A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO), Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit Non-Communicable Disease (penyakit tidak menular) yang mempunyai prevalensi penyakit paling sering terjadi di dunia. DM merupakan penyakit kronik yang terjadi akibat pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin tersebut. Hal ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah atau hiperglikemia (WHO, 2011). Keadaan hiperglikemia apabila tidak segera ditangani dan berlangsung terus-menerus akan mengakibatkan kerusakan dan kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Bingham et al. American Diabetes Association, 2015).
Tahun 2014 di dunia terdapat 387 juta penderita Diabetes Mellitus (DM), dari jumlah tersebut 175 juta orang tidak menyadari kondisi mereka dan lebih dari 80% hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk indonesia. 1 di antara 12 orang di dunia menderita DM dan 1 di antara 2 orang di dunia tidak mengetahui bahwa mereka menderita DM. Berdasarkan data IDF pada tahun 2014 jumlah penderita DM di indonesia mencapai 9.116.000 orang (International Diabetes Foundation (IDF), 2014).
Presentase penderita DM di provinsi jawa tengah yaitu sebesar 16,53%. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mempunyai presentase terbanyak kedua setelah hipertensi (57,89%) di provinsi Jawa Tengah. (Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Berdasarkan data yang diperoleh dari bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan dinas kabupaten Banyumas pada tahun 2014, penderita DM di kabupaten Banyumas sejumlah 1599 orang (182 orang penderita DM tipe I dan 1417 orang penderita DM tipe II) (Bidang P2 PL Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, 2014).
Data yang diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten Banyumas pada bulan januari sampai agustus 2015, penderita DM di kabupaten Banyumas sejumlah 1686 orang (396 penderita DM tipe I dan 1290 penderita DM tipe II), terjadi peningkatan jumlah pada penderita DM tipe I dari tahun sebelumnya yaitu dari 182 orang bertambah menjadi 396 orang. Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 26 Oktober 2015 bahwa penderita Diabates Mellitus di Puskesmas II Cilongok sejumlah 131 orang. Dari data tersebut penderita DM rata-rata antara usia 45-64 tahun dan lebih dari 65 tahun (Bidang P2 PL Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, 2015).
Kondisi hyperglikemia kronis pada penderita DM menyebabkan komplikasi yang mengenai hampir setiap sistem organ, salah satunya aterosklerotik. Insiden aterosklerotik pada pembuluh darah besar di ekstremitas meningkat 2-3 kali (Smeltzer dan Bare, 2003). Hal itu
dikarenakan gula darah yang tinggi akan mempengaruhi fungsi platelet darah yang meningkatkan pembekuan darah, sehingga penderita DM akan berisiko mengalami komplikasi berupa Peripheral Arterial Disease (PAD) yang biasanya terjadi pada ekstremitas bawah (Kohlman-Trigoboff, 2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahman, didapatkan hasil bahwa terjadinya kejadian PAD untuk faktor risiko diabetes mellitus memiliki risiko 11,6 kali (95% CI 4,411 – 30,735) (Rahman, 2012).
Kombinasi PAD dan Neurophaty membuat penderita DM mempunyai masalah pada kaki yaitu berupa hilang sensasi kaki, dan dapat meningkatkan risiko injury (Williams and Hopper, 2007). Seperti terjadinya ulkus diabetik, infeksi dan gangren (Amad dkk, 2012) atau amputasi pada ekstremitas bawah (Hile, Kansal, Hamdan, dan Logerfo, 2006 dan Williams and Hopper, 2007).
Gejala utama PAD adalah claudication intermitten yaitu sensasi nyeri, pegal, kram, baal, atau tidak nyaman pada otot yang terjadi saat beraktivitas dan menghilang dengan istirahat. Nyeri timbul karena suplai darah tidak dapat mencukupi kebutuhan jaringan yang meningkat pada saat beraktivitas (Sudoyo AW, 2009). Rasa nyeri biasanya muncul pada sekelompok otot yang terletak distal dari obstruksi arteri. Nyeri pada pantat, pinggul dan paha merujuk kelainan pada segmen aorto-iliaka sementara nyeri pada betis menunjukkan kelainan segmen femoral dan popliteal (Antono D, 2009). Intermittent claudication dapat terjadi pada satu kaki saja (40%) atau mengenai kedua kaki (60%) (Crager and Joseph,
2012). Bila masalah ini tidak teratasi maka akan menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita (Werdani, 2014).
Faktor-faktor risiko terjadinya PAD antara lain adalah usia, rokok, hipertensi, diabetes mellitus, kurang olah raga, dan obesitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh simatupang et al (2013), mengemukakan bahwa orang dengan usia yang lebih tua berisiko 1,881 kali mendapatkan PAD, walaupun nilai P menunjukan hubungan yang tidak bermakna (Simatupang dkk, 2013).
Prevalensi PAD meningkat tajam sesuai dengan pertambahan usia, dari 3 % pada pasien <60 tahun hingga 20 % pada pasien >75 tahun. Pada
Framingham Heart Study didapati usia ≥65 tahun meningkatkan risiko
PAD. Meskipun PAD didapati juga pada usia ≤50 tahun, tetapi jumlah kasusnya sangat kecil (Rangkuti DM, 2008).
