• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang suka menanduk. Pihak pelaku Bullying sering disebut bully. Bullying adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang suka menanduk. Pihak pelaku Bullying sering disebut bully. Bullying adalah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Definisi perilaku bullying

Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti “banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku Bullying sering disebut bully. Bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok. (Semai Jiwa Amini, 2008)

Menurut Ken Rigby, bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang. (Ponny Retno Astuti, 2008)

Bullying sebagai bentuk kenakalan remaja dikalangan siswa, memerlukan

model intervensi yang baik dan terencana untuk sebuah perubahan. Selain itu

bullying juga dapat berupa perilaku tidak langsung, misalnya dengan mengisolasi

atau dengan sengaja menjauhkan seseorang yang dianggap berbeda. Baik bullying langsung maupun tidak langsung pada dasarnya bullying adalah bentuk intimidasi fisik ataupun psikologis yang terjadi berkali-kali dan secara terus-menerus membentuk pola kekerasan. (Sullivan, 2000)

Dari penjelasan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku penindasan yang dilakukan seseorang atau kelompok yang dianggap lebih kuat kepada yang lemah dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Dalam bentuk fisik misalnya menjambak, memukul, menendang, dan serangan

(2)

mempermalukan, dan nonverbal) mengisolasi, meneror, menunjukkan gerakan tubuh yang kasar).

2.1.1 Bentuk- Bentuk Perilaku Bullying

Sumber:

academia.edu/10078242/bullying_faktorfaktor_penyebab_bullying_dan_solusi_m engatasi_bullying

Bullying dapat dilakukan dalam satu bentuk diatas atau kombinasi dari

beberapa bentuk perilaku bullying. pada perilaku bullying tidak memperhitungkan alasan pelaku melakukan bullying. terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan bullying yang dilakukan. Pada umumnya anak laki-laki lebih sering melakukan bullying fisik. Hal tersebut dikarenakan hubungan pertemanan diantara sesama laki-laki lebih keras, lebih kuat dan lebih agresif. Sedangkan perempuan lebih cenderung melakukan tindakan bullying verbal, hal tersebut dikarenakan hubungan pertemanan perempuan lebih sering menggunakan

Bentuk-Bentuk Perilaku

Bullying

fisik memukul, mendorong, mencubit, me ncakar

verbal

mencela/mengejek, mempermalukan, merendahkan, memberi nama

panggilan non-verbal

langsung

sinis, menjulurkan lidah, memberikan ekspresi yang merendahkan non verbal tidak langsung mendiamkan, sengaja mengucilkan, mengabaikan pelecehan seksual

dikategorikan perilaku agresif fisik atau verbal

cyberbullying

mengganggu, mengejek melalui alat elektronik seperti sms, email, dan lain

(3)

ekspresi dan ucapan. Tetapi bukan berarti laki-laki tidak pernah melakukan tindakan bullying verbal dan sebaliknya.

2.1.2 Sketsa Penyebab Dan Dampak Perilaku Bullying

Sumber http://ewintribengkulu.blogspot.co.id Penyebab

Perilaku

Bullying

Keluarga

pola asuh otoriter pola asuh permissive ketidakharmonisan dalam keluarga kurangnya pengawasan dan tingkat kepedulian orang tua terhadap anak

Lingkungan / Teman Sebaya

berada dalam kelompok yang suka melakukan tindakan kekerasan

adanya pendiskriminasian kelompok

anak yang agresif untuk mendapatkan kekuasaan dan penghargaan dari teman sebaya

Media tayangan perilaku kekerasan dan saling ejek yang ditayangkan oleh

media elektronik (TV)

Dampak Perilaku

Bullying

tidak tertarik pada aktivitas sosial yang melibatkan orang

lain

menjadi pribadi yang kurang percaya diri

sulit berkomunikasi dengan orang lain

sulit untuk percaya terhadap orang lain

sulit beradaptasi dengan lingkungan mudah meluapkan emosi pada orang yang lebih muda

(4)

sumber : Prayatna,A.2010.let's end bullying:memahami, mencegah dan mengatasi bullying

2.2. Kekerasan Simbolik Pierre Bourdieu

Terdapat beberapa definisi mengenai kekerasan. Konsep kekerasan menurut Susanto (kekerasan simbolik di sekolah Pierre Bourdieu, 2012:38) dapat didefinisikan dalam tiga makna. Pertama, kekerasan dipandang sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor. Kedua, kekerasan dimaknai sebagai sebuah produk atau hasil bekerjanya struktur. Ketiga, kekerasan dimaknai sebagai jaringan sosial antara aktor dengan struktur.

