• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi metode penetapan kadar heptaminol HCL dengan agen penderivat o-ftalaldehid secara spektrofotometri ultraviolet - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Optimasi metode penetapan kadar heptaminol HCL dengan agen penderivat o-ftalaldehid secara spektrofotometri ultraviolet - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI METODE PENETAPAN KADAR HEPTAMINOL HCl DENGAN AGEN PENDERIVATO-FTALALDEHID SECARA

SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Fitriana Susanti

NIM : 078114108

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Fitriana Susanti

NIM : 078114108

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Success is not the key to happiness. Happiness is the key to

success. If you love what you are doing, you will be successful

(Albert Schweitzer)

JESUS looked at them and said,

“With man this is impossible,

but with GOD all things are possible.”

Matthew 19 : 26

Karya ini kupersembahkan untuk :

Papa, mama, dan kakakku tercinta sebagai ungkapan terima kasihku atas

semua doa, dukungan, dan semangatnya selama menyelesaikan studi.

(6)
(7)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala anugerah dan bimbingan-Nya kepada penulis selama menyelesaikan

penelitian ini.

Skripsi berjudul “Optimasi Metode Penetapan Kadar Heptaminol HCl

dengan Agen Penderivat o-ftaladehid secara Spektrofotometri Ultraviolet” ini

disusun dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu Farmasi Universitas Sanata

Dharma.

Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan

dan dukungan berbagai pihak yang telah memberikan saran, kritik, dan dukungan

kepada penulis, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, penolongku

2. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. selaku dosen pembimbing yang

dengan sabar memberikan pengarahan, masukan, kritik dan saran baik

selama penelitian maupun penyusunan skripsi ini.

4. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah

(8)

vii

7. PT. Corsa Indonesia yang telah bersedia memberikan baku heptaminol

HCl yang berguna dalam skripsi.

8. Kak Seny yang telah memberikan bantuan reageno-ftalaldehid.

9. Segenap dosen dan karyawan atas ilmu dan pengalaman yang berharga

sehingga berguna dalam proses penyusunanan skripsi.

10. Pak Parlan dan Mas Bimo selaku laboran Laboratorium Kimia Organik

dan Laboratorium Kimia Analisis Instrumental, Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah banyak membantu

selama proses penelitian di laboratorium.

11. Pak Bambang dan Mas Devi selaku laboran Laboratorium Analisis

Makanan, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atas

bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.

12. Teman-teman seperjuangan dan sahabatku, Agnes Anania dan Anggun

Aji Mukti. Terima kasih atas kebersamaan, kekompakan, pengalaman

suka maupun duka selama melakukan penelitian ini. Kita percaya kita

bisa, dan kita telah melakukannya.

13. Papa, Mama dan Hendrikus, yang tak pernah bosan memberikan

semangat, doa, dan dukungan sampai akhirnya skripsi ini selesai.

14. Fandri, atas semangat “kemauan keras”, dukungan, perhatian, diskusi,

(9)

viii

15. Oki, Putri, Riris, Septi, Fetri, Selasih, dan Pace atas segala dukungan,

semangat dan persahabatan yang terjalin selama perkuliahan.

16. Sahabat-sahabatku, Neisya dan Catrin, terima kasih untuk tiap semangat,

doa dukungan, dan tempat berbagi cerita.

17. Teman-teman kost Flaurent (Ci Grace, Ci Yustine, Ci Dian, dan Ci

Vanny) yang telah memberikan keceriaan, kebersamaan, dan dukungan

kepada penulis.

18. Teman-teman kelompok praktikumku, khususnya Tiwi, Tere, Lilis,

Yunita, Devina, Ardi, Dani, Wawan, dan Yudi terima kasih atas

kekompakan dan kerjasama selama perkuliahan dan praktikum.

19. Teman-teman Fakultas Farmasi angkatan 2007 kelas C dan kelas Farmasi

Sains dan Teknologi (FST) A terima kasih atas kebersamaan kita selama

ini yang tak mungkin terlupakan.

20. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak tertulis di sini,

terima kasih atas semua bantuannya.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan, untuk itu penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan

saran yang dapat membangun penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap hasil

penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Yogyakarta

(10)
(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI...v

PRAKATA...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...ix

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL...xiv

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

INTISARI ...xviii

ABSTRACT...xix

BAB I PENGANTAR ...1

A. Latar Belakang ...1

1. Perumusan Masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian ... 4

(12)

xi

A. Heptaminol HCl ...7

B.O-ftalaldehid (OPA)... 8

C. Derivatisasi...10

D. Spektrofotometri UV ... 10

E. Landasan Teori ...15

F. Hipotesis ...17

BAB III METODE PENELITIAN ...18

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...18

B. Variabel Penelitian ... 18

1. Variabel Bebas ...18

2. Variabel Tergantung ...18

3. Variabel Pengacau Terkendali ...18

C. Definisi Operasional... 19

D. Bahan dan Alat Penelitian...19

1. Bahan Penelitian ... 19

2. Alat Penelitian...20

(13)

xii

1. Pembuatan Larutan Stok Heptaminol HCl ...20

2. Pembuatan Dapar Borat pH 8, 9, dan 10 ...20

3. Pembuatan Larutan OPA ...21

4. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Pengukuran ...21

5. Penentuan pH Dapar Optimum...22

6. PenentuanOperating Time(OT) ...22

7. Penentuan Nilai Ekstingsi Molar (ε)...23

F. Analisis Hasil...24

1. Panjang Gelombang Maksimum...24

2. pH Dapar Optimum ...24

3. Waktu (Operating Time)...24

4. Nilai Ekstingsi Molar (ε) ...24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...25

A. Pembuatan Larutan ... 25

1. Larutan Heptaminol HCl ...25

2. Larutan Dapar Borat ...25

3. Larutan OPA ...26

4. Larutan Baku Heptaminol HCl ...28

(14)

xiii

E. PenentuanOperating Time(OT) ...41

F. Penentuan Nilai Ekstingsi Molar (ε)...44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...46

A. Kesimpulan ...46

B. Saran...46

DAFTAR PUSTAKA ...47

LAMPIRAN...49

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Data penentuan pH dapar optimum... 39

Tabel II. Data penentuanoperating timeantara heptaminol dengan agen

penderivat OPA... 42

(16)

xv

Gambar 2. Strukturo-ftalaldehid (OPA) ... 8

Gambar 3. Reaksi antara OPA dengan amina primer ... 9

Gambar 4. Diagram tingkat energi elektronik ...12

Gambar 5. SpektrofotometerSingle-beam...15

Gambar 6. SpektrofotometerDouble-beam...15

Gambar 7. Reaksi cannizzaro pada OPA...27

Gambar 8. Reaksi pembentukan heptaminol HCl menjadi heptaminol...29

Gambar 9. Reaksi derivatisasi heptaminol dengan agen penderivat OPA...30

Gambar 10. Mekanisme reaksi derivatisasi heptaminol dengan agen penderivat OPA yang diusulkan...31

Gambar 11. Gugus kromofor dan auksokrom pada heptaminol hasil derivatisasi ...32

Gambar 12. Reaksi degradasi hasil derivat antara OPA dengan heptaminol ...32

Gambar 13. Mekanisme reaksi degradasi hasil derivat yang diusulkan ...33

(17)

xvi

Gambar 15. Spektra absorbansi OPA ...36

Gambar 16. (A) Spektra absorbansi hasil derivatisasi setelah 1,5 menit

penambahan heptaminol dengan reagen OPA (menit ke-0

reaksi); (B) spektra absorbansi hasil derivatisasi setelah 1

jam reaksi...37

Gambar 17. Spektra absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl

dengan OPA pada dapar borat pH 8, 9, dan 10 ...39

Gambar 18. Spektra absorbansi untuk penentuan OT ...41

Gambar 19. Perkiraan spektra absorbansi hasil derivatisasi setelah 15

(18)

xvii

Lampiran 3. Spektra hasil penentuan panjang gelombang maksimum

senyawa derivat hasil reaksi antara heptaminol HCl dengan

agen penderivat OPA ... 56

Lampiran 4. Spektra hasilscanningpenentuan pH dapar optimum untuk reaksi derivatisasi antara heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA...66

Lampiran 5. Data penentuan pH dapar borat optimum... 75

Lampiran 6. Spektra absorbansi untukoperating time... 76

Lampiran 7. Data penentuan OT ...80

(19)

xviii

INTISARI

Heptaminol merupakan salah satu obat generik yang banyak digunakan masyarakat untuk berbagai tujuan medis, baik untuk pengobatan hipotensi ortostatik, kardiotonik, maupun sebagai vasodilator. Saat ini masih jarang dilakukan penelitian tentang analisis heptaminol dengan metode spektrofotometri karena heptaminol tidak memiliki gugus kromofor dan auksokrom, sehingga susah ditetapkan kadarnya. Oleh karena itu, dibutuhkan metode analisis alternatif untuk penetapan kadar heptaminol yaitu melalui derivatisasi menggunakan agen penderivat o-ftalaldehid (OPA) secara spektrofotometri UV untuk meningkatkan sensitivitasnya.

