(The Translation of Character’s Name in Children’s Literature into Indonesian)
oleh/by:
Singgih Daru Kuncara
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Jalan Flores No.1 Samarinda 75112
Telp (0541) 734582 Pos-el: [email protected] Diterima: 7 Juni 2015, Disetujui: 13 Januari 2016
ABSTRAK
Makalah ini mendiskusikan penerjemahan nama dalam karya sastra anak. Keunikan penerjemahan untuk anak-anak adalah penerjemah fokus pada pembaca sasaran. Objek penelitian pada tulisan ini adalah nama karakter dalam cerita Walt Disney. Teknik penerjemahan nama yang digunakan adalah peminjaman murni, peminjaman alamiah, harfi ah, dan adaptasi. Penerapan teknik adaptasi sebaiknya diminimalkan karena cenderung melanggar keinginan penulis karya sastra untuk memberikan nama yang bermakna pada karakter tertentu. Selain itu, pengurangan teknik adaptasi dapat membantu anak-anak agar memahami budaya lain.
Kata kunci: nama, penerjemahan, anak-anak, budaya
ABSTRACT
This paper discusses translation of personal name in children’s literature. The uniqueness of translating for children is that the translator is concerned with the target readers. The object of this paper is character’s name in Walt Disney stories. Techniques in translating names are pure borrowing, naturalized borrowing, literal translation, and adaptation. Adaptation technique should be minimized because it tends to violate the author’s intention to give a meaningful name to a certain character name. Reducing adaptation technique also helps the children to respect and know about other cultures.
Keywords: name, translation, children, culture
PENDAHULUAN
Setahap ini kuantitas terjemahan
buku-buku asing ke dalam Bahasa
Indonesia terus meningkat. Hal itu
membuka jalur informasi yang begitu
lebar sehingga berdampak positif pada
pertukaran informasi, pengetahuan, dan
kebudayaan antarnegara. Karya-karya
sastra baik karya klasik, karya populer
ataupun karya sastra anak, menjadi
bahan penerjemahan yang populer, hal
ini bisa dilihat dari maraknya karya
sastra terjemahan yang ditawarkan di
berbagai toko buku. Namun demikian,
kualitas terjemahannya masih perlu
mendapat perhatian khusus karena
penerjemahan bukanlah proses yang
mudah, terlebih karya sastra anak, yang
pembaca sasarannya adalah anak-anak
dengan segala keunikannya. Tentunya
kualitas terjemahannya pun harus
disesuaikan dengan kemampuan
anak-anak agar mudah memahaminya.
Penerjemahan karya sastra anak
menjadi sesuatu yang penting. Karya
sastra anak merupakan sarana yang
baik untuk membantu anak-anak
menggunakan imajinasi mereka,
menambah perbendaharaan kosa
kata, memahami kebudayaan baik
kebudayaan sendiri maupun kebudayaan
dari luar, seperti yang dimaksud dalam
kutipan berikut ini.
And, if the titles refl ect the diverse groups of people in the world around them, children can learn to respect not only their own cultural groups, but also the cultural of others. Children’s literature serves as both a mirror to children and as a window to the world around them by showing people from diverse groups playing and working together, solving problems and overcoming obstacles. At its best, multicultural children’s literature helps children understand that despite our many differences, all people share common feelings and aspirations. (www.partnersagainsthate.org)
Mengingat pentingnya karya sastra
anak, proses penerjemahannya harus
lebih sensitif. Dalam penerjemahan
karya sastra anak, seorang penerjemah
dituntut untuk lebih fokus pada
anak-anak sebagai pembaca sasaran
dengan segala keterbatasannya dalam
memahami suatu nilai kebudayaan
tertentu. Hal tersebut dimaksudkan pula
agar penerjemah tidak hanya fokus pada
faktor linguistik saja, namun juga faktor
budaya termasuk karakteristik anak
sebagai pembaca sasaran.
Sejalan dengan itu, penulis tidak
sependapat dengan Shavit (1986), yang
menyatakan bahwa penerjemah karya
sastra anak dapat melakukan manipulasi
teks dengan mengubah, memperbesar,
meringkas dengan cara menghapus atau
menambahkan.