Menurut fashri (dalam kekerasan simbolik di sekolah Pierre Bourdieu 2012:38) kekerasan dalam makna pertama banyak dibahas dari aspek biologi, fisiologi, dan psikologi, ketika perilaku kekerasan dimaknai sebagai sebuah kecenderungan biologis sebagai hasil bawaan atau akibat adanya factor genetika yang mendominasi munculnya kekerasan. Konsepsi makna kedua mengasumsikan bahwa kekerasan bukan hanya berasal dari tindakan actor atau kelompok melainkan karena dorongan biologis semata, yang diperluas oleh adanya struktur dalam hal ini masih dimaknai secara konvensional, yaitu struktur Negara dan aparatnya. Pemaknaan ketiga berupaya melihat kekerasan sebagai serangkaian jejaring dialektis antara actor dan struktur. Definisi ini menunjukkan adanya hubungan dialektis antara kekerasan, actor, dan struktur, serta setiap hubungan kekerasan yang membentuk jejaring yang saling berkaitan.

Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik

(5)

kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau kekuasaannya dalam struktur sosial. Jadi, kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Modal simbolik merupakan media yang mengantarkan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tersebut. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya yang ditujukan kepada pihak lain yang memiliki kekuasaan yang lemah, maka pihak lain tersebut akan berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik melalui peran modal simbolik.

Untuk menjalankan aksi dominasi kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah untuk dikenali. Untuk itu, mekanisme kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan tersebut harus dilakukan bukan dengan jalan kekerasan secara fisik yang nyata. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas terdominasi tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan ini yang disebut sebagai kekerasan sombolik.

Kekerasan simbolis menurut Bourdieu, adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah. Konsep kekerasan simbolik terletak pada upaya actor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada actor lain sebagai sesuatu yang alami dan

(6)

absah, dan makna sosial tersebut dianggap benar oleh actor lain. Kekerassan ini bahkan tidak dirasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan sehingga dapat berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial. Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang dilakukan secara paksa untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan atau disadari sebagai sebuah paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “ yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat di capai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus menerus.

Kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui dua cara :

1. Eufemisme : biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak Nampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara “tidak sadar”. Bentuk eufemisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang pahala, atau belas kasihan.

2. Mekanisme sensorasi : kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, Seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan dan sebagainya. yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah”, seperti kekerasan, criminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan dan sebagainya.

(7)

2.3. Kelompok Sosial

Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan manusia lain. Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara individu-individu (manusia) kemudian lahirlah kelompok-kelompok sosial (social group) yang dilandasi oleh kesamaan-kesamaan kepentingan bersama.

Kelompok atau group adalah kumpulan dari individu yang berinteraksi satu sama lain, pada umumnya hanya untuk melakukan pekerjaan, untuk meningkatan hubungan antar individu, atau bisa saja untuk keduanya. Sebuah kelompok suatu waktu dibedakan secara kolektif, sekumpulan orang yang memiliki kesamaan dalam aktifitas umum namun dengan arah interaksi terkecil. Syarat kelompok menurut Baron dan Byrne:

a) Interaksi, anggota-anggota seharusnya berinteraksi satu sama lain.

b) Interdependen, apa yang terjadi pada seorang anggota akan mempengaruhi perilaku anggota yang lain.

c) Stabil, hubungan paling tidak ada lamanya waktu yang berarti (bisa minggu, bulan dan tahun).

d) Tujuan yang dibagi, beberapa tujuan bersifat umum bagi semua anggota. e) Struktur, fungsi tiap anggota harus memiliki beberapa macam struktur

sehingga mereka memiliki set peran.

f) Persepsi, anggota harus merasakan diri mereka sebagai bagian dari kelompok.

Kelompok sosial adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh

(8)

anggota masyarakat. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku para anggotanya. Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan manusia yang saling hidup bersama dan menjalani saling ketergantungan dengan sadar dan tolong menolong (R.M. Macler & Charles H. Page: Society, An Introductory

Analysis, Macmillan & Co.Ltd., London, 1961: 213).

Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soejono Soekanto, 2006:104).