Pada survei ke-3 yang dilakukan National Health and Nutrition
Examination, dilaporkan odds ratio (OR) pada prevalensi tinggi
didapatkan pada kebiasaan merokok, etnis Afro-Amerika, glomerular
filtration rate (GFR) <60 ml/min, diabetes melitus (DM), dan
hiperkolesterolemia (OR, 1.7). Progesivitas PAD hingga stadium III meningkat pada DM, kebiasaan merokok (OR, 3.0), ABI < 0,7 (OR, 2.0), ABI < 0,5, usia > 65 tahun, dan hiperkolesterolemia (Arain et al, 2008).
Penderita DM, hipertensi, hiperkolesterolemia maupun perokok menyebabkan terjadinya kerusakan vascular endothelium yang mempercepat timbulnya coagulation, yang dapat menurunkan aliran darah
terutama pada area kaki, sehingga menyebabkan PAD (Crager and Joseph, 2012).
Pemeriksaan penunjang yang paling sederhana yang dapat dilakukan untuk mendeteksi PAD adalah dengan menilai Score Ankle
Brachial Index (ABI) (Roza, 2015). Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes
noninvasif untuk mengidentifikasi insufisiensi arteri dengan cara membandingkan rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dan tekanan darah sistolik lengan (brachial) (Lippincott Williams and Wilkins, 2012).
Kebanyakan pasien PAD (>50%) adalah asimptomatik sehingga pemeriksaan dengan alat ABI merupakan pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan oleh sebagai alat diagnosis utama PAD (Bakal et al. American College of Cardiology Foundation/American Heart Association, 2012). ABI dapat mendeteksi lesi stenosis minimal 50% pada pembuluh darah tungkai (Cacoub P et al, 2009). Pemeriksaan ABI memiliki sensitivitas 79% dan spesifisitas 96% dalam mendiagnosis penyakit arteri perifer (Antono dan Hamonanganl, 2014).
Uji Ankle Brachial Index (ABI) digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya PAD dengan indikator score ABI, dan juga digunakan untuk menilai tingkat keparahan PAD (Antono, 2009). Nilai ABI yang rendah berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi. Nilai ABI dapat menjadi prediktor yang akurat untuk pasien penderita PJK (seperti kadar kolesterol darah, kadar kalsium jantung, dan kadar C-reaktif protein) (Vienna, VA et
Nilai ABI pada orang sehat berkisar 0.91-1.3. Nilai ABI <0.90 digunakan sebagai batas diagnosis penyakit arteri perifer. Nilai ABI 0.4-0.9 menunjukkan adanya penyakit arteri perifer ringan-sedang, dan nilai ABI ≤0.4 menunjukkan suatu penyakit arteri perifer berat. Pada kasus tertentu dimana terdapat kekakuan vaskular yang sering ditemukan pada pasien Diabetes Melitus dan pasien gagal ginjal, nilai ABI dapat berada di kisaran ≥1.4. nilai ABI berkolerasi dengan tingkat keparahan LEAD dimana ABI <0.50 memiliki risiko tinggi amputasi (Antono dan Hamonanganl, 2014).
Puskesmas merupakan tempat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, banyak warga memilih untuk berobat ke puskesmas sebelum melakukan pengobatan ke Rumah Sakit yang lebih besar. Berdasarkan hasil survey peneliti di Puskesmas Cilongok II beberapa pasien DM yang seringkali mengeluhkan kesemutan, nyeri, kram saat beraktivitas dan mereda saat beristirahat. Fenomena yang terjadi bahwa gejala seperti kesemutan, nyeri dan kram yang sering di alami oleh pasien DM dapat menjadikan data subyektif dalam pemeriksaan untuk menentukan seseorang mengalami PAD dilihat dari gejala klinisnya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menilai bahwa seseorang pasien mengalami PAD adalah dengan cara mengukur score
Ankle Brachial Index (ABI), alat untuk mengukur score ABI yaitu vascular doppler. Pada pemeriksaan score ABI dapat dilakukan mandiri
yang cukup mahal, pemeriksaan ABI jarang dijumpai pada tempat pelayanan kesehetan umum seperti puskesmas. Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengaplikasikan pemeriksaan score ABI di dalam lingkup komunitas sehingga menambah wawasan bagi masyarakat karena alat vascular doppler untuk mengukur score ABI merupakan alat yang cukup mahal. Oleh karena itu diperlukan metode untuk mengetahui
score ABI penderita DM, dalam pemeriksaan penunjang untuk
mengetahui pasien mengalami PAD selain menggunakan alat vascular
doppler.
Berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi serta mencermati pernyataan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Score Ankle Brachial Index (ABI) terhadap Gejala Klinis
Peripheral Arterial Disease (PAD) pada Pasien DM” B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara gejala klinis Peripheral Arterial
Disease (PAD) terhadap Score Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien
DM?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan Score Ankle Brachial Index (ABI) terhadap gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD) pada pasien DM. 2. Tujuan Khusus
a. Score Ankle Brachial Index (ABI).
b. Gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD).
c. Hubungan antara gejala klinis Peripheral Arterial Disease (PAD) terhadap Score Ankle Brachial Index (ABI).
d. Prediksi Score Ankle Brachial Index (ABI) dilihat dari tanda dan gejala Peripheral Arterial Disease (PAD).
