• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. karya fiksi tidak harus sama dan memang tidak perlu disamakan dengan kebenaran yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI. karya fiksi tidak harus sama dan memang tidak perlu disamakan dengan kebenaran yang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Fiksi

Novel dan cerpen merupakan sebuah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti alur, tokoh dan penokohan dan sebagainya. Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sama dan memang tidak perlu disamakan dengan kebenaran yang berlaku di dunianya. Hal itu disebabkan dunia fiksi yang imajiner dengan dunia nyata masing-masing memiliki sistem-hukumnya sendiri.

Menurut Nurgiyantoro (2002: 2) dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, mengatakan bahwa:

Fiksi adalah cerita rekaan atau khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Dengan demikian, menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.

Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas, yaitu sesuatu yang benar dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris.

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Fiksi merupakan hasil dialog dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi deanggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya

(2)

imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.

Nurgiyantoro (2002: 166) dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, mengatakan juga bahwa:

Fiksi suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya. Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti yang disikapi dan dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri.

Fiksi yang merupakan sebuah cerita dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya. Hal itu disebabkan setiap orang senang cerita, apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan. Melalui sarana cerita itu pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang. Cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan.

Realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Sarana untuk menciptakan ilusi yang dipergunakan untuk memikat pembaca agar mau memasuki situasi yang tidak mungkin atau luar biasa adalah dengan cara patuh pada detil-detil kenyataan kehidupan sehari-hari. Terhadap realitas kehidupan karya fiksi akan membuat distansi estetis, membentuk dan membuat artikulasi (sendi). Dengan cara

(3)

seperti itu mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dialami dan dirasakan pada dunia nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra.

Dewasa ini penyebutan untuk karya fiksi lebih ditujukan terhadap karya yang berbentuk prosa naratif. Karya-karya lain yang penulisannya tidak berbentuk prosa, misalnya berupa dialog seperti dalam drama atau sandiwara, termasuk scenario untuk film, juga puisi-puisi drama dan puisi balada, pada umumnya tidak disebut sebagai karya fiksi. Bentuk-bentuk karya itu dipandang sebagai hal yang berbeda. Walau demikian, sebenarnya tidak dapat disangkal bahwa karya-karya itu juga mengandung unsur rekaan. Dalam penulisan ini istilah dan pengertian fiksi sengaja dibatasi pada karya yang berbentuk prosa, prosa naratif atau teks naratif, seperti novel dan cerita pendek. Novel dan cerita pendek (cerpen) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinomin dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel.

Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak (secara implisit), dari sekedar apa yang diceritakan. Sedangkan kelebihan novel adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks.

Dikatakan bahwa pengertian Novel menurut Wikipedia Ensiklopedi (dalam http://ja.wikipedia.org/wiki/), adalah

小説とは、文学のー形式である。内容的にいえば、陏想や批評、伝記、 史書に対して、架空の物語もしくは現実にあった物語を虚構化したもの であり、手法的にいえば、詩に対して、散文形式による敘述をとる。英 語での novel はスペイン語での novela や、フランス語の nouvelle と同語源 であり、もともとラテン語で「新しい話」を意味する。

小説は「虚構の連続性と因果律のある話の構造」を持つことが条件であ るという説は古くから行われてきたものである。

(4)

Novel adalah bentuk baku dari kesusastraan, yang isinya berupa ide, komentar, bibliografi, sejarah, cerita imajinasi atau kenyataan yang diubah dalam bentuk fiksi. Sedangkan secara teknis dideskripsikan sesuai bentuk baku dari prosa dan puisi. Dalam Bahasa Inggris disebut novel, dalam Bahasa Spanyol disebut novela, dan dalam Bahasa Perancis dari sumber kata yang sama yaitu novelle, sedangkan sumber katanya dari Bahasa Latin yang artinya cerita baru.

Novel memiliki syarat kerangka cerita dari hukum sebab-akibat dan kontinitas fiksi, yang ada dari zaman dahulu hingga sekarang.

Novel atau fiksi mempunyai unsur-unsur yang saling berhubungan seperti alur, tokoh-tokoh dalam cerita yang mendukung kesatuan cerita sehingga menarik untuk dibaca atau ditelusuri.

2.2 Alur Cerita

Plot cerita sering disebut kerangka cerita atau alur. Alur merupakan bagian yang penting dari cerita fiksi (rekaan). Meskipun cerita rekaan mutakhir yang sering disebut nonkonvensional sering dinyatakan tanpa alur, namun jika diselusuri memiliki alur juga. Hanya saja karena alurnya tidak konvensional (kesepakatan umum), maka orang mengatakan tanpa alur.

Alur erat kaitannya dengan konflik antara tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Baik alur maupun konflik berkaitan erat dengan tokoh atau penokohan. Keduanya merupakan unsur fundamental dari cerita rekaan.

Nurgiyantoro (2002: 113) dalam buku Teori Pengkajian Fiksi mengatakan bahwa:

Alur merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Peristiwa-peristiwa cerita (alur) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.

