... HALAMAN PERNYATAAN ... MOTTO... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... ii iii iv v vi ix xii xiii BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Ide dan Konsep Garapan ... 1.3. Tujuan Garapan ... 1.4. Manfaat Garapan ... 1.5. Ruang Lingkup ... BAB II KAJIAN SUMBER ...
1 5 8 9 9 12 2.1 2.2 2.3 Sumber Tertulis ... Sumber Diskografi ... Wawancara………. 12 14 15 BAB III PROSES KREATIVITAS... 17
3.1 Tahap Eksploration (Penjajagan) ...
ix
3.2 3.3
Tahap Improvisasi (Percobaan)... Tahap Forming (Pembentukan) ...
23 27 BAB IV WUJUD GARAPAN... 32
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 Deskripsi Garapan ... Analisis Pola Struktur... Analisis Simbol ... 4.3.1 Simbol Sebagai Notasi……….. 4.3.2 Simbol Sebagai Pola Lantai Koreografi……… Analisis Materi ... 4.4.1 Desain Koreografi ... Analisis Estetis ... 4.5.1 Wujud ... 4.5.2 Bobot ... 4.5.3 Penampilan ... Analisis Penyajian ... 32 34 40 40 43 43 45 46 47 48 49 50 4.6.1 Tempat Pertunjukan ... 4.6.2 Kostum/Tata Busana ... 4.6.3 Tata Rias... 4.6.4 Properti ... 4.6.5 Notasi ... BAB V PENUTUP ... 51 55 56 57 59 66 5.1 5.2 Kesimpulan... Saran-Saran ... x 66 67
DAFTAR PUSTAKA ... DAFTAR DISKOGRAFI... DAFTAR NARASUMBER ... LAMPIRAN-LAMPIRAN xi 69 71 72
DAFTAR TABEL Tabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tahap Penjajagan (Eksplorasi)……… ………. Tahap Percobaan (Improvisasi)……… Tahap Forming (Pembentukan)……… Kegiatan Proses Kreativitas……….. Tabel Huruf Alphabet Sebagai Simbol Notasi………. Tabel Pengangening Aksara Bali Sebagai Simbol Notasi………... Pola Lantai, Layar, Suasana, Tata Lampu ( lighting), dan Posisi
Karya Musik Ruang Tiga………..
xii 22 27 29 31 40 42 53
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Denah Stage……… ……… 52 2. 3. 4.
Foto Kostum Tampak Depan………... Foto Kostum Tampak Samping……… ……….... Foto Properti……….
xiii
56 57 58
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aspek desa, kala, patra atau space, tool and situation merupakan aspek penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada umumnya segala aktivitas yang berkenaan dengan ritual dan sosialitas masyarakat berdasarkan atas konsep desa,
kala, patra. Berbicara tentang tiga aspek tersebut jika diamati secara mendalam
bagaimana etika, norma dan aturan selalu mengikat secara langsung maupun tidak langsung dalam nafas aktivitas masyarakat di Bali. Di dunia internasional konsep ini juga diaplikasikan sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan sebuah efisiensi dan ketepatan dalam beraktivitas dan berkreativitas. Secara tidak sadar kehidupan penata selalu diikat oleh konsep desa, kala, patra, apapun realita yang dihadapi itu tidak terlepas dari konsep itu.
Konsep tersebut seakan memberikan ruang fleksibilitas untuk berkreativitas khususnya pada aktivitas menggarap karya seni sesuai dengan aspek desa (tempat dimana karya ini disuguhkan), kala (kapan karya ini disajikan), patra (dalam konteks apa karya ini dipentaskan), oleh sebab itu penata mendapat ruang gerak yang sangat luas untuk menggarap sebuah karya seni khususnya seni musik dengan kemasan baru. Sejalan dengan visi yang diungkapkan oleh I Ketut Garwa yang mengatakan bentuk baru ingin dicapai suatu tontonan yang mengandung arti, misi gebrakan bahkan
2
cukup percobaan untuk membebaskan diri dari kungkungan yang dihadapi, tergantung desa, kala, patra.1 Petikan dari pemikiran seorang Garwa semakin
menguatkan hati penata untuk menjadikan konsep desa, kala, patra sebagai bingkai dan pondasi karya musik.
Ujian Tugas Akhir sebagai sebuah persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana (S 1) mewajibkan mahasiswa untuk menggarap sebuah karya seni sebagai pertanggungjawaban pada akhir fase studi. Untuk itu penata ingin menggunakan konsep desa, kala, patra sebagai dasar pijakan dan pondasi karya musik yang penata tampilkan sebagai tugas akhir penata untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni (SSn), sesuai dengan fleksibilitas yang dihadirkan oleh konsep desa, kala, patra. Namun, jika menggunakan judul desa, kala, patra sebagai judul karya musik, penata
merasakan terlalu panjang dan tidak fokus, maka dari itu penata memilih judul Ruang Tiga sebagai rangkuman dari konsep desa, kala, dan patra. Senada dengan pemikiran I Komang Sudirga yang mengatakan ketiga konsep tersebut merupakan sebuah acuan dalam berkarya, agar nanti karya yang dihasilkan tidak dipermasalahkan seolah-olah kurang kritikan. 2
Di samping itu pula penata sebagai seorang calon composer perlu mengasah kepekaan untuk memproduksi sebuah karya musik dari ide dan imajinasi penata sendiri. Idealnya sebagai seorang composer tugas utamanya ialah menulis, merangkai dan menata untaian-untaian bahasa musikal dari hasil kontemplasi menjadi sebuah
1 I Ketut Garwa.“Skin Rhythm, sebuah karya seni kontemporer”, dalam Beri, Jurnal Ilmiah Musik
Nusantara, volume 5, No.1, September 2006, (ISSN 1415-6508), p. 3-4
2 I Ko mang Sudirga.“Musik Kontemporer Di Tengah Arus Pergulatan Musik Trad isi:
Diskontinuitas dan Permasalahannya”, dalam September 2005, p. 155-173 .
karya musik yang utuh. Layaknya seorang nelayan bertugas untuk menjaring ikan, petani berkewajiban membajak sawah dan seorang guru bertugas mengajarkan anak didiknya, begitupun dengan composer memiliki tugas untuk melahirkan sebuah bait- bait nada yang nantinya mampu dinikmati oleh khalayak ramai. Sejalan dengan pemikiran I Nyoman Windha yang mengatakan tidak ada tugas lain bagi seorang
composer selain menciptakan sebuah karya musik, dan Windha pun menambahkan
setidaknya seorang composer yang eksis sedikitnya menghasilkan minimal satu buah karya musik per tahunnya. 3
Ruang Tiga adalah sebuah karya musik baru yang murni mengacu pada unsur- unsur musikal seperti ritme, timbre (warna suara) dan dinamika dengan mengolah instrumen kendang bebarongan. Di sini perlu penata jelaskan tentang pemilihan instrumen kendang bebarongan sebagai media ungkap. Jika dirunut ke belakang penata merupakan seorang pemain gamelan dengan spesialisasi juru kendang yang secara logika lebih memudahkan penata untuk berinovasi dan bereksplorasi dengan instrumen kendang bebarongan sebelum mewujudkannya ke dalam sebuah karya musik. Dari segi teknik, penata merasa yakin dan mantap untuk menunjukkan secara kualitas yang mumpuni kepada khalayak ramai melalui karya musik ini sebagai pemain dan pencipta karya musik dari instrumen kendang. Ada sebuah pertanyaan besar, mengapa penata memilih media kendang bebarongan sebagai media ungkap, mengapa tidak menggunakan kendang yang lain, penata melihat memainkan kendang
bebarongan sangatlah menarik, menantang dan diperlukan tingkat permainan dengan
3
Wawancara dengan I Nyoman W indha di Penggakan Men Mersi, pada hari Selasa, tanggal 14 Februari 2010 jam 11.00 W ita.
4
teknik yang tinggi. Seperti yang telah kita ketahui bersama, memainkan kendang
bebarongan lazimnya secara individual memiliki ruang berimprovisasi yang luas
walaupun masih dibingkai oleh ukuran gending atau lagu. Pada instrumen kendang yang lain seperti kendang gupekan, Palegongan atau yang lainnya, penata masih melihat kendang bebarongan tetap memiliki nilai plus dan ciri khas yang unik dari segi permainan solo atau tunggal yang sangat memungkinkan bermain lepas sesuai dengan tafsir garap penata.