2.3.1. Ciri dan Syarat Kelompok Sosial

Berikut ini akan disebutkan beberapa ciri kelompok sosial.

1. Terdapat dorongan atau motif yang sama antar individu satu dengan yang lain.

2. Terdapat akibat-akibat interaksi yang berlainan terhadap individu satu dengan yang lain berdasarkan rasa dan kecakapan yang berbeda-beda antara individu yang terlibat di dalamnya.

3. Adanya penegasan dan pembentukan struktur atau organisasi kelompok yang jelas dan terdiri dari peranan-peranan dan kedudukan masing-masing 4. Adanya peneguhan norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang

mengatur interaksi dalam kegiatan anggota kelompok untuk mencapai tujuan yang ada.

(9)

6. Adanya pergerakan yang dinamik.

Adapun syarat kelompok sosial sebagai berikut.

a. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.

b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota lainnya.

c. Terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama dan lain-lain.

d. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.

2.3.2. Macam-macam Kelompok Sosial

Menurut Robert Bierstedt, kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan ada tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran jenis. Bierstedt kemudian membagi kelompok berdasarkan ada tidaknya organisasi hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran jenis menjadi empat macam antara lain:

1. Kelompok statis, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak memiliki hubungan sosial dan kesadaran jenis di antaranya. Contoh: Kelompok penduduk usia 10-15 tahun di sebuah kecamatan.

(10)

2. Kelompok kemasyarakatan, yaitu kelompok yang memiliki persamaan tetapi tidak mempunyai organisasi dan hubungan sosial di antara anggotanya.

3. Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi. Contoh: Kelompok pertemuan, kerabat, dan lain-lain. 4. Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya mempunyai

kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama. Dalam asosiasi, para anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi formal. Contoh: negara, sekolah, dan lain-lain.

Berdasarkan interaksi sosial agar ada pembagian tugas, struktur dan norma yang ada, kelompok sosial dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain:

1. Kelompok Primer

Merupakan kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang anggotanya saling mengenal dekat dan berhubungan erat dalam kehidupan, sedangkan menurut Goerge Homan, kelompok primer merupakan sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang yang acapkali berkomunikasi dengan lainnya sehingga setiap orang mampu berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara. Misalnya, keluarga, RT, kawan sepermainan, kelompok agama, dan lain-lain.

(11)

2. Kelompok Sekunder

Jika interaksi sosial terjadi secara tidak langsung, berjauhan, dan sifatnya kurang kekeluargaan. Hubungan yang terjadi biasanya bersifat lebih objektif. Misalnya, partai politik, perhimpunan serikat kerja dan lain-lain. 3. Kelompok Formal

Pada kelompok ini ditandai dengan adanya peraturan atau Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) yang ada. Anggotanya diangkat oleh organisasi. Contoh dari kelompok ini adalah semua perkumpulan yang memiliki AD/ART.

4. Kelompok Informal

Merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotan kelompok biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok. Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal dan hanya berdasarkan kekeluargaan dan simpati. Misalnya, kelompok arisan dan sebagainya.

2.3.2. Kelompok Sosial Dipandang dari Sudut Individu

Suatu individu merupakan kelompok kecil dari suatu kelompok sosial atas dasar usia, keluarga, kekerabatan, seks, pekerjaan, hal tersebut memberikan kedudukan prestise tertentu/sesuai adat istiadat. Dengan kata lain keanggotaan dalam masyarakat tidak selalu gratis.

(12)

2.3.4. In Group dan Out Group

Summer membedakan antara in group dan out group. In group merupakan kelompok sosial yang dijadikan tempat oleh individu-individunya untuk mengidentifikasikan dirinya. Out group merupakan kelompok sosial yang oleh individunya diartikan sebagai lawan in group jelasnya kelompok sosial di luar anggotanya disebut out group. Contohnya, istilah kita atau kami menunjukkan adanya artikulasi in group, sedangkan mereka berartikulasi out group. Perasaan in

group atau out group didasari dengan suatu sikap yang dinamakan etnosentris,

yaitu adanya anggapan bahwa kebiasaan dalam kelompoknya merupakan yang terbaik dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Sikap in group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok. Dan sikap out

group dapat dilihat dari kelainan berwujud antagonisme atau antipati. Sikap in group dan out group merupakan dasar sikap etnosentrisme. Anggota-anggota

kelompok sosial tertentu sedikit banyak akan mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik apabila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan kelompok lain. Sikap etnosentrisme disosialisasikan atau diajarkan kepada anggota kelompok sosial, sadar maupun tidak sadar, serentak dengan nilai-nilai kebudayaan lain. Didalam proses tersebut sering kali digunakan stereotip, yakni gambaran atau anggapa-anggapan yang bersifat mengejek terhadap suatu objek tertentukeadaan demikian sering kali dijumpai dalam sikap suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. (soerjono, soekanto. 2006:108)