Hasil derivat yang terbentuk dari derivatisasi heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA kurang stabil dan dapat terdegradasi seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian optimasi derivatisasi heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA untuk mendapatkan kondisi optimum yang akhirnya dapat digunakan untuk menetapkan kadar heptaminol HCl.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental. Kondisi optimum hasil penelitian yang diperoleh adalah absorbansi maksimum pada panjang gelombang 332 nm, pH dapar optimum adalah dapar borat pH 9, operating time

atau waktu reaksi optimumnya adalah pada menit ke-15. Nilai koefisien ekstingsi molar (ε) rata-rata dari derivat adalah 667,354 M-1cm-1.

(20)

xix

hypotension, cardiotonic, and vasodilator. Nowadays, research for determination heptaminol by spectrophotometry is rare because heptaminol has no chromophore and auxochrome groups, so it is hard to determine the heptaminol. Therefore, we need an alternative analysis method for determination of heptaminol through derivatization using o-phthalaldehyde (OPA) by UV spectrophotometry to improve its sensitivity.

Derivative heptaminol is less stable and can be degraded over time. Therefore, optimation is needed to obtain optimum conditions that ultimately may be used to determine heptaminol HCl.

This study is an experimental design. The optimum conditions obtained research results are the maximum absorbance at a wavelength of 332 nm, optimum pH buffer for derivatization reaction between heptaminol HCl and the OPA is buffer borate pH 9, operating time or optimum time for derivatization reaction is on minute of 15. The average of extinction molar coefficient of the derivates is 667,354 M-1cm-1.

(21)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Heptaminol HCl merupakan salah satu obat generik yang banyak

digunakan masyarakat untuk berbagai tujuan medis. Heptaminol HCl merupakan

obat yang biasanya digunakan bagi pasien bertekanan darah rendah, khususnya

untuk jenis hipotensi ortostatik, yaitu merupakan penurunan tekanan darah

berlebihan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak. Selain untuk

mengobati hipotensi ortostatik, heptaminol HCl digunakan juga sebagai

kardiotonik dan vasodilator.

Seperti obat-obat lainnya, penggunaan heptaminol HCl selain

memberikan efek terapeutik juga dapat menghasilkan efek toksik apabila dosisnya

berlebih atau tidak memberikan efek apabila dosisnya kurang. Oleh sebab itu,

pemberiannya harus dilakukan dengan benar agar kerja heptaminol HCl efektif

dan aman. Tercapainya keefektifan dan keamanan obat didukung oleh kualitas dan

mutu obat yang baik. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan kontrol kualitas

terhadap heptaminol HCl untuk mengetahui keefektifan dan keamanannya.

Metode penetapan kadar heptaminol HCl belum banyak diteliti. Salah

satu alasannya adalah karena heptaminol HCl tidak memiliki gugus kromofor dan

auksokrom, sehingga tidak bisa dideteksi langsung menggunakan

spektrofotometri ultraviolet (UV) ataupun visible (vis). Berdasarkan strukturnya,

(22)

jauh(λ= 100-190 nm). Hal inilah yang menyebabkan heptaminol HCl tidak dapat

dideteksi secara spektrofotometri UV-Vis, karena heptaminol terdeteksi pada

daerah UV jauh, sedangkan spektrofotometri UV berada pada daerah UV dekat

(λ= 190-380 nm) dan spektrofotometrivisibleberada pada daerahvisible(λ=

380-780 nm) (Mulja dan Suharman, 1995). Hal tersebut menjadi masalah tersendiri

khususnya bagi produsen obat dalam melaksanakan kontrol kualitas untuk

memberikan jaminan kontrol kualitas karena heptaminol sukar untuk dianalisis.

Untuk itulah dalam analisisnya biasanya dilakukan derivatisasi terlebih dahulu

terhadap heptaminol HCl untuk meningkatkan sensitivitasnya, sehingga kemudian

dapat ditetapkan kadarnya menggunakan spektrofotometri UV atauvisible.

Analisis heptaminol yang telah dilakukan antara lain dengan

menggunakan: Kromatografi Lapis Tipis (KLT)-fotodensitometri, dengan

derivatisasi menggunakan4-chloro-7-nitrobenzo-2,1,3-oxadiazole(Morros, Borja,

and Segura, 1985); spektrofotometri dan spektrofluorometri dengan

ditambahkannya reagen asetilaseton-formaldehida (Fattah, El-Yazbi, Belal, and

Abdel-Razak, 1997); Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik

dengan derivatisasi pra-kolom menggunakan o-phthalaldehyde dan detektor

fluoresensi (Brodie, Chasseaud, Rooney, Darragh, and Lambe, 1983).

Pada penelitian ini, heptaminol HCl akan diderivatisasi dengan agen

penderivat OPA menggunakan metode spektrofotometri UV, dimana penelitian ini

belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan data yang diperoleh, penetapan

kadar heptaminol yang didahului dengan derivatisasi pernah dilakukan

(23)

3

fluoresensi karena senyawa derivat yang terbentuk berfluoresensi. Dipilih metode

spektrofotometri dalam penelitian ini karena metode spektrofotometri memiliki

persamaan dengan metode spektrofluorometri, yaitu dapat mendeteksi senyawa

yang memiliki gugus kromofor dan auksokrom. Oleh karena itu, heptaminol HCl

terderivatisasi dipastikan dapat dianalisis juga secara spektrofotometri. Selain itu,

alasan digunakan metode spektrofotometri UV pada penelitian ini adalah karena

metode spektrofotometri UV merupakan metode yang praktis, cepat, akurat, dan

memiliki sensitivitas yang cukup baik. Spektrofotometer UV merupakan alat yang

paling banyak dimiliki oleh laboratorium-laboratorium analisis di Indonesia pada

umumnya.

Dalam penelitian ini dipilih OPA sebagai agen penderivat heptaminol

HCl karena OPA memiliki beberapa kelebihan, yaitu: OPA spesifik untuk reaksi

dengan amina primer, reaksi derivatisasi dengan amina primer berlangsung dalam

waktu yang singkat, OPA memiliki sensitivitas yang tinggi bila dibandingkan

dengan agen penderivat lain yang umum digunakan, seperti ninhidrin dan

fluorescamine. OPA lebih larut dan stabil dalam larutan dapar, dan sensitivitasnya

dalam mendeteksi protein 5-10 kali lebih besar dibandingkan fluorescamine

(Benson and Hare, 1975).

Derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA dapat membentuk suatu

derivat berkromofor dan berauksokrom yang dapat ditetapkan kadarnya dengan

menggunakan spektrofotometer UV. Akan tetapi, hasil derivat yang terbentuk

kurang stabil dan dapat terdegradasi seiring dengan berjalannya waktu (Lindroth,

(24)

optimasi derivatisasi heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA secara

spektrofotometri UV untuk mendapatkan kondisi optimal yang akhirnya dapat

digunakan untuk menetapkan kadar heptaminol HCl. Melalui penelitian ini,

penulis hendak melakukan optimasi untuk mengetahui kondisi optimum dari

metode penetapan kadar heptaminol HCl setelah diderivatisasi dengan agen

penderivat OPA secara spektrofotometri UV.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul

adalah:

a. Berapakah panjang gelombang maksimum pengukuran untuk penetapan kadar

hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA menggunakan

metode spektrofotometri UV?

b. Berapakah pH dapar optimum untuk melakukan derivatisasi heptaminol HCl

dengan agen penderivat OPA agar dapat ditetapkan kadarnya menggunakan

metode spektrofotometri UV?

c. Kapankah operating time (OT) optimum untuk reaksi derivatisasi heptaminol

HCl dengan agen penderivat OPA?

d. Berapakah nilai koefisien ekstingsi molar (ε) dari senyawa hasil derivatisasi

heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan fakta-fakta penelitian sebelumnya yang diperoleh penulis

masih jarang ditemukan penetapan kadar heptaminol secara spektrofotometri UV.

(25)

5

umumnya menggunakan metode spektrofluorometri atau KCKT dengan detektor

fluoresensi.

Analisis heptaminol dan mexiletine dalam sedian obat pernah dilakukan

oleh Fattah et al. (1997) menggunakan metode spektrofotometri dan

spektrofluorometri dengan penambahan reagen asetilaseton-formaldehida. Selain

dengan metode spektrofotometri, penetapan kadar heptaminol dalam plasma dan

urin pernah dilakukan menggunakan metode KCKT fase terbalik dengan detektor

fluoresensi setelah diderivatisasi dengan OPA. Metode ini memiliki sensitivitas

yang cukup baik untuk studi farmakokinetika (Brodie et al., 1983). Penetapan

kadar heptaminol dalam plasma dengan menggunakan metode Kromatografi

Lapis Tipis danin situFluorometri dengan derivatisasi menggunakan

4-chloro-7-nitrobenzo-2,1,3-oxadiazolejuga pernah dilakukan oleh Morroset al.(1985).

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat Metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan ilmiah mengenai metode alternatif menggunakan metode

spektrofotometri UV untuk penetapan kadar heptaminol HCl, yaitu menggunakan

agen penderivat OPA.

b. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan metode

penetapan kadar heptaminol yang sensitif dan dapat dimanfaatkan oleh pihak

(26)

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang muncul maka

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui panjang gelombang maksimum pengukuran untuk penetapan

kadar hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA

menggunakan metode spektrofotometri UV.