Berkenaan dengan konsep desa, kala, patra yang memiliki makna sebagai waktu, situasi dan kondisi, maka penata menginginkan karya musik ini mampu hadir sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi era ini pula. Maksudnya adalah karya musik Ruang Tiga agar tidak sekedar hadir sebagai sarana pemenuhan syarat kelulusan saja, namun penata ingin karya musik ini mampu memberikan nuansa baru secara musikal dan teoristis. Untuk mewujudkan itu, penata menggunakan teknik-teknik komposisi seperti canon, counterpoin, maya nada, unda dan bermain ganjil yang penata adopsi dari aspek teoristis dan melalui praktikal. Selain menggunakan teknik komposisi penata juga menggunakan beberapa referensi baik dari sumber tulisan dan yang sudah berupa karya sebagai sebuah cerminan dan perbandingan untuk menambah khasanah dan pengetahuan penata dalam proses penggarapan.
Karya musik Ruang Tiga ini adalah sebuah karya musik baru. Terkait dengan masalah kata sandang kontemporer, inovasi, dan tradisi dengan sengaja penata tidak imbuhkan dalam karya musik ini. Hal itu dikarenakan, pertama, tradisi, inovasi dan kontemporer bukanlah sebuah hal yang perlu diperdebatkan, karena mereka adalah sebuah rentetan yang mensiklus secara terus- menerus di dalam sendi-sendi kehidupan
manapun. Alasan yang kedua, mereka selalu berjalan saling beriringan sebagai pembentuk satu dengan yang lainnya, misalnya tradisi ada karena sebuah
kontemporer dan begitu juga sebaliknya, sedangkan inovasi digunakan untuk proses peralihan antara fase tradisi ke fase kontemporer. Faktor terakhir ialah, penata ingin membiarkan ketiga istilah tersebut diberikan oleh si penikmatnya sendiri mengingat banyaknya pemikir musik kritis yang memiliki tafsir yang beragam.
Ruang Tiga juga sebagai sebuah karya musik yang merupakan pertanggung- jawaban dari hasil proses pembelajaran penata dari dulu sebagai seorang juru kendang. Memainkan instrumen kendang secara profesional dan mahir tidak
membuat penata merasa puas, namun penata ingin mewujudkan sebuah karya musik baru dengan menggunakan media ungkap dari instrumen kendang khususnya
kendang bebarongan. Pergelaran Karya Seni Tugas Akhir merupakan ajang yang tepat untuk mewujudkan angan-angan tersebut. Selain sebagai sebuah persyaratan untuk mendapatkan sebuah gelar Sarjana Seni (SSn), Ruang Tiga hadir sebagai sebuah jawaban dari pertanyaan sejauh mana kiprah penata sebagai seorang calon
composer yang sedang menetas.
1.2 Ide dan Konsep Garapan
Sebuah karya musik harus memiliki spirit dan bobot yang tinggi. Untuk mewujudkan semua itu dipinjam sebuah konsep yang digunakan di dalam sistem masyarakat Bali yang dikenal dengan konsep desa, kala, patra sebagai bingkai di dalam penggarapan karya musik Ruang Tiga. Konsep ini penata gunakan sebagai pondasi penggarapan agar mampu hadir menjadi sebuah karya musik berkualitas dan
6
memiliki dasar yang kuat dari segi konsep sebagai dasar pijakan dalam proses penggarapan nantinya.
Dalam mewujudkan karya musik Ruang Tiga penata menggunakan media ungkap kendang bebarongan. Seperti apa yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kendang bebarongan dalam pengamatan penata memiliki spesifikasi yang unik dan khas dari segi teknik permainan. Pada umumnya memainkan kendang
bebarongan sama halnya dengan memainkan kendang Bali lainnya, namun
keunikannya terletak pada ruang berimprovisasi yang sangat luas, disebabkan oleh penyajiannya yang bermain tunggal. Salah satu poin penting lagi dalam memainkan kendang bebarongan dapat menggunakan panggul dan tanpa menggunakan panggul sekaligus dalam satu pementasan seperti dalam mengiringi tari Barong dan Telek.
Dalam karya musik Ruang Tiga, penata sepenuhnya bereksperimen dengan kendang bebarongan untuk mencari warna baru dalam permainannya. Untuk mencari warna baru tersebut penata ingin mencari sumber pola garap se luas-luasnya, oleh karena itu penata tidak membawa latar belakang budaya yang berhubungan dengan konteks aktivitas lazimnya instrumen kendang bebarongan dimainkan. Inspirasinya memang bersumber pada pola-pola dari kendang bebarongan tersebut, namun dalam karya musik ini penata murni berkreativitas sesuai dengan tafsir garap sendiri.
Inspirasi memang muncul dari pola-pola tradisi yang telah ada yang kemudian diolah sesuai dengan bobot dan kualitas karya musik Ruang Tiga.
Di dalam karawitan Jawa instrumen kendang pada porsi gending- gending
ageng disebut juga sebagai instrumen garap yang berarti bermain secara improvisasi,
dengan bebas bermain sesuai tafsir garap mereka sendiri mengisi sub division atau ruas-ruas kosong. Ide tersebut memberikan penata sumber inspirasi yang tidak terbatas untuk lebih menggali kemungkinan-kemungkinan baru di dalam menggarap karya musik dari media kendang bebarongan.
Dari segi struktur karya musik Ruang Tiga tidak mengikuti struktur komposisi karawitan Bali pada umumnya yang menggunakan pakem Tri Angga yaitu, Kawitan,
Pengawak dan Pengecet tetapi menggunakan struktur bagian yang terdiri dari empat
bagian. Masing- masing bagian memiliki karakter tersendiri namun saling terkait antara bagian satu dengan yang lainnya dan merupakan penjabaran dari bagian sebelumnya.
Di sini penata mencoba membalik cara pandang tentang tata cara penuangan musiknya, yaitu membuat konklusinya pada bagian awal yang kemudian dijabarkan menyerupai sistem tumbuh kembang pohon yang mempunyai ranting yang kemudian berdaun, berbunga, berbuah dan seterusnya. Begitu juga dalam hal ini, konklusi yang berupa pengenalan seluruh timbre (warna suara) yang terdapat pada instrumen kendang bebarongan tersebut dikembangkan menjadi satu motif, yang kemudian motif yang satu dengan motif yang lain dirangkai dan dijalin, sehingga menjadi sebuah karya yang utuh.
Karya musik Ruang Tiga murni merupakan hasil eksperimen terhadap timbre (warna suara) instrumen kendang bebarongan yang digarap dengan pola garap dan tafsir baru. Pengolahan tersebut dirangkum dalam kemasan permainan kalimat lagu (pupuh) dengan jumlah ketukan ganjil, kontradiksi antara pupuh dengan pupuh dan membuat geguletan dengan menjalin pupuh dengan pupuh. Pada dasarnya karya
8
musik Ruang Tiga merupakan karya inovasi, namun dalam hal ini penata tidak ingin memberikan sebuah sekat terhadap penginisialan karya musik ini. Maksudnya karya musik ini bebas ditentukan jenisnya sesuai dengan daya tangkap estetis para
penikmatnya, karya musik ini boleh dikatakan kreasi, kontemporer, ataupun tradisi sekaligus, yang jelas karya musik ini adalah musik yang universal bisa dilihat dan ditelaah sesuai dengan rasa estetis penikmatnya.
Perlu dijelaskan bahwa unsur dominan dari karya musik ini merupakan
pengolahan timbre (warna suara) dari instrumen kendang bebarongan yang kemudian dirangkum dalam beberapa motif, namun untuk menunjang kompleksitas karya musik penata juga memanfaatkan sumber bunyi dari media lainnya yang melekat (seperti memainkan jangat dan memukul bantang kendang) ataupun yang tidak melekat seperti menepuk bagian dada, hentakan kaki dan suara vokal juru kendang. Semua unsur bunyi tersebut merupakan bunyi tambahan di samping bunyi utama dari membran kendang bebarongan.
1.3 Tujuan Garapan
Sebuah karya seni yang diciptakan dengan dasar pemikiran yang terkonsep dan matang, memiliki sebuah tujuan yang jelas. Tujuan dari penciptaan karya musik Ruang Tiga ini adalah untuk :
Menunjukan jatidiri penata sebagai seorang spesialis juru kendang yang mampu menciptakan sebuah karya musik yang murni mengacu pada pengolahan ritme dengan media ungkap instrumen kendang bebarongan.
Menawarkan kesan baru dalam teknik permainan tunggal atau solo dalam jenis kalimat lagu (pupuh) yang digarap baru seperti mengemasnya dengan memainkan pupuh dengan jumlah ketukan ganjil, geguletan dari jalinan
pupuh dengan pupuh dan kontradiksi antara pupuh dengan pupuh.
Mencoba membuka cara pandang tentang pemahaman dan apresiasi terhadap sebuah karya musik melalui aspek tempat, waktu dan situasi (desa, kala,
patra).
