• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN KARANG TRANSPLANTASI JENIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN KARANG TRANSPLANTASI JENIS"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

KARANG TRANSPLANTASI JENIS Acropora humilis (DANA

1846), Acropora brueggemanni (BROOK 1893), DAN Acropora

austera (DANA 1846) DI PERAIRAN PULAU KELAPA,

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

AISYAH FITRI MUTTAQIEN

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang Transplantasi Jenis Acropora humilis (Dana 1846), Acropora brueggemanni (Brook 1893), dan Acropora austera (Dana 1846) di Perairan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Aisyah Fitri Muttaqien C24070052

(3)

RINGKASAN

Aisyah Fitri Muttaqien. C24070052. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang Transplantasi Jenis Acropora humilis (Dana 1846), Acropora brueggemanni (Brook 1893), dan Acropora austera (Dana 1846) di Perairan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibawah bimbingan Ario Damar dan Beginer Subhan.

Dewasa ini kerusakan terumbu karang cukup meningkat. Pulau Kelapa yang merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu mengalami penurunan kondisi ekosistem terumbu karang. Penurunan kondisi terumbu karang dapat bertambah parah bila tidak dilakukan penanganan untuk dapat memulihkan kondisi tersebut. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah transplantasi. Karang yang digunakan ialah karang dari Genus Acropora jenis A. humilis, A. austera dan A.

Brueggemanni. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup

dan pertumbuhan karang jenis Acropora humilis, Acropora brueggemanni dan

Acropora austera di Perairan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu.

Penelitian ini dilakukan selama sebelas bulan dari bulan September 2010 hingga Juli 2011. Lokasi penelitian berada pada 05°39’31,1” LS dan 106°34’35,2” BT. Stasiun pengamatan berada pada kedalaman 2 m hingga 8 m. Pengamatan pertumbuhan pada fragmen karang dilakukan dengan mengukur dimensi pertumbuhan yang terdiri dari pertambahan panjang (panjang yang terpanjang) dan pertambahan tinggi (tinggi yang tertinggi) fragmen karang dan pengukuran parameter fisika dan kimia perairan.

Tingkat kelangsungan hidup karang jenis Acropora austera pada akhir penelitian adalah 77,78%, sedangkan Acropora humilis sebesar 76,67%, dan

Acropora brueggemanni sebesar 58,54%. Pertumbuhan karang jenis Acropora austera selama sebelas bulan untuk ukuran lebar mencapai 7,1±4,01 cm, sedangkan

untuk ukuran tinggi sebesar 6,5±3,76 cm. Sementara karang jenis Acropora

brueggemnni untuk ukuran lebar mencapai 4,0±2,66 cm dan untuk ukuran tinggi

4,2±2,89 cm. Karang jenis Acopora humilis ukuran lebar mencapai 5,1±2,92 cm dan untuk ukuran tinggi mencapai 3,1±1,92 cm.

Laju pertumbuhan rata-rata karang Acropora humilis sebesar 0,52±0,11 cm/bulan untuk lebar dan 0,34±0,12 cm/bulan untuk tinggi. Karang Acropora

brueggemanni mencapai laju pertumbuhan rata-rata lebar 0,38±0,12 cm/bulan dan

tinggi 0,48±0,32 cm/bulan. Karang Acropora austera laju pertumbuhan rata-ratanya 0,70±0,06 cm/bulan untuk lebar dan 0,68±0,17 cm/bulan untuk tinggi.

(4)

TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN

KARANG TRANSPLANTASI JENIS Acropora humilis (DANA

1846), Acropora brueggemanni (BROOK 1893), DAN Acropora

austera (DANA 1846) DI PERAIRAN PULAU KELAPA,

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

AISYAH FITRI MUTTAQIEN C24070052

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang Transplantasi Jenis Acropora humilis (Dana 1846), Acropora

brueggemanni (Brook 1893), dan Acropora austera (Dana

1846) di Perairan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta Nama Mahasiswa : Aisyah Fitri Muttaqien

Nomor Pokok : C24070052

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. Beginer Subhan, S.Pi, M.Si. NIP 19660428 199002 1 001 NIP 19800118 200501 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002

(6)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang Transplantasi Jenis Acropora humilis (Dana 1846), Acropora brueggemanni (Brook 1893), dan Acropora austera (Dana 1846) di Perairan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Penulis selama sebelas bulan pada September 2010 hingga Juli 2011 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan, masukan dan arahan sehingga Penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, Penulis berharap dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Maret 2012

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Beginer Subhan, S.Pi, M.Si. masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si. selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Niken Tanjung Murti Pratiwi, M.Si. selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan saran yang sangat berarti bagi Penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Keluarga tercinta atas kasih sayang, doa, dukungan dan semangatnya kepada

Penulis.

4. PKSPL-IPB dan CNOOC yang telah mengizinkan Penulis untuk melakukan penelitian pada proyek transplantasi karang di Pulau Kelapa dengan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. sebagai koordinator.

5. Seluruh staf Tata Usaha dan civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

6.Tim Transplantasi karang PKSPL-IPB (Iswaty Aditiyana, Muhidin, Rahmat Elfi Ramdhani, Eko Setiawan, Linggom Simanjuntak, dan Arief Rizky), serta Ahmat Taufik Gozali dan Fadhillah atas bantuan dan kerjasamanya selama Penulis melaksanakan penelitian.

7. Teman-teman MSP 44 atas semangat, nasehat, dan kebersamaan dalam suka duka. 8. Teman-teman FDC khususnya Diklat 25 atas semangat, nasehat, dan kebersamaan

dalam suka duka.

9. Teman-teman kosan Rizky dan Padasuka atas dukungan, nasehat dan kebersamaan dalam suka dan duka.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 31 Agustus 1989 dari pasangan Marga Mulya dan Wati Lestari. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di TK Mutia 3 (1995), SDN 02 Pagi Jakarta Timur (2001), SLTP Negeri 230 Jakarta Timur (2004) dan SMA Negeri 64 Jakarta Timur (2007). Pada tahun 2007 Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan Penulis aktif sebagai anggota divisi penelitian dan pengembangan FDC (2007-2008), bendahara FDC (2009-2010) dan divisi rumah tangga FDC (2008-2009 dan 2010-2011). Berkesempatan menjadi tim penulis laporan ilmiah Expedisi Zooxanthellae X di Biak (2009) dan penulis laporan populer Expedisi Zooxanthellae XI di Halmahera Selatan (2011).

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Karang Transplantasi Jenis Acropora humilis (Dana 1846), Acropora brueggemanni (Brook 1893), dan Acropora austera (Dana 1846) di Perairan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta”.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.1. Rumusan Masalah ... 2

1.2. Tujuan dan Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang ... 4

2.2. Reproduksi Karang ... 5

2.3. Klasifikasi Karang ... 7

2.4. Faktor Pembatas Karang Acropora 2.4.1. Cahaya ... 9

2.4.2. Suhu ... 9

2.4.3. Salinitas ... 10

2.4.4. Nutrien (amoniak, nitrat, ortofosfat) ... 10

2.4.5. Kekeruhan dan sedimentasi ... 11

2.4.6. Arus ... 12

2.5. Kerusakan Karang ... 12

2.6. Transplantasi Karang ... 14

2.7. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 15

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2. Alat dan Bahan ... 16

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan ... 17

3.3.2. Pengamatan pertumbuhan karang ... 17

3.3.3. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan ... 18

3.4. Metode Analisis Data 3.4.1. Pengukuran pertumbuhan karang ... 18

3.4.2. Tingkat kelangsungan hidup ... 19

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Kelapa ... 20

4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Karang ... 22

4.3. Pertumbuhan Rata-rata Transplantasi Karang ... 25

4.4. Laju Pertumbuhan Rata-rata Transplantasi Karang ... 27

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 34

(10)

DAFTAR PUSTAKA ... 35 LAMPIRAN ... 39

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Alat dan bahan penelitian ... 17 2. Hasil kondisi fisika dan kimia di Pulau Kelapa ... 20 3. Ukuran rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) fragmen karang transplantasi A. austera

(n1=45; n2=45; n3=38; n4=35), A. brueggemanni (n1=41; n2=38; n3=26;

n4=24), dan A. humilis (n1=30; n2=29; n3=29; n4=23) ... 25

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema pendekatan masalah ... 3