2. Mengetahui pH dapar optimum untuk melakukan derivatisasi heptaminol

HCl dengan agen penderivat OPA agar dapat ditetapkan kadarnya

menggunakan metode spektrofotometri UV.

3. Mengetahui operating time (OT) optimum untuk reaksi derivatisasi

heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA.

4. Mengetahui nilai koefisien ekstingsi molar (ε) dari senyawa hasil

(27)

7

Gambar 1. Struktur heptaminol HCl

Heptaminol (6-amino-2-metil-2-heptanol) adalah turunan amina yang

digunakan sebagai kardiotonik dan vasodilator dalam kedokteran hewan.

Heptaminol digunakan sebagai korektor efek hipotensif dan neuroleptik. Dosis

terapetiknya berkisar antara 1-3 mg/kg BB (Anonim, 2010a). Rumus molekul

heptaminol HCl adalah C8H20ClNO dan memiliki rumus bangun pada gambar 1,

dengan bobot molekul 180,7 g/mol (Anonim, 2010b) dan titik lebur antara

178-180° C. Heptaminol HCl sangat mudah larut dalam air, larut dalam alkohol, dan

praktis tidak larut dalam aseton, benzen, dan eter (Anonim, 1989).

Heptaminol HCl mempunyai 2 khasiat utama, yaitu:

1. Khasiat terhadap sistem kardiosirkulasi

Heptaminol akan meningkatkan kekuatan sistolik dan kapasitas kerja jantung,

output jantung dan aliran darah koroner. Selain itu, heptaminol memperkuat

pembuluh darah perifer. Heptaminol memperbaiki hipotensi dan penurunan

(28)

cukup sederhana dan secara fisiologis, yaitu dengan mengembalikan

fungsi-fungsi sirkulasi darah.

2. Khasiat terhadap sistem neuromuskuler

Heptaminol HCl memperkuat dan menormalkan sistem neuromuskuler yang

mengalami kronaksi saraf yang menurun (melibatkan neuron-neuron formasio

retikularis dan hipotalamus) dan kronaksi otot yang menurun. Daya anti

kelelahan heptaminol secara preventif menunda terjadinya tanda-tanda

kelelahan kronaksi pada saraf dan otot (Hardjasaputra, Budipranoto, Sembiring

dan Kamil, 2002).

Dilihat dari strukturnya, heptaminol hanya memiliki gugus –NH2 dan

–OH yang penting untuk keperluan analisis. Menurut Snyder, Kirkland, dan

Glajch (1997), gugus –NH2 tidak memiliki nilai koefisien ekstingsi molar (ε)

sehingga heptaminol sukar untuk terdeteksi.

B. O-ftalaldehid (OPA) O

O H

H

Gambar 2. Strukturo-ftalaldehid (OPA)

OPA (gambar 2) memiliki rumus molekul C8H6O2, berbentuk kristal atau

serbuk berwarna kuning (Anonim, 2005). OPA larut dalam metanol, dan dietil

(29)

9

Penetapan kadar protein menggunakan OPA cepat dan sensitif.

Reaksinya selesai dalam waktu kurang dari 1 menit. Dalam penetapan standar,

protein dapat dideteksi paling rendah pada kadar 10 µg/mL. Namun dalam

penetapan kadar mikro, batas deteksi terendahnya dapat mencapai 50 ng/mL.

OPA dapat bereaksi dengan amina primer dalam protein. Dengan kehadiran

merkaptoetanol, OPA dapat bereaksi dengan amina primer seperti terlihat pada

gambar 3 dan menghasilkan senyawa berfluoresensi biru yang memiliki panjang

gelombang eksitasi maksimum pada 340 nm dan panjang gelombang emisi

maksimum pada 455 nm. Reaksi ini berlangsung secara spontan, sehingga

reaksinya berlangsung dalam beberapa menit (Ahmed, 2005).

C

Gambar 3. Reaksi antara OPA dengan amina primer

OPA memberikan sensitivitas yang lebih besar dalam deteksinya. Hal ini

(30)

sendiri dan dengan demikian tidak akan mengganggu deteksinya. Kedua,

reaksinya terjadi dengan cepat pada suhu kamar, meminimalkan penggunaan

waktu yang lama (Blackburn, 1989).

Derivat yang terbentuk dari reaksi derivatisasi antara amina primer

dengan OPA akan membentuk senyawa berflurosensi, yaitu senyawa dengan

struktur rigid, planar, serta memiliki gugus kromofor dan auksokrom.

C. Derivatisasi

Dalam suatu analisis, kemungkinan banyak terdapat zat-zat yang

memberikan absorbansi maksimal pada panjang gelombang 200-210 nm,

umumnya merupakan bahan-bahan yang digunakan sebagai pelarut, khususnya

yang mempunyai ikatan hidrogen. Proses derivatisasi dilakukan untuk mengatasi

keadaan tersebut dengan cara mereaksikan zat yang dianalisis dengan zat tertentu

sehingga terjadi pergeseran panjang gelombang maksimal ke arah pergeseran

merah atau mereaksikan zat yang dianalisis dengan zat tertentu sehingga

menghasilkan senyawa yang berfluoresensi.

Perlu diperhatikan bahwa zat penderivat harus memberikan reaksi yang

cepat dan stabil serta meningkatkan sensitivitas pengukuran (Mulja dan

Suharman, 1995).

D. Spektrofotometri UV

Spektrofotometri UV adalah salah satu teknik analisis spektroskopik

(31)

11

dengan menggunakan alat spektrofotometer. Spektrofotometri UV menggunakan

energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga

spektrofotometri UV lebih banyak digunakan untuk analisis kuantitatif daripada

analisis kualitatif. Pada analisis menggunakan spektrofotometri UV, dilakukan

pembacaan absorbansi (penyerapan) atau transmitansi (penerusan) radiasi

elektromagnetik oleh suatu molekul. Hasil pembacaan absorbansi disebut sebagai

absorban (A) dan tidak memiliki satuan, sedangkan hasil pembacaan transmitansi

disebut transmitan dan memiliki satuan % T (Mulja dan Suharman, 1995).

Absorbansi cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum UV danvisible

tergantung dari struktur elektronik molekul (Sastrohamidjojo, 2001). Apabila

suatu molekul dikenai oleh radiasi elektromagnetik (REM) maka akan terjadi

eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal sebagai orbital elektron

antiikatan (Mulja dan Suharman, 1995). Absorpsi cahaya UV mengakibatkan

transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar,

highest occupied molecular orbital(HOMO) berenergi rendah ke orbital keadaan

tereksitasi berenergi lebih tinggi lowest unoccupied molecular orbital (LUMO)

(Supratman, 2010). Ada empat tipe transisi elektronik yang mungkin terjadi yaitu

σ → σ*, π → π*, n → π*, n → σ*. Eksitasi elektron (σ → σ*) membutuhkan

energi yang terbesar dan terjadi pada daerah UV jauh yang diberikan oleh ikatan

tunggal, misalnya alkana. Eksitasi elektron π → π* diberikan oleh ikatan rangkap

dua dan rangkap tiga, juga terjadi pada daerah UV jauh. Eksitasi elektron (n →

σ*) terjadi pada gugus karbonil yang terjadi pada UV jauh (Mulja dan Suharman,

(32)

Gambar 4. Diagram tingkat energi elektronik (Gandjar dan Rohman, 2007)

Panjang gelombang cahaya UV atau cahaya tampak bergantung pada

mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak

energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang

lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada

panjang gelombang yang lebih panjang. Daerah yang paling berguna dari

spektrum UV adalah daerah dengan panjang gelombang di atas 200 nm. Transisi

berikut menimbulkan absorpsi dalam daerah 100-200 nm yang tak berguna: π →

π* untuk ikatan rangkap menyendiri dan σ → σ* untuk ikatan-ikatan karbon

biasa. Transisi yang berguna (200-400 nm) adalah π → π* untuk senyawa dengan

ikatan rangkap berkonjugasi serta beberapa transisi n → σ* dan n → π*

(Fessenden dan Fessenden, 1994).

Bouguer, Lambert dan Beer membuat suatu persamaan matematik yang

menghubungkan antara absorban atau transmitan terhadap intensitas radiasi atau

(33)

13

A =ε. b. c (1)

keterangan: T = % transmitan

A = absorban

ε= absorbansi molar (Lt.mol-1cm-1)

c = konsentrasi (mol.Lt-1)

b = tebal larutan (cm)

Hubungan antara nilai dengan absorbansi molar (ε) adalah sebagai

berikut:

ε= x M-1. cm-1. (2)

Nilai ε didefinisikan sebagai absorbansi molar atau koefisien ekstingsi

molar. Nilai εadalah karakteristik untuk molekul atau ion penyerap dalam pelarut

tertentu, pada panjang gelombang tertentu dan tidak bergantung pada konsentrasi

dan panjang gelombang lintasan radiasi (Sastrohamidjojo, 2001). Secara umum,

dapat dikatakan bahwa nilai ε sangat mempengaruhi puncak spektrum yang

dihasilkan oleh suatu zat. Rincian nilai εterhadap puncak spektrum adalah: 1-10:

sangat lemah; 10-102: lemah; 102-103: sedang; 103-104: kuat; 104-105: sangat kuat

(Mulja dan Suharman, 1995).