1.4 Manfaat Garapan
Setelah adanya tujuan dari penggarapan, kemudian tujuan tersebut
diimplementasikan ke dalam sebuah manfaat yang mampu diaplikasikan di dalam dunia seni sendiri ataupun kebudayaan Bali sendiri. Manfaat dari karya musik Ruang Tiga adalah :
Melatih intelegensi dalam aktivitas penciptaan musik. Memperkaya perbendaharaan karya cipta karawitan Bali. Merangsang para composer muda Bali agar lebih berani dan jeli
memanfaatkan ide dan peluang untuk menciptakan sebuah karya musik baru yang berkualitas.
1.5 Ruang Lingkup
Menghindari salah tafsir dan kerancuan dalam mengapresiasi karya musik ini, perlu ditekankan batasan-batasan agar ke depan penilaiannya dapat difokuskan dengan tepat dan sesuai substansinya. Batasan yang diambil adalah karya musik
10
Ruang Tiga murni merupakan sebuah musik instrumental yang disajikan secara konser. Judul Ruang Tiga sebagai tema untuk membingkai karya musik ini agar nantinya si penikmat digiring untuk mengapresiasi ataupun menilai sesuai dengan konteks dan konsep karya musik ini. Ruang Tiga merupakan rangkuman dari tiga aspek penting mengenai aspek tempat, situasi dan waktu yang di dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan konsep desa, kala, patra. Beranjak dari ketiga aspek tersebut penata ingin menjelaskan dan mempublikasikan agar karya musik Ruang Tiga ini diapresiasi dan dinilai sesuai dengan konteks tempat, situasi dan waktu dari lahir dan keberadaan karya musik ini. Judul Ruang Tiga bukan sebagai dasar cerita yang dianalogikan sebagai sebuah alur dalam mewujudkan karya musik ini.
Karya musik Ruang Tiga menggunakan media ungkap enam buah kendang
bebarongan yang dimainkan secara konvensional dan di luar tradisi, menggunakan
panggul dan tanpa menggunakan panggul, dan juga dimainkan dengan dipangku dan
digantung ketika berdiri. Enam buah kendang bebarongan tersebut volume suaranya diatur tinggi rendah untuk menghasilkan kompleksitas timbre (warna suara). Karya musik Ruang Tiga dimainkan dengan enam orang juru kendang yang semuanya adalah juru kendang bebarongan yang sering mendapat nominasi terbaik dalam lomba- lomba terkait.
Karya musik Ruang Tiga merupakan sebuah karya musik baru yang murni mengacu pada unsur-unsur musik dari instrumen kendang bebarongan seperti timbre (warna suara) yang diolah menjadi motif, tempo dan dinamika. Dalam karya musik ini inspirasi semua muncul dari teknik-teknik permainan kendang bebarongan berupa kalimat lagu (pupuh ) dan berbagai macam gegebug yang bersifat tunggal. Kalimat
lagu (pupuh ) dan gegebug tersebut tidak dimasukkan ataupun diadopsi dengan mentah, melainkan diolah dan diberikan kemasan baru sesuai dengan tafsir garap penata terlebih dahulu. Karya musik Ruang Tiga ini diharapkan mampu menjadi sebuah karya musik yang mencerminkan pengembangan secara kualitas maupun kuantitas dalam konteks perbendaharaan karya karawitan di Bali.
Karya musik Ruang Tiga disusun atas empat bagian garis besar yang masing- masing bagiannya memiliki sebuah karakter pola yang berbeda-beda. Kebebasan rasa juru kendang dalam menafsirkan gaya dan bentuk permainan penata berikan ruang khusus namun masih dalam bingkai penataan komposisi.
BAB II KAJIAN SUMBER
Di dalam konteks akademik sebuah karya seni yang lahir dari seorang
seniman akademis harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Ide, teori, dan inspirasi yang dijadikan acuan dalam proses penggarapan sebuah karya seni kadang bersumber pada karya ilmiah ataupun karya seni orang lain. Tidak jarang pula kita meminjam pernyataan orang lain untuk memperkuat argumentasi yang kita temukan sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah pengakuan secara akademis dari pengadopsian ide dan inspirasi dari sumber lain. Begitu juga dalam penggarapan karya musik Ruang Tiga ini juga mengadopsi ide dari sumber lain di luar pemikiran penata baik dari sumber tertulis maupun dari sumber diskografi.
2.1. Sumber Tertulis
Prakempa; Sebuah Lontar Gamelan Bali, oleh I Made Bandem, tahun 1986.
Buku ini memuat tentang aspek-aspek dan makna- makna sebagai sebuah bentuk karawitan Bali yang pada hakikatnya berintikan tattwa (filsafat dan logika), susila (etika), lango (estetika) dan gegebug (teknik) yang bertalian dengan gamelan yang ada dalam karawitan Bali.
Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini, oleh Suka Hardjana, tahun
2003. Buku ini merupakan bahan bacaan penata setiap malam bahkan menjadi wajib dibaca. Melalui buku ini banyak didapat wawasan baru tentang penggarapan
musik baru. Yang paling penting manfaat dari buku ini adalah merubah pola pikir penata tentang konteks dulu dan kini dalam konteks musik.
Kendang Bebarongan Dalam Karawitan Bali; Sebuah Kajian Organologi,
oleh I Gde Made Indra Sadguna, tahun 2010. Di dalam buku ini penata menjadi lebih tahu bagaimana mengolah pupuh-pupuh yang lazimnya digunakan di dalam
permainan kendang bebarongan dari pupuh yang paling sederhana hingga pengem- bangannya. Hasil analisis Indra tersebut memberikan masukan bagi penata bahwa seperti itulah cara pengembangan sebuah pola hingga menjadi bervariasi dan beragam.
Skin Rhythm, oleh I Ketut Garwa. Dalam jurnal Bheri ini penata mendapatkan
referensi dari garapan sebelumnya dan juga lewat tulisan yang mendeskripsikan karya
Skin Rhtythm tersebut, penata menjadi tertantang untuk menggarap sesuatu yang lebih
baru yang belum sempat dikupas oleh I Ketut Garwa.
“Musik Kontemporer Di Tengah Arus Pergulatan Musik Tradisi: Diskonti- nuitas dan Permasalahannya ”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, Volume 17 No.2 September 2005, oleh I Komang Sudirga, halaman 155-173. Tulisan tersebut menguatkan ide penata untuk menggunakan penciptaan dengan mengaplikasikan konsepsi desa, kala, patra dalam sebuah kegiatan berkomposisi.
Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I, oleh A.A. Made Djelantik, tahun 1990.
Buku ini berisi tentang dasar-dasar ilmu Estetika (keindahan) dan aspek-aspeknya. Buku ini memberikan pemahaman tentang bagaimana kita dapat mewujudkan keindahan dalam sebuah garapan yang dapat dinikmati oleh panca indra manusia.
14
Pedoman Tugas Akhir, oleh Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia
Denpasar, yang dilaksanakan atas biaya Dipa Nomor :993/UM/ISI/V/2008, tanggal 15 Mei 2008. Buku ini merupakan sebuah pedoman tentang tata cara mekanisme dan sistematis penulisan skrip karya maupun skripsi khususnya di lingkungan mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar yang akan menempuh ujian Tugas Akhir.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman
Umum Pembentukan Istilah oleh Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia, tahun 2004. Buku ini sebagai pedoma n dalam penulisan Skrip Karya Seni ini sesuai dengan tata cara penulisan yang baik dan benar.
2.2. Sumber Diskografi
Bintang Kartika, oleh I Made Subandi, VCD Festival Gong Kebyar Pria
Dewasa Duta Kabupaten Gianyar pada tahun 2009. Dalam tabuh kreasi ini penata memperoleh ide tentang jalinan antara kendang bebarongan dengan menggunakan
panggul dengan kendang gupekan tanpa menggunakan panggul.
Puser Belah, oleh Michael Tenzer, Audio CD Maxel produksi Gita Asmara
tahun 2003. Michael memberikan penata gambaran secara jelas tentang pengolahan pola-pola jalinan dengan mengadopsi teknik kekilitan dalam instrumen reyong.
Caru Wara, oleh Dewa Alit, CD-R Kompilasi Cenik Wayah tahun 2005. Dewa
Alit kembali memberikan contoh jalinan kekilitan yang sangat rumit saling sahutan dari berbagai warna suara. Di samping itu penata secara langsung memainkan pola tersebut dan sekarang menjadi tahu bagaimana berkomposisi seperti itu.
Padu Tala, oleh I Dewa Putu Rai, CD-R Kompilasi Ujian Sarjana Seni tahun
2003, produksi Andy McGraw. Permainan rampak ritme yang digarap oleh Rai sangat menarik dan dinamis, penata dari sini mengetahui trik untuk menggarap pola- pola yang dimainkan dengan kolektif
2.3. Wawancara
Wawancara dengan I Ketut Gede Asnawa melalui media elektronik Facebook, penata mendapatkan saran dan masukan tentang penggunaan media ungkap kendang
bebarongan dalam karya musik ini. Beliau menyarankan penata untuk lebih
mendalami karakter warna suara dari instrumen kendang bebarongan sebelum
memulai proses penggarapan. Beranjak dari obrolan tersebut penata semakin giat dan tekun meneliti instrument secara langsung dan membaca sumber tertulis yang terkait dengan kendang bebarongan.
