SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Giacinta Canggih Ayuningati
039114053
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Oh I found myself and ran away
Something pulled me back
The voice of reason i forgot i had
All i know is you're not here to say
What you always used to say
But it's written in the sky tonight
So i won't give up
No i won't break down
Sooner than it seems life turns around
And i will be strong
Even if it all goes wrong
When i'm standing in the dark i'll still believe
Someone's watching over me
Seen that ray of light
And it's shining on my destiny
Shining all the time
And i won’t be afraid
To follow everywhere it's taking me
All i know is yesterday is gone
And right now i belong
To this moment to my dreams
It doesn't matter what people say