Pembacaan absorbansi sebesar 0,2 – 0,8 atau persen transmitan sebesar

15 - 65% akan memberikan persen kesalahan analisis yang masih dapat diterima

(0,5 – 1%) (Mulja dan Suharman, 1995).

Pemilihan pelarut yang digunakan dalam spektroskopi UV merupakan

hal yang cukup penting. Kriteria pelarut yang baik adalah yang tidak

(34)

pelarut yang dipilih adalah yang tidak memiliki sistem terkonjugasi. Air, etanol

95% dan n-heksana merupakan pelarut yang banyak digunakan. Zat-zat tersebut

tidak terlihat dalam daerah spektrum ultraviolet dimana puncak absorbsi analit

biasanya muncul (Pavia, Lampman, and Kriz, 2001).

Analisis kuantitatif zat tunggal pada spektrofotometri menggunakan

pengukuran absorbansi senyawa pada panjang gelombang maksimum, yaitu

panjang gelombang dimana terjadi eksitasi elektronik yang memberikan

absorbansi yang maksimum (Mulja dan Suharman, 1995). Beberapa alasan

digunakannya panjang gelombang maksimum dalam suatu analisis kuantitatif

adalah sebagai berikut:

1. Pada panjang gelombang maksimum diperoleh kepekaan analisis yang

maksimal, karena pada panjang gelombang tersebut perubahan absorbansi

untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.

2. Di sekitar panjang gelombang maksimum, bentuk kurva absorbansi datar dan

pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.

3. Jika dilakukan pengukuran ulang akan memberikan kesalahan yang kecil

ketika digunakan panjang gelombang maksimum (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pada umumnya konfigurasi dasar spektrofotometer UV berupa susunan

(35)

15

Gambar 5. SpektrofotometerSingle-beam

Gambar 6. SpektrofotometerDouble-beam

(Haven, Tetrault, and Schenken, 1994)

E. Landasan Teori

Heptaminol HCl merupakan salah satu obat generik yang banyak

digunakan masyarakat untuk berbagai tujuan medis, baik untuk pengobatan

hipotensi ortostatik, kardiotonik, maupun sebagai vasodilator. Dilihat dari

strukturnya, heptaminol HCl tidak memiliki gugus kromofor dan auksokrom

(36)

dengan spektrofotometri UV atau untuk meningkatkan sensitivitasnya.

Berdasarkan strukturnya, senyawa alifatis seperti heptaminol HCl hanya akan

terdeteksi pada daerah UV jauh sehingga tidak dapat terdeteksi pada daerah UV

dekat yang digunakan pada spektrofotometer UV. Setelah dilakukan derivatisasi

maka heptaminol HCl terderivatisasi akan meningkat sensitivitasnya dan dapat

terdeteksi pada daerah UV dekat dan dapat ditetapkan kadarnya secara

spektrofotometri UV. Peningkatan sensitivitas terjadi karena bertambah

panjangnya ikatan rangkap terkonjugasi yang menyebabkan terjadinya

peningkatan nilaiε, dimana nilaiεberbanding lurus dengan luas area kromofor.

Agen penderivat yang dipilih adalah agen penderivat OPA. Dipilih OPA

karena reaksi derivatisasinya hanya memerlukan waktu yang singkat dan hasilnya

sensitif.

Salah satu keterbatasan dari hasil derivat yang terbentuk adalah derivat

kurang stabil dan dapat terdegradasi seiring dengan berjalannya waktu. Oleh

karena itu, dilakukan optimasi derivatisasi heptaminol HCl dengan agen

penderivat OPA untuk mendapatkan kondisi optimal yang akhirnya dapat

digunakan untuk menetapkan kadar heptaminol HCl. Kondisi optimal penetapan

kadar heptaminol HCl adalah berupa panjang gelombang maksimum pengukuran,

pH dapar basa optimum dimana reaksi derivatisasi antara heptaminol HCl dengan

OPA hanya berlangsung pada suasana basa, dan waktu reaksi optimum antara

heptaminol HCl dengan OPA. Pada kondisi optimal yang nantinya akan

dioptimasi maka heptaminol HCl dapat ditetapkan kadarnya karena meningkatnya

(37)

17

F. Hipotesis

Derivatisasi menggunakan agen penderivat OPA pada panjang

gelombang maksimum pengukuran, pH dapar basa optimum, dan operating time

optimum dapat digunakan untuk meningkatkan sensitivitas dalam penetapan kadar

(38)

18

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental karena terdapat

perlakuan terhadap subyek uji.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah panjang gelombang maksimum

pengukuran hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA (λ maksimum), pH

dapar basa untuk mereaksikan heptaminol HCl dengan OPA (pH reaksi), dan

waktu reaksi optimum antara heptaminol HCl dengan OPA (operating time).

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kestabilan derivat yang

terbentuk (absorbansi) dan nilai koefisien ekstingsi molar (ε) derivat.

3. Variabel pengacau terkendali

a. Suhu reaksi. Untuk mengatasinya digunakan suhu kamar sebagai suhu

reaksi.

b. Cahaya. Untuk mengatasinya, pengerjaan dilakukan di ruangan

dengan intensitas cahaya yang terbatas serta dengan penggunaan aluminium foil.

c. Kemurnian pelarut. Untuk mengatasinya, digunakan pelarut dengan

(39)

19

C. Definisi Operasional

1. Heptaminol baku yang dianalisis adalah heptaminol HCl dari PT. Corsa,

Indonesia (Sertifikat analisis terlampir pada Lampiran 1.).

2. Derivat yang dianalisis adalah derivat yang terbentuk dari hasil reaksi antara

heptaminol HCl dengan OPA.

3. Panjang gelombang maksimum pengukuran adalah panjang gelombang dimana

absorbansi dari hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA maksimum.

4. Dapar yang digunakan adalah dapar borat pH 8, 9, dan 10.

5. Operating time adalah waktu reaksi derivatisasi optimum antara heptaminol

HCl dengan OPA.

6. Nilai koefisien ekstingsi molar atau absorbansi molar (ε) yang diukur adalah

nilaiεdari hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA.

7. Sistem spektrofotometri yang digunakan adalah seperangkat alat

spektrofotometri UV-Vis merk Genesys 10 UV.

D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi heptaminol

HCl baku pembanding (PT. Corsa);o-ftalaldehid (p.a., Nacalai); merkaptoetanol;

metanol; asam borat; NaOH; dan KCl (p.a., E. Merck); aquabidestilata (LPPT

(40)

2. Alat penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Spektrofotometer

UV-Vis merk Genesys 10 UV, kuvet UV, vortex merk Thermolyne, pH meter

merk pHep family, neraca merk PJ Precisa Junior, neraca analitik merk Precisa

125 A SCS, mikropipet 100-1000 µL, seperangkat alat gelas yang lazim digunakan

di laboratorium analisis.

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan larutan stok heptaminol HCl (2 mg/mL)

Ditimbang lebih kurang seksama 20,0 mg baku heptaminol HCl,

dimasukkan ke dalam labu takar 10,0 mL, dilarutkan dengan aquabidestilata

hingga tanda.

2. Pembuatan dapar borat pH 8, 9, dan 10

a. Pembuatan campuran H3BO3dan KCl. Ditimbang lebih kurang seksama

1,55 g H3BO3. Kemudian ditambahkan 1,85 g KCl, dan dilarutkan dalam

aquabidestilata sampai 250,0 mL.

b. Pembuatan dapar borat pH 8. Sejumlah 25,0 mL campuran H3BO3dan

KCl (poin 2a) diambil, kemudian ditambahkan dengan larutan NaOH 0,1 M

sebanyak 1,95 mL, dan diencerkan dengan aquabidestilata sampai volume 50,0

mL. Ukur pH larutan, kemudian ditepatkan pH-nya menjadi 8 dengan

menambahkan larutan H3BO3atau larutan NaOH (Perrin and Dempsey, 1974).

c. Pembuatan dapar borat pH 9. Sejumlah 25,0 mL campuran H3BO3dan

(41)

21

sebanyak 10,4 mL, dan diencerkan dengan aquabidestilata sampai volume 50,0

mL. Ukur pH larutan, kemudian ditepatkan pH-nya menjadi 9 dengan

menambahkan larutan H3BO3atau larutan NaOH (Perrin and Dempsey, 1974).

d. Pembuatan dapar borat pH 10.Sejumlah 25,0 mL campuran H3BO3dan

KCl (poin 2a) diambil, kemudian ditambahkan dengan larutan NaOH 0,1 M

sebanyak 21,85 mL, dan diencerkan dengan aquabidestilata sampai volume 50,0

mL. Ukur pH larutan, kemudian ditepatkan pH-nya menjadi 10 dengan

menambahkan larutan H3BO3atau larutan NaOH (Perrin and Dempsey, 1974).

3. Pembuatan larutan OPA

Dimasukkan 100 mg OPA dalam 2 mL metanol ke dalam wadah yang

telah dibungkus dengan aluminium foil. Kemudian ditambahkan 100 µL

merkaptoetanol dan 200 mL dapar borat pH 8 atau 9 atau 10. Dicampur sampai

homogen, disimpan dalam lemari es dan ditempat gelap.