Wawancara dengan I Nyoman Windha pada tanggal 11 Pebruari 2010 di Penggak Men Mersi jam 11.00 Wita. Dari seorang I Nyoman Windha, penata banyak memperoleh ilmu tentang tata cara dalam berkomposisi khususnya dalam bidang karawitan Bali. Beliau banyak mengajarkan penata tentang trik dan teknik menggarap yang baik agar menghasilkan sebuah karya musik yang berkualitas.
Wawancara dengan Dewa Alit, terus membimbing penata dari segi teknik memainkan gamelan Bali dengan gaya modern, hingga menggiring pola pikir penata ke arah kesadaran baru mengenai tumbuh kembang gamelan Bali. Alit selalu
memberikan isu-isu menarik tentang perkembangan musik dunia dan Bali yang selanjutnya dikupas bersama yang bertujuan untuk membimbing penata agar lebih
16
kritis dalam membicarakan gamelan Bali. Penata merasa digiring ke dalam wawasan baru tentang begitu hebatnya perkembangan musik secara kualitas garap.
Wawancara dengan Tri Haryanto, selain menjadi dosen di kelas juga menjadi guru penata dalam bidang penulisan ilmiah tentang karawitan Bali khususnya. Dari beliau penata mendapatkan pengetahuan tentang tata cara penulisan ilmiah yang berhubungan dengan topik kesenian khususnya seni karawitan di Bali.
Wawancara dengan Saptono, sama halnya dengan Dewa Alit selaku pembimbing penata agar bisa lebih terbuka dan kritis dalam membicarakan dan mempertanggungjawabkan hasil karya seni dalam konteks akademik.
Wawancara dengan I Gde Made Indra Sadguna. Selain sebagai guru kendang pribadi, Indra juga sebagai teman dan partner dalam konteks bermain gamelan. Dari obrolan pertemanan tersebut penata mendapat banyak ilmu menge nai pupuh-pupuh
kekendangan dalam mengiringi tari Jauk Manis dan Barong yang saat ini menjadi
BAB III
PROSES KREATIVITAS
Proses kreativitas menjadi penentu berhasil atau tidaknya sebuah penggarapan karya seni. Pada tahapan ini segala daya, upaya, trik dan intelegensi dipertaruhkan untuk melahirkan elemen-elemen dasar musik yang kemudian ditata, disusun dan dirangkai, sehingga menemukan identitas musik yang diinginkan ke dalam sebuah karya seni yang utuh. Talenta dan usaha harus dipadukan, seperti apa yang diutarakan oleh Stravinsky : “mencipta adalah 10% bakat dan 90% kerja keras”4 jadi
merumuskan segala bentuk ide yang dirasa indah oleh imajinasi harus dianalis dengan kemampuan dan kemudian ditransformasikan dengan manajemen kerja yang keras. Slamet A.Syukur juga mengatakan “seperti seorang ibu yang hendak melahirkan”,5
untuk menggambarkan beratnya sebuah proses komposisi, dua pendapat tersebut cukup menggambarkan betapa sulitnya melahirkan sebuah karya seni khususnya musik agar bisa dinikmati secara audiovisual yang berbobot dan berkualitas seni tinggi.
I Wayan Dibia mengatakan proses kreativitas adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan sumber-sumber yang ada dalam diri pencipta dan tidak dapat dilakukan tergesa-gesa 6. Pendapat I Wayan Dibia tersebut memberikan pengertian
4
Suka Hard jana. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer “Dulu dan Kini”. Bandung: Masyarakat Seni Pertnjukan Indonesia (MSPI). p. 82-83
5
6 Ibid, p. 82.
I Wayan Dibia. 2003, Bergerak Menurut Kata Hati, Metoda Baru Dalam Menciptakan Tari
(Terjemahan dari Moving From Within A New Method for Dance Making oleh Alma M .
Hawkins).Bandung: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, p.27.
18
bahwa ketika seorang seniman bergulat dalam penciptaan sebuah karya seni, mereka harus mampu mengolah dan menyatukan antara ide dan cara, teknik dan trik untuk mewujudkannya ke dalam sebuah karya musik yang utuh. Untuk itu dipinjam konsep yang dipaparkan oleh Alma Hawkins dalam bukunya Creating Through Dance (1964), bahwa penciptaan suatu karya seni itu ditempuh melalui tiga tahapan yaitu,
eksploration, improvisasion dan forming. Ketiga tahap ini diterjemahkan oleh
Soedarsono dalam bukunya Diktat Pengantar dan Pengetahuan Komposisi Tari menjadi tahap penjajagan, tahap percobaan dan tahap pembentukan 7. Ketiga tahapan
tersebut penata aplikasikan dalam proses penggarapan karya musik Ruang Tiga.
3.1. Exploration (Penjajagan)
Dalam penggarapan karya musik Ruang Tiga proses penjajagan tidak hanya dilakukan menjelang tahap pelaksanaan pergelaran Tugas Akhir. Khususnya pada media ungkap yang digunakan yaitu kendang bebarongan, penata telah bergelut dengan instrumen kendang Bali, khususnya instrumen kendang bebarongan sejak penata berusia 12 tahun. Secara berkala dan berkesinambungan penata terus belajar dari beberapa pakar kendang untuk menjadi seorang juru kendang yang hebat, sesuai dengan cita-cita penata dari kecil. Ketika penata dipercaya sebagai juru kendang pada Festival Gong Kebyar Anak-Anak Duta Kabupaten Gianyar tahun 2004, penata lebih serius belajar memainkan kendang Bali dari segi teknik pada I Wayan Sudirana dan I Dewa Putu Rai. Dari ketekunan dan keuletan penata dalam belajar memainkan
7
Djelantik, A.A. M . 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I. Denpasar: Seko lah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar.
kendang bebarongan, akhirnya pada tahun 2006 dan 2009 penata menperoleh predikat sebagai juara 1 dan 2 pada festival kendang barong dan jauk manis di dua
event berbeda yaitu di SMA N 1 Ubud dan ISI Denpasar. Keberhasilan tersebut juga
berkat bimbingan pakar kendang lainya seperti I Made Rai Widana, Agus Teja Santosa, I Wayan Sugandya dan I Gde Made Indra Sadguna yang dengan sabar membimbing penata untuk lebih memperdalam teknik bermain kendang bebarongan. Semenjak saat itu penata berangan-angan suatu saat penata akan membuat sebuah karya musik dari media ungkap kendang bebarongan.
Akhir tahun 2009 merupakan awal dari proses penjajagan secara serius mulai dipikirkan. Pada saat itu penata diundang untuk mengisi acara HUT STT Suka Duka, Br. Mekarsari, Ubud, maka dengan tekad yang bulat penata memutuskan akan tampil dengan menggarap karya musik Ruang Tiga dengan media ungkap yang sudah sejak lama penata idam- idamkan yaitu kendang bebarongan. Untuk itu penata lalu
mengajak dua juru kendang yang junior bertalenta untuk mendukung karya musik penata yang tentunya sudah diperhitungkan kemampuannya sebagai juru kendang
barong, mereka adalah Eka Sutawan dan Sudibya. Proses penggarapan hanya
memakan waktu lima hari dan kemudian dipentaskan secara konser di Balai Banjar Mekarsari. Hasil dari pementasan tersebut ternyata memuaskan hati penata dan kedua juru kendang pendukung. Applaus juga datang dari seorang juru kendang kawakan Ubud, I Wayan Pasek Sucipta. Pasek mengatakan, karya musik ini sangat bersifat exsperimental dan berani, mengapa tidak dilanjutkan untuk ujian saudara? 8, beranjak
dari komentar dan pertanyaan yang menantang tersebut, membuat penata semakin
8
20
yakin untuk memilih alternatif musik ini sebagai karya pamungkas penata dalam pergelaran Ujian Tugas Akhir.