(5)

Peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang. Dalam rangkaian kejadian itu terdapat hubungan sebab-akibat yang bersifat logis, artinya pembaca merasa bahwa secara rasional kejadian atau urutan kejadian itu memang mungkin terjadi atau tidak dibuat-buat. Daya tarik mengapa seseorang membaca cerita rekaan adalah bahwa cerita menimbulkan keingintahuan dan menarik pembaca untuk menelusuri mengapa hal itu terjadi, baik pada permulaan, tengah maupun akhir. Alur tidak hanya menyangkut peristiwa, namun juga cara pengarang mengurut-urutkan peristiwa itu, dan juga motif, konsekuensi dan hubungan antara peristiwa yang satu dengan lainnya.

Menurut Waluyo (2002: 147) dalam buku Pengkajian Sastra Rekaan mengatakan:

Dalam alur, sebab-akibat logis merupakan hal yang utama. Dengan adanya sebab-akibat logis tersebut, sebuah teks cerita rekaan mempunyai kesatuan dalam keseluruhan.

Karenanya alur memegang peranan penting dalam cerita. Dalam inti cerita, tergambar alur suatu cerita. Alur juga berkaitan dengan pembagian waktu dan irama cerita. Pada awal cerita, irama waktu cukup longgar. Waktu bercerita itu makin dipercepat pada perumitan dan lebih cepat lagi pada penggawatan agar secepatnya mencapai klimaks. Kecepatan timing itu menunjukkan bahwa pada awal-awal cerita, pengarang dapat bercerita secara rinci. Pada waktu penggawatan, kejadian harus segera mencapai puncaknya atau klimaks.

(6)

2.2.1 Fungsi Tujuh Unsur Alur

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa alur berfungsi untuk: membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci, dan menyediakan tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya.

Menurut Waluyo (2002: 147) menjelaskan, alur juga berkaitan dengan pembagian waktu dan irama cerita (timing dan ritme). Pada awal cerita, irama waktu cukup longgar. Waktu bercerita itu makin dipercepat pada perumitan dan lebih cepat lagi pada penggawatan agar secepatnya mencapai klimaks. Kecepatan timing itu menunjukkan bahwa pada awal-awal cerita, pengarang dapat bercerita secar rinci. Pada waktu penggawatan, kejadian harus segera mencapai klimaksnya.

Sehubungan dengan kecepatan timing dan ritme ini, pengarang yang baik akan mampu secara tepat mengatur komposisi cerita sehingga yang dinamakan klimaks cerita adalah klimaks dari segalanya. Klimaks dari konflik, perasaan, kejadian, dan sebagainya. Sesudah terjadinya klimaks tersebut, tidak akan ada kejadian yang lebih tinggi tingkatannya. Pengarang yang belum trampil, tidak akan mampu menjalin keharmonisan komposisi tersebut.

Waluyo (2002: 147-148) dalam buku Pengkajian Sastra Rekaan, alur cerita meliputi tujuh unsur, yaitu:

1. Paparan (Exposition) artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman.

(7)

2. Rangsangan (Inciting moment) adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan.

3. Penggawatan (Rising action) adalah penanjakkan konflik yang selanjutnya terus terjadi peningkatan konflik.

4. Perumitan (Complication) adalah konflik yang semakin ruwet. Di bagian ini klimaks cerita harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut.

5. Klimaks (Climax) artinya dalam cerita harus ada puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut.

6. Peleraian (Falling action) artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang.

7. Penyelesaian (Denovement). Unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang sendiri dapat juga kita yang mentafsirkan sendiri penyelesaian cerita.

Pada prinsipnya alur cerita terdiri atas tiga bagian, yakni:

1. Alur awal terdiri atas paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action).

2. Alur tengah cerita terdiri atas pertikaian atau perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax).

3. Alur akhir cerita terdiri atas peleraian (falling action) dan penyelesaian (denovement).

(8)

Dalam alur cerita, tidak hanya menampilkan cerita-cerita atau bentuk-bentuk dari jalan cerita itu sendiri tetapi harus mempunyai sifat masuk akal; adanya kejutan, artinya kejadian yang tidak disangka-sangka sebagai akibat dari peristiwa yang mendahului; tegangan, artinya dalam cerita adanya ketegangan pada akhir periode yang biasanya berkaitan dengan sesuatu sehingga cerita lebih konkrit; kesatuan dalam cerita, artinya adanya urutan perisiwa dalam alur cerita; dan adanya ekspresi, artinya cerita itu akan hidup jika ada pengalaman-pengalaman batin si pengarang yang dapat dihayati agar pembaca menghayati makna karya sastra yang dibaca itu.

Dalam sebuah cerita, ada kejadian pokok dan ada pula kejadian sampingan. Kejadian sampingan tidak boleh terlalu jauh menyimpang dari kejadian pokok. Jika kejadian sampingan terlalu jauh, maka akan mengganggu alur cerita. Kejadian sampingan hendaknya dipaparkan dalam rangka memperkuat cerita atau latar belakang tokoh atau cerita itu. Dalam menggambarkan kerangka cerita secara umum, biasanya kejadian sampingan itu tidak ikut dilukiskan. Novel dan cerpen (juga roman) mungkin sekali melukiskan kejadian sampingannya, tetapi di dalam cerpen biasanya tidak melukiskan kejadian sampingan.