4. Penentuan panjang gelombang maksimum pengukuran

Sejumlah 50; 150; dan 250 µL larutan stok heptaminol HCl (poin 1)

dipipet, dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL. Kemudian diencerkan dengan

aquabidestilata hingga volume tepat 10,0 mL, sehingga diperoleh konsentrasi 10;

30; dan 50 µg/mL. Dimasukkan masing-masing 3 mL larutan OPA (poin 3) ke

dalam 3 flakon yang telah dibungkus dengan aluminium foil (larutan OPA yang

digunakan pada penentuan panjang gelombang maksimum pengukuran adalah

larutan OPA dengan dapar borat pH 9). Kemudian ditambahkan masing-masing

300 µL larutan baku 10; 30; dan 50 µg/mL ke dalam flakon tersebut. Campuran

(42)

larutan discan pada spektrofotometer UV-Vis antara panjang gelombang 200-400

nm sehingga diperoleh spektra absorbansi dan panjang gelombang terpilih.

5. Penentuan pH dapar optimum

Sejumlah 150 µL larutan stok heptaminol HCl (poin 1) dipipet,

dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL. Kemudian diencerkan dengan

aquabidestilata hingga volume tepat 10,0 mL, sehingga diperoleh konsentrasi 30

µg/mL. Dimasukkan masing-masing 3 mL larutan OPA (poin 3) ke dalam flakon

yang telah dibungkus dengan aluminium foil. Kemudian ditambahkan

masing-masing 300 µL larutan baku 30 µg/mL ke dalam flakon tersebut. Campuran

tersebut divortex selama 10 detik. Setelah 30 menit disimpan dalam tempat gelap,

larutan discan pada panjang gelombang maksimal terpilih sehingga diperoleh

spektra absorbansi. Prosedur ini dilakukan untuk penambahan larutan OPA (poin

3) dengan dapar borat pH 8, 9, dan 10. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali

kemudian tentukan pH dapar borat yang memberikan absorban hasil derivatisasi

yang reprodusibel. Dihitung nilai Coefficient of variance (CV) absorban yang

dihasilkan. Nilai CV yang kecil menunjukkan absorbansi yang reprodusibel.

6. Penentuanoperating time(OT)

Sejumlah 1,0 mL larutan stok heptaminol HCl (poin 1) dipipet dan

dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL. Kemudian diencerkan dengan

aquabidestilata hingga volume tepat 10,0 mL, sehingga diperoleh konsentrasi 0,2

mg/mL. Dimasukkan masing-masing 3 mL larutan OPA dengan dapar borat hasil

optimasi (poin 3) ke dalam flakon yang telah dibungkus dengan aluminium foil.

(43)

23

tersebut. Campuran tersebut divortex selama 10 detik. Kemudian diukur

absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang

maksimum hasil pengukuran. Pembacaan absorbansi dilakukan pada menit ke-0

sampai menit ke-60 dengan interval 5 menit (menit ke-0 pengukuran dihitung

setelah 1,5 menit sesudah penambahan larutan heptaminol HCl ke dalam larutan

OPA). Tentukan waktu dimana hasil derivatisasi heptaminol memberikan nilai

absorbansi yang reprodusibel. Dilakukan replikasi sebanyak 4 kali kemudian

hitung nilaiCoefficient of variance(CV) absorban yang dihasilkan. Nilai CV yang

kecil menunjukkan absorbansi yang reprodusibel.

7. Penentuan nilai ekstingsi molar (ε)

Ditimbang lebih kurang seksama 100,0 mg baku heptaminol HCl,

dimasukkan ke dalam labu takar 25,0 mL, kemudian dilarutkan dengan

aquabidestilata hingga tanda. Sejumlah 375; 500; 625; 750; dan 875 µL dari

larutan tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL. Kemudian

diencerkan dengan aquabidestilata hingga volume tepat 10,0 mL, sehingga

diperoleh larutan dengan konsentrasi sebesar 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; dan 0,35

mg/mL. Dimasukkan masing-masing 3 mL larutan OPA ke dalam 5 flakon yang

telah dibungkus dengan aluminium foil. Ditambahkan masing-masing 300 µL dari

larutan baku 0,15; 0,2; 0,25; 0,3 dan 0,35 mg/mL ke dalam flakon tersebut.

Campuran tersebut divortex selama 10 detik. Kemudian diukur absorbansinya

pada panjang gelombang maksimum hasil pengukuran menggunakan

spektrofotometer UV setelah didiamkan ditempat gelap selama waktu reaksi

(44)

F. Analisis Hasil

Hasil optimasi metode penetapan kadar heptaminol HCl dengan agen

penderivat OPA dapat dilihat dari:

1. Panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang maksimum yang dipilih adalah panjang gelombang

dimana derivat heptaminol memberikan absorbansi yang maksimum, kemudian

dibandingkan dengan panjang gelombang maksimum dari OPA.

2. pH dapar optimum

pH dapar yang dipilih adalah pH dapar yang menghasilkan absorbansi

yang reprodusibel dengan nilai CV terkecil.

CV = x 100 % (3)

3. Waktu (operating time)

Waktu (operating time) yang dipilih adalah waktu dimana absorbansi

yang dihasilkan reprodusibel dengan nilai CV terkecil.

4. Nilai ekstingsi molar (ε)

Nilaiεdihitung untuk kelima konsentrasi dengan persamaan:

(4)

Keterangan: ε= ekstingsi molar

A = absorbansi

b = tebal kuvet (cm)

(45)

25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Larutan 1. Larutan heptaminol HCl

Heptaminol yang digunakan sebagai baku adalah heptaminol HCl yang

berbentuk garam, sehingga memiliki sifat mudah larut di dalam air. Oleh karena

itu, digunakan aquabidestilata sebagai pelarut dari baku heptaminol HCl.

Aquabidestilata dipilih sebagai pelarut karena memenuhi kriteria pelarut

yang baik untuk analisis secara spektrofotometri, yaitu tidak mengabsorbsi radiasi

UV pada daerah yang sama dengan analitnya, tidak berwarna, tidak memiliki

sistem rangkap terkonjugasi, tidak berinteraksi dengan analit, serta memiliki

kemurnian yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk analisis.

2. Larutan dapar borat

Larutan dapar borat merupakan campuran dari asam borat (H3BO3) dan

kalium klorida (KCl), serta dengan adanya penambahan larutan natrium

hidroksida (NaOH). Fungsi dapar borat adalah untuk memberikan dan

mempertahankan kondisi basa pada saat berlangsungnya reaksi derivatisasi,

dimana reaksi derivatisasi antara amina primer dengan agen penderivat OPA

dapat terjadi pada pH basa. Pada suasana basa, amina primer akan terdapat dalam

bentuk molekul seluruhnya, sehingga akan terbentuk reaksi antara OPA dengan

amina primer yang optimal. Dalam kondisi basa, gugus NH2 akan memiliki

(46)

pH di bawah 6 tidak terjadi reaksi antara OPA dengan amina primer (Blackburn,

1989). Hal tersebut disebabkan karena pada pH di bawah 6 (asam) gugus amina

dari heptaminol akan terprotonasi, sehingga akan hilang sifat nukleofilisitasnya

dan tidak dapat bereaksi dengan gugus aldehid dari OPA.

Menurut Blackburn (1989), pada pH 7,4-10 derivat antara amina primer

dengan OPA akan meningkat. Untuk itulah dalam penelitian ini dilakukan

optimasi dapar pada rentang pH basa yaitu pada pH 8, 9, dan 10.

3. Larutan OPA

Pembuatan larutan OPA mengikuti cara pembuatan reagen yang

tercantum dalam deskripsi produk untuk “OPA, Amine Detection Reagent” dari

Uptima. OPA dilarutkan dalam metanol, karena OPA larut dalam metanol

(Anonim, 2010c). Metanol merupakan pelarut organik yang cukup polar, dengan

indeks polaritas sebesar 6,6 dan memiliki kelarutan dalam air sebesar 100%

(Stauffer, Dolan, and Newman, 2008). Metanol juga memiliki UV-cut off pada

panjang gelombang 205 nm (Pavia, et al., 2001), sehingga kehadirannya tidak

akan mengganggu pengukuran absorbansi analit.

Fungsi dari merkaptoetanol pada larutan OPA adalah sebagai senyawa

pengkopling, yaitu untuk menambah gugus auksokrom pada derivat yang

terbentuk antara heptaminol HCl dengan OPA. Gugus auksokrom akan

memperpanjang konjugasi gugus kromofor dari hasil derivatisasinya, sehingga

dapat meningkatkan nilai koefisien ekstingsi molar (ε) dari derivatnya, yang

(47)

27

Merkaptoetanol merupakan senyawa organik sehingga lebih mudah bercampur

dalam pelarut metanol.

Dapar borat yang ditambahkan ke dalam larutan OPA adalah dapar borat

pH 8, 9, dan 10 yang kemudian masing-masing akan dioptimasi. Tidak dilakukan

optimasi pada dapar borat dengan pH yang lebih tinggi karena pada pH terlalu

tinggi (pH > 10) dikhawatirkan gugus aldehid dari OPA akan mengalami reaksi

cannizzaro (self reaction) menghasilkan ion o-hidroksimetil benzoat (gambar 7).

