• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI EKONOMI TATANIAGA KERBAU DARI KABUPATEN PANDEGLANG DAN KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI EKONOMI TATANIAGA KERBAU DARI KABUPATEN PANDEGLANG DAN KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI EKONOMI TATANIAGA KERBAU DARI

KABUPATEN PANDEGLANG DAN KABUPATEN LEBAK

PROVINSI BANTEN

(Economic Value of Buffalo Marketing in Pandeglang and

Lebak Districts Banten Province)

UKA KUSNADI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Pandeglang and Lebak District are the major development buffalo area of Banten Province. Their marketing process of buffalo in both districts involves traders who are responsible to distribute buffaloes not only inside the district, but also outside the district, even outside Banten Province. This research was aimed as investigating marketing pathways, cost, margin and profit for buffalo traders and farms share of the price. A survey technic was applied (employed) to 72 buffalo farmers and traders for 3 months. The result indicated that buffalo productivity performances were low, i.e. fertility was 68 – 74%, first calving age was 42 – 44 months and calving interval was 630-720 days. Profit obtained from this farming ranged from Rp 106.250 to Rp. 391.000 with B/C ratio 0,20. Marketing pathways were quite efficient with value of margin of 22.4 – 25.9%, marketing cost of 6.9 – 8.1%. Profit obtained by traders were 15.5 – 17.8%, with the remainding portion (80 – 85%) was obtained by farm’s share.

Key Words: Economic, Marketing, Buffalo

ABSTRAK

Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan daerah pengembangan usaha ternak kerbau di Propinsi Banten. Proses tataniaga ternak kerbau di kedua kabupaten tersebut melibatkan pelaku tataniaga, karena hasil usaha ternak kerbau tersebut disalurkan selain dalam kabupaten tapi juga keluar kabupaten, bahkan keluar Propinsi Banten.Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui, saluran tataniaga, biaya, margin dan keuntungan bagi pelaku tataniaga serta bagian harga yang diterima peternak (farm;s share). Metode penelitian dilakukan dengan cara survei terhadap 72 petani peternak kerbau dan pelaku tataniaga selama tiga bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau masih rendah yaitu fertilitas 68 – 74%, umur beranak pertama 42 – 44 bulan, jarak beranak 630 – 720 hari. Keuntungan usaha ternak kerbau berkisar antara Rp. 106.250 – Rp. 391.000 dengan BCR 0,20. Saluran tataniaga cukup efisien dengan marjin 22,4 – 25,9%, biaya tataniaga 6,9 – 8,1%, keuntungan pelaku tataniaga 15,5 – 17,8%, serta farm’s share 80 – 85%.

Kata Kunci: Ekonomi, Tataniaga, Kerbau

PENDAHULUAN

Pembangunan subsektor peternakan sebagai salah satu bagian integral pembangunan sector pertanian terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat, dan dilaksanakan melalui usaha pembinaan daerah-daerah baru. Tingkat permintaan akan kebutuhan pangan asal ternak terutama kebutuhan daging setiap tahunnya semakin meningkat, terlihat dari perkembangan

permintaan, mulai tahun 1969 sebesar 311,4 ribu ton menjadi 1.085,8 ribu ton pada tahun 1990 dan 1.979,5 ribu ton pada tahun 2001 menjadi 3.686,7 ribu ton pada tahun 2009 (SOEHADJI, 1991; DITJENNAK, 2009). Kondisi ini menunjukkan bahwa permintaan daging selama 40 tahun terakhir meningkat hampir 12 kali lipat atau selama 8 tahun terakhir meningkat rata-rata 11% per tahun.

Melihat permintaan terhadap daging yang terus meningkat, maka diperlukan suatu usaha

(2)

peningkatan produksi dan populasi ternak potong. Salah satu ternak yang menjadi sumber penghasil daging adalah ternak kerbau, yang sampai saat ini memberikan kontribusi sebesar 10,1% dalam penyediaan daging dalam negri. Peningkatan populasi dan produksi ternak kerbau harus disertai oleh adanya kelancaran tataniaga yang menjamin penetapan harga jual yang baik dan merangsang bagi produsen (peternak) untuk terus berproduksi, karena peningkatan produksi peternakan tidak akan mempunyai arti jika produk tersebut tidak dapat dipasarkan dengan baik (KUSNADI, 2009).