2. Anatomi polip karang ... 4

3. Simbiosis antara karang dan Zooxanthellae ... 5

4. Reproduksi aseksual hewan karang ... 6

5. A. humilis ... 8

6. A. brueggemanni ... 8

7. A. austera ... 9

8. Peta lokasi penelitian ... 16

9. Modul transplantasi karang ... 17

10. Pengukuran fragmen yang di transplantasi ... 18

11. Tingkat kelangsungan hidup karang jenis Acropora austera (n1=45; n2=45; n3=38; n4=35), Acropora brueggemanni (n1=41; n2=38; n3=26; n4=24), dan Acropora humilis (n1=30; n2=29; n3=29; n4=23) ... 23

12. Persaingan antara karang dengan alga ... 24

13. Pertumbuhan rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) selama sebelas bulan transplantasi karang jenis jenis A. austera, A. brueggemanni, dan A. humilis ... 26

14. Laju pertumbuhan rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) karang A. humilis ... 28

15. Laju pertumbuhan rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) karang A. brueggemanni ... 29

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Penelitian laju pertumbuhan transplantasi karang ... 40 2. Tingkat kelangsungan hidup karang Acropora humilis, Acropora

bruegemanni, dan Acropora austera yang di transplantasi ... 43 3. Jumlah dan persentase karang yang mati dan penyebabnya

selama penelitian ... 44 4. Laju pertumbuhan karang A. austera (n=35), A. brueggemanni (n=24),

dan A. humilis (n=23) ... 45

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karang merupakan hewan dari Filum Cnidaria yang bersimbiosis dengan alga

zooxanthellae dan organisme-organisme lain yang menghasilkan kalsium karbonat.

Terumbu merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan sedikit tambahan alga

zooxanthellae (Nybakken 1988). Terumbu karang merupakan suatu ekosistem laut

tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga zooxanthellae, bersama-sama dengan biota lain yang hidup di laut serta biota lain yang hidup bebas di perairan (Sukarno 1994 in Subhan 2003). Terumbu karang terdapat di seluruh lautan di dunia, akan tetapi hanya di daerah tropis terumbu dapat berkembang (Nybakken 1988). Karang merupakan hewan yang bersifat sessil di perairan, sehingga rentan terhadap perubahan lingkungan.

Kerusakan terumbu karang dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, yaitu

faktor biologi, faktor fisik, dan faktor manusia. Faktor biologi yang dapat menyebabkan kerusakan pada terumbu karang ialah adanya predasi dan penyakit, sedangkan faktor fisik yang dapat menyebabkan kerusakan karang ialah adanya kenaikan suhu perairan. Faktor manusia yang dapat menimbulkan kerusakan bagi terumbu karang antara lain penambangan, sedimentasi, serta aktivitas pariwisata (Harriot dan Fisk 1988).

Dewasa ini kerusakan terumbu karang cukup meningkat. Luasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan seluas 7.500 km2 dari luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 1992 in Supriharyono 2007), dan menurut Nontji (2003) in Fadli (2009) hanya 7% yang tergolong dalam kondisi baik, lebih dari 27% dalam kondisi sedang dan 36% lebih dalam kondisi buruk.

Pulau Kelapa yang merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu mengalami penurunan kondisi ekosistem terumbu karang. Persentase penutupan karang di Pulau Kelapa mengalami penurunan dari tahun 2005 sebesar 56,8% dan pada tahun 2007 penutupan karang keras menjadi 34,8% (Estradivari et al. 2009). Penurunan persentase karang keras terus terjadi hingga tahun 2009 menjadi 27,31%

(15)

(Setyawan et al. 2011). Penurunan persentase tersebut masih termasuk ke dalam kategori sedang.

Penurunan kondisi terumbu karang dapat bertambah parah bila tidak dilakukan penanganan untuk memulihkan kondisi tersebut. Pemulihan ekosistem terumbu karang dapat terjadi secara alami. Namun, waktu yang dibutuhkan cukup lama. Pengembangan metode yang telah dilakukan untuk memulihkan kondisi terumbu karang dengan waktu yang lebih cepat, diantaranya dengan metode artificial reef,

mineral accretion (biorock), dan transplantasi. Artificial reef ialah habitat buatan

dengan mengggunakan material keras dan permanen sebagai tempat karang menempel (FAO 2011). Metode biorock adalah metode pembuatan struktur terumbu yang mirip dengan terumbu karang alami, dengan menggunakan listrik bertenaga rendah yang dialirkan ke dalam perairan. Melalui proses elektrolisis, mineral terlarut membentuk endapan dan menempel pada struktur kerangka (Hilbertz 2005 dalam Muhammad 2009). Transplantasi karang ialah suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu (Harriot dan Fisk 1988).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode transplantasi. Metode transplantasi merupakan metode yang umum digunakan, kelebihan metode ini ialah biaya yang diperlukan cukup murah. Karang yang umum digunakan untuk transplantasi yaitu karang dari genus Acropora. Karang dari genus ini memiliki bentuk yang indah dan laju pertumbuhan yang tinggi. Veron (1986) in Herdiana (2001) menyatakan bahwa koloni dengan bentuk bercabang memiliki kemampuan tumbuh yang cepat, sekitar 15 cm/tahun. Dengan demikian, karang yang digunakan merupakan karang dari genus Acropora yang memiliki bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda, yaitu jenis A. humilis, A. austera dan A. Brueggemanni.

1.2. Rumusan Masalah

Kondisi terumbu karang saat ini sangat memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan menurunnya persentase penutupan karang, khususnya di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu. Sehingga diperlukan usaha rehabilitasi untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang. Terumbu karang dapat pulih pada kondisi sebelum

(16)

terjadi gangguan. Proses pemulihan tersebut membutuhkan waktu yang panjang. Rehabilitasi secara buatan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk membantu proses pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang. Metode yang umumnya dilakukan ialah dengan cara transplantasi karang. Transplantasi karang diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan ekosistem karang. Secara skematis, perumusan masalah disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Skema pendekatan masalah

1.3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan karang transplantasi jenis A. humilis, A. brueggemanni dan

A. austera di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu. Penelitian ini dapat dijadikan salah

satu informasi bagi berbagai pihak dalam rehabilitasi ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang

Kerusakan terumbu karang

Transplantasi Faktor Manusia

(seperti pencemaran dan alat tangkap yang tidak

ramah lingkungan)

Rehabilitasi

Pemulihan Ekosistem Terumbu Karang

Faktor Fisik (seperti kenaikan suhu

perairan dan badai)

Faktor Biologi (seperti persaingan dan

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Karang

Terumbu karang merupakan kumpulan komunitas karang, yang hidup di dasar perairan, berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai kemampuan untuk

menahan gaya gelombang laut. Terumbu karang (coral reef) merupakan suatu ekosistem, sedangkan karang (reef coral) merupakan individu organisme. Karang merupakan hewan dari Filum Cnidaria (Supriharyono 2007).

Hewan dari Filum Cnidaria pada umumnya memiliki tubuh simetri radial atau bilateral. Struktur tubuh filum ini dibedakan menjadi polip yang hidup menetap dan medusa yang hidup berenang. Karang termasuk dalam Kelas Anthozoa, yang umumnya hidup sebagai polip dengan bentuk tubuh seperti tabung (Suwignyo et al. 2005). Karang memiliki tentakel yang tersusun dalam bentuk melingkar di sekitar mulutnya dan berguna untuk menangkap makanan. Jaringan tubuh karang dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan mesoglea, lapisan epidermis dan lapisan endodermis. Lapisan mesoglea merupakan lapisan pemisah yang berada di antara lapisan epidermis dan lapisan endodermis. Sel penyengat (nematosit) yang merupakan ciri dari kelompok hewan Cnidaria berada pada lapisan epidermis (Gambar 2) (Thamrin 2006; Veron 2000).

Gambar 2. Anatomi polip karang Sumber: Veron 2000

(18)

Hewan karang dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan kemampuan membentuk terumbu, yaitu karang pembentuk terumbu (hermatypic) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (ahermatypic). Karang ahermatypic umumnya ditemukan di laut dalam. Karang hermatypic bersimbiosis secara mutualisme dengan alga zooxanthellae sehingga, penyebaran secara vertikal dibatasi oleh faktor cahaya matahari (Thamrin 2006).