Senyawa hasil reaksi ini sukar bereaksi dengan heptaminol, karena gugus C

karbonilnya akan menjadi kurang elektrofilik dibandingkan dengan C karbonil

dari OPA. Hal ini disebabkan karena adanya stabilisasi resonansi antara elektron

bebas dari gugus O karbonil kepada gugus C karbonilnya. Menurut McDonald

and Sibley (1981), pada pH 10-14 terjadi penurunan absortivitas molar atau

koefisien ekstingsi molar (ε) dari OPA yang disebabkan karena berkurangnya

gugus kromofor dari OPA, dimana ikatan rangkap dari gugus aldehid OPA akan

hilang sehinggaεmenjadi lebih kecil.

O

(48)

Larutan OPA kemudian disimpan di dalam lemari pendingin, karena

larutan ini hanya dapat tahan pada suhu ruangan selama 2 jam saja. Selain itu,

OPA mudah rusak oleh cahaya (fotodegradatif), sehingga harus disimpan dalam

tempat yang gelap. Dengan adanya cahaya, OPA dapat mengalami oksidasi

sehingga gugus aldehid dari OPA berubah menjadi bentuk karboksilatnya. Oleh

karena itu, jika OPA telah mengalami fotodegradasi, maka tidak akan terjadi

reaksi derivatisasi antara heptaminol dengan OPA, sehingga tidak akan terbentuk

derivat.

4. Larutan baku heptaminol HCl

Larutan baku heptaminol HCl terdiri dari larutan heptaminol HCl yang

dicampur dengan larutan OPA. Secara teori, reaksi antara heptaminol dengan

OPA membutuhkan heptaminol dan OPA dengan perbandingan molekul yang

sama (1:1). Namun, untuk menjamin bahwa semua heptaminol telah

terderivatisasi, maka dilakukan penambahan OPA secara berlebih.

Pembuatan larutan baku ini mengikuti prosedur preparasi sampel yang

terdapat dalam deskripsi produk OPA dari Uptima, yaitu dengan perbandingan

sekitar 1:40. Reagen OPA memiliki absorban maksimal pada panjang gelombang

206 nm (gambar 15), sehingga sisa agen penderivat OPA tidak akan mengganggu

perhitungan absorbansi dari hasil derivat yang terbentuk.

Campuran antara heptaminol dan OPA kemudian disimpan di tempat

gelap pada suhu kamar. Hal ini disebabkan karena OPA dan derivatnya bersifat

fotodegradatif, sehingga akan rusak oleh cahaya. Flakon yang digunakan sebagai

(49)

29

melindungi senyawa dari cahaya. Vortex yang dilakukan bertujuan untuk

menghomogenkan hasil derivatisasi yang terbentuk. Reaksi derivatisasi dilakukan

pada suhu kamar, karena menurut Braithwaite dan Smith (1999) serta Blackburn

(1989), reaksi antara amina primer dengan OPA berlangsung cepat pada suhu

kamar. Menurut Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI pada

Farmakope Indonesia edisi IV (1995), suhu kamar terkendali adalah suhu dengan

rentang 15-300C. Reaksi tidak dilakukan pada suhu yang lebih tinggi untuk

mencegah terjadinya reaksi cannizzaro pada OPA. Jika terjadi reaksi cannizzaro

maka tidak akan terjadi reaksi derivatisasi, sehingga tidak akan terbentuk derivat.

B. Reaksi Derivatisasi

Heptaminol HCl merupakan bentuk garam. Sebelum direaksikan dengan

OPA, heptaminol HCl diubah terlebih dahulu menjadi bentuk heptaminol melalui

reaksi dengan dapar borat. Dapar borat berisi H3BO3, KCl, dan NaOH.

Heptaminol HCl akan bereaksi dengan NaOH dari dapar borat untuk membentuk

heptaminol melalui reaksi yang ditunjukkan pada gambar 8.

CH3

Gambar 8. Reaksi pembentukan heptaminol HCl menjadi heptaminol

Setelah terbentuk heptaminol, maka dapat terjadi reaksi derivatisasi

antara heptaminol dengan agen penderivat OPA bersama dengan adanya

(50)

dengan OPA membentuk derivatnya, sehingga absorbansi derivat menunjukkan

absorbansi dari heptaminol HCl (A derivat ≈ A heptaminol HCl). Reaksi

derivatisasinya ditunjukkan dalam gambar 9.

CH3

Gambar 9. Reaksi derivatisasi heptaminol dengan agen penderivat OPA

Mekanisme reaksi derivatisasi heptaminol dengan agen penderivat OPA

yang diusulkan dapat dilihat pada gambar 10. Reaksi pembentukan derivat yang

(51)

31

Gambar 10. Mekanisme reaksi derivatisasi heptaminol dengan agen penderivat OPA yang diusulkan (proposed mechanismhasil diskusi dengan Dr. Pudjono, S.U., Apt., 2010)

Senyawa yang diukur secara spektrofotometri UV harus memiliki gugus

kromofor dalam strukturnya agar dapat menyerap radiasi UV. Penyerapan sinar

radiasi oleh suatu senyawa tergantung pada struktur elektronik dari senyawa

tersebut. Pada gugus kromofor yang dimiliki hasil derivat heptaminol terdapat

ikatan rangkap yang mengandung elektron π yang bila dikenai sinar radiasi

(52)

Selain gugus kromofor, terdapat juga gugus auksokrom yang langsung terikat

pada gugus kromofor. Gugus auksokrom memiliki pasangan elektron bebas pada

orbital n yang dapat berinteraksi dengan elektron π pada gugus kromofor,

sehingga dengan adanya auksokrom ini akan mengubah panjang gelombang serta

intensitas absorbansi maksimal dari senyawa (pergeseran batokromik). Gugus

kromofor dan auksokrom dari senyawa derivat ditunjukkan pada gambar 11.

Gambar 11. Gugus kromofor dan auksokrom pada heptaminol hasil derivatisasi

Derivat yang terbentuk antara OPA dengan heptaminol memiliki

keterbatasan, yaitu akan terdegradasi seiring berjalannya waktu. Menurut

Lindroth, Hamberger, and Sandberg (1985), degradasi ini disebabkan karena

penyusunan ulang intermolekulernya, menghasilkan senyawa yang memiliki

gugus kromofor dan auksokrom yang berbeda dengan hasil derivat yang semula

(gambar 12).

(53)

33

Mekanisme reaksi degradasi yang diusulkan dari hasil derivatisasi

heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA menjadi bentuk degradasinya dapat

dilihat pada gambar 13.

N OH

Gambar 13. Mekanisme reaksi degradasi hasil derivat yang diusulkan (proposed mechanismhasil diskusi dengan Dr. Pudjono, S.U., Apt, 2010)

C. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Pengukuran

Penentuan panjang gelombang maksimum merupakan faktor yang sangat

penting di dalam analisis kimia dengan metode spektrofotometri. Tujuan

penentuan panjang gelombang maksimum dalam penelitian ini adalah untuk

(54)

OPA yang memberikan absorbansi maksimum. Panjang gelombang maksimum

ini nantinya akan digunakan untuk mengukur absorbansi hasil derivat heptaminol

yang hendak dianalisis.

Panjang gelombang maksimum merupakan panjang gelombang suatu

larutan analit yang menunjukkan absorbansi maksimum. Pembacaan absorban

pada panjang gelombang maksimum akan memberikan sensitivitas dan presisi

analisis yang maksimal. Selain itu, akan diperoleh spektra absorban yang relatif

datar di sekitar panjang gelombang maksimum dan kemungkinan kesalahan yang

terjadi pada saat pengulangan relatif kecil.

Pengukuran panjang gelombang maksimum dilakukan pada seri

konsentrasi larutan baku heptaminol yang berbeda untuk melihat apakah pada

konsentrasi yang berbeda terjadi perubahan panjang gelombang absorbansi

maksimum. Konsentrasi yang digunakan adalah 10; 30; dan 50 µg/mL.

Pengukuran panjang gelombang maksimum dilakukan melalui scanning pada

panjang gelombang 200-400 nm. Rentang panjang gelombang ini dipilih karena

daerah UV terletak pada panjang gelombang antara 190-380 nm. Hasil scanning

panjang gelombang absorbansi maksimum untuk derivatisasi heptaminol HCl

(55)

35

* = absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA

Gambar 14. Spektra absorbansi maksimum derivat yang terbentuk dari hasil reaksi antara OPA dengan heptaminol HCl pada 3 konsentrasi

Berdasarkan hasil penelitian, absorbansi maksimum dari ketiga seri

larutan baku heptaminol HCl menunjukkan nilai yang sama. Pengukuran pada

konsentrasi heptaminol HCl 10; 30; dan 50 µg/mL memberikan hasil panjang

gelombang maksimum pada 332 nm. Oleh karena pengukuran panjang gelombang

maksimum pada 3 konsentrasi yang berbeda memberikan hasil yang sama, maka

panjang gelombang absorbansi maksimum yang digunakan untuk pengukuran

hasil derivat adalah pada 332 nm. Hasil ini tidak dapat dibandingkan dengan

panjang gelombang maksimum teoritis, karena panjang gelombang maksimum

(56)

gelombang maksimum yang didapatkan benar-benar panjang gelombang

pengukuran untuk hasil derivatisasi heptaminol, dilakukan pula pengukuran

terhadap panjang gelombang maksimum reagen penderivat OPA.

