BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dengue disebabkan oleh infeksi salah satu dari empat serotipe virus, contohnya dengue 1-4. Infeksi satu serotipe virus menyebabkan imunitas seumur hidup terhadap infeksi berulang oleh serotipe yang sama, namun tidak dengan serotipe yang lain. Kebanyakan infeksi dengue adalah tanpa gejala namun dapat bermanifestasi berupa demam tidak spesifik atau perjalanan menuju penyakit yang berat.
Aedes aegypti merupakan vektor virus dengue yang utama. Nyamuk dewasa tinggal
di dalam ruangan dan menggigit saat siang hari. Mereka beradaptasi untuk berkembangbiak di lingkungan manusia, seperti pada tempat penampungan air, vas bunga, kaleng, ban lama, dan barang-barang bekas lainnya. Vektor kedua dari virus dengue adalah Ar albopictus, yang berpengaruh secara signifikan pada penularan di Asia dan Amerika Latin. Wabah dengue juga disebabkan oleh Ae polynesiensis dan Ae scutellaris, namun dalam wilayah yang lebih sempit.
2.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue memiliki karakteristik terjadi kejadian luar biasa (KLB) atau epidemi secara periodik. Dalam kurun waktu 30 tahun terdapat lima KLB DBD di Indonesia yang cukup bermakna yaitu pada tahun 1973, 1983, 1988, 1998 dan 2004. Kejadian luar biasa pada tahun 2004 terjadi di 12 propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus 59.321 kasus dan kematian 669 orang dengan case fatality rate (CFR) 1,1% (Depkes RI, 2004).
Pada tahun 2006 total kasus DBD di Indonesia menurun, total jumlah penderita DBD mencapai 18.929 orang. Sedangkan, korban yang meninggal sebanyak 192 orang dengan
CFR 1,0 %. Pada tahun 2007 tingkat kematian oleh karena DBD 1,8% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, total penderita DBD mencapai 8.019 orang dan korban meninggal sebanyak mencapai 144 orang (Depkes RI, 2008).
Vektor dari virus dengue adalah Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Kedua vektor ini memiliki sifat yang berbeda. Aedes Aegypti bersifat antropofilik yaitu senang sekali pada manusia, dan mempunyai kebiasaan mengigit berulang. Sedangkan Aedes Albopictus merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004). Timbulnya suatu penyakit dapat diterangkan melalui segitiga epidemiologis yaitu dipengaruhi oleh agen (agent), host dan lingkungan (environment)
2.2.1 Agen
Virulensi virus dengue tergantung pada virion apakah mengandung determinan antigen yang kuat yang dapat menghancurkan sel target. Semakin kuat sifat determinan antigen suatu epitop virus , semakin mudah terjadi perlekatan sehingga semakin banyak virus yang melekat pada reseptor membran sel. Hal itu yang menyebabkan virus dengue menjadi lebih virulen. 2.2.2 Host
Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue, ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kepekaan :
2.2.2.1 Umur
Merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue, umur terbanyak untuk terjadi DBD adalah usia 10 – 14 tahun (37%), usia 4 – 9 tahun (36%), dan usia 15 – 24 tahun 15% (Nguyen dkk., 2006). Sedangkan jika terjadi infeksi sekunder pada anak-anak memiliki risiko 87% untuk menjadi DBD jika dibandingkan dengan dewasa (Wichman dkk., 2004)
2.2.2.2 Jenis Kelamin
Pada umumnya anak laki-laki dan perempuan memiliki perbandingan yang sama untuk terjadinya DBD, dimana risiko terjadinya DBD pada anak laki-laki dibanding perempuan adalah 0,96 berbanding 1,0 (Wichman dkk., 2004). Nguyen dkk (2006) melaporkan pada bayi laki-laki dibanding perempuan mempunyai resiko DBD 1,29 : 1, sedangkan risiko SSD 1,73 : 1. Untuk syok berat, perdarahan gastrointestinal, kegagalan respirasi, dan ensefalopati tidak ada perbedaan bermakna menurut jenis kelamin.
2.2.2.3 Status gizi
Pengaruh status gizi terhadap beratnya infeksi dengue masih kontroversial. Pengaruh status gizi terhadap beratnya penyakit berhubungan dengan teori imunologi, yaitu pada gizi baik akan meningkatkan respon antibodi dan karena ada reaksi antigen antibodi yang berlebihan menyebabkan infeksi dengue lebih berat (Sutaryo, 2004). Penelitian di Yogyakarta oleh Soegiyanto dkk. (2013) melaporkan, malnutrisi mengakibatkan infeksi yang berat. Natchaporn dkk. (2006) melaporkan, pada status gizi lebih memiliki 2,77 kali kemungkinan untuk menjadi infeksi dengue berat dibandingkan gizi normal. Halstead (2008) melaporkan, jarang pada anak gizi kurang terjadi syok dan anak obesitas memiliki respon imun yang lebih kuat dibanding gizi kurang sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menjadi infeksi berat. Kalayanarooj dkk. (2005); Nimmannitya (2005) melaporkan, anak gizi kurang memiliki risiko tinggi (37,8% ) untuk menjadi syok dibanding gizi normal (29,9%) dan obesitas (30,2%).