Unlike contemporary translators of adult books, the translator of children’s literature can permit himself great liberties regarding the text, as a result of the peripheral position of children’s literature within the literary polysystem. That is, the translator is permitted to manipulate the text in various ways by changing, enlarging, or abridging it or by deleting or adding to it. (Shavit, 1986)
Hal itu akan berlawanan dengan
prinsip dasar sebuah penerjemahan,
yaitu dalam pengalihan makna
haruslah sepadan atau sama, tidak
ditambahi ataupun dikurangi. Apabila
A diterjemahkan menjadi A tidak
perlu dilebih-lebihkan. Walaupun
lebih lanjut Shavit menjelaskan hal
tersebut dilakukan dengan tujuan agar
lebih mudah dipahami oleh
anak-anak. Penerjemahan karya sastra
anak, memang harus difokuskan pada
pembaca sasaran, yaitu anak-anak. Akan
tetapi, hal tersebut tentunya harus tetap
dalam kaidah-kaidah penerjemahan itu
sendiri. Dalam hal inilah letak keunikan
penerjemahan karya sastra anak,
penerjemah dituntut untuk menghasilkan
terjemahan yang mudah dipahami oleh
anak-anak sekaligus tetap menjaga
kualitas terjemahannya.
Kerangka Teori
Kerangka teori berisi rujukan
pustaka dari teori-teori yang digunakan
dalam makalah ini. Teori penerjemahan
yang digunakan meliputi pengertian dari
penerjemahan, teknik penerjemahan dan
penerjemahan nama.
Defi nisi Penerjemahan
Setiap pakar memiliki defi nisi
yang berbeda mengenai penerjemahan,
terutama dalam penggunaan istilah.
Akan tetapi, setiap defi nisi tersebut
memiliki maksud yang cenderung sama.
Defi nisi penerjemahan yang diambil dari
pendapat beberapa ahli penerjemahan
digunakan sebagai bahan acuan untuk
memahami arti penerjemahan. Menurut
Nida (1969:12) “Translation consists of
reproducing in the receptor language the
closest natural equivalence of the source
language message, fi rst in terms of
meaning and secondly in terms of style.
”
Penerjemahan adalah mereproduksi
padanan yang wajar dan paling dekat
dengan pesan pada Bahasa Sumber
(BSu). Pertama, yang berhubungan
dengan makna, lalu yang berhubungan
dengan gaya. Dalam defi nisi ini, makna
dan gaya pada BSu harus tersampaikan
secara wajar dalam Bahasa sasaran
(BSa). Defi nisi yang kedua berasal
dari Catford (1978:20), penerjemahan
adalah penempatan kembali suatu teks
dalam BSu ke dalam teks BSa. Yang
ditempatkan kembali adalah materi
teks dalam BSu ke dalam BSa dan
tetap sepadan. Bukan mengganti materi
teks dengan teks lain. Jadi menurut
Catford, dalam penerjemahan seorang
penerjemah harus mampu mengganti
atau menempatkan kembali suatu
materi teks ke BSa yang sepadan. Dapat
dipahami pula dari pengertian ini, bahwa
penerjemahan adalah proses pencarian
padanan teks BSu untuk ditempatkan
sebagai teks BSa. Sementara itu, Larson
(1984:3) mengemukakan “Translation
is transferring the meaning of the source
language into the receptor language.
This is done by going form the form of
the fi rst language to the form of a second
language by way of semantic structure.
”,
yaitu penerjemahan adalah transfer
makna dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran. Lebih lanjut diterangkan,
proses transfer dilakukan pada bentuk
dan struktur semantiknya. Newmark
(1988:5), “Translation is rendering
the meaning of e text into another
language in the way that the author
intended the text.
” Yang menarik dari
konsep penerjemahan dari Newmark
adalah adanya maksud pengarang teks
yang harus diperhatikan oleh seorang
penerjemah. Jadi dalam penerjemahan,
maksud pengarang dalam BSu dijadikan
tolok ukur dari sesuai atau tidak makna
yang ada pada BSa.
Berdasarkan empat pengertian
penerjemahan tersebut, ditemukan
bahwa penerjemahan melibatkan dua
bahasa, yaitu bahasa sumber (BSu) dan
bahasa sasaran (BSa). Kedua bahasa
tersebut diikat dengan kesamaan makna.
Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa
penerjemahan adalah pengalihan makna
dari BSu ke BSa sesuai dengan isi pesan,
gagasan, dan ide yang ada dalam BSu,
kemudian ditempatkan secara wajar
pada BSa. Dalam penerjemahan yang
dialihkan bukan sekadar bentuk bahasa,
tetapi juga makna yang terkandung
bahkan nilai-nilai budaya pun perlu
disampaikan secara jelas agar dihasilkan
terjemahan yang akurat, berterima, dan
mudah dipahami.