* = absorbansi larutan OPA (0,05 mg/mL) dalam dapar borat pH 9

Gambar 15. Spektra absorbansi OPA

Berdasarkan spektra di atas, dapat dilihat bahwa reagen penderivat OPA

memiliki panjang gelombang absorbansi maksimum pada 206 nm (gambar 15).

Pada spektra absorbansi yang diperoleh dari reagen OPA, diketahui bahwa OPA

tidak memberikan absorbansi yang berarti pada panjang gelombang 332 nm.

Senyawa hasil derivatisasi heptaminol HCl dan OPA dapat mengalami

degradasi seiring berjalannya waktu. Untuk memastikan hal ini, maka dilakukan

scanningpanjang gelombang maksimum hasil degradasi derivatnya, dan diperoleh

bahwa hasil degradasinya memiliki absorbansi maksimum pada panjang

(57)

37

* = absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA (kadar 0,25 mg/mL)

Gambar 16. (A) Spektra absorbansi hasil derivatisasi setelah 1,5 menit penambahan heptaminol dengan reagen OPA (menit ke-0 reaksi); (B) Spektra absorbansi hasil

derivatisasi setelah 1 jam reaksi

Gambar 16.(A) menunjukkan bahwa pada waktu 1,5 menit setelah

penambahan reagen OPA (menit ke-0 reaksi) telah terjadi degradasi dari hasil

derivatisasinya menjadi produk dengan struktur seperti dapat dilihat pada gambar

12. Kemudian pada waktu 1 jam setelah reaksi berlangsung, absorbansi dari hasil

degradasi meningkat, sedangkan absorbansi hasil derivatisasinya menurun

(gambar 16. (B)).

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa panjang gelombang

332 nm adalah benar-benar merupakan panjang gelombang maksimum untuk

pengukuran hasil derivatisasi heptaminol, dimana pada panjang gelombang

pengukuran tersebut akan diperoleh absorbansi dari hasil derivatisasi yang

(58)

D. Penentuan pH Dapar Optimum

pH memegang peranan penting agar reaksi antara heptaminol dengan

agen penderivat OPA dapat berjalan optimum. Secara teori, derivatisasi antara

heptaminol dengan OPA dapat berjalan pada suasana basa. Pada suasana asam

(pH di bawah 6) tidak akan terjadi reaksi derivatisasi. Pada kondisi basa gugus

amin pada heptaminol akan tetap berada dalam bentuk molekulnya. Dalam

kondisi basa gugus NH2 akan memiliki tingkat nukleofilisitas yang tinggi.

Sedangkan pada kondisi asam, gugus NH2 akan terprotonasi sehingga akan

kehilangan sifat nukleofilisitasnya.

Menurut Blackburn (1989), pada pH 7,4-10 derivatnya akan meningkat.

Untuk itulah dalam penelitian ini dilakukan optimasi dapar pada rentang pH basa

tersebut, yaitu digunakan dapar borat pH 8, 9 dan 10. Dipilih dapar borat karena

rentang pH dapar borat adalah antara pH 8-10,2 (Perrin and Dempsey, 1974),

sehingga dapar borat dapat digunakan dalam penelitian ini karena pH yang akan

dioptimasi adalah pH 8, 9, dan 10. Selain itu, bahan-bahan untuk membuat dapar

borat cukup mudah untuk didapatkan dibandingkan bahan-bahan untuk membuat

dapar lain pada rentang pH 8-10, contohnya dapar Kaliump-fenolsulfonat. Tidak

dilakukan optimasi pada pH yang terlalu tinggi, karena pada pH terlalu tinggi atau

pada kondisi basa yang semakin kuat dikhawatirkan terjadi reaksi cannizzaro pada

OPA sehingga tidak dapat terjadi derivatisasi dengan heptaminol.

Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pH dapar optimum adalah pH

dapar yang dapat menghasilkan absorbansi yang reprodusibel. Hasil pengukuran

(59)

39

hasil scanning derivatisasi pada penentuan pH dapar optimum dapat dilihat pada

gambar 17.

* = absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA (kadar 30μg/mL)

Gambar 17. Spektra absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA pada dapar borat pH 8, 9, dan 10

Tabel I. Data penentuan pH dapar optimum

Absorbansi* pada λ 332 nm

pH Dapar

Borat I II III

CV (%)

8 0,331 0,299 0,277 8,99

9 0,213 0,212 0,209 0,98

10 0,204 0,220 0,200 5,08

* = absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA (kadar 30μg/mL)

Nilai absorbansi pada dapar borat pH 8 paling besar dibandingkan nilai

absorbansi dapar borat pH lainnya. Akan tetapi absorbansi dapar borat pH 8

memberikan nilai CV yang sangat besar, yaitu 8,99%. Hal ini menunjukkan pada

dapar borat pH 8 tidak memberikan nilai reprodusibilitas yang baik. Demikian

(60)

10 menunjukkan nilai CV dari absorbansi sebesar 5,08% yang menunjukkan tidak

diperolehnya nilai reprodusibilitas yang baik. Dalam penelitian ini, absorbansi

optimum diperoleh ketika larutan baku heptaminol HCl direaksikan dengan OPA

pada kondisi dapar borat pH 9, yang menghasilkan absorbansi yang nilainya

reprodusibel jika dibandingkan dengan absorbansi yang dihasilkan pada kondisi

dapar pH 8 ataupun 10. Nilai CV yang dihasilkan pada dapar borat pH 9 adalah

yang paling kecil dibandingkan nilai absorbansi dapar borat pH lainnya yang

dioptimasi, yaitu memberikan nilai CV sebesar 0,98%.

Dipilih dapar borat yang memberikan nilai absorbansi yang reprodusibel

karena dengan nilai absorbansi yang reprodusibel dapat untuk menjamin presisi

pengukuran berikutnya ketika diaplikasikan. Jika hanya memilih nilai absorbansi

yang besar tetapi tidak memberikan reprodusibilitas yang baik, maka konsentrasi

yang akan terukur tidak terjamin presisinya. Walaupun nilai absorbansi dapar

borat pH 9 lebih kecil dibandingkan dengan nilai absorbansi dapar borat pH 8, hal

ini masih diperbolehkan. Alasan yang pertama adalah karena nilai CV yang

dihasilkan kecil (0,98%) yang berarti absorbansi yang dihasilkan mempunyai

reprodusibilitas yang baik. Alasan kedua adalah absorbansi yang diperoleh dapar

borat pH 9 masih memenuhi rentang absorbansi yang baik menurut hukum

Lambert-Beer, yaitu berada pada rentang absorbansi 0,2-0,8. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa dapar borat yang memberikan absorbansi optimum

(61)

41

E. PenentuanOperating Time(OT)

Penentuan OT dilakukan pada larutan heptaminol HCl konsentrasi 0,2

mg/mL pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh, yaitu pada 332

nm. Pembacaan absorbansi dilakukan pada menit ke-0 sampai menit ke-60 dengan

interval 5 menit. Menit ke-0 yang dimaksud dalam penelitian ini dihitung setelah

1,5 menit sesudah penambahan OPA pada larutan heptaminol HCl. Hasil OT dari

reaksi derivatisasi heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA ditunjukkan pada

tabel II dan gambar 18.

* = absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA (kadar 0,2 mg/mL)

(62)

Tabel II. Data penentuanoperating timeantara heptaminol dengan agen penderivat OPA

Absorbansi* pada λ 332 nm

Waktu

(menit) I II III IV

SD x

rata-rata

CV (%)

0 0,450 0,450 0,432 0,448 8,7178 x 10-3 0,445 1,959

5 0,439 0,436 0,419 0,429 8,8835 x 10-3 0,43075 2,062

10 0,416 0,419 0,402 0,412 7,4105 x 10-3 0,41225 1,797

15 0,397 0,401 0,385 0,395 6,8068 x 10-3 0,3945 1,725

20 0,379 0,384 0,368 0,380 6,8495 x 10-3 0,37775 1,8132

25 0,361 0,367 0,351 0,366 7,3200 x 10-3 0,36125 2,0262

30 0,344 0,351 0,334 0,352 8,3016 x 10-3 0,34525 2,4045

35 0,328 0,335 0,316 0,338 9,3273 x 10-3 0,3295 2,8307

40 0,312 0,319 0,301 0,326 0,01066 0,3145 3,3895

45 0,299 0,305 0,286 0,314 0,01174 0,301 3,900

50 0,284 0,291 0,272 0,302 0,01257 0,28725 4,3579

55 0,269 0,277 0,258 0,290 0,01347 0,2735 4,925

60 0,255 0,264 0,244 0,279 0,01479 0,2605 5,6775

* = absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA (kadar 0,2 mg/mL)

Dari tabel II dapat dilihat bahwa absorbansi derivat heptaminol HCl yang

terbentuk semakin turun seiring berjalannya waktu. Ketidakstabilan absorbansi

derivat heptaminol HCl menyebabkan tidak diperolehnya rentang waktu dimana

absorbansi stabil. Oleh karena itu, dipilih waktu saat derivatnya memberikan nilai

absorbansi yang reprodusibel pada setiap replikasi. OT yang dimaksud pada

penelitian ini adalah waktu reaksi optimum antara heptaminol HCl dengan OPA,

dimana setiap kali pengulangan atau replikasi pengukuran dilakukan pada waktu

tersebut. OT yang diperoleh adalah pada menit ke-15, dimana pada waktu tersebut

memberikan nilai absorbansi yang reprodusibel dengan CV yang paling baik dan

paling kecil, yaitu 1,725%.