Enam bulan kemudian penata kembali mendapatkan undangan untuk menampilkan karya musik Ruang Tiga pada pekan HUT STT Putra Sesana, Ubud Kelod, dan pada pementasan ini sangatlah berbanding terbalik dengan pementasan di Mekarsari sebelumnya. Saat itu pementasan didominasi dengan keheningan
penonton, sepanjang pertunjukan mereka hanya sesekali memberikan applaus berupa tepuk tangan. Setelah pementasan penata merasakan kekecewaan, mengingat applaus dari penonton sangatlah minim, tidak seperti pementasan sebelumnya. Sekian lama perasaan itu tertanam di benak penata, sempat penata meragukan karya musik ini akan digunakan untuk ujian nanti. Berselang sekian hari akhirnya ditemukan jawaban atas pertanyaan penata menyikapi hasil pementasan kedua tersebut. Menurut penu- turan Dika Pratama 9 yang mengatakan “saat itu penonton terdiam, melonggo, bahkan
ada yang berujar tidak mengerti dan saya juga mengakui kalau saya sendiri masih jauh dari pemahaman musik anda”10. Setelah mendengar pernyataan dari seorang
Dika dan itu menjadikan cambuk untuk memperbaiki ide dan pola garap dari karya musik Ruang Tiga untuk dijadikan karya pamungkas pada Ujian Tugas Akhir.
Proses panjang penata dalam menekuni teknik permainan kendang Bali khususnya kendang bebarongan dan beranjak dari kedua pementasan tersebut memantapkan hati untuk memilih secara tegas ide untuk menggarap karya musik yang mengacu pada ritme dari pengolahan timbre (warna suara) dengan
9
Dika Pratama adalah seorang juru reyong junior andalan Sanggar Cenik Wayah, Ubud.
10
Dika Pratama. Personal Interview dalam med ia ko munikasi elektronik Facebook , pada tanggal 24 Oktober 2010, jam 20.00 WIB, di A marin Apartement, Bangkok, Thailand .
menggunakan media ungkap kendang bebarongan. Judul Ruang Tiga ditetapkan untuk menjadi judul dan sekaligus menjadi bingkai serta landasan teori dari karya musik ini.
Sebagai umat beragama Hindu terlebih dengan budaya masyarakat Bali yang percaya setiap memulai sebuah pekerjaan apapun termasuk memulai proses
penggarapan karya musik Ruang Tiga ditandai dengan sebuah upacara yang disebut dengan Nuasen. Adapun upacara tersebut memiliki makna meminta restu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar dalam proses penggarapan bisa berjalan dengan lancar, di keluarga, penata dan pendukung serta memohon agar karya musik memiliki spirit atau disebut dengan taksu. Tempat pelaksanaan upacara Nuasen ini dilakukan di Pura Ardhanareswari ISI Denpasar pada rahinan Tumpek Wayang tanggal 2 April 2011. Upacara Nuasen juga dilaksanakan di Pura Dalem Agung Padangtegal, Pura
Gunung Sari Peliatan dan di rumah Bapak I Wayan Pasek Sucipta (tempat
Periode Waktu per minggu
Kegiatan / Usaha yang dilakukan
Hasil yang didapat Minggu II sampai (Juli 2009) Minggu ke III (Juli 2009) - Mendapat undangan untuk mementaskan sebuah karya musik - Merenungkan ide dan
konsep
- Mulai berproses menggarap - Pentas
- Menemukan ide untuk menggarap sebuah komposisi dengan menggunakan media ungkap kendang bebarongan - Mendapatkan konsep tempat, waktu dan situasi dalam berkomposisi, yang kemudian
merumuskannya ke dalam judul Ruang Tiga
- Mendapatkan sebuah bentuk karya komposisi dengan durasi 7 menit - Saran untuk
menjadikan karya musik ini untuk Ujian Tugas Akhir Awal Januari 2010 - Mulai memantapkan dan mempertimbangkan ide untuk melanjutkan karya musik Ruang Tiga
- Mencari referensi dan berdiskusi dengan pakar pencipta karawitan Bali
- Menemukan celah untuk memberanikan diri dan memastikan untuk membulatkan tekad untuk
menggunakan ide Ruang Tiga karya. - Mendapat masukan
tentang tata cara
menggarap musik ritme dengan segala trik dan estetikanya
22
Tabel 1
Tahap Penjajagan (Eksplorasi)
Periode Waktu per minggu
Kegiatan/Usaha yang dilakukan
Hasil yang didapat Bulan Agustus-Desember 2010 - Mengikuti Program MIT Student Mobility dari Kementrian Pendidikan RI di Thammasat University, Bangkok-Thailand - Memperoleh pengetahuan dalam hal menulis akademik yang memberikan manfaat dalam penulisan skrip karya musik Ruang Tiga
Minggu I Februari 2011 - Mulai
merencanakan untuk menetapkan pendukung,
menentukan jadwal latihan dan
memilih hari baik untuk upacara Nuasen - Mendapatkan kepastian ikut berpartisipasi mendukung penata dengan para pendukung - Menyepakati jadwal latihan seminggu 3 kali yaitu hari Senin, Rabu dan Jumat jam 19.00 Wita - Menggelar
Upacara Nuasen di Pura Gunung Sari, Pura Dalem Agung Padangtegal dan di rumah Bapak I Wayan Sucipta - Latihan Perdana
3.2. Improvisasi (Percobaan)
Percobaan-percobaan secara intensif mulai dilakukan dengan serius untuk proses pengumpulan motif- motif yang telah ditemukan secara reflek maupun secara kontemplasi. Sebagian besar temuan motif- motif dari penggabungan berbagai timbre (warna suara) yang tersedia dicatat dan ditulis dalam bentuk notasi balok yang
24
kemudian disalin ke dalam simbol-simbol dari huruf alfhabet. Pengetahuan menulis notasi balok penata dapatkan pada semester tiga dari Ni Wayan Ardini, S.Sn., M.Si.
Motif- motif ritme yang didapatkan bersumber dari timbre (warna suara) yang terdapat pada instrumen kendang bebarongan. Penata membuat kalimat dari
kumpulan lagu (pupuh) dengan susunan baru sesuai tafsir garap pribadi. Namun pada karya musik yang dipentaskan di Mekarsari dan Ubud Kelod masih menggunakan ukuran ketukan 8, 16 atau 32, tetapi sudah ditata dengan menggunakan teknik canon dan dimainkan dengan rampak. Selanjutnya untuk Ujian Akhir penata memasukan hitungan ganjil 3, 5, 7 dan 9 untuk membuat kesan baru di dalam menggarap ulang kalimat-kalimat dari kumpulan lagu (pupuh ).
Pada fase ini juga penata menambahkan tiga juru kendang selain dua juru kendang yang telah ada sebelumnya. Penambahan juru kendang ini bertujuan untuk menambah keragaman motif permainan dan menambah keragaman rasa yang mampu membuat karya musik lebih kompleks.
Di samping mengeksplor instrumen kendang bebarongan, untuk bagian- bagian transisi dari posisi duduk ke posisi berdiri dan begitupun sebaliknya, penata memanfaatkan bagian tubuh seperti tangan, dada dan kaki yang digarap seperlunya sesuai dengan kebutuhan transisi.
Insprirasi yang diperoleh untuk menghasilkan temuan berupa pola-pola berasal dari menonton video yang terkait dengan kebutuhan karya musik Ruang Tiga ini seperti, video Puser Belah, Caru Wara, Bintang Kartika dan Padu Tala. Dari beberapa contoh karya tersebut memberikan penata gambaran tentang pengorgani- sasian motif dan cara berkomposisi yang baik.
Intensitas percobaan dan pengujian dari penemuan berbagai motif penata intensifkan. Penulisan dalam bentuk notasi sangat penting dilakukan untuk meng- hindari kehilangan bahan garap di samping sebagai dokumentasi. Memang secara refleks motif- motif yang bagus tidak jarang keluar secara spontan, namun sebaiknya dilakukan pencatatan agar tidak hilang begitu saja.
Tahap pertama dalam fase penuangan motif- motif yang telah dicatat dalam bentuk notasi sebelumnya kepada juru kendang pendukung karya musik, di samping itu pula penata menjelaskan maksud dari rancang garap karya musik agar nanti mereka memiliki bayangan ketika proses penuangan motif demi motif. Mulai dari penuangan intro, bagian pertama hingga bagian kedua dapat penata dapat diselesai- kan dalam tiga kali pertemuan latihan. Adapun motif- motif yang telah dituangkan selanjutnya dikomposisikan dengan teknik counterpoint. Beberapa motif yang telah ditata dituangkan penata perbaiki dan garap ulang apabila penata masih merasakan kejanggalan terutama dalam peralihan antara satu motif ke motif yang lain. Setelah penata merasakan cukup dalam penuangan bagian pertama hingga kebagian kedua penata langsung beranjak untuk menuangkan bagian ketiga dan memberikan jiwa dari bagian awal sampai bagian ketiga.