(13)

2.3.5. Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder

Charles Horton Cooley mengemukakan tentang kelompok primer (primary

group) atau face to face group merupakan kelompok sosial yang paling sederhana,

dimana para anggota-anggotanya saling mengenal, di mana ada kerja sama yang erat. Contohnya, keluarga, kelompok bermain, dan lain-lain. Kelompok sekunder (secondary group) ialah kelompok yang terdiri dari banyak orang, bersama siapa hubungannya tidak perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya tidak begitu langgeng, contohnya, hubungan kontrak jual beli.

2.3.6. Paguyuban dan Patembayan

Tonnies dan Loomis menyatakan bahwa paguyuban (gemeinschaft) ialah bentuk kehidupan bersama, di mana para anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal, dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang memang telah dikodratkan. Hubungan seperti ini dapat dijumpai dalam keluarga, kelompok kekeluargaan, rukun tetangga, dan lain-lain. Patembayan (gesellschaft) yaitu berupa ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat imajiner dan strukturnya bersifat mekanis sebagaimana terdapat dalam mesin. Ia bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka.

2.3.7. Formal Group dan Informal Group

J.A.A. Van Doorn membedakan kelompok formal dan informal. Formal

(14)

oleh anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan antara sesama, contohnya, organisasi. Informal group tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau yang pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan-pertemuan yang berulang kali, yang menjadi dasar pertemuan-pertemuan, kepentingan-kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang sama.

2.3.8. Membership Group & Reference Group

Membership group merupakan suatu kelompok di mana setiap orang

secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Reference group ialah kelompok-kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok-kelompok tersebut) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Robert K. Merton dengan menyebut beberapa hasil karya Harold H. Kelley, Shibutani, dan Ralph H.Turner mengemukakan adanya dua tipe umum reference group yakni tipe normatif, yang menentukan dasar-dasar bagi kepribadian seseorang dan tipe perbandingan, yang merupakan pegangan bagi individu di dalam menilai kepribadiannya.

2.3.9. Kelompok Okupasional dan Volunter

Kelompok okupasional adalah kelompok yang muncul karena semakin memudarnya fungsi kekerabatan, di mana kelompok ini timbul karena anggotanya memiliki pekerjaan yang sejenis. Okupasional diambil dari kata okupasi yang berarti menempati tempat atau objek kosong yang tidak mempunyai penguasa, dalam hal ini dicontohkan kelompok tersebut adalah orang-orang yang dapat memonopoli suatu teknologi tertentu yangmempunyai patokan dan aturan tertentu seperti halnya etika profesi, sedangkan volonter adalah orang yang mempunyai

(15)

kepentingan yang sama, namun tidak mendapat perhatian dari masyarakat. Kelompok ini dapat memenuhi kepentingan-kepentingan anggotanya secara individual, tanpa mengganggu kepentingan masyarakat secara umum.

2.4. Solidaritas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kata solidaritas adalah, sifat (perasaan) solider, sifat satu rasa (senasip), perasaan setia kawan yang pada suatu kelompok anggota wajib memilikinya (Depdiknas, 2007:1082). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata sosial adalah berkenaan dengan masyarakat, perlu adanya komunikasi dalam usaha menunjang pembangunan, suka memperhatikan kepentingan umum (Depdiknas, 2007:1085).

Pembagian kerja memiliki implikasi yang sangat besar terhadap struktur masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara di mana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi dua tipe solidaritas mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memilki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 90-91).

(16)

Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat yaitu pemahaman norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif lebih terlihat dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanik daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organik. Masyarakat modern lebih mungkin bertahan dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang yang dimiliki orang lain daripada bertahan pada kesadaran kolektif. Oleh karena itu meskipun masyarakat organik memiliki kesadaran kolektif, namun dia adalah bentuk lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perubahan individual (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 92).

Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanik, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, dia sangat diyakini, sangat mendarah daging, dan isinya sangat bersifat religious. Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok, tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang mendarah daging, dan isinya hanya kepentingan individu yang lebih tinggi dari pedoman moral (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2008: 91-92). Masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim, seluruh anggota masyarakat diikat oleh kesadaran kolektif, hati nurani kolektif yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstrim serta memaksa (Kamanto Sunarto, 2004: 128).

(17)

Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian. Setiap anggota menjalankan peran yang berbeda, dan saling ketergantungan seperti pada hubungan antara organisme biologis. Bisa dikatakan bahwa pada solidaritas organik ini menyebabkan masyarakat yang ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, karena adanya saling ketergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada sistem kerja dan kelangsungan hidup masyarakat. Keadaan masyarakat dengan solidaritas organik ini, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadaran kolektif melainkan kesepakatan yang terjalin diantara berbagai kelompok profesi (Kamanto Sunarto, 2004: 128).

Uraian diatas menggambarkan tentang konsep solidaritas dari sosiolog Emile Durkheim. solidaritas sosial menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok di masyarakat berdasarkan pada kuatnya ikatan perasaan dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menunjuk pada kekompakan untuk berbagi dan saling meringankan beban pekerjaan satu sama lain. bentuk solidaritas sosial terbagi menjadi dua, yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik mempunyai ciri pokok yaitu: Sifat individualitas yang rendah, belum ada pembagian kerja yang jelas, dan hanya ada di dalam masyarakat pedesaan. Sementara solidaritas organik mempunyai ciri pokok yaitu: Kesadaran kolektif

(18)

lemah, sudah ada pembagian kerja yang jelas, dan dapat terlihat di dalam masyarakat modern atau komplek.

2.4.1. Bentuk-Bentuk Solidaritas Sosial

a. Gotong-Royong

Bentuk solidaritas yang banyak kita temui di masyarakat misalnya adalah gotong-royong. Menurut Hasan Shadily (1993: 205), gotong-royong adalah rasa dan pertalian kesosialan yang sangat teguh dan terpelihara. Gotong-royong lebih banyak dilakukan di desa daripada di kota di antara anggota-anggota golongan itu sendiri. Kolektivitas terlihat dalam ikatan gotong-royong yang menjadi adat masyarakat desa. Gotong-royong menjadi bentuk solidaritas yang sangat umum dan eksistensinya di masyarakat juga masih sangat terlihat hingga sekarang, bahkan Negara Indonesia ini di kenal sebagai bangsa yang mempunyai jiwa gotong-royong yang tinggi. Gotong-royong masih sangat dirasakan manfaatnya, walaupun kita telah mengalami perkembangan jaman, yang memaksa mengubah pola pikir manusia menjadi pola pikir yang lebih egois, namun pada kenyataanya manusia memang tidak akan pernah bisa untuk hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan dari orang lain untuk kelangsungan hidupnya di masyarakat.

b. Kerjasama

Selain gotong-royong yang merupakan bentuk dari solidaritas sosial adalah kerjasama. Menurut Hasan Shadily (1993: 143-145), kerjasama adalah proses terakhir dalam penggabungan. Proses ini menunjukan suatu golongan

(19)

kelompok yang lain yang digabungkan itu. Kerjasama merupakan penggabungan antara individu dengan individu lain, atau kelompok dengan kelompok lain sehingga bisa mewujudkan suatu hasil yang dapat dinikmati bersama. Setelah tercapainya penggabungan itu barulah kelompok itu dapat bergerak sebagai suatu badan sosial. Sehingga kerjasama itu diharapkan memberikan suatu manfaat bagi anggota kelompok yang mengikutinya dan tujuan utama dari bekerjasama bisa dirasakan oleh anggota kelompok yang mengikutinya. Kerjasama timbul karena adanya orientasi orang-perseorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-group-nya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan yang menyingung secara tradisional atau institusional yang telah tertanam didalam kelompok (Soerjono Soekanto, 2006: 66). Ada lima bentuk kerjasama yaitu sebagai berikut:

1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong. 2. Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang

dan jasa antara dua organisasi atau lebih.

3. Kooptasi, yaitu proses suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dalam suatu organisasi.

4. Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama.