Dalam penentuan OT selain mempertimbangkan reprodusibilitas yang

baik seharusnya dipertimbangkan pula tingkat overlapping antara derivat dan

(63)

43

antara derivat dan produk degradasinya seperti terlihat pada gambar 16. Penentuan

OT seharusnya mempertimbangkan reprodusibilitas yang baik (nilai CV kecil)

serta mempertimbangkan waktu dimana tingkat overlapping yang terjadi paling

kecil, sehingga overlapping ini tidak mengganggu dalam pengukuran. Salah satu

keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak dilakukannya penentuan OT

berdasarkan pertimbangan tingkat overlapping-nya, sehingga OT hanya dipilih

berdasarkan nilai reprodusibilitas yang baik.

Tingkat overlapping derivat dan produk degradasinya tidak dapat

diketahui secara pasti karena tidak dilakukan pada penelitian ini, sehingga tidak

dapat diamati. Dari spektra pada gambar 16, kemudian dilihat bagaimana

pengaruh hasil degradasinya terhadap hasil derivatisasi pada OT, yaitu seberapa

besar tingkat overlapping-nya pada OT yang akan digunakan. Perkiraan spektra

absorbansi (gambar 19) pada menit ke-15 dibuat dengan menggunakan

perbandingan antara absorbansi yang diperoleh pada menit ke-0 (1,5 menit setelah

penambahan larutan OPA) dengan absorbansi yang diperoleh pada menit ke-60,

berasal dari data yang diperoleh seperti tertera pada gambar 16.

*=absorbansi hasil derivatisasi antara heptaminol HCl dengan OPA (kadar 0,25 mg/mL)

Gambar 19. Perkiraan spektra absorbansi hasil derivatisasi setelah 15 menit reaksi

λ = 269 nm

(64)

Seperti yang terlihat pada gambar 19, tingkat overlapping antara spektra

absorbansi hasil derivatisasi dengan spektra absorbansi hasil degradasinya hanya

terjadi sangat sedikit, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil degradasinya tidak

mengganggu dalam pengukuran absorbansi hasil derivatisasi antara heptaminol

HCl dengan OPA pada OT-nya.

F. Penentuan Nilai Ekstingsi Molar (ε)

Nilai ekstingsi molar (ε) dari kelima konsentrasi senyawa heptaminol

hasil derivatisasi dapat dilihat pada tabel III melalui perhitungan berikut.

M-1cm-1 (5)

keterangan:ε= ekstingsi molar

A = absorbansi

b = tebal kuvet (cm)

c = konsentrasi (Molar)

Tabel III. Perhitungan nilai ekstingsi molar (ε)

Konsentrasi (M) Tebal Kuvet (cm) Absorbansi* ε(M-1cm-1)

0,000447 1 0,281 628,635

0,000593 1 0,391 659,359

0,000741 1 0,493 665,317

0,000889 1 0,617 694,038

0,00104 1 0,717 689,423

* = absorbansi hasil derivatisasi heptaminol HCl dengan OPA

Menurut Snyder (1997), nilai ε kuantifikasi untuk spektrofotometri UV

adalah≥1000 M-1cm-1. Namun, dalam penelitian ini hanya didapatkan nilaiε

(65)

mudah-45

tidaknya senyawa tersebut dapat dianalisis menggunakan spektrofotometri UV

(Mulja dan Suharman, 1995).

Umumnya, analisis menggunakan spektrofotometri UV memerlukan nilai

ε diatas 1000 M-1cm-1, karena absorbansi yang diperoleh akan lebih besar pada

konsentrasi analit yang kecil. Akan tetapi, analit dengan nilai ε yang cukup kecil

(100-1000 M-1cm-1) masih diperbolehkan, meskipun intensitas absorbansinya

akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan senyawa lain dengan nilaiεlebih besar

(Pavia, et al., 2001). Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan analit dengan

konsentrasi yang cukup besar, sehingga intensitas absorbansi yang diperoleh juga

(66)

46

A. Kesimpulan

1. Panjang gelombang maksimum pengukuran untuk penetapan kadar hasil

derivatisasi heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA menggunakan

metode spektrofotometri UV adalah pada 332 nm.

2. pH dapar optimum untuk melakukan derivatisasi heptaminol HCl dengan agen

penderivat OPA agar dapat ditetapkan kadarnya menggunakan metode

spektrofotometri UV adalah dapar borat pH 9.

3. Operating time (OT) optimum untuk reaksi derivatisasi heptaminol HCl

dengan agen penderivat OPA adalah pada menit ke-15.

4. Nilai rata-rata koefisien ekstingsi molar (ε) dari senyawa hasil derivatisasi

heptaminol HCl dengan agen penderivat OPA adalah 667,354 M-1cm-1.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang metode penetapan kadar

heptaminol HCl melalui derivatisasi dengan agen penderivat OPA agar didapatkan

(67)

47

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, H., 2005, Principles and Reactions of Protein Extraction, Purification, and Characterization, CRC Press, USA, pp. 64-66.

Anonim, 1989, The Merck Index, An Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and Biological,Eleventh Edition, Merck & Co., Inc., USA, pp. 4576.

Anonim, 2005, Safety Data for O-Phthalaldehyde, http://msds.chem.ox.ac.uk/ PH/o-phthalaldehyde.html, diakses 28 Mei 2010.

Anonim, 2010a, Committee For Veterinary Medicinal Products, Heptaminol; Summary Report, EMEA, 043, 95.

Anonim, 2010b,VentiCardyl®,http://www.agrovetmarket.com/Files/046885c0 6ae7 -4346-8371-6022b05e69cc.pdf, diakses tanggal 28 Mei 2010.

Anonim, 2010c, Material Safety Data Sheet o-Pthalaldehyde MSDS, http://www.sciencelab.com/msds.php?msdsId=9926544, diakses 28 Mei 2010.

Benson, J.R., Hare, P.E., 1975, o-Phthalaldehyde: Fluorogenic Detection of Primary Amines in the Picomole Range. Comparison with Fluorescamine and Ninhydrin,Proc. Nat. Acad. Sci., 72 (2), 619-622.

Blackburn, S., 1989,Handbook of Chromatography, CRC Press, USA, pp. 268.

Brodie, R.R., Chasseaud, L.F., Rooney, L., Darragh, A., and Lambe, R.F., 1983, Determination of Heptaminol In Human Plasma and Urine By High-Performance Liquid Chromatography, J. Chromatogr. B Biomed. Sci. Appl., 274, 179-186.

Braithwaite, A. and Smith, F.J., 1999, Chromatographic Methods, Kluwer Academic Publishers, The Netherlands, pp.500.

Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995, Farmakope Indonesia, jilid IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. li.

Fattah, A., El-Yazbi, F.A., Belal, S.F., and Abdel-Razak, O., 1997, Spectrophotometric and Spectrofluorometric Determination of Heptaminol and Mexiletine in Their Dosage Forms,Anal. Lett., 30, 2029-2043.

Gambar

Gambar 1. Struktur heptaminol HCl
Gambar 2. Struktur o-ftalaldehid (OPA)
Gambar 3. Reaksi antara OPA dengan amina primer
Gambar 4. Diagram tingkat energi elektronik (Gandjar dan Rohman, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

determines the bending resistance of the beam is that the size of the contribution which each piece of material within the cross-section makes to the total bending resistance depends

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi - 2.. Pos-pos yang akan direklasifikasi ke

seen in relation to structures with rigid joints, in which the resulting structural continuity causes smaller bending moments to occur than are present in equivalent

PUSAT PENGADAAN SECARA ELEKTRONIK UNIT LAYANAN PENGADAAN DAERAH KELOMPOK KERJA PROVINSI KEPULAUAN RIAU.. KPKNL

Nilai total HPS : Rp 8.591.127.000,- (delapan milyar lima ratus Sembilan puluh satu juta seratus dua puluh tujuh ribu rupiah). Sumber pendanaan : APBN Tahun Anggaran 2016 pada

Sanggahan ditujukan kepada Panitia Pengadaan Barang/Jasa Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bandar Lampung paling lambat hari Rabu tanggal 24 April

Sanggahan ditujukan kepada Panitia Pengadaan Barang/Jasa Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Bandar Lampung paling lambat hari Rabu tanggal 24 April

PUSAT PENGADAAN SECARA ELEKTRONIK UNIT LAYANAN PENGADAAN DAERAH KELOMPOK KERJA PROVINSI KEPULAUAN RIAU.. KPKNL