Bagian terpenting bagian intro sampai bagian kedua adalah ketika penata menuangkan motif kepada juru kendang yang memainkan kendang dengan posisi terbalik dari cara memainkan tradisinya yaitu tebokan atau muka yang lebih besar ditaruh di bagian kiri juru kendang. Mereka mengalami kebingungan dengan tata cara memainkannya, apalagi penata menggunakan sistem warna suara yang penata adopsi dari teknik permainan kendang Jawa. Pengetahuan tentang kendang Jawa didapatkan
26
ketika belajar gamelan Jawa dalam kelas Silang Gaya & Jenis Karawitan I dan II. Kebingungan itu dikarenakan oleh cara memunculkan warna suara yang sama sekali belum kenal dan belum pernah dialami selama memainkan kendang Bali, misalnya saat membunyikan warna suara “blang ”, teknik yang harus mereka gunakan agar muncul warna suara seperti itu ialah tangan kanan dan kiri menepuk membran
tebokan kanan dan kiri bersamaan dan teknik tersebut memang tidak lazim digunakan
dalam teknik permainan kendang Bali.
Pada bagian ketiga penata menata rangkaian ja linan dengan menggunakan teknik kekilitan pada instrumen reyong, dan untuk mewujudkan jalinan tersebut penata menerapkan metode maya nada dalam proses penuangannya. Maya nada yang penata maksudkan adalah mengasosiasikan timbre (warna suara) yang tidak bernada yang seolah-seolah memiliki nada, hal itu penata lakukan agar juru kendang
pendukung cepat menangkap motif tersebut sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penata. Di bagian ketiga ini penata membagi tiga jenis macam jalinan, yaitu bermain bersama kombinasi antara ketukan tiga dan lima, bermain secara mandiri dengan jumlah hitungan yang berbeda antara hitungan tiga dan hitungan genap namun jarak ketukan dilipatkan atau yang dalam istilah Bali disebut dengan priring.
Proses yang dilakukan untuk bagian akhir, dilakukan dengan cara motif- motif yang telah dikomposisikan pada karya musik yang sebelumnya pernah dipentaskan, namun penata tetap memberikan sentuhan agar motif tersebut lebih berkualitas. Bagian akhir ini penata mencoba untuk memberikan ruang improvisasi yang seluas- luasnya kepada para juru kendang agar mengeluarkan segala daya kreativitas dalam mengolah kalimat lagu (pupuh) yang telah diberikan sebelumnya. Di sini penata
Periode Waktu per minggu
Kegiatan / Usaha yang dilakukan
Hasil yang didapat Minggu II sampai
IV (Februari 2011)
- Menjelaskan maksud dan konsep karya musik kepada juru kendang pendukung - Percobaan penuangan
bagian I dan II
- Motif- motif ritme untuk bagian I dan II
Minggu I Maret sampai III Maret 2011
- Hari Raya Nyepi - Mencoba menuangkan
bagian III dan transisi dari bagian I ke II, begitu juga dari bagian II ke III
- Libur
- Didapat bentuk-bentuk lagu untuk bagian ke III yang kemudian dihubungkan dengan bentuk lagu pada bagian sebelumnya yaitu bagian I dan II
Minggu IV Maret 2011
- Merevisi dan memperbaiki bagian yang belum pas pada tahap percobaan sebelumnya
- Bentuk motif ritme dari bagian I, II dan III telah didapat dan para juru kendang pendukung telah mampu menguasai motif ritme
mengarahkan mereka agar antara juru kendang satu dengan yang lain agar
berinteraksi dalam bermain dengan jiwa berkompetisi. Pada bagian ini juga penata mencoba menuangkan kombinasi motif- motif antara permainan pada instrumen kendang dengan tepukan tangan, dada dan hentakan kaki.
Tabel 2
Tahap Percobaan (Improvisasi)
Per Bulan Februari 2011 sampai Bulan Maret 11
3.3. Forming (Pembentukan)
Setelah menuangkan dan memperoleh hasil dari percobaaan-percobaan yang berupa motif- motif dan beberapa kalimat-kalimat lagu (pupuh), maka pada tahap
28
estetika sebuah karya musik. Segala trik dan daya upaya dikerahkan walaupun secara kasar telah dituangkan ke dalam bahasa musikal, namun tidak serta merta pekerjaan komposisi telah selesai. Langkah selanjutnya adalah mulai membakukan bagian- bagian yang telah berdiri sebelumnya menjadi sebuah karya musik yang memiliki satu kesatuan yang utuh.
Membentuk motif- motif dan kalimat lagu (pupuh) yang masih belum tersusun tersebut tidak hanya sekedar menyatukan dan menyusunnya secara berurutan, namun diperlukan beberapa trik untuk menjadikan komposisi dari karya musik tersebut menjadi menarik dan tidak monoton. Pada dasarnya berkomposisi di dalam seni musik adalah bermain dan memainkan elemen-elemen musik seperti melodi, nada, ritme, harmoni. Namun di dalam karya musik Ruang Tiga jelas yang dimainkan adalah ritme dan warna suara yang telah disusun menjadi sebuah pola dan diatur sesuai dengan pengolahan tempo dan dinamika.
. Memainkan kendang bebarongan dilakukan dengan menggunakan panggul dan tanpa panggul yang dikombinasikan dan penggunaanya sesuai dengan kebutuhan garap. Permainan rampak secara kolektif dibutuhkan untuk membuat dinamika sebagai daya kejut yang kemudian secara tiba-tiba dikacaukan, hingga bermain kembali seperti semula.
Setelah semua bagian telah tersusun dengan utuh, proses selanjutnya adalah tahap menghaluskan dan merevisi kembali bagian-bagian yang masih dianggap kurang memuaskan. Tidak menutup kemungkinan bagian-bagian yang telah tersusun akan dirombak jika diperlukan untuk mengubah demi kesempurnaan karya musik. Jika semua yang telah terbentuk sudah dirasakan cocok harus diberikan penjiwaan
Periode Waktu per minggu
Kegiatan / Usaha yang dilakukan
Hasil yang didapat Minggu I sampai
April 2011
- Meuangkan bagian akhir (bagian IV)
- Telah terwujud bagian ke IV, yang berarti semua rancangan karya musik telah dituangkan Minggu ke II
sampai III April 2011
- Merangkai seluruh bagian sesuai dengan teknik kompositoris yang baik dan benar
- Latihan Gerak
- Telah terangkai dari bagian awal hingga akhir dengan segala transisinya
- Mendapatkan karya musik beserta gerakan sesuai dengan kebutuhan karya musik
dari segi permainan dan penampilan. Pembobotan estetis perlu diberikan agar karya musik menjadi berbobot dan berkualitas agar dapat dinikmati oleh panca indra.
Karya musik Ruang Tiga adalah karya musik instrumental maka penyajiannya tidak hanya bersifat audio (suara) melainkan perlu diberikan suguhan visual yang dalam karya musik ini dituangkan kedalam sentuhan koreografi. Sentuhan koreografi penata masukan pada bagian awal dan bagian akhir saja. Adapun gerak yang
digunakan adalah gerak- gerak yang sesuai dengan irama motif- motif. Perlu penata jelaskan koreografi dalam karya musik ini tidak sekedar menarikan motif- motif ritme saja, namun gerak adalah bagian dari garap musikal sebagai alat tambahan dari media ungkap utama (kendang bebarongan). Misalnya pada bagian pertama sentuhan koreografi berupa hentakan kaki juga sebagai pemegang tempo (time biter),
sedangkan pada bagian akhir gerakan kaki merupakan perpaduan dengan motif dari kendang bebarongan dean juga dengan tepukan tangan dan dada.
Tabel 3
Tahap Pe mbentukan (Forming) Per Bulan April 2009 sampai Bulan Mei 2011
Minggu IV April 2011
- Tahap menghaluskan - Karya musik menjadi memiliki jiwa dan tidak menoton
Minggu I Mei 2011
Minggu II Mei
- Latihan Persiapan Gladi Bersih
- Gladi Bersih
- Memantapkan karya musik
- Mendapatkan masukan agar lebih menjiwai pada pentas Ujian Akhir
Minggu III Mei 2011
Minggu IV Mei 2011
- Perenungan dan Latihan Pemantapan
- Pergelaran Ujian Tugas Akhir
- Pengendapan ide Ruang Tiga dan realisasinya kedalam bahasa musik
Kegiatan
Rentang Waktu Penggarapan
Agustus- Desember 2009 Januari- Juli 2010 Agustus- Desember 2010 Januari- Februari 2011 Maret- April, 2011 Mei 2011 Ujian Proposal Penjajagan Percobaan Pembentukan Gladi Bersih & Ujian
TA
Tabel 4
Kegiatan Proses Kreativitas Karya Musik Ruang Tiga
KETERANGAN :
: Latihan dengan intensitas ringan : Latihan dengan intensitas sedang : Latihan dengan intensitas berat : Ujian Proposal
BAB IV WUJUD GARAPAN
Wujud adalah sesuatu yang dapat secara nyata dipersepsikan mela lui mata atau telinga atau secara abstrak yang dapat dibayangkan atau dikhayalkan oleh panca indra 11 . Segala sesuatu yang berwujud memiliki elemen-elemen yang menyusunnya seperti isi, bobot, penampilan dan jiwa yang semuanya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Seperti halnya dalam karya musik Ruang Tiga yang berwujud satu kesatuan utuh yang membingkainya.