Produsen ternak kerbau umumnya tersebar di pelosok pedesaan, sedangkan konsumennya didaerah perkotaan. dengan adanya jarak yang jauh antara produsen dan konsumen menyebabkan peternak melaksanakan penjualan ternaknya melalui pedagang perantara. Dalam proses tataniaga hasil usaha ternak peranan pelaku tataniaga atau perantara tersebut sangat besar terhadap pengaturan dan penentuan harga jual (SOEKARTAWI, 1999). Menurut KARTASAPUTRA (1996) penerimaan peternak hanya berkisar antara 40 sampai 50% dari harga penjualan yang dilakukan oleh pedagang perantara. Hal tersebut sering menimbulkan kerugian bagi pihak peternak karena harga jual yang rendah akan menurunkan tingkat pendapatan, sehingga berpengaruh pula terhadap gairah kerja peternak untuk meningkatkan produksi selanjutnya.

Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan daerah pengembangan usaha ternak kerbau di Provinsi Banten. Proses tataniaga ternak dikedua kabupaten tersebut melibatkan banyak pelaku tataniaga, karena hasil usaha ternak kerbau tersebut disalurkan selain didalam kabupaten tersebut tapi juga ke

luar kabupaten, bahkan ke luar Propinsi Banten (KUSNADI et al., 2006).

Belum banyak diungkapkan bagaimana cara tataniaga, saluran tataniaga, berapa biaya yang dikeluarkan, berapa besar keuntungan bagi pelaku tataniaga kerbau yang terlibat, serta berapa besar bagian harga yang diterima oleh peternak sabagai produsen. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian ini.

MATERI DAN METODE

Obyek penelitian adalah peternak yang memelihara dan yang melakukan penjualan kerbau selama penelitian di Desa Cadasari dan Desa Cikeusik (Kabupaten Pandeglang), Desa Solear dan Desa Neglasari (Kabupaten Lebak). serta lembaga-lembaga yang berperan sebagai pelaku tataniaga ditingkat kabupaten. Lembaga tataniaga yang diteliti adalah : Kelompok tani (petani), pengumpul (blantik), Bandar kerbau (blantik pasar), jagal (rumah potong), pengecer daging (lapak/kios daging) dan konsumen dengan jumlah seperti tertera pada Tabel 1.

Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak dipilih sebagai daerah penelitian berdasarkan pada: kedua kabupaten tersebut merupakan wilayah pengembangan ternak kerbau sesuai dengan program pemerintah daerah setempat; memiliki populasi ternak kerbau terbanyak di propinsi Banten; mewakili agroekosistem yang berbeda) yaitu wilayah pesawahan (Kabupaten Pandeglang) dan wilayah lahan kering (Kabupaten Lebak); dan lokasi yang memiliki prospek pengembangan kerbau ditinjau dari ketersediaan lahan, sarana

Tabel 1. Jenis dan jumlah responden disetiap kabupaten

Jumlah responden (orang) Jenis responden

Pandeglang Lebak Jumlah

Petani peternak kerbau Pengumpul

Bandar kerbau Jagal (rumah potong) Pengecer daging Konsumen daging 26 3 2 2 2 2 24 3 2 2 2 2 50 6 4 4 4 4 Jumlah 37 35 72

(3)

prasarana wilayah dan pemasaran hasil ternak. Penelitian dilakukan selama 3 bulan mulai dari tanggal 16 Mei sampai dengan 15 Agustus 2009.

Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah peternak kerbau yang melakukan penjualan selama penelitian yaitu sebanyak 50 orang. Penarikan contoh baik untuk responden peternak maupun untuk responden pelaku tataniaga dilakukan dengan cara “purposive sampling” yaitu peternak dan lembaga tataniaga yang melakukan penjualan kerbau selama penelitian berlangsung.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung pada obyek penelitian dengan berpedoman kepada kuesioner. Data sekunder diperoleh dari instansi yang ada kaitannya dengan proses tataniaga ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Peubah yang diamati meliputi harga jual ternak kerbau yaitu harga penjualan kerbau baik dari peternak maupun dari pelaku tataniaga lainnya. Dihitung berdasarkan rupiah per satu ekor ternak pada saat transaksi. Biaya Pakan yaitu jumlah biaya pemberian makanan selama proses tataniaga berlangsung hingga tiba di konsumen. Diukur dalam rupiah per satu ekor ternak kerbau. Biaya transportasi yaitu biaya untuk pemindahan ternak kerbau dari produsen menuju lokasi penjualan, meliputi biaya angkut dan biaya terminal atau holding ground. Diukur dalam rupiah per satu ekor. Biaya retribusi yaitu biaya resmi/tak resmi selama pengangkutan dan tenaga kerja selama pengiriman ternak diukur dalam rupiah per satu ekor ternak. Biaya peralatan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk peralatan yang digunakan oleh pelaku dalam proses tataniaga.