Zooxanthellae merupakan alga dari kelompok dinoflagellata. Selain

bersimbiosis dengan hewan karang, zooxanthellae juga bersimbiosis dengan hewan laut lainnya, seperti anemon, moluska, dan lainnya. Zooxanthellae terdapat pada lapisan endodermis hewan karang (Thamrin 2006). Hubungan antara karang dengan

zooxanthellae saling menguntungkan. Melalui proses fotosintesis, zooxanthellae

membantu memberikan suplai makanan dan oksigen bagi karang, serta membantu proses pembentukan kerangka kapur. Sebaliknya, karang menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa nutrien seperti, nitrogen dan fosfat yang digunakan oleh

zooxanthellae untuk fotosintesis dan tumbuh (Gambar 3) (Castro dan Huber 2007).

Gambar 3. Simbiosis antara karang dan Zooxanthellae Sumber: Castro dan Huber 2007

2.2. Reproduksi Karang

Karang memiliki dua jenis kelamin, yaitu karang yang hanya menghasilkan sel telur saja (karang betina) dan karang yang hanya menghasilkan sel sperma saja (karang jantan). Karang juga memiliki sifat hermaprodit yang dibedakan menjadi hermaprodit simultan, protandri, dan protogini (Loyd dan Sakai 2008 in Suharsono

(19)

2008a). Karang berkembang biak dengan dua cara, yaitu secara seksual dan aseksual

(Gambar 4).

Perkembangbiakan seksual karang diawali dengan pertemuan ovarium dengan sperma. Metode pembuahan berbeda-beda pada setiap karang. Karang bersifat hermaprodit melakukan pembuhan di dalam induknya, sedangkan Karang yang lain melakukan pertumbuhan di luar dengan melepaskan sperma dan ovarium (Castro dan Huber 2007). Reproduksi karang secara aseksual umumnya dengan cara membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, serta pembentukan tunas secara terus-menerus yang merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni karang. Namun, tidak untuk menambah koloni baru (Nybakken 1988). Jalan pertunasan pada setiap karang berbeda-beda, yaitu dengan cara ekstratentakular atau intratentakular. Pertunasan ekstratentakular, merupakan pertumbuhan polip baru yang tumbuh dari setengah bagian ke bawah. Pertunasan intratentakular, merupakan pertumbuhan polip baru yang tumbuh dari penyekat yang membujur mulai dari oral

disk ke arah aboral (Suwignyo et al. 2005).

Gambar 4. Reproduksi seksual (kiri) dan aseksual (kanan) hewan karang Sumber: Bengen 2001

Karang Acropora memiliki reproduksi secara seksual dan bersifat

simultaneous hermaphrodites, yaitu dapat memproduksi ovum dan sperma secara

bersamaan. Karang yang memproduksi ovum terlebih dahulu kemudian berganti memproduksi sperma disebut sequential hermaphrodites, salah satu karang yang memiliki sifat ini ialah karang jenis Stylophora pistillata. Spawning (pemijahan) karang Acropora pada umumnya terjadi pada saat bulan purnama. Karang Acropora pada kondisi tertentu dapat bereproduksi secara aseksual, yaitu dengan fragmentasi.

(20)

Umumnya fragmentasi ini ditemukan pada karang yang memiliki bentuk pertumbuhan bercabang. Karang fragmen merupakan patahan dari koloni karang, akibat adanya gelombang, badai, predasi oleh ikan, atau faktor fisik lainnya (Richmond 1997).

2.3. Klasifikasi Karang

Klasifikasi hewan karang yang ditransplantasi di Pulau Kelapa sebagai berikut (Veron 2000) : Filum : Coelenterata Class : Anthozoa Subclass : Hexacorallia Order : Scleractinia Family : Acroporidae

Genus : Acropora (Oken 1815) Spesies :1. A. humilis (Dana 1846)

2. A. brueggemanni (Brook 1893)

3. A. austera (Dana 1846)

Famili Acroporidae terdiri atas empat genus, yaitu Montipora, Astreopora,

Anacropora, dan Acropora. Famili ini biasanya ditemukan berkoloni kecuali Genus Astreopora yang memiliki koralit yang kecil dan kolumelanya tidak tumbuh (Veron

2000).

Genus Acropora memiliki bentuk pertumbuhan (life form) bercabang (branching), tabulate, digitate, dan kadang-kadang berbentuk encrusting atau

submassive. Koralit genus ini memiliki dua tipe, yaitu aksial dan radial, serta tidak

terdapat kolumela. Dinding koralit dan koenestum menjadi poros. Pada genus ini tentakel hanya keluar pada malam hari (Veron 2000).

Spesies A. humilis memiliki bentuk pertumbuhan corymbose (Gambar 5). Bentuk cabangnya menyerupai jari yang besar. Spesies ini memiliki diameter 10 hingga 25 mm dan memiliki panjang kurang dari 200 mm (Carpenter dan Niem 1998). Ukuran radial koralit ada yang besar dan kecil, koralit ukuran besar tersusun rapih membentuk sebuah garis (Suharsono 2008b). Ujung cabangnya (aksial koralit)

(21)

terbuka (Carpenter dan Niem 1998). Karang dengan bentuk pertumbuhan

corymbose lebih banyak menggunakan energi yang didapat untuk tumbuh ke

samping (Sadarun 1999).

Gambar 5. A. humilis

Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan)

Spesies A. brueggemanni memiliki bentuk pertumbuhan prostrate atau

branching (Gambar 6). Percabangan A. brueggemanni tidak teratur dan agak

meruncing pada ujungnya (Veron 2000). Radial koralit terlihat membulat dan tersusun rapat tidak teratur (Suharsono 2008b). Spesies ini biasa ditemukan pada

perairan dangkal (Veron 2000).

Gambar 6. A. brueggemanni

Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan)

Spesies A. austera memiliki bentuk pertumbuhan arborecent dan percabangan yang berukuran besar (Gambar 7). Ciri-ciri karang ini memiliki percabangan yang melengkung menjauhi percabangan lain dan meruncing. Aksial koralit memiliki dinding yang tebal dan lubang berukuran kecil pada tengahnya. Radial koralit terkadang menyerupai barisan, serta memiliki ukuran yang tidak teratur. Spesies ini

(22)

umumnya terdapat di perairan yang terbuka (Veron 2000). Karang branching

arborescent cenderung memiliki pertambahan tinggi yang besar disebabkan,

pertumbuhan koloninya yang mengarah ke atas (Sadarun 1999).

Gambar 7. A. austera

Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan)

2.4. Faktor Pembatas Karang Acropora 2.4.1. Cahaya

Karang umumnya hidup di perairan dangkal, dengan penetrasi cahaya matahari yang masuk hingga ke dasar perairan. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan karang. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae. Hasil proses fotosintesis tersebut dimanfaatkan sebagai salah satu sumber makanan bagi karang (Supriharyono 2007). Oleh karena itu, distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk ke perairan (Nybakken 1988). Kedalaman berhubungan erat dengan intensitas cahaya. Semakin dalam perairan, semakin berkurang intensitas cahaya yang masuk. Umumnya karang dapat tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).

2.4.2. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan karang. Umumnya karang membutuhkan suhu perairan yang hangat, yaitu antara 25-32 °C. Suhu di atas 33 °C dapat menyebabkan karang mengalami pemutihan (bleaching). Pemutihan karang yaitu keluarnya alga zooxanthellae dari polip karang yang dapat mengakibatkan kematian (Tomascik et al.1997).

(23)

Menurut Well (1954) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25-29 °C. karang masih dapat ditemukan dengan batas suhu minimun dan maksimum berkisar antara 16-17 °C dan sekitar 36 °C (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).

Suhu dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi, perombakan bentuk luar dari karang, dan sebaran karang (Kurniawan 2011). Selain itu, Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Karang umumnya kehilangan kemampuan untuk menangkap mangsa pada suhu di atas 33,5 °C dan di bawah 16 °C (Mayor 1915 in Supriharyono 2007). Namun Acropora dapat bertahan pada suhu musiman 16-40 °C dan suhu harian paling rendah 10 °C di Pantai Trucial (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).