4.1 Deskripsi Garapan
Ruang Tiga merupakan sebuah karya musik yang murni mengolah ritme yang bersumber timbre (warna suara) dari media ungkap kendang bebarongan. Dalam mengolah ritme pada instrumen kendang bebarongan penata tidak menggunakan tata cara permainan tradisi seperti dalam pertunjukan tari barong, jauk manis ataupun tari telek, namun terinspirasi dari keunikan permainan solo dari permainan kendang
bebarongan. Walaupun penata menggunakan media ungkap kendang bebarongan
yang dalam pengamatan sebagian besar pengrawit Bali dipandang sebagi sebuah instrumen tradisi yang memiliki pakem khusus seperti estetika permainannya, tetapi dalam karya musik ini penata murni memandangnya sebagai sebuah alat musik yang
11
A.A.M. Djelantik, 1999, Estetika Sebuah Pengantar, Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), p.17
bebas diekplorasi sesuai dengan kebutuhan garap pribadi penata. Inspirasi memang berasal dari keunikan permainan solo pada kendang bebarongan, namun penata olah, garap baru dan kembangkan dengan kemasan berbeda dan dengan cara biasanya.
Judul Ruang Tiga sebagai perwujudan fleksibilitas karya musik yang ber- pegang pada tatanan desa, kala, patra (tempat, waktu dan situasi) sebagai bingkai penggarapan, apreasiasi dan penilaiannya. Dalam karya musik ini judul Ruang Tiga bukan sebagai dasar cerita yang dianalogikan ke dalam bahasa musikal, jelas seperti yang penata sebutkan sebelumnya judul Ruang Tiga hanya sebagi sebuah bingkai karya musik. Aparatus pokok dalam karya musik Ruang Tiga ini adalah pengolahan ritme dari timbre (warna suara) dari kendang bebarongan yang dituangkan ke dalam motif kalimat lagu (pupuh) diolah dengan teknik counterpoint, canon, maya nada,
unda dan membuat jalinan (geguletan) antara pupuh dengan pupuh.
Sesuai dengan judul Ruang Tiga sebagai perwujudan konsep desa, kala, patra (tempat, ruang dan waktu) yang diharapkan mampu menggiring cara pandang para penikmat dalam memberikan apresiasinya sesuai dengan konteks dan subtsansi yang terkait agar tidak terjadi kerancuan dan menyimpang dari maksud sebenarnya yang ingin disampaikan.
Ruang Tiga disajikan dalam bentuk konser yang dimainkan oleh enam juru kendang. Keenam juru kendang tersebut adalah juru kendang yang telah diakui kebolehannya dalam memainkan instrumen kendang khususnya kendang
bebarongan, itu dibuktikan dengan para juru kendang tersebut adalah para juara pada
ajang lomba- lomba kendang tunggal dalam berbagai ajang. Hal ini juga menjadi alasan memilih mereka sebagai juru kendang pendukung karya musik Ruang Tiga.
34
4.2 Analisa Struktur
Struktur dari suatu karya seni menyangkut keseluruhan, meliputi peranan masing- masing bagian untuk dapat dicapainya sebuah bentuk karya musik 12. Secara
struktural, karya musik Ruang Tiga dibagi menjadi 4 (empat) garis besar yang terdiri dari bagian I, II, III dan IV. Pembagian ini dimaksudkan agar terlihat masing- masing penonjolan, perbedaan karakteristik, style dan keragaman motif dari hasil proses kreativitas yang penuh perjuangan antara teori dan skill berkomposisi. Walaupun terdiri dari beberapa bagian yang saling berlainan karakter dan style karya musik ini diharapakan mampu menyatu antara bagian satu dengan yang lainya yang
dihubungkan dengan sebuah jembatan-jembatan penghubung yang disebut transisi. Transisi bukan saja berperan sebagai jembatan penghubung antar bagian, namun sebuah transisi juga mampu menjadi pengatur perubahan tempo dan sebagai sebuah ruang yang bisa diberikan sentuhan improvisasi. Struktur karya musik Ruang Tiga dapat diuraikan sebagai berikut :
Bagian I : Merupakan bagian awal dari karya musik dan juga sebagai konklusi dari
karya musik. Seperti apa yang telah penata uraikan pada sub bab ide dan konsep, semua dasar jenis motif dituangkan di bagian awal yang
kemudian dikembangkan menjadi beragaman motif.
Pada dasarnya pada bagian pertama ini, penata ingin menunjukan bahwa dari motif yang rumit berasal dari motif yang paling dasar. Lalu motif yang paling dasar tersebut penata kembangkan dengan teknik priring
12 Ni Luh Lisa Susanti. 2010, Skrip Karya “Kembang Ratna”, Denpasar : Jurusan Tari, Fakultas Seni
sehingga motif dasar yang bersifat sederhana menjadi padat dan rumit. Aplikasinya dapat dilihat pada notasi di bawah ini :
Pola Dasar :
Setelah dikembangkan atau dipriring :
Aksentuasi yang digunakan sebagai ukuran panjang kalimat lagu (pupuh) berbeda dengan rasa tradisi dalam gamelan Bali lazimnya. Ukurannya tidak menggunakan ukuran 8, 16 atau 32 ketuk dalam satu
36
gongan, namun dalam karya musik ini penata kemas dengan ukuran 9
dan 10 ketuk dalam satu gongan. Finalis atau tengenan lagu penata tidak diletakkan pada akhir kalimat lagu, tetapi pada awal kalimat lagu.
Bagian II : Bagian kedua lebih banyak mengaplikasikan konsep pola ruang atau
counterpoint. Penata membuat 6 (enam) buah macam kalimat lagu
(pupuh) yang berbeda, namun memiliki kaitan jalinan antara satu dengan yang lainnya, sehingga kalau bermain serempak maka akan terdengar jalinan, namun bukan jalinan imbal seperti halnya dalam jalinan motif
gegilakan dan jejagulan. Adapun bentuknya seperti notasi di bawah ini :
Pada bagian ini penata mengorganisasikan sistem permainan dengan 3 (tiga) sistem yaitu bermain bersama (rampak), masuk bersama tetapi berakhir secara bergiliran (canon ) dan bermain antara kelompok dengan kelompok.
Ritme yang diolah dengan teknik komposisi unda adalah sebagai berikut:
:p k c d p k c d pk .cD . pk .cD . pk cD pk cD pkcD pkcD pkcD pkcD p :
Bagian III : Pada bagian ketiga penata lebih banyak bermain dengan 2 (dua) jenis
pola garap yang berbeda. Dari 6 (enam) juru kendang, penata bagi
menjadi 2 (dua) kelompok. Antara kelompok satu dengan kelompok yang kedua bermain saling sahut. Saling sahut pada bagian ini penata
komposisikan dengan membedakan ukuran ketukannya, seperti kelompok satu bermain dengan ketukan 3 (tiga) sedangkan kelompok yang ke dua bermain dengan ketukan 5 (lima). Permainan dengan jumlah ketukan yang berbeda ini akan bertemu pada satu titik temu yang sama dengan formula seperti berikut :
JIka motif A dimainkan dengan jumlah ketukan ketukan C dan motif B
dimankan dengan jumlah ketukan D maka titik temu motif A dan B adalah pada jumlah hasil kali ketuk C dan D.