Perhitungan biaya dan pembagian keuntungan tataniaga ternak kerbau meliputi marjin tataniaga, keuntungan dan biaya untuk pelaku tataniaga dihitung dengan rumus seperti yang dinyatakan oleh KOHLS dan DOWNEY

(1982) lembaga penelitian UNPAD (2001) dan HAMID (2002) sebagai berikut:

Presentase Laba atau Keuntungan (ML) L

ML = × 100% M

Marjin Tataniaga (M) = HE – HP Laba atau Keuntungan (L) = M – B

Farmer’s share atau besarnya bagian harga yang diterima peternak (Fs)

1 – TM

(Fs) = × 100%

Hk

Jika Fs > 50% tataniaga di nilai efisien (HAMID, 2002)

HE : Harga Penjualan HP : Harga Pembelian B : Biaya Tataniaga

Hk : Harga ditingkat konsumen TM : Total marjin rantai tataniaga

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan umum usaha ternak kerbau

Populasi ternak kerbau di propinsi Banten pada tahun 2010 adalah 156.670 ekor, merupakan populasi lima terbesar di Indonesia, setelah Aceh, sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Utara. Ternak kerbau di Propinsi Banten sebagian besar berada di dua kabupaten yaitu 56.105 ekor (37%) di Kabupaten Lebak dan 49.700 ekor (31,7%) di Kabupaten Pandeglang (DITJENNAK, 2010; PROVINSI BANTEN DALAM ANGKA, 2010).

Pemeliharaan ternak kerbau baik di Kabupaten Lebak maupun di Kabupaten Pandeglang pada umumnya bukan merupakan usaha pokok, tetapi sebagai pekerjaan sambilan dari pekerjaan utama sebagai petani tanaman pangan. Oleh karena itu, penampilan produktivitas dan reproduktivitas sebagai kerbau lumpur untuk menghasilkan daging masih rendah dan memberikan keuntungan yang rendah pula.

Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau

Jenis kerbau yang dipelihara oleh peternak di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang adalah kerbau lumpur dengan rata-rata pemilikan 3 – 4 ekor sebagai penghasil daging. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan terhadap 50 ekor induk dan 26 ekor jantan masing-masing umur lebih dari 2 tahun menunjukkan hasil seperti pada Tabel 2.

Dari Tabel 2 terlihat bahwa penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau di

(4)

Kabupaten Lebak lebih baik dari kerbau di Kabupaten Pandeglang. Hal ini mungkin disebabkan karena di Kabupaten Pandeglang kerbau digunakan sebagai tenaga kerja mengolah tanah. Sehingga mempengaruhi pertumbuhan produksi dan reproduksi kerbau. Sedangkan di Kabupaten Lebak penggunaan kerbau sebagai tenaga kerja pengolah lahan/sawah tidak seintensif di Kabupaten Pandeglang.

Rata-rata ukuran tubuh (panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada) kerbau lumpur yang ada di Lebak maupun Pandeglang masih jauh di bawah ukuran tubuh kerbau lumpur ideal di Vietnam menurut DUNG (2006) (Tabel 2).

Dari Tabel 2 terlihat pula bahwa tingkat produktivitas dan reproduktivitas kerbau di Lebak lebih baik dari kerbau di Pandeglang. Rendahnya tingkat produktivitas dan reproduktivitas kerbau di Pandeglang lebih banyak disebabkan karena kerbau di Pandeglang sangat intensif digunakan sebagai tenaga kerja pengolah tanah. Hal ini sejalan dengan pendapat BUSONO (2006) bahwa kerbau yang digunakan sebagai tenaga kerja akan berdampak terhadap gangguan produksi dan reproduksi kerbau.

Tingkat produktivitas dan reproduktivitas kerbau baik di Kabupaten Lebak maupun di Kabupaten Pandeglang masih jauh lebih rendah dari angka ideal untuk kerbau lumpur (DUNG, 2006; BUSONO, 2006). Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas Produktivitas dan reproduktivitas kerbau di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang perlu ditingkatkan diantaranya melalui peningkatan mutu genetic dengan seleksi yang ketat, perbaikan pakan dan manajemen pemeliharaan yang intensif, sehingga ukuran tubuh, produktivitas dan reproduktivitas kerbau mencapai ukuran ideal. Hal ini erat kaitannya dengan harga jual yang akan meningkat baik sebagai penghasil daging maupun sebagai bibit (KUSNADI, 2009).