Kematian karang tidak diakibatkan oleh suhu yang ekstrim, namun akibat perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level) (Supriharyono 2007). Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) menyatakan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6 °C di bawah dan di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan bahkan hingga menyebabkan kematian karang.

2.4.3. Salinitas

Salinitas ialah berat garam dalam gram per kilogram air laut (Hardjojo dan Djokosetiayanto 2005 in Harmita 2008). Salinitas air laut di daerah tropis berkisar antara 35 ‰. Karang dapat hidup subur pada kisaran salinitas antara 34-36 ‰ (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976) karang tidak dapat bertahan di perairan yang memiliki salinitas di bawah 25 ‰ atau di atas 40 ‰. Acropora dapat bertahan selama beberapa jam pada salinitas 40 ‰ di West Indies (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).

2.4.4. Nutrien (amonia, nitrat, ortofosfat)

Alga zooxanthellae membutuhkan nutrien untuk melakukan proses fotosintesis. Selain hidrogen, karbon, dan oksigen terdapat elemen esensial lain yang dibutuhkan fitoplankton untuk berfotosintesis dan tumbuh, yaitu nitrogen dan fosfor. Nitrogen di laut tersedia dalam berbagai jenis bentuk garam organik seperti nitrat, nitrit, amonia, dan berbagai jenis senyawa nitrogen seperti asam amino dan

(24)

urea, atau sebagai nitrogen molekuler. Alga umumnya lebih menggunakan amonia, nitrat, dan nitrit (Tomascik et al. 1997).

Amonia bersifat mudah larut dalam air. Amonia yang terukur dalam air merupakan amonia total (NH3 dan NH4+). Kadar amonia dalam air biasanya kurang

dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Apabila kadar amonia dalam perairan tinggi, dapat diindikasikan bahwa terdapat pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah industri, domestik, dan limpasan pupuk pertanian (Effendi 2003).

Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama dari nitrogen di perairan dan

merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Nitrat tidak bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kadar nitrat pada perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan. Kadar nitrat yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan alga dan tumbuhan air meningkat secara pesat (blooming). Kadar nitrat yang mencapai nilai lebih dari 5 mg/liter, dapat diindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan (Effendi 2003).

Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen di perairan, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Kadar fosfat yang berlebih dan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga. Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat digunakan oleh tumbuhan akuatik secara langsung (Effendi 2003).

Kandungan nutrien yang tinggi dalam perairan dapat mengakibatkan pertumbuhan karang menjadi lebih lambat (Wallece 1985 in Bikerland 1988). Di daerah yang kaya akan nutrien, fitoplankton akan bertambah dan menghalangi cahaya yang masuk ke perairan. Persaingan tempat juga akan terjadi dengan bertambahnya keanekaragaman hewan bentik lainnya (Bikerland 1988).

(25)

Sedimentasi memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung bagi pertumbuhan karang. Menurut Hubbart dan Pocock (1972) in Supriharyono (2007), pengaruh langsung bagi pertumbuhan karang terjadi apabila sedimentasi yang masuk ke perairan, merupakan sedimentasi yang berukuran besar sehingga dapat menutupi

polyp karang. Pengaruh tidak langsungnya ialah sedimentasi yang masuk ke

perairan dapat menyebabkan kekeruhan yang berdampak pada penurunan sinar matahari, sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Selain itu, sedimentasi dan beberapa faktor lainnya seperti, suhu dan salinitas juga dapat mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan karang (Lirman et al. 2003 in Crabbe dan Smith 2005).

Sedimentasi yang tinggi dapat menyebabkan karang bekerja keras untuk membersihkan sedimen yang menutupi polip karang. Hal tersebut menyebabkan ernergi yang didapatkan oleh karang, lebih dimanfaatkan untuk membersihkan diri dari sedimen. Sedimentasi dapat menyebabkan kematian pada karang, hal ini terjadi apabila laju sedimentasi lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan karang untuk membersihkan diri. Dengan demikian, karang dapat tumbuh secara optimal pada tempat yang jernih dan penetrasi cahaya yang cukup (Suharsono 2008a).

2.4.6. Arus

Arus merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan karang. Arus dibutuhkan untuk membawa makanan, serta dapat membersihkan karang dari endapan-endapan. Oleh karena itu, pertumbuhan karang pada daerah yang berarus cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan karang pada daerah yang tenang (Nontji 1987 in Suhendra 2002). Arus juga dapat memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Terdapat kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis seperti arus dan gelombang, bentuk karang akan lebih mengarah ke bentuk pertumbuhan encrusting (Supriharyono 2007).

2.5. Kerusakan Karang

Kerusakan karang dapat mempengaruhi keberadaan biota akuatik yang berasosiasi dengan terumbu karang. Terumbu karang merupakan tempat nursery,

feeding dan spawning bagi biota akuatik. Kerusakan terumbu karang diakibatkan

(26)

Wilkinson (2000) in Fabricius dan Alderslade (2001) menyatakan kondisi terumbu karang di dunia mengalami penurunan akibat aktivitas manusia. Tiga faktor utama penyebab kerusakan ialah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, pemanasan global, dan terrestrial run-off (Fabricius dan Alderslade 2001). Selain akibat aktivitas manusia, kerusakan karang juga dapat disebabkan oleh faktor biologi, seperti predasi dan persaingan. Persaingan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang disebabkan faktor relung. Persaingan tersebut terjadi di antara karang, karang yang pertumbuhannya lebih cepat dapat menutupi cahaya bagi karang yang pertumbuhannya lambat. Karang jenis percabangan umumnya lebih cepat tumbuh bila dibandingkan dengan karang berbentuk hamparan. Selain bersaing dengan sesama karang, persaingan untuk mendapatkan tempat juga terjadi antara karang dengan alga dan invertebrata sessile. Alga biasanya ditemukan pada tempat yang kondisi terumbu karangnya tidak baik, seperti akibat adanya sedimentasi, gelombang, dan predasi. Predasi karang dapat berdampak pada jumlah dan jenis karang yang dapat hidup (Nybakken 1988; Castro dan Huber 2007).

Predator yang memangsa karang diantaranya moluska gastropoda (Famili Architectonidae, Epitoniidae, Ovulidae, Muricidae dan Coralliophilidae), cacing

policaeta amfinomid (Hermodice), teritip tertentu (Pyrgoma), dan beberapa kepiting

(Mithraculus, Trapezia, Tetralia). Namun, predator-predator tersebut tidak memberikan dampak yang besar terhadap koloni karang. Predator yang memiliki pengaruh yang besar pada koloni karang ialah ikan pemakan koloni karang (Famili Tetraodontidae, Monacanthidae, Balistidae, dan Chaetodantidae) dan Acanthaster

planci. Pemulihan karang dapat berlangsung selama 10 hingga 15 tahun akibat

ledakan populasi Acanthaster planci (Nybakken 1988; Castro dan Huber 2007). Faktor fisik yang dapat mempengaruhi ekosistem terumbu karang diantaranya adalah kenaikan suhu perairan, badai, dan topan. Peningkatan suhu permukaan laut atau El-Nino juga mengancam terumbu karang. Peristiwa El-Nino yang terjadi di Barat Pasifik dan Laut Hindia pada bulan Desember 1982 hingga Februari 1983. Memberikan dampak yang besar bagi terumbu karang. Banyak ditemui karang

bleaching dan diikuti dengan kematian karang (Brown 1987 in Supriharyono 2007).

Terumbu karang yang mengalami kerusakan akibat badai dan topan dapat pulih dalam waktu 25-30 tahun (Nybakken 1988).

(27)

2.6. Transplantasi Karang

Transplantasi karang ialah suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu (Harriot dan Fisk 1988). Teknik transplantasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1997, oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)-LPPM IPB bekerja sama dengan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI serta Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) (Soedharma dan Subhan 2008). Metode transplantasi karang lebih sering digunakan karena biaya untuk melakukan metode ini tergolong murah. Waktu yang dibutuhkan dengan menggunakan metode ini tergolong cepat. Hal ini disebabkan, metode transplantasi menggunakan bagian kecil dari koloni karang. Pertumbuhan karang yang berukuran kecil dapat tumbuh sama dengan koloni karang. Oleh karena itu, metode ini dapat dikembangkan oleh orang umum dan digunakan untuk merehabilitasi wilayah terumbu karang (Yuliantri 2006; Soong dan Chen 2003). Secara umum terdapat dua metode untuk transplantasi yaitu in situ (langsung di alam) dan ex situ (di sistem terkontrol).