Rumus : Titik Temu AB= C.D
Jika dalam karya musik ini penata menggunakan ketukan 3 (tiga) dan 5 (lima) maka titik temu dua buah ketukan berbeda adalah pada hitungan ke 15 (lima belas), dengan artian motif yang me nggunakan ketukan 3 (tiga) bermain selama 5 (lima) kali putaran dala satu
38
(lima) bermain selama 3 (tiga) kali dalam satu gongan. Hasilnya dapat dilihat pada notasi di bawah ini :
Di bagian ketiga ini penata juga membuat jalinan dengan mengadopsi teknik kekilitan pada instrumen reyong. Jalinan secara simultan dibuat untuk menghindari pola jalinan imbal yang lazimnya digunakan dalam penggarapan baleganjur, tabuh lelambatan atau sajian dalam bentuk
pegongan. Perhatikan notasi di bawah adalah beberapa bentuk dari
jalinan yang dimaksud :
Jalinan dengan ketukan 3 ½ :
Bagian IV : Bagian ke empat adalah bagian akhir atau ending dari karya musik Ruang
Tiga. Semua motif jalinan pada bagian ke empat ini disinergikan dengan hentakan kaki dan tepukan dada untuk menghadirkan ritme yang lebih
variatif. Selain sebagai bagian pola garap, hentakan kaki secara tidak langsung juga sebagai koreografi yang mendukung musik dalam aspek penyajian. Dengan notasinya seperti di bawah ini :
D tap tap tr tap tap tr tap tap tr tap tap tr .p kp kp .dk pkp .dk pkp .ck pck cp .kpc
Motif dengan memainkan jumlah ketukan yang sama namun dimainkan dengan berbeda antara kelompok satu dan kelompok kedua, seperti kelompok satu dengan susunan ketuk 3-5-2-2-5, sedangkan kelompok kedua main dengan susunan ketuk 5-2-2-5-3. Adapun aplikasinya sebagai berikut :
Simbol Cara Membunyikan Bunyi D Memukul muka kanan dengan panggul Dug
D Memukul muka kanan tanpa panggul Dag T Memukul muka kanan dengan panggul
disertai tutupan pada muka kiri
Tek
P Memukul muka kiri (wadon) Pak
K Memukul muka kiri (lanang) Ka
C Memukul bagian tengah muka kanan tanpa panggul
Cung
40
4.3 Analisis Simbol
Simbol merupakan tanda atau kode untuk menjembatani antara maksud dengan realita yang akan diapresiasi oleh penikmatnya. Atau simbol juga mampu mengungkapkan ide atau gagasan dalam sebuh karya seni musik. Dalam karya musik Ruang Tiga sebagai aplikasi simbol-simbol digunakan dalam penulisan notasi lagu dan pola lantai koreografi.
4.3.1 Simbol Sebagai Notasi
Simbol yang digunakan sebagai pencatatan notasi dalam karya musik Ruang Tiga menggunakan dua jenis yaitu, huruf alphabet dan pengangening aksara Bali. Simbol dengan huruf alphabet lebih banyak digunakan dalam penulisan notasi, karena dalam karya musik ini tidak menggunakan melodi atau nada. Huruf alphabet
digunakan untuk melapalkan suara asli dari instrumen kendang bebarongan. Adapun simbol berupa alphabet yang digunakan dalam karya musik ini sebagai berikut:
Tabel 5
Simbol Cara Membunyikan Bunyi P Memukul bagian tengah muka kiri
dengan posisi tangan menguncup
Pung C Memukul muka kanan dengan ibu jari
dan pangkal samping bawah kelingking
Cep T Memukul muka kiri bagian atas Teng BL Memukul muka kanan dan kiri secara
bersamaan (khusus pada kendang yang dimainkan terbalik dari cara memainkan konvensional)
Blang
Tp Memukul muka kanan dan kiri secara bersamaan dengan instensitas rendah
Tep Tap Menghentakan kaki ke lantai Tap Tr Menggetarkan tali kendang (jangat) Ter
Pl Tepukan tangan Plak
Bg Tepukan dada Bug
xxxx Improvisasi Sesuai improvisasi
Pengangening aksara Bali digunakan pada bagian karya musik yang meng-
gunakan teknik maya nada khususnya pada bagian ke 3 (tiga) dan 4 (empat).
Pengangening aksara Bali yang digunakan adalah ulu (3), tedong (4), taleng (5), suku
(7) dan carik (1). Pengangening aksara Bali tersebut digunakan untuk menandakan
instrumen kendang bebarongan 1, 2 ,3 ,4 ,5 ,6. Untuk lebih jelasnya pembagian pengangening aksara Bali dengan instrumen kendang bebarongan penata cantumkan dalam bentuk tabel.
Instrumen Ke ndang Bebarongan
Pengangening Aksara Bali
Kdb 1 4 Kdb 2 1 (5) Kdb 3 3 (7) Kdb 4 4 Kdb 5 5 Kdb 6 7 42 Tabel 6
Simbol Penggangening Aksara
Selain digunakan dalam sistem penulisan notasi, simbol juga digunakan sebagai tanda atau kode yang lazim digunakan dalam seni musik yaitu :
- - - - :- - - - : - - -- -- - - -
Tanda ulang, artinya lagu dimainkan secara berulang- ulang
Tanda bermain bersama, artinya satu motif atau lebih yang dimainkan pada waktu yang sama
Garis nilai yang berharga ½, artinya setiap satu ketuk terdapat dua ritme
Garis nilai yang berharga ¼, artinya setiap satu ketuk terdapat empat ritme
Garis nilai yang berharga 1/3, artinya setiap satu ketuk terdapat tiga ritme
4.3.2 Simbol Sebagai Pola Lantai Koreografi
Simbol yang dipakai dalam pola lantai koreografi dalam karya musik Ruang Tiga adalah sebagai berikut :
Posisi juru kendang
Arah gerak juru kendang
4.4. Analisis Materi
Materi merupakan unsur terpenting dalam membangun wujud sebuah karya seni khususnya karya musik Ruang Tiga. Adapun materi yang dimaksud dalam karya musik ini adalah perbendaharaan jenis pukulan (gegebug) yang telah tersedia
sebelumnya pada instrumen kendang bebarongan yang diaplikasikan dalam
pertunjukan tradisi seperti tari barong, jauk, telek dan dalam drama tari calonarang. Jenis-jenis pukulan yang telah ada penata olah, kemas dan membuat alternatif baru yang kemudian penata rangkai sesuai dengan kebutuhan komposisi. Beberapa jenis pukulan (gegebug) yang penata gunakan dalam karya musik Ruang Tiga ini adalah :
Ngetur : Ngetur adalah pukulan kendang yang dipukul oleh alat pemukul/
panggul yang suaranya dimatikan yang dilakukan oleh salah satu dari
instrumen kendang tersebut13. Karakteristik teknik pukulan ini suaranya
beruntun menyerupai dentuman senapan jenis brand dan hanya dijumpai dalam kendang bebarongan.
13 Pande Gede Mustika, SS.Kar, I Nyo man Sudiana, SS.Kar, I Ketut Partha, SS.Kar, 1996, Laporan Penelit ian “Mengenal Jenis-Jenis Pukulan Dalam Barungan Gamelan Gong Kebyar , Sekolah Tinggi Sen i Indonesia (STSI) Denpasar.
44
Geguletan : Geguletan adalah pukulan kendang lanang dan wadon yang
membuat jalinan, biasanya disajikan dengan mengunakan panggul dan tanpa
panggul. Bentuk geguletan terdapat banyak variasi seperti jenis motif
gegilakan dan jejagulan/jagul.
Nyatotin : Nyatotin ialah salah satu jenis pukulan yang menggunakan panggul
dalam permainan kendang bebarongan, dimana cedugan nya megantung (off
beat).
Jenis-jenis pukulan diatas dikomposisikan dengan menggunakan teknik komposisi seperti berikut :
Counterpoint :
Counterpoint adalah sebuah teknik komposisi yang dimana memiliki
formula antara satu, dua atau lebih pola atau motif yang dimainkan secara bersamaan atau dalam kata lain berkontraksi dalam waktu yang sama, ukuran yang sama juga. Dalam karya musik Ruang Tiga teknik counterpoint
diaplikasikan hampir pada seluruh bagian karya musik.
Canon :
Canon adalah sebuah teknik yang memiliki motif sejenis ataupun tidak
yang dimainkan secara berurutan secara silmultan. Pengertian lainnya adalah imitasi dari motif asli yang ditata saling bersahutan dengan aslinya secara bergiliran.
Unda :
Teknik unda ini penata dapatkan dari hasil eksperimen pribadi. Unda dalam bahasa Bali berarti estafet. Teknik ini penata aplikasikan pada bagian ketiga dengan memberikan peluang antara satu kelompok dengan kelompok kedua saling sahut- menyahut dan saling respon motif.
Maya Nada :
Maya nada adalah teknik yang memberikan penafsiran nada pada timbre (warna suara), dengan artian sebuah timbre (warna suara) seolah-olah dirasakan memiliki nada. Teknik ini digunakan untuk memudahkan membuat jalinan dari instrumen yang tidak memiliki nada seperti instrumen kendang
bebarongan.
Di samping mengolah jenis pukulan dengan trik komposisi di atas hingga menjadi sebuah karya musik yang utuh perlu diberikan sentuhan koreografi. Mengingat karya musik Ruang Tiga ini adalah karya musik murni perlu diberi sentuhan koreografi agar penikmat tidak jenuh hanya menikmati suguhan audionya saja. Sentuhan koreografi diharapkan mampu mendukung keutuhan dan keindahan karya musik.
4.4.1 Desain Koreografi
Koreografi dalam karya musik Ruang Tiga ini seperti yang telah dijelaskan pada sub bab analisa struktur, tidak saja sebagai penghias, namun juga sebagi bagian dari garap musikalnya. Walaupun demikian pada bagian tertentu d isesain koreografi