Keuntungan usaha kerbau

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan terhadap 10 ekor kerbau jantan yang digemukkan/dibesarkan oleh 8 orang peternak di Kabupaten Pandeglang dan 6 ekor kerbau jantan yang digemukkan/dibesarkan oleh 5 peternak di Kabupaten Lebak, menunjukkan bahwa usaha ternak kerbau untuk menghasilkan daging dapat memberikan

Tabel 2. Rata-rata penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau

Kabupaten Uraian Pandeglang Lebak Ideal (DUNG, 2006) Ukuran tubuh (cm)

Induk umur > 2 tahun: Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual 26 ekor 116,0 ± 14,6 122,0 ± 10,6 170,5 ± 12,4 6.000.000 24 ekor 124,1 ± 12,2 128,1 ±8,4 180,2 ± 14,8 6.250.000 - 127 141 192 - Jantan umur > 2 tahun:

Panjang badan Tinggi pundak Lingkar dada Harga jual 12 ekor 120,4 ± 12,2 126,4 ± 10,4 178,4 ± 8,2 6.500.000 14 ekor 128,2 ±10,4 130,4 ± 12,6 186,4 ± 8,4 7.000.000 - 131 143 198 - Produktivitas dan reproduktivitas:

Fertilitas (%)

Umur beranak pertama (bulan) S/C (kali)

Jarak beranak (hari)

Estrus cycle (hari)

68 44,4 4 720 16 – 28 74 42 3 630 18 – 26 80 40 1,38 621 ± 149 22,3 ± 2,7

(5)

keuntungan rata-rata per ekor per bulan adalah Rp. 391.000 di Kabupaten Pandeglang dan Rp. 387.000 di Kabupaten Lebak (Tabel 3). Kondisi ini masih cukup baik dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Ditjen Peternakan (2005) yang hanya mampu memberikan pendapatan Rp. 240.000 per bulan. Begitu juga apabila dibandingkan hasil penelitian KUSNADI (2006) yang hanya memberikan keuntungan Rp. 344.000 per bulan. Oleh karena itu, keuntungan usaha peternak kerbau cukup layak dan menjanjikan apabila skala pemilikannya diperbesar. Hal ini terlihat pula dari besarnya IRR 122 di Pandeglang dan 120 di Kabupaten Lebak yang lebih besar dari suku bunga yang berlaku untuk usaha pertanian saat ini, yaitu 13% per tahun.

Keuntungan dari usaha ternak kerbau sebagai penghasil bibit relatif kecil, yaitu Rp. 106.250 per bulan di Kabupaten

Pandeglang dan Rp. 121.875 per bulan di Kabupaten Lebak (Tabel 4). Rendahnya keuntungan untuk usaha penghasilan bibit ini kemungkinan disebabkan karena siklus produksi (Jarak beranak) yang terlalu panjang dan tidak efisiennya usaha dalam skala kecil. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan mutu bibit kerbau dan sistem reproduksinya sehingga dapat memperpendek jarak beranak dan umur beranak pertama, sehingga usaha kerbau lebih efisien.

Tataniaga kerbau

Tataniaga kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak memiliki pola rantai tataniaga yang sama yaitu terdiri dari (a) rantai tataniaga kerbau untuk dipotong dan (b) rantai tataniaga kerbau untuk bibit (untuk dipelihara).

Tabel 3. Analisis finansial usaha penggemukkan/pembesaran ternak kerbau jantan umur 26 bulan

Nilai rata-rata per ekor No. Uraian

Kabupaten Pandeglang Kabupaten Lebak 1. Kondisi kerbau dan nilainya

Berat awal (kg) Harga beli (Rp/kg) ADG (kg/ekor/hari) Lama pemeliharaan (hari) Berat jual (kg) Biaya pakan/hari (Rp) Harga jual (Rp/kg) Biaya transport (Rp) 340 15.000 0,65 90 398,5 1600 16.250 75.000 362 15.000 0,69 90 424,1 2200 16.500 60.000 2. Pengeluaran (Rp) Pembelian bakalan Transpor Biaya pemeliharaan Tenaga kerja 5.100.000 75.000 144.000 135.000 5.430.000 60.000 198.000 150.000 Jumlah 5.454.000 5.838.000 3. Penerimaan (Rp) Penjualan ternak Pengolahan lahan 6.475.625 150.000 6.997.650 - Jumlah 6.625.625 6.997.650 4. Keuntungan (3 – 2) 1.171.625 1.159.650