Transplantasi karang memiliki manfaat yang cukup banyak untuk masyarakat dan lingkungan. Menurut Soedharma dan Arafat (2007), manfaat tersebut untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak, menciptakan komunitas baru, konservasi plasma nutfah, dan untuk keperluan perdagangan. Akan tetapi, pengembangan teknik transplantasi ini masih banyak mengalami kendala. Secara umum, terdapat dua faktor yang menjadi kendala bagi keberhasilan pengembangan transplantasi karang, yaitu faktor manusia dan faktor lingkungan. Faktor manusia yang dapat menghambat ialah masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian terumbu karang. Faktor lingkungan yang menjadi kendala, yaitu aspek penyakit, hama, dan parasit karang (Soedharma dan Subhan 2008).

Penelitian tentang pertumbuhan karang yang ditransplantasi sudah dilakukan sejak tahun 1999 oleh Sadarun di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Penelitian tentang pertumbuhan karang transplantasi dari tahun 1999 hingga tahun 2010 telah banyak dilakukan (Lampiran 1). Jenis karang yang telah diteliti mulai dari karang keras (seperti genus Acropora, Porites, dan Montipora) hingga karang lunak (seperti

(28)

2.7. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Gugusan Kepulauan Seribu terbentang antara 106°20’00”-106°57’00” BT dan 5°10’00”-5°57’00” LS, terdiri dari 105 gugusan pulau yang terbentang secara vertikal dari teluk Jakarta ke utara. Perairan di daerah Kepulauan Seribu tergolong dangkal dengan kedalaman maksimum 40 m. Kondisi perairan di Kepulauan Seribu dipengaruhi musim barat, musim timur, dan musim peralihan. Musim barat terjadi pada bulan Desember hingga Maret dan membawa udara yang bersifat basah. Musim timur kebalikannya, yaitu membawa udara yang bersifat kering yang berlangsung pada bulan Juli hingga Agustus. Bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November terjadi musim peralihan, dengan kondisi angin yang relatif lemah namun tidak menentu (Tomascik et al. 1997). Suhu udara di Kepulauan Seribu berkisar antara 21-32 °C. Suhu permukaan air laut berkisar antara 28,5-30,0 °C pada musim barat, dan 28,5-31,0 °C pada musim timur (Bappekab Administratif Kepulauan Seribu 2005 in Setyawan et al. 2011).

Pulau Kelapa merupakan satu satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Memiliki luas pulau sekitar 13,09 ha. Pulau ini merupakan pulau terpadat, dengan kepadatan 354 orang/ha pada tahun 2002. Kualitas perairan Pulau Kelapa berdasarkan pengamatan Bapepalda DKI Jakarta dan LAPI ITB pada tahun 2001 didapatkan suhu perairan pulau kelapa sebesar 30,2 ºC, pH 7,94, dan salinitas 34,4 0/00. Pengamatan yang dilakukan Seawatch-BPPT pada bulan November dan

Desember 1998 mencatat kecepatan arus pada kisaran 0,6 cm/dtk hingga 77,3 cm/dtk, dengan rata-rata kecepatan sebesar 23,6 cm/dtk. Arah arus didominasi ke timur atau timur laut (Noor 2003).

(29)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada daerah transplantasi yang terletak di Pulau Kelapa, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB) dengan China Offshore Oil

Corporation (CNOOC). Rehabilitasi dengan metode transplantasi karang sudah

berlangsung dari tahun 2008 dan terus diadakan pemantauan untuk melihat perkembangan dan tingkat keberhasilannya. Penelitian berlangsung selama 11 bulan dimulai dari bulan September 2010 hingga Juli 2011. Lokasi penelitian berada pada 05°39’31,1” LS dan 106°34’35,2” BT (Gambar 8). Kegiatan pengambilan data dilakukan empat kali. Pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu pengumpulan data, observasi lapangan, serta pengolahan dan analisis data.

Gambar 8. Peta lokasi penelitian Pulau Kelapa 3.2.Alat dan Bahan

Parameter yang diambil selama penelitian adalah parameter fisika, parameter kimia, serta pertumbuhan tinggi dan lebar fragmen karang yang di transplantasi. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

# 5°39'36" 5°39'36" 5°39'00" 5°39'00" 106°33 '36" 106°33 '36" 106°34 '12" 106°34 '12" 106°34 '48" 106°34 '48" 0.8 0 0.8 1.6 Kilometers S N E W Peta Lokasi Penelitian P. Dua P. Kelapa P. Kalige Besar P. Harapan Keterangan Gugusan Karang # Lokasi Penelitian Daratan Laut Dibuat Oleh: Aisyah Fitri M Sumber: Bakosurtanal 6°3' 6°3' 5°44' 5°44' 106°19' 106°19' 106°38' 106°38' 106°57' 106°57' 107 107 -6 -6 Inset

(30)

Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian

No Alat dan Bahan Keterangan

1 Peralatan selam SCUBA Peralatan menyelam

2 Kamera bawah air Dokumentasi

3 Alat tulis bawah air Pencatatan data

4 Global Positioning System (GPS) Penentuan titik pengambilan data

5 Penggaris Pengukuran panjang dan lebar karang

6 Fragmen karang Biota yang diamati

7 Termometer Mengukur suhu (satuan °C)

8 Spektrofotometer Pengukur kekeruhan (Satuan NTU), Amoniak, Nitrat, dan Fosfat (Satuan mg/l)

9 Floating droadge Pengukur kecepatan arus (satuan m/s)

10 Depth gauge Pengukur kedalaman (satuan m)

11 Refraktometer Pengukur salinitas (satuan ‰)

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan

Lokasi pengamatan dilakukan di perairan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta. Stasiun pengamatan berada pada kedalaman 2 m hingga 8 m. Pada stasiun pengamatan terdapat 400 modul berupa meja beton. Setiap modul diisi oleh 6 individu karang transplan yang disebut fragmen karang (Gambar 9). Jumlah fragmen yang diamati sebanyak 30 buah untuk karang jenis A. humilis, 41 buah untuk jenis A. brueggemanni, dan 45 buah untuk A. austera. Modul ini berfungsi sebagai substrat tempat tumbuhnya karang-karang transplantasi.

Gambar 9. Modul transplantasi karang 3.3.2. Pengamatan pertumbuhan karang

Pengamatan pertumbuhan pada fragmen karang dilakukan dengan mengukur dimensi pertumbuhan yang terdiri dari pertambahan panjang (panjang yang terpanjang) dan pertambahan tinggi (tinggi yang tertinggi) fragmen karang (Gambar

Modul Fragmen Karang 60 cm 40 cm 35 cm Tagging

(31)

10). Pengukuran panjang dan tinggi karang menggunakan penggaris. Proses pengukuran dilakukan langsung di dalam air dengan menggunakan bantuan peralatan SCUBA. Karang yang mati atau mengalami pemutihan akan dihitung dan dicatat untuk mengukur kelangsungan hidup karang.

Gambar 10. Pengukuran fragmen karang yang ditransplantasi

3.3.3. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan

Parameter fisika dan kimia perairan yang diukur adalah suhu, salinitas, kekeruhan (turbiditas), nitrat, amoniak, kedalaman, ortofosfat, dan kecepatan arus. Pengambilan data parameter fisika dan kimia secara in-situ dan ex-situ dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada saat pengamatan.