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Profesi Keperawatan
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi perawat tentang pemeriksaan Score Ankle Brachial Index (ABI) dan gejala-gejala
Peripheral Arterial Disease (PAD) pada pasien, khususnya pasien
DM. Setelah penelitian ini di harapkan perawat mampu mengaplikasikan hasil penelitian kepada pasien.
2. Bagi Responden
Penelitian ini bermanfaat bagi responden untuk mengetahui faktor risiko serta gejala PAD dan mengetahui seberapa besar risiko mengalami PAD dengan pemeriksaan Score Ankle Brachial Index (ABI).
3. Bagi instansi terkait (Puskesmas)
Penelitian ini sebagai bahan informasi dan menambah pengetahuan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien PAD dengan cara memprediksi score ABI yang di lihat dari gejala PAD. Sekaligus dapat di jadikan sebagai standar operasional prosedur di puskesmas tersebut.
4. Bagi peneliti lain
Dapat dimanfaatkan sebagai referensi dan dasar penelitian lebih lanjut tentang pengaruh score ABI terhadap gejala klinis PAD.
E. Penelitian Terkait
1. Khairani (2011), melakukan penelitian dengan judul “Korelasi antara Nilai Ankle Brachial Index dengan Status Kognitif pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Lanjut Usia di RSUP Dr. Kariadi Semarang”. Desain penelitian menggunakan desain Cross-Sectional. Penelitian berjumlah 54 subyek dengan kriteria inklusi subyek adalah penderita diabetes mellitus tipe 2 yang berusia 60 tahun ke atas dapat diperiksa ABI. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya subyek penelitian yang mengalami Peripheral Arterial Disease (PAD) yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai ABI. Nilai ABI dapat mencerminkan tingkat keparahan PAD sehingga sejak dini dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi yang lebih lanjut dari diabetes mellitus tipe 2. Persamaan penelitian ini adalah pada penderita DM, pengukuran score ABI dan desain penelitian Analitis Korelatif. Perbedaan penelitiannya adalah perbedaan variabel gejala klinis PAD.
2. Roza dkk (2015), melakukan penelitian dengan judul “Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan dan Inap di RSUP Dr. M. Djamil dan RSI Ibnu Sina Padang”. Dengan desain penelitian Case Control, untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian ulkus diabetikum. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa PAD berhubungan dengan kejadian ulkus diabetikum. Hal ini terlihat dengan nilai p = 0,002 dan nilai OR= 5, 5 (CI=1,813-16,681). Persamaan penelitian ini adalah penderita DM dengan perbedaan variabel penelitian berupa faktor risiko kejadian ulkus diabetikum dan desain penelitian berupa Case Control sedangkan peneliti menggunakan metode survey.
3. Rusmono (2015), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Senam Kaki terhadap Score Ankle Brachial Index (ABI) pada Pasien Diabetes Mellitus (DM) Non Ulkus di Puskesmas Purwanegara I”. Dengan desain penelitian quasy eksperimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam kaki terhadap penurunan Score
Ankle Brachial Index (ABI). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan score ABI sebelum dan sesudah dilakukan senam kaki 20 menit dengan 4 kali tratment p value < 0,05. Persamaan penelitian ini adalah penelitian dilakukan pada pasien DM dan variabel
Score Ankle Brachial Index (ABI) dengan perbedaan penelitian yaitu
peneliti menggunakan metode survey dan perbedaan variabel gejala klinis PAD.
4. Simatupang dkk (2013), melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Faktor Risiko Kardiovaskular pada Pasien DM Tipe 2 di RSUP. Prof. Dr. R.D Kandau Manado”. Dengan desain penelitian Cross-Sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara PAP
dengan faktor risiko kardiovaskular pada pasien DMT2. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa orang dengan usia yang lebih tua berisiko 1,881 kali mendapatkan PAP,walaupun nilai P menunjukan hubungan yang tidak bermakna. Persamaan penelitian ini adalah pada penderita DM dengan perbedaan pada variabel penelitian berupa faktor risiko kardiovaskular sedangkan variabel penelitian peneliti yaitu gejala klinis PAD.
5. Thendria dkk (2014), melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Hipertensi dan Penyakit Arteri Perifer Berdasarkan Nilai
Ankle-Brachial Index di Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak”.
Dengan desain penelitian Cross-Sectional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hipertensi dan PAP berdasarkan nilai ABI. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Prevalensi PAP pada pasien hipertensi adalah sebesar 21% (IK95%: 11-31%). Terdapat hubungan yang bermakna antara hipertensi dan penyakit arteri perifer berdasarkan nilai Ankle-Brachial Index (ABI) (p<0,05). Persamaan penelitian adalah Penyakit Arteri Perifer dan Nilai Ankle-Brachial
Index, sedangkan perbedaan penelitian ini peneliti akan meneliti