2.2.2.4 Kepadatan dan mobilitas penduduk
berpengaruh terhadap penyebaran virus dengue (WHO.,2008). Meningkatnya kepadatan penduduk akan meningkatkan interaksi manusia dengan vektor sehingga tanpa kontrol vektor yang baik sangat mudah terjadi outbreak DBD (Benjamin, 2005)
2.3 Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran virus adalah makrofag, sel endotel, hepar, sumsum tulang. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama dua hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala demam mulai (Soegijanto, 2006). Patogenesis infeksi dengue masih kontroversial, hal tersebut menunjukkan bahwa mekanisme sesungguhnya dari patofisiologi, hemodinamik, dan biokimiawi infeksi dengue belum sepenuhnya diketahui jelas (Sutaryo, 2004).
2.4 Gejala Klinis
Gejala klinis DBD pada awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus, oleh karenanya seringkali dokter dan tenaga kesehatan lainnya keliru dalam penegakkan diagnosa. Virus ini dipindahkan oleh nyamuk yang terinfeksi saat mengisap darah orang tersebut. Setelah masuk ke dalam tubuh, lewat kapiler darah virus melakukan perjalanan ke berbagai organ tubuh dan berkembang biak. Masa inkubasi virus ini berkisar 8-10 hari sejak seseorang terkena virus dengue, sampai timbul gejala-gejala demam berdarah (Candra, 2010).
Kondisi pasien yang berkembang kearah syok terjadi pada waktu atau segera setelah penurunan suhu antara hari ketiga sampai ketujuh sakit. Dengue syok sindrom disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum, hipoproteinemia, hemokonsentrasi, dan hipovolemia. Terdapat tanda khas dari gagal sirkulasi berupa : kulit menjadi dingin, nadi
cepat, dan lemah dengan penyempitan tekanan nadi < 20 mmHg. Dengue syok sindrom yang tidak teratasi akan berlanjut menjadi kegagalan mekanisme homeostasis, gangguan sistem kardiovaskuler sehingga sirkulasi tergangu mengakibatkan terjadinya kerusakan fungsi sel yang progresif dan ireversibel, pasien akan meninggal dalam 12 – 24 jam. Sindrom syok dengue yang teratasi, penyembuahan akan terjadi dalam 2-3 hari (WHO., 2000).
Disfungsi sirkulasi pada dengue syok sindrom, biasanya terjadi sesudah hari 2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan ke rongga intersisial sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. Gangguan perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan gangguan perfusi susunan syaraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran. Pada fase awal SSD fungsi organ vital dipertahankan dari hipovolemia oleh sistem hemostatis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi perifer mengurangi perfusi non-essensial di kulit dan menyebabkan sianosis, penurunan suhu tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler (>5 detik). Perbedaan suhu kulit dan suhu tubuh yang >200C menunjukkan mekanisme hemostasis masih utuh. Pada tahap SSD kompensasi curah jantung dan tekanan darah normal kembali. Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat SSD, berarti sistem hemostatis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat, sudah terjadi dekompensasi. Diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan saluran cerna yang hebat, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. Penyulit SSD yaang lain adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (overhidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati (Essy,
2009)
Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan untuk menskrining penderita DD adalah melalui uji bendung, pemeriksaan hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti ditegakkan dari hasil isolasi virus dengue (metode kultur sel) ataupun deteksi antigen
ribonucleic acid (RNA) virus dengue namun teknik ini sulit. Saat ini berkembang
pemeriksaan serologis untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG (Soegijanto, 2006).
Virus dengue bereplikasi pada hepatosit dan sel kupfer (Huerre dkk., 2001). Selama infeksi dengue terjadi apoptosis pada sel hati. Apoptosis ini mungkin bertujuan untuk menghilangkan sel hati yang terinfeksi oleh virus dengue, sel hati di fagositosis oleh sel fagosit disekitarnya yang bertujuan untuk mencegah perluasan infeksi (Seneviratne dkk., 2005). Lesi pada parenkim hati menurut Itha (2005) diakibatkan oleh tiga mekanisme yaitu : 1) efek sitopatik dari infeksi dengue, 2) Penghancuran sel oleh sistem imun pada sel yang terinfeksi, 3) efek tidak spesifik dari syok dan hipotensi.
Pembesaran hati pada infeksi dengue mulai terjadi pada hari kedua demam, terus membesar sampai paling besar pada masa kritis hari ke enam demam, lalu menjadi ukuran normal sesudah hari ke sembilan sampai dua minggu setelah penyembuhan (Sutaryo, 2004).