3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Pengukuran pertumbuhan mutlak

Data pertumbuhan karang diolah untuk mendapatkan nilai pencapaian pertumbuhan karang selama penelitian. Untuk menghitung pencapaian pertumbuhan karang yang ditransplantasikan, data yang diperoleh diolah menggunakan microsoft

excel dengan menggunakan rumus (Ricker 1975):

𝛽 = 𝐿𝑡 − 𝐿0

Keterangan :

β = pertambahan panjang / tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan

Lt = Rata-rata panjang / tinggi fragmen karang setelah bulan ke-t

Lo = Rata-rata panjang / tinggi fragmen karang pada bulan ke-0

Lebar

Tinggi

(32)

Laju pertumbuhan karang yang ditransplantasikan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Ricker 1975):

𝑎 =𝐿𝑖+1− 𝐿𝑖 𝑡𝑖+1− 𝑡𝑖

Keterangan :

α = Laju pertambahan panjang atau lebar fragmen karang transplantasi

Li+1 = Rata-rata panjang atau tinggi fragmen pada waktu ke-i+1

Lt = Rata-rata panjang atau tinggi fragmen pada waktu ke-i

t i+1 = Waktu ke–i +1

t = Waktu ke-i

3.4.2. Tingkat kelangsungan hidup

Tingkat kelangsungan hidup karang dapat diketahui dengan membandingkan antara jumlah karang yang hidup pada akhir penelitian (Nt) dibandingkan dengan

jumlah karang yang ditransplantasikan awal pengamatan (No). Analisis data

pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup dilakukan dengan menggunakan

software Mirosoft Excel 2007. Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat

kelangsungan hidup adalah sebagai berikut (Ricker 1975). 𝑆𝑅 = 𝑁𝑡

𝑁0× 100% Keterangan :

SR = Tingkat kelangsungan hidup

Nt = Jumlah individu akhir

(33)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Kelapa

Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi morfologi maupun fisiologi karang. Kondisi perairan Pulau Kelapa selama September 2010 hingga Juli 2011 tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil kondisi fisika dan kimia di Pulau Kelapa

Parameter Satuan September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Juli 2011 Baku Mutu* a. Fisika Suhu °C 30,6 28,3 28 30 Alami: 28-30(1) Kekeruhan NTU 0,43 0,7 0,28 0,32 <5(2) Kecepatan Arus m/s 0,12 0,15 0,2 0,32 - Kecerahan % 100 100 100 100 - b. Kimia pH - 8,64 8,01 8,14 7 7-8,5(3) Salinitas ‰ 30 29 32 32 Alami: 33-34(4) Nitrat mg/l 0,001 0,138 0,025 0,007 0,008 Ortofosfat mg/l <0,010 0,007 0,005 <0,005 0,015 Ammonia mg/l 0,089 0,212 0,308 0,048 0,3

Sumber: *Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut.

Keterangan : (1) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2°C dari suhu alami. (2) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic. (3) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2. (4) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman.

Suhu merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan karang. Suhu di perairan Pulau Kelapa berkisar antara 28–30,6 °C. Kisaran suhu tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan kisaran suhu pada saat penelitian yang dilakukan oleh Iswara (2010). Suhu perairan Pulau Kelapa pada bulan Maret hingga September 2009 berkisar antara 28,3-29,3 °C. Menurut baku mutu air laut untuk biota laut, suhu di Pulau Kelapa masih tergolong normal (perubahan suhu yang terjadi tidak lebih dari 2 °C dari suhu alami). Berdasarkan Bappekab Administratif Kepulauan Seribu (2005) in Setyawan et al. (2011) suhu permukaan air laut di Pulau Kelapa berkisar antara 28,5-30,0 °C pada musim barat, dan 28,5-31,0 °C pada musim timur. Perairan Pulau Kelapa merupakan tempat yang sesuai untuk

(34)

tumbuhnya karang Acropora. Hal ini disebabkan, Genus Acropora dapat hidup pada suhu musiman antara 16-40 °C dan suhu harian paling rendah sebesar 10 °C (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).

Kekeruhan merupakan indikasi peningkatan sedimentasi yang masuk ke perairan. Kekeruhan di perairan Pulau Kelapa mengalami fluktuasi, pengamatan yang dilakukan pada bulan Januari 2011 memiliki nilai kekeruhan yang paling tinggi selama penelitian yaitu sebesar 0,70 NTU. Nilai kekeruhan tersebut lebih rendah, bila dibandingkan dengan nilai kekeruhan yang diperoleh pada penelitian Iswara (2010), yaitu berkisar antara 1,1-1,7 NTU. Meningkatnya sedimentasi yang masuk ke perairan dapat mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan karang. Hal ini disebabkan sedimen yang masuk ke perairan dapat menyebabkan kekeruhan. Peningkatan kekeruhan menyebabkan penurunan sinar matahari sehingga dapat mempengaruhi laju pertumbuhan karang (Pastorok and Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Apabila laju sedimentasi lebih tinggi dibandingkan kemampuan karang untuk membersihkan diri maka karang tersebut akan mati (Suharsono 2008a). Sedimentasi yang tinggi menyebabkan tertutupnya polip karang

dan menghambat proses fotosintesis (Pastorok and Bilyard 1985 in Supriharyono 2007).

Arus dibutuhkan untuk membawa makanan dan dapat membersihkan karang dari endapan-endapan (Nontji 1987 in Suhendra 2002). Perairan di Pulau Kelapa memiliki kecepatan arus berkisar antara 0,12–0,32 m/s. Pengamatan yang dilakukan di Pulau Kelapa oleh Seawatch-BPPT pada bulan November dan Desember 1998. Mencatat kecepatan arus berkisar antara 0,6 cm/dtk hingga 77,3 cm/dtk, dengan rata-rata kecepatan sebesar 23,6 cm/dtk. Arah arus didominasi ke timur atau timur laut (Noor 2003). Karang pada umumnya menyukai tempat yang berarus dibandingkan dengan tempat yang tenang. Tempat dengan arus tenang, membuat karang berusaha keras untuk membersihkan diri dari sedimen dan miskin makanan. Arus juga dapat memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Terdapat kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis seperti arus dan gelombang maka bentuk karang lebih mengarah ke bentuk encrusting (Supriharyono 2007).

(35)

Salinitas di Pulau Kelapa berkisar antara 29–32 ‰. Kisaran salinitas di Pulau Kelapa berada di bawah standar baku mutu yang ditetapkan yaitu, berkisar antara 33-34 ‰. Karang dapat hidup subur pada kisaran salinitas antara 34-36 ‰ (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Namun, kisaran salinitas di Pulau Kelapa memungkinkan untuk karang dapat tumbuh, karang tidak dapat hidup pada perairan yang memiliki salinitas di bawah 25 ‰ dan di atas 40 ‰. Karang banyak ditemukan mati pada perairan yang memiliki salinitas di bawah 25 ‰ atau di atas 40 ‰ (Buddemeier and Kinzie 1976).

Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama dari nitrogen di perairan dan

merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Effendi 2003). Kandungan nitrat tertinggi di Pulau Kelapa terjadi pada bulan Januari sebesar 0,138 mg/l. Nilai tersebut sudah berada di atas nilai baku mutu yang ditetapkan untuk biota laut. Nitrat tidak bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kadar nitrat pada perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, yang dapat menyebabkan pertumbuhan alga dan tumbuhan air meningkat secara pesat (blooming). Hal tersebut dapat mempengaruhi laju pertumbuhan karang (Effendi 2003).

Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat digunakan oleh tumbuhan akuatik secara langsung (Effendi 2003). Nilai ortofosfat yang terdapat di perairan Pulau Kelapa berfluktuasi. Kandungan ortofosfat tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 0,007 mg/l. Nilai tersebut masih dalam kisaran baku mutu yang ditetapkan untuk biota laut. Selain ortofosfat, kandungan amonia di perairan Pulau Kelapa juga masih berada dalam kisaran baku mutu yang ditetapkan. Kandungan amonia tertinggi terjadi pada bulan Mei yaitu sebesar 0,308 mg/l.

4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Karang

Tingkat kelangsungan hidup karang memberikan pengaruh terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup karang, menjadi indikasi terjadi kerusakan karang. Kerusakan karang dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor biologi, faktor fisik, dan faktor manusia. Faktor biologi yang dapat menyebabkan kerusakan pada terumbu karang ialah adanya predasi dan penyakit, sedangkan faktor fisik yang dapat menyebabkan kerusakan

(36)

karang ialah adanya kenaikan suhu perairan. Faktor manusia yang dapat menimbulkan kerusakan bagi terumbu karang antara lain penambangan, sedimentasi, serta aktivitas pariwisata (Harriot dan Fisk 1988). Tingkat kelangsungan hidup karang yang ditransplantasi disajikan pada Gambar 11 dan Lampiran 2.