Keuntungan per bulan (Rp) 390.541 386.550

BC Rasio 0,215 0,198

(6)

Tabel 4. Tingkat keuntungan usaha ternak kerbau sebagai penghasil bibit per ekor per siklus produksi (16 bulan) Nilai rata-rata (Rp.) No. Uraian Pandeglang Lebak I Biaya Pembelian bibit

Biaya pemeliharaan (pakan, tenaga, kawin, transport)

6.000.000 550.000 6.250.000 600.000 Jumlah 6.550.000 6.850.000 II Penerimaan Nilai induk Nilai anak 7.000.000 1.250.000 7.500.000 1.300.000 Jumlah 8.250.000 8.800.000

III Keuntungan per periode (II – I) 1.750.000 1.950.000

Keuntungan per bulan 106.250 121.875

Gambar 1. Rantai tataniaga kerbau untuk dipotong

Rantai tataniaga kerbau untuk dipotong

Rantai tataniaga kerbau untuk dipotong mulai dari petani, pengumpul, Bandar kerbau, jagal (rumah potong), pengecer daging dan konsumen akhir seperti terlihat pada Gambar 1. Namun adakalanya sebagian kecil (8%) peternak di Pandeglang dan (12,5%) peternak di Kabupaten Lebak menjual langsung kepada Bandar Kerbau atau kepada jagal, tanpa melalui pengumpul. Hal ini petani lakukan hanya untuk memperoleh harga jual yang lebih baik atau mengharap pembayaran secara tunai.

Rantai tataniaga kerbau untuk bibit

Rantai tataniaga kerbau untuk bibit lebih pendek yaitu dari petani, pengumpul, Bandar kerbau, petani lain sebagai konsumen (Gambar 2).

Namun demikian masih ada petani langsung menjual kepada petani lain apabila peternak mendadak memerlukan uang tunai pada waktu relatif singkat. Biasanya harga kerbau lebih rendah. Penetapan harga tercapai apabila kebutuhan uang tunai yang diperlukan peternak telah terpenuhi atau sebaliknya

Petani Pengumpul Bandar kerbau

Jagal (rumah potong)

Pengecer daging 92 – 87,5%

8 – 12,5%

(7)

Gambar 2. Rantai tataniaga kerbau untuk bibit

konsumen mendatangi petani pemilik untuk membeli secara langsung dengan harapan memperoleh harga yang baik dan kepuasan terhadap kualitas kerbau yang diinginkan.

Daerah pemasaran

Dalam proses tataniaga kerbau dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, memiliki daerah pemasaran tertentu yaitu : (i) Intra kabupaten (ii) antar kabupaten dalam Propinsi Banten dan (iii) Antar propinsi, terutama Jakarta, Jambi, Bengkulu, Riau dan Sumatera Utara. Tataniaga kerbau khusus untuk daerah pemasaran di luar Propinsi Banten hanya dilakukan oleh Bandar kerbau (Bandar besar) yang memiliki modal cukup besar. Volume kiriman untuk daerah pemasaran luar Propinsi Banten minimal 1 truk berisi 16 – 20 kerbau baik untuk dipotong maupun untuk bibit. Hal ini untuk efisiensi biaya pemasaran.

Berdasarkan hasil penelitian selama tiga bulan banyaknya kerbau yang dijual belikan untuk setiap daerah pemasaran dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 terlihat bahwa selama penelitian ini di Pandeglang dan Lebak telah terjadi jual beli kerbau sebanyak 388 ekor atau 0,37% dari populasi kerbau (105805

ekor). Dari jumlah tersebut sebagian besar (39,2%) dijual ke propinsi lain yaitu Jakarta, Jambi, Bengkulu, Riau dan sumatera Utara. Sedangkan sisanya 37,6% dijual didalam kabupaten dan 23,2% dijual ke kabupaten lain di Propinsi Banten. Apabila hasil penelitian ini bersifat linier maka dalam satu tahun akan terjadi jual beli ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Lebak sebanyak 1552 ekor atau 1,47% dari populasi (105.805 ekor). Dari jumlah tersebut 39,2% (608 ekor) atau 0,57% dari populasi dijual ke luar Propinsi Banten. Angka ini mengindikasikan adanya penurunan populasi kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, diatas rata-rata Propinsi Banten. Padahal menurut Kusnadi (2010) populasi kerbau di Propinsi Banten mengalami penurunan rata-rata 0,5% per tahun. Kondisi ini dikhawatirkan akan terjadi pengurangan populasi dan penurunan kualitas kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Lebak, terutama kerbau untuk bibit, apabila tidak ada upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi kerbau serta manajemen pemasaran kerbau secara selektif. Menurut KARTASAPUTRA

(1996) bahwa dalam pemasaran produk pertanian khususnya ternak, perlu memepertimbangkan penyediaan bibit yang berkualitas untuk produksi selanjutnya.