Waluyo (2002: 144) juga menjelaskan bahwa alur cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak cerpen, juga novel yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca). Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap tokoh atau latar.

Dikatakan bahwa pengertian Plot menurut Wikipedia Ensiklopedi (dalam http://ja.wikipedia.org/wiki/), adalah

(9)

プロットとは、小説、戯曲、映画、漫画等の創作物における枠組み、構 成のこと。プロットは時間軸に沿っているとは限らないが、出来事の因 果関係を示している。

Plot adalah susunan kerangka yang dapat diletakkan dalam novel, drama, film, karya sastra, dan komik. Plot mengikuti proses waktu tanpa batas, setiap peristiwa menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Dalam alur, kejadian-kejadian itu harus membentuk suatu kesatuan atau keutuhan dalam jalinan yang logis dan runtut. Pembaca diusahakan agar dapat menangkap benang merah yang menjalur dari awal hingga akhir cerita.

2.3 Tokoh dan Penokohan

Di dalam sebuah fiksi (karya naratif), tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur yang terpenting. Walaupun unsur plot juga tidak bisa kita abaikan begitu saja karena kejelasan tentang tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung pada plot dalam cerita. Istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan atau karakter dan karakteristik secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada teknik pengembangannya dalam sebuah cerita. Tetapi pada bagian ini penulis akan menjelaskan tentang tokoh dan penokohan.

2.3.1 Tokoh

Nurgiyantoro (2002: 165) dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, mengatakan bahwa:

Istilah “tokoh” adalah menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya dan istilah tokoh cerita. Dapat juga dikatakan sebagai orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

(10)

Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (non verbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.

Dunia fiksi menciptakan dunia sendiri yang harus dibedakan dengan kenyataan; namun dunia fiksi itu berdiri di samping dunia kenyataan yang menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan kenyataan itu. Tokoh-tokoh fiksi tidak ada dalam kenyataan, namun tokoh-tokoh itu harus ada kaitannya dengan manusia yang ada di sekitar kita. Tokoh-tokoh itu haruslah tokoh-tokoh yang dapat dibayangkan oleh pembaca atau penikmat sebagai tokoh yang mungkin ada di sekitar kita.

Menurut Waluyo (2002: 9) menjelaskan bahwa sebagai tokoh yang mungkin dijumpai dalam kenyataan, tokoh yang digambarkan adalah tokoh yang bersikap total, lengkap dengan tingkah laku, dialog, kebiasaan, karakter yang spesifik, emosi, perkembangan psikisnya, dan sebagainya. Setidak-tidaknya ada hal-hal dalam diri tokoh itu yang juga ada di dalam diri pembaca. Tokoh yang luar biasa dan aneh pun sebaiknya relevan dengan pembaca, sehingga tokoh itu dapat mendukung keutuhan artistik cerita rekaan tersebut.

2.3.2 Penokohan

Nurgiyantoro (2002: 166) dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, mengatakan bahwa:

Penokohan dan karakteristik, sering juga disamakan artinya yaitu menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah

(11)

cerita; pelukisan gambaran yang jelas teknik perwujudan dan pengembangan tentang tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Dalam sebuah cerita penulis menggambarkan tokohnya secara realistis atau tidak realistis. Realistis adalah sebagaimana manusia pada umumnya, mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tidak realistis sebaliknya adalah penggambaran tokoh yang berlebihan, artinya tokoh yang baik digambarkan baik sekali tanpa kekurangan. Sedangkan yang jahat atau buruk akan digambarkan jahat sekali tanpa ada setitik kebaikan.

Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar. Dimana tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampaian pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus.

Referensi

Dokumen terkait

Jika steering return ini macet maka secara otomatis belt conveyor tidak bisa diarahkan, jika terus dibiarkan akan membuat belt jogging dan kalau terus dibiarkan

Laporan praktikum yang akan saudara buat secara berkelompok merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban personal yang terkait dengan cara-cara pengamatan,

Kuat lemah atau tinggi rendahnya korelasi antardua variabel yang sudah kita teliti dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya angka indeks korelasi, yang

% .ariabel bebas dalam penelitian ini adalah umur) &enis kelamin) kadar hemoglobin) aktifitas fisik) minum teh dan minum kopi% /edangkan "ariabel terkaitnya

Perkiraan kompartemen obat pada tubuh adalah mengikuti model komartemen satu, karena obat yang diberikan dengan cara injeksi sehingga obat langsung masuk ke dalam sirkulasi

Berdasarkan hasil penelitian, dari 70 data diksi pada antologi cerpen “ Mencari Jejak Harta Karun Bangsa” didominasi dengan penggunaan kata serapan sebanyak 58 data

Isolat Actinomycetes BYL-15 dan BYL-28 merupakan bakteri penghasil enzim protease alkalin termostabil yang sangat potensial untuk dikembang- kan sebagai sumber gen maupun

Skripsi ini berhasil menemukan bukti empiris bahwa financial distress dipengaruhi oleh jumlah komite audit, frekuensi rapat komite audit, keahlian keuangan atau