Gambar 11. Tingkat kelangsungan hidup karang jenis A. austera (n1=45; n2=45;

n3=38; n4=35), A. brueggemanni (n1=41; n2=38; n3=26; n4=24), dan

A. humilis (n1=30; n2=29; n3=29; n4=23) (September 2010-Juli 2011)

Persentase tingkat kelangsungan hidup karang A. austera mengalami penurunan pada bulan Mei hingga Juli 2011. Penurunan ini diduga akibat pengaruh lingkungan, seperti peningkatan arus serta kandungan amonia pada perairan. Kematian karang spesies A. austera terjadi akibat adanya persaingan dengan alga dan spons, serta sedimentasi dan lepas dari modul. Persentase terbesar diakibatkan oleh alga dan lepasnya frgmen karang yaitu sebesar 40%, sedangkan 10% kematian karang disebabkan adanya sedimentasi dan spons (Lampiran 3).

Karang A. brueggemanni memiliki persentase tingkat kelangsungan hidup yang terus menurun dari awal hingga akhir pengamatan. Persentase kematian karang sebesar 52,94% terjadi akibat persaingan dengan alga, dan 47,06% akibat hilang atau lepasnya fragmen dari modul karang. Sama halnya dengan karang A.

Humilis kematian karang terjadi akibat persaingan dengan alga dan lepasnya

fragmen dari modul, yaitu sebesar 85,71% dan 14,29% (Lampiran 3).

Penurunan persentase tingkat kelangsungan hidup ketiga spesies ini diakibatkan oleh persaingan dengan alga (Gambar 12). Hoegh dan Guldberg (1997)

in Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa banyaknya alga disuatu perairan

0 20 40 60 80 100 120 Acropora austera Acropora brueggemanni Acropora humilis S R (% ) Spesies Karang September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Juli 2011

(37)

diakibatkan oleh peningkatan nutrien. Peningkatan nutrien dapat menyebabkan terganggunya proses kalsifikasi, laju pertumbuhan, jumlah zooxanthellae, dan jumlah populasi karang. Persaingan karang dengan alga disebabkan peningkatan kandungan nutrien di daerah Pulau Kelapa, terutama pada bulan Januari dan Mei 2011. Menurut Castro dan Huber (2007) kompetisi antara karang dengan alga dan invertebrata sessile ialah untuk mendapatkan tempat. Selain adanya persaingan antara karang dengan alga, persaingan juga terjadi antara karang dengan spons. Predasi karang dengan adanya Drupella sp dan ikan juga ditemukan pada fragmen karang. Namun, pada penelitian ini pradasi tidak menyebabkan kematian pada karang.

Gambar 12. Persaingan antara karang dengan alga Sumber: Doc. PKSPL-IPB

Penurunan tingkat kelangsungan hidup karang juga terjadi akibat karang yang hilang atau lepas dari modul transplantasi. Lepasnya fragmen karang dari modul dapat disebabkan oleh adanya aktivitas di daerah transplantasi, seperti snorkling maupun diving serta penangkapan ikan dengan alat yang tidak ramah lingkungan. Adanya arus maupun gelombang juga dapat menyebabkan fragmen karang hilang atau lepas dari modul.

Tingkat kelangsungan hidup ketiga spesies tersebut, tergolong rendah bila dibandingkan dengan beberapa penelitian tentang tingkat kelangsungan hidup karang genus Acropora. Penelitian yang dilakukan Iswara (2010) di Pulau Kelapa menyatakan bahwa tingkat kelangsungan hidup karang genus Acropora yang terdapat pada transplan sebesar 78,44%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sadarun (1999) di Pulau Pari tingkat kelangsungan hidup karang jenis A.

(38)

memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 100% (A. hychintus, A. divaricata, A.

nasuta, A. yongei, A. aspera, A. digitifera, A. valida, dan A. Glauca). Perbedaan

tingkat kelangsungan hidup karang, diduga adanya perubahan lingkungan dan perbedaan jenis karang yang diteliti.

4.3. Pertumbuhan Rata-rata Transplantasi Karang

Penambahan ukuran rata-rata fragmen karang transplantasi per bulan memiliki nilai yang berbeda-beda untuk tiap spesies. Pada karang A. austera dan A.

humilis ukuran rata-rata lebar fragmen karang memiliki nilai yang lebih besar bila

dibandingkan dengan ukuran rata-rata tingginya (Tabel 3). Perbedaan ini diduga akibat perbedaan bentuk pertumbuhan ketiga spesies ini.

Tabel 3. Ukuran rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) fragmen karang transplantasi A. austera (n1=45;

n2=45; n3=38; n4=35), A. brueggemanni (n1=41; n2=38; n3=26; n4=24), dan

A. humilis (n1=30; n2=29; n3=29; n4=23)

Spesies Karang Ukuran

Waktu Pengukuran September

2010

Januari

2011 Mei 2011 Juli 2011

Acropora austera Lebar (cm) 30,6±12,79 36,0±11,39 40,3±11,57 40,7±11,58

Tinggi (cm) 21,5±6,82 23,1±6,96 26,5±6,34 27,2±5,67

Acropora brueggemanni Lebar (cm) 12,4±6,59 13,8±6,43 15,0±6,07 15,5±5,71

Tinggi (cm) 12,2±5,53 13,2±5,45 14,6±4,41 16,2±5,39

Acropora humilis Lebar (cm) 14,1±4,69 15,9±3,94 17,4±4,25 18,8±4,70

Tinggi (cm) 11,3±4,74 11,5±3,30 12,7±3,09 13,7±2,85

Spesies A. austera memiliki bentuk pertumbuhan arborecent. Pertumbuhan ukuran lebar karang dapat mencapai 40,7 cm, sedangkan ukuran tinggi hanya mencapai 27,2 cm. Hal ini, disebabkan percabangan karang ini cenderung melengkung menjauhi percabangan yang lainnya, sehingga ukuran rata-rata lebar karang jenis ini lebih besar.

Karang A. humilis memiliki bentuk corymbose. Perkembangan ukuran rata-rata lebar karang ini lebih besar, dibandingkan dengan ukuran tingginya. Karang dengan bentuk pertumbuhan corymbose lebih banyak menggunakan energi yang didapat untuk tumbuh ke samping (Sadarun 1999).

Karang jenis A. brueggemanni memiliki bentuk pertumbuhan prostrate atau

branching (Veron 2000). Ukuran rata-rata tinggi dan lebar karang A. brueggemanni

(39)

tinggi memiliki pertumbuhan yang lebih besar. Hal ini diduga bentuk pertumbuhan karang branching, umumnya menggunakan energi untuk tumbuh ke arah atas.

Selain bentuk pertumbuhan karang, persaingan juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Persaingan tersebut terjadi di antara koloni-koloni karang (Nybakken 1988). Menurut Castro dan Huber (2007) karang yang pertumbuhannya lebih cepat dapat menutupi cahaya bagi karang yang pertumbuhannya lambat. Pada pertumbuhan rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) selama sebelas bulan (Gambar 13), ukuran karang yang lebih kecil memiliki nilai pertumbuhan yang kecil juga.