Tabel 5. Banyaknya kerbau dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang dijualbelikan pada

setiap daerah pemasaran selama 3 bulan

Banyaknya ekor (%)

Pandeglang Lebak Jumlah

Daerah pemasaran

Potong Bibit Potong Bibit Potong Bibit % Intra kabupaten Antar kabupaten Antar propinsi 28 (29,8) 18 (19,1) 48 (51,1) 12 (35,3) 6 (17,6) 16 (47,1) 46 (51,1) 24 (26,7) 20 (22,2) 60 (35,3) 42 (24,7) 68 (40) 74 (40,2) 42 (22,8) 68 (37) 72(35,3) 48(23,5) 84(41,2) 37,6% 23,2% 39,2% Jumlah 94 34 90 170 184 204 (100)

Angka dalam kurung dalam %

Petani Pengumpul Bandar kerbau

Petani lain (konsumen)

(8)

Kabupaten Lebak dengan populasi terbanyak merupakan sentra produksi daging dan bibit kerbau bagi kabupaten lainnya di Propinsi Banten. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 24,7% kerbau bibit dari Kabupaten Lebak dipasarkan ke Kabupaten Tangerang (12,3%), Kabupaten Serang (8,4%) dan Kabupaten Pandeglang (4%). Begitu juga untuk kerbau potong dari Kabupaten Lebak (26,7%) dipasarkan ke Kabupaten Tangerang (12,4%), Kabupaten Serang (7,2%), Kabupaten Pandeglang (5,1%) dan ke Kota Cilegon (2%).

Biaya, marjin, dan pembagian keuntungan pada pelaku tataniaga kerbau

Biaya tataniaga

Dalam proses tataniaga, biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga sangat bervariasi dan sangat tergantung pada jarak daerah pemasaran, perlakuan dalam perjalanan dan harga yang berlaku saat transaksi.

Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten lebak adalah Rp. 550.000 (8,1%) pada kerbau untuk dipotong dan Rp. 425.000 (6,9%) pada kerbau untuk bibit (Tabel 6 dan 7). Biaya tersebut meliputi:

(i) biaya angkutan; (ii) terminal cost (alat-alat, pajak tak resmi, retribusi); (iii) biaya perlakuan (pemberian pakan, minum, obat-obatan dan tenaga kerja). Biaya-biaya tersebut tidak selalu dikeluarkan oleh pelaku tataniaga tergantung dari kesepakatan dalam transaksi. Sebagai gambaran biaya pemberian pakan berupa rumput selama masa penitipan yang terhitung sejak transaksi hingga ternak kerbau diangkut oleh pembeli yang berkisar selama 1-4 hari merupakan biaya tersamar yang harus dikeluarkan oleh peternak.

Marjin tataniaga dan pembagian keuntungan tataniaga kerbau dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang dipasarkan di wilayah Propinsi Banten disajikan dalam Tabel 6 dan 7.

Marjin tataniaga adalah perbedaan harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen (AZZAINO, 1991). Dari Tabel 6 terlihat bahwa marjin tataniaga kerbau untuk dipotong dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak adalah Rp. 1.750.000 atau sebesar 25,9%. sedangkan marjin tataniaga kerbau untuk bibit lebih kecil yaitu Rp. 1.375.000 atau sebesar 22,4% (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena rantai tataniaga kerbau untuk bibit lebih pendek dari untuk dipotong. Kondisi ini sejalan

Tabel 6. Rata-rata besarnya marjin biaya dan keuntungan pelaku tataniaga per ekor kerbau potong dari

Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

Pelaku tataniaga Harga jual (Rp.) Marjin (Rp.) Biaya (Rp.) Keuntungan (Rp.) Petani Pengumpul Bandar kerbau Jagal/rumah potong Pengecer daging *) 6.750.000 7.000.000 7.750.000 8.000.000 8.500.000 - 250.000 750.000 250.000 500.000 - 50.000 250.000 100.000 150.000 - 200.000 500.000 150.000 350.000 Jumlah (%) - 1.750.000 (25,9) 550.000 (8,1) 1.200.000 (17,8) *) Dijual berupa daging Rp 55.000/kg dengan berat karkas 156 kg/ekor, belum termasuk jeroan, kepala dan

kulit

Tabel 7. Rata-rata besarnya marjin, biaya dan keuntungan pelaku tataniaga per ekor kerbau bibit dari

Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

Pelaku tataniaga Harga jual (Rp.) Marjin (Rp.) Biaya (Rp.) Keuntungan (Rp.) Petani Pengumpul Bandar kerbau 6.125.000 6.500.000 7.500.000 - 375.000 1.000.000 - 75.000 350.000 - 300.000 650.000 Jumlah (%) - 1.375.000 (22,4) 425.000 (6,9) 950.000 (15,5)

(9)

dengan pendapat KOHL dan UHL (1990) yang menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan banyaknya perantara, dan marjin dapat dikurangi dengan mengurani jumlah perantara. Menurut SWASTHA (1989) marjin dapat dinyatakan sebagai suatu pembayaran yang diberikan kepada mereka atas jasa-jasanya. Melihat besarnya marjin tataniaga baik untuk kerbau potong maupun kerbau bibit, maka jalur tataniaga kerbau di kedua daerah tersebut masih efisien karena masih dibawah 30% (GRAY et al., 1996; KUSNADI, 2009).

Dari Tabel 6 dan 7 terlihat pula bahwa sebagian besar marjin tataniaga merupakan keuntungan bagi pelaku tataniaga baik pada kerbau untuk dipotong (17,8%) maupun pada kerbau untuk bibit (15,5%). Kondisi ini masih dapat dikatakan wajar, karena menurut HAMID

(2002) dan LEMBAGA PENELITIAN UNPAD

(2001) yang menyatakan bahwa para pelaku tataniaga hasil pertanian termasuk peternakan mengambil keuntungan berkisar antara 10 – 20% dari harga jual petani.

Perhitungan dari harga yang dibayar konsumen yang digambarkan sebagai presentase dari harga-harga konsumen disebut Farm’s share (KOHL dan UHL, 1990). Presentase dari harga yang dibayar konsumen tersebut merupakan harga yang diterima peternak sebagai imbalan kegiatan usaha ternaknya (AZZAINO, 1991). Besarnya farm’s share pada tataniaga kerbau untuk dipotong adalah 79,41%% dan kerbau untuk bibit adalah 81,7%, maka system tataniaga kerbau diatas sudah dapat dikatakan efisien, karena bagian harga yang diterima oleh produsen (peternak) lebih besar dari 50% (HAMID, 2002; LEMBAGA

PENELITIAN UNPAD, 2001).

KESIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penampilan produktivitas dan reproduktivitas kerbau lumpur di Provinsi Banten masih rendah dengan fertilitas 68 – 74%, umur beranak pertama 42 – 44 bulan, jarak beranak 630 – 720 hari.

2. Keuntungan usaha ternak kerbau untuk penggemukkan adalah Rp. 390.541/ekor/ bulan untuk pembibitan Rp. 106.250/ekor/

bulan di Kabupaten Pandeglang, sedangkan di Kabupaten Lebak Rp 386.550/ekor/bulan untuk penggemukkan dan Rp. 121.875/ ekor/bulan untuk pembibitan.

3. Rantai tataniaga kerbau cukup efisien dengan tingkat marjin 22,4 – 25,9%, biaya tataniaga 6,9 – 8,1%, keuntungan pelaku tataniaga 15,5 – 17,8% serta farm’s share 79,41 – 81,7%.

4. Dalam satu tahun terjadi jual beli ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak sebanyak 1552 ekor (1,47% dari populasi) 39,2% (608 ekor) atau 0,57% dari populasi dijual ke luar Provinsi Banten. Angka ini mengindikasikan adanya penurunan populasi dikedua Kabupaten tersebut. Padahal rata-rata penurunan populasi di Provinsi Banten hanya mencapai 0,5% per tahun sehingga dikhawatirkan terjadi pengurangan populasi dan penurunan kualitas kerbau bibit dikedua Kabupaten tersebut lebih cepat dari kabupaten lainnya di Provinsi Banten. Oleh karena itu, disarankan perlu ada usaha peningkatan produksi dan reproduktivitas kerbau serta manajemen pemasaran kerbau secara selektif.

DAFTAR PUSTAKA

AZZAINO. 1991. Pengantar Tataniaga Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. 2; 86 – 88; 92 – 97; 106.