Penerjemahan Nama
Istilah nama secara keilmuan dikaji
dalam suatu kajian tertentu yang disebut
onomastics
, yang berasal dari bahasa
Yunani onomastikos dari anoma yang
berarti nama. Lebih lanjut, onomastics
dibagi lagi ke dalam nama persona
(anthroponomastics dari anthropos
yang berarti human being) nama yang
mengacu pada penamaan seseorang;
dan nama tempat (toponomastics dari
topos
yang berarti tempat) nama yang
mengacu pada penamaan sebuah tempat.
Konsep tersebut dikritik oleh Fernandes
(2006), yang mengemukakan bahwa
ada kekaburan mengenai istilah nama
orang dan tempat, bisa saja nama sebuah
tempat diambil dari nama seseorang
seperti nama tempat Alberta di Kanada
yang merupakan nama seorang putri.
Dalam hal ini sebetulnya bukanlah
masalah, Alberta ketika mengacu pada
penamaan sebuah tempat tetap disebut
nama tempat, namun ketika dalam
konteks nama seorang putri dimasukkan
ke dalam nama persona. Sejalan dengan
hal ini, objek yang diteliti dalam
makalah ini ialah yang termasuk dalam
nama persona. Kemudian, nama tersebut
diterapkan dalam sebuah karya sastra
anak menjadi nama yang ada dalam
tokoh atau karakter dalam karya tersebut.
Menurut Nord (2003) pengertian
‘nama’ ialah kata atau sekumpulan kata
yang berfungsi sebagai identifi kasi pada
nama individu, binatang, tempat ataupun
benda. Lebih lanjut Nord menambahkan
“directly to a single, concrete referent”,
jadi sebuah nama hanya mengacu pada
satu referen saja. Dalam makalah ini,
yang dimaksud nama karakter ialah
nama suatu karakter tokoh yang hanya
mengacu pada tokoh tersebut saja tidak
ke karakter yang lain.
Salah satu unsur penting
dalam menerjemahkan suatu karya
sastra adalah pada penamaannya.
Penerjemahan nama menjadi sesuatu
yang mencolok dan langsung terlihat
oleh pembaca sehingga perlu mendapat
perhatian khusus, seperti menurut Nord
(2003:182) dalam Fernandes (2006).
“Just a quick glance at translated texts
can reveal that translators do all sorts
of things with names; such as substitute,
transcribe and omit them.
” Nama dalam
suatu karya sastra anak memiliki peranan
yang penting dalam menggambarkan
suatu karakter tertentu, untuk membantu
pembaca anak-anak dalam memahami
sebuah cerita. Menurut Nord (2003) “in
fi ctional texts there is no name that has
no informative function at all
”, setiap
nama selalu memiliki fungsi tersendiri
dalam satu keutuhan plot cerita.
Names in a literary work are specifi c: it may be guessed that behind most names there was an author’s intention. Proper names in literature fulfi ll identifying, fi ctionalizing and characterizing functions (Debus, 2002:73—90)
Menurut Debus dalam Fornalczyk
(2007), pemilihan nama suatu karakter
oleh si pengarang tentunya memiliki
maksud dan tujuan tertentu, bukanlah
sesuatu yang asal-asalan. Untuk itu,
penerjemah haruslah menghormati
pemilihan nama tersebut. Salah satu
penghormatan yang dapat dilakukan
seorang penerjemah ialah dengan tidak
menghilangkan sama sekali penamaan
suatu karakter dalam suatu karya sastra.
Teknik Penerjemahan Nama
Teknik penerjemahan adalah cara
yang digunakan untuk mengalihkan
pesan dari BSu ke BSa. Pengalihan
itu diterapkan pada tataran kata, frasa,
klausa maupun kalimat. Molina dan Albir
(2002) menyatakan teknik penerjemahan
memiliki lima karakteristik:
1) teknik penerjemahan memengaruhi
hasil terjemahan;
2) teknik diklasifi kasikan dengan
perbandingan pada teks BSu;
3) teknik berada di tataran mikro;
4) teknik tidak saling berkaitan tetapi
berdasarkan konteks tertentu;
5) teknik bersifat fungsional.
Teknik penerjemahan nama
telah banyak ditulis oleh para pakar
penerjemahan. Namun, secara umum
teknik tersebut sama antara satu dan
lainnya. Teknik penerjemahan nama
menurut Hermans adalah sebagai
berikut.
They can be copied, i.e. reproduced in the target text exactly as they were in the source text. They can be transcribed, i.e. transliterated or adapted on the level of spelling, phonology, etc. A formally unrelated name can be substituted in the target text for any given name in the source text (…). And insofar as a (…) name in a source text is enmeshed in the lexicon of that language and acquires ‘meaning’, it can be translated (Hermans, 1988:13)