Gambar 13. Pertumbuhan rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) selama sebelas bulan transplantasi karang jenis A. austera, A. brueggemanni, dan A. humilis

Pertumbuhan karang jenis A. austera selama sebelas bulan, ukuran lebar mencapai 7,1±4,01 cm, sedangkan untuk ukuran tinggi sebesar 6,5±3,76 cm. Karang A. austera memiliki nilai pertumbuhan lebar yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai pertumbuhan tingginya. Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh sifat biologi percabangan karang itu sendiri, karang branching

arborescent memiliki pertambahan tinggi yang lebih besar bila dibandingkan dengan

pertambahan lebar. Hal ini disebabkan pertumbuhan koloninya cenderung mengarah ke atas (Sadarun 1999). Akan tetapi, pada penelitian ini pertumbuhan lebar karang A. austera lebih besar, bila dibandingkan dengan nilai pertumbuhan tingginya. Hal ini diduga peletakan fragmen karang di kedalaman yang dangkal yaitu 3 m. Berdasarkan Nybakken (1988) pertumbuhan karang ke atas dibatasi oleh udara. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 Acropora austera Acropora brueggemanni Acropora humilis P er tum b u h an (c m /1 1b u lan ) Spesies Karang Lebar Tinggi

(40)

Karang jenis A. humilis memiliki ukuran lebar sebesar 5,1±2,92 cm dan untuk ukuran tinggi sebesar 3,1±1,92 cm. Bentuk pertumbuhan karang memberikan pengaruh pada arah pertumbuhan karang. Menurut Sadarun (1999) karang dengan bentuk pertumbuhan corymbose lebih banyak menggunakan energi yang didapat untuk tumbuh ke samping. Karang spesies A. austera dan A. humilis memiliki nilai pertumbuhan lebar yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai pertumbuhan tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Iswara (2010) di tempat yang sama selama enam bulan, memiliki nilai pertumbuhan lebar yang lebih besar. Nilai pertumbuhan mutlak karang Aropora spp. untuk panjang (lebar karang) lebih besar yaitu 5,9 cm dan tingginya sebesar 4,2 cm. Hal ini diduga akibat peletakan fragmen karang transplantasi pada kedalaman yang dangkal. Selain itu, faktor persaingan relung diduga mengakibatkan pertumbuhan ke arah lebar lebih besar (Castro dan Huber 2007).

Karang jenis A. brueggemanni untuk ukuran lebar mencapai 4,0±2,66 cm dan untuk ukuran tinggi 4,2±2,89 cm. Pertumbuhan tinggi karang A. brueggemanni lebih besar bila dibandingkan dengan pertumbuhan lebarnya. Hal ini diduga akibat ukuran karang A. brueggemanni lebih kecil bila dibandingkan dengan karang A.

austera dan A. Humilis. Faktor persaingan untuk mendapatkan sinar matahari, yang

digunakan oleh alga zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis, mengakibatkan pertumbuhan ke arah atas lebih besar.

4.4. Laju Pertumbuhan Rata-rata Transplantasi Karang

Laju pertumbuhan yang dihitung meliputi, laju pertumbuhan lebar dan tinggi dari fragmen karang yang hidup dari awal pengamatan hingga akhir pengamatan. Laju pertumbuhan dihitung untuk mengetahui perkembangan karang setiap bulan. Masing-masing karang yang ditransplantasi memiliki laju pertumbuhan yang berfluktuasi setiap bulan. Hal ini diduga adanya perubahan lingkungan di sekitar lokasi penelitian yang memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan karang. Pengaruh yang diberikan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Laju pertumbuhan karang pada tiap pengamatan dapat dilihat pada Gambar 14, 15, 16, dan Lampiran 4.

(41)

Gambar 14. Laju pertumbuhan rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) karang A. humilis (n=23)

(atas: lebar; bawah: tinggi)

Laju pertumbuhan karang A. humilis menunjukkan penurunan untuk laju pertumbuhan lebar pada bulan Januari-Mei 2011. Laju pertumbuhan yang awalnya 0,58±0,38 cm/bulan menjadi 0,39±0,38 cm/bulan, kemudian meningkat menjadi 0,59±0,62 cm/bulan. Laju pertumbuhan tinggi karang A. humilis mengalami peningkatan, dari awal pengamatan hingga akhir pengamatan secara berturut-turut 0,26±0,64 cm/bulan, 0,28±0,52 cm/bulan, dan 0,48±0,68 cm/bulan (Gambar 14).

Penurunan laju pertumbuhan lebar karang A. humilis diduga akibat bertambahnya nutrien yang masuk ke perairan di sekitar Pulau Kelapa. Berdasarkan data kualitas air yang didapat selama penelitian, terjadi peningkatan kandungan amonia di perairan. Bulan Januari dan Mei 2011 diperoleh hasil kandungan amonia yang lebih tinggi sebesar 0,212 mg/l dan 0,308 mg/l, sedangkan hasil yang di dapat pada bulan September 2010 sebesar 0,089 mg/l dan bulan Juli 2011 sebesar 0,048 mg/l. Meningkatnya nutrien dalam perairan dapat mengakibatkan pertumbuhan karang menjadi lebih lambat (Wallece 1985 in Bikerland 1988). Pertumbuhan fitoplankton akan meningkat pada daerah yang kaya nutrien. Pertumbuhan fitoplankton dapat menghalangi cahaya matahari yang masuk ke

-0,80 -0,40 0,00 0,40 0,80 1,20 1,60 September 2010-Januari 2011 Januari-Mei 2011 Mei-Jul 2011 Per tu m b u h an (c m /b u lan ) -0,80 -0,40 0,00 0,40 0,80 1,20 1,60 September 2010-Januari 2011 Januari-Mei 2011 Mei-Jul 2011 P er tu m b u h an (c m /b u lan)

(42)

perairan. Persaingan relung juga akan terjadi dengan bertambahnya keanekaragaman hewan bentik lainnya (Bikerland 1988).

Peningkatan kekeruhan juga dapat menghambat laju pertumbuhan karang. Bulan Januari 2011 kekeruhan di perairan mencapai 0,7 NTU. Peningkatan kekeruhan menandakan pertambahan sedimen yang masuk ke perairan. Sedimen yang masuk ke perairan memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung bagi pertumbuhan karang. Pengaruh langsung terjadi apabila sedimen yang masuk ke perairan merupakan sedimen yang berukuran besar yang dapat menutup polip karang. Pengaruh tidak langsung ialah sedimen yang masuk ke perairan dapat menyebabkan kekeruhan, sehingga mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Hal tersebut dapat menurunkan laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Laju pertumbuhan tinggi karang

A. humilis terus mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan tinggi diduga tidak

terpengaruh oleh meningkatnya nutrien yang terjadi pada bulan Januari 2011.

Gambar 15. Laju pertumbuhan rata-rata (𝑥 ± 𝑠𝑑) karang A. brueggemanni (n=24) (atas: lebar; bawah: tinggi)

Laju pertumbuhan lebar karang A. brueggemanni mengalami penurunan pada pengamatan terakhir. Laju pertumbuhan karang di awal pengamatan mencapai 0,41±0,51 cm/bulan dan meningkat pada pengamatan berikutnya, menjadi 0,47±0,53

-1,50 -1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 September 2010-Januari 2011 Januari-Mei 2011 Mei-Jul 2011 Per tu m b u h an (c m /b u lan ) -1,50 -1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 September 2010-Januari 2011 Januari-Mei 2011 Mei-Jul 2011 Per tu m b u h an (c m /b u lan )

Gambar

Gambar 1. Skema pendekatan masalah
Gambar 2. Anatomi polip karang   Sumber: Veron 2000
Gambar 3. Simbiosis antara karang dan Zooxanthellae   Sumber: Castro dan Huber 2007
Gambar 5. A. humilis
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Guru memberikan contoh ekspresi untuk bertanya jawab dengan siswa yaitu contoh- contoh pertanyaan yang menanyakan like dan dislike.. - Siswa secara berpasangan

dimaksudkan agar kaum perempuan yang terjerumus ke dalam tindakan tersebut tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Salah satu program pemberdayaan perempuan yang

Napsu badan jeung sagala panga- jakna teh ku jelema anu geus jadi kagungan Kristus Yesus mah geus Ka pan urang teh geus maot tina dosa, piraku bisa keneh hirup dina

Saat ini kami sedang melakukan penelitian yang berjudul HUBUNGAN ANTARA PAPARAN ASAP DENGAN KEJADIAN PEMBESARAN GINGIVA ( Studi Pada Pekerja Pengasapan Ikan di

Dana Alokasi Desa adaiah bantuan dana dari pemerintah daerah kepada pemerintah desa, yang bersumber dari bagi hasil pajak dan retribusi daerah, alokasi dana desa dan Bantuan

Untuk itu agar beton dapat bekerja dengan baik dalam suatu sistem struktur perlu dibantu dengan memberinya perkuatan penulangan yang terutama akan mengemban tugas

Intinya adalah bagaimana cara kita untuk mampu memposisikan diri dengan tepat dalam hubungannya untuk bertindak sopan kepada orang yang lebih tua agar tercipta

teknologi; atau (iv) penggunaan Produk atau bagian dari Produk dalam praktek proses jika Pembeli tidak memasukkan Produk ke dalam alat yang mana pengguna akhirnya adalah konsumen;