DITJENNAK. 2005. Budidaya ternak ruminansia (kerbau) di Indonesia. Makalah Lokakarya Kerbau, 29 – 30 Niopember 2005. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. DITJENNAK. 2009. Kementrian Pertanian Republik

Indonesia, Direktorat jenderal Pertanian. DITJENNAK. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat

Jenderal Peternakan Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

GRAY,C.,L.K.SABUR.P.SIMANJUNTAK dan P.F.L. MASPAITELLA. 1996. Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia, Jakarta.

HAMID, A.K. 2002. Tataniaga Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm. 12; 83; 116; 123 – 126; 133; 157; 163.

KARTASAPUTRA. 1996. Marketing Produk Pertanian dan Industri yang diterapkan di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 5; 12; 26 – 28; 32 – 33; 38.

(10)

KOHLS and DOWNEY. 1982. Marketing of Agricultural Products. The Macmillan Publishing Company USA. pp. 8 – 9.

KOHLS and UHK. 1990. Marketing of Agricultural Products. Fifth Edition. The Macmillan Publishing Company. USA 221; 233; 243. KUSNADI, U. 2009. Analisis efisiensi usaha ternak

kerbau. Pros Semnas Teknologi Peternakan dan Veternier, Bogor, 11 – 12 Nopember 2008. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 335 – 345.

KUSNADI,U. 2010. Kelayakan usaha ternak kerbau untuk penghasil bibit dan daging di beberapa agro-ekosistem. Pros. Semnas Teknologi Peternakan dan Veternier, Bogor, 13 – 14 Agustus 2009. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 186 – 192.

KUSNADI, U. and L. PRAHARANI. 2006. Profile of buffalo farms and performance in Banten Province. Proc. International Seminar on Artificial Reproductive Biotechnologies For Buffaloes. Bogor – Indonesia, August, 29 – 31 2006. Food and Fertilizer Technology Center-Aspac. Indonesian Center for Animal Research and Development.

LEMBAGA PENELITIAN UNPAD. 2001. Mekanisme dan Struktur Biaya Tataniaga Ternak Potong di Jawa Barat. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi DT I Jawa Barat, Bandung. 2; 54 – 57.

MANWAN,I. dan A.M.OKA. 1996. Konsep penelitian dan pengembangan sistem usahatani. Makalah Seminar Usahatani Terpadu, 2 Nopember 1995. Puslitbang Tanaman Pangan.

PROVINSI BANTEN DALAM ANGKA. 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten.

SOEHADJI. 1991. Kebijakan pengembangan ternak potong di Indonesia. Karya Tulis Seminar Jakarta. hlm. 1 – 4.

STANTON. 1996. Prinsip Pemasaran. Jilid 2 Erlangga. Jakarta. 81 hlm.

SUKARTAWI. 1999. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta. hlm. 78 – 80.

SWASTHA. 1989. Saluran Pemasaran. BPFE. Yogyakarta. hlm. 70 – 71; 91.

Gambar

Tabel 4.  Tingkat  keuntungan  usaha  ternak  kerbau  sebagai  penghasil  bibit  per  ekor  per  siklus  produksi   (16 bulan)  Nilai rata-rata (Rp.)  No
Gambar 2. Rantai tataniaga kerbau untuk bibit

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini kami menyatakan bahwa dalam tugas akhir yang berjudul “ Tinjauan Biaya Operasional Kendaraan (BOK) dan Tarif Angkutan Umum di Kota Semarang (Studi Kasus: MPU C2

1) Ukuran dan toleransi paving block untuk semua variasi sabut kelapa memenuhi persyaratan British Standar 6717-1 1993.. 4) Kuat tekan tertinggi paving block geopolimer

Oleh karena itu, kuliner asli Indonesia saat ini kalah dengan kuliner asing karena suatu bentukan dari media yang menunjukkan nilai tinggi dalam kuliner asing daripada kuliner lokal

Dengan panjang serat kawat bendrat 60, 80 dan 100 mm dengan konsentrasi serat 1% dari volume adukan disimpulkan hasil terbaik ditunjukkan oleh beton serat dengan panjang serat 80

Thirdly, as has been mentioned in the background of the study, this current study was aimed to investigated the most effective learning method that is discovery learning to the

Sebagai perawat dan tenaga kesehatan yang merawat Tuan A, persetujuan terhadap pernyataan Tuan A harus mempertimbangkan apakan Tuan A telah mendapatkan informasi yang

(S1) Fakultas Hukum USU Medan, adapun judul penelitan ini adalah “ Penyelesaian Pembagian Harta Warisan menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan, di Kecamatan Angkola Barat ”

Document Class : CLASS:1 Project N° - Unit Doc Type Material Code Serial Number Rev...