5. Joint venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek tertentu (Soerjono Soekanto, 2006: 68).

(20)

semakin kuat dan kompak, jadi intensitas kerjasama di antara mereka juga lebih tinggi, dikarenakan persamaan tujuan yang ada diantara mereka. Kerjasama dapat bersifat agresif apabila kelompok dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai perasaan tidak puas karena keinginan-keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok itu. Keadaan tersebut menjadi lebih tajam lagi apabila kelompok demikian merasa tersinggung atau dirugikan sistem kepercayaan atau dalam salah satu bidang sensitif kebudayaan (Soerjono Soekanto, 2006: 101).

2.5. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian dari Irvan Usman pada tahun 2013 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Gorontalo yang berjudul “Perilaku Bullying Ditinjau Dari Peran Kelompok Teman Sebaya dan Iklim Sekolah Pada Siswa SMA Di Kota Gorontalo, penelitian ini mengangkat bagaimana pengaruh kepribadian, komunikasi, kelompok teman sebaya dam iklim sekolah pada perilaku bullying siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan teknik pengumpulan data adalah observasi dan penyebaran angket. Hasil dari penelitian ini adalah peran kelompok teman sebaya terbukti berpengaruh negatif terhadap perilaku bullying pada siswa SMA di kota Gorontalo. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nation dkk (2007) yang menemukan bahwa perilaku bullying disebabkan oleh tekanan dari teman sebaya agar dapat diterima dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya adalah sekelompok teman yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan siswa dapat

(21)

perubahan dan pengembangan dalam kehidupan sosial dan pribadinya. baik komunikasi interpersonal yang dibangun remaja dengan orangtuanya, semakin besar peran kelompok teman sebaya untuk mengajak temannya dalam menerapkan norma-norma positif yang ada dalam mayarakat serta semakin kondusif iklim di sekolah maka semakin rendah perilaku bullying pada siswa SMA di Kota Gorontalo. Lokasi penelitian ini dilakukan pada SMA di Gorontalo.

Selanjutnya Penelitian yang dilakukan Dara Agnis Septiyuni pada tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Kelompok Teman Sebaya Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah” peneliti ini menggunakan metode kuantitatif. Hasil dari penelitian ini adalah Berdasarkan hasil analisis koefisien korelasi, terdapat hasil pengujian yang menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi antara variabel kelompok teman sebaya dengan variabel perilaku bullying adalah hubungan yang positif dan signifikan dengan nilai korelasi sebesar 0,360 dan ρ < 0,05 artinya kelompok teman sebaya berpengaruh terhadap terjadinya perilaku bullying siswa di sekolah, dengan kontribusi pengaruh sebesar 13%. Penelitian ini di lakukan pada SMA Negeri di Kota Bandung.

Berdasarkan beberapa penelitian-penelitian terdahulu dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada pola hubungan pertemanan dikalangan siswa yang mempengaruhi perilaku bullying. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih luas lagi adakah pengaruh hubungan pertemanan terhadap perilaku bullying di kalangan siswa SMA Kota Medan. Dan apa yang menjadi factor factor terjadinya perilaku bullying dikalangan siswa SMA.

Referensi

Dokumen terkait

penulis kumpulkan dari 27 responden yang berstatus mahasiswa yang berwiraswasta di beberapa negara di Asia, mereka memberikan respon yang cukup antusias terhadap

KWA’LIPP merupakan usaha penyedia layanan perencanaan acara, baik untuk acara pribadi ataupun acara kejutan.Jasa yang ditawarkan adalah membuat sebuah acara menjadi

Permasalah utama yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana tarbiyah yang diterapkan Hasan Al-Banna dalam jamaah Ikhwanul Muslimin menjadi suatu pergerakan

Settling point takaran yang diinginkan pada proses penakaran kualitas satu adalah 1500 ml pada masing-masing tangki dan untuk kualitas dua settling point pada tangki takaran 1

Program Peningkatan Kualitas Desain Produk Alas Kaki, sebagai kegiatan tahunan, lomba desain BPIPI 2015 akan mengambil tema ‘transportation’ sudah menjadi agenda

Hasil dari kajian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa kajian kebutuhan listrik didapat pada penyulang terdekat memiliki beban puncak sebesar 4,16 MW;

Kelompok unsur logam tanah jarang pertama kali ditemukan pada tahun 1787 oleh seorang letnan angkatan bersenjata Swedia bernama Karl Axel Arrhenius, yang

Retensi memori pasca penyuluhan Keluarga Berencana yang diukur melalui selisih hasil kuesioner sesaat dan 7 hari setelah penyuluhan dengan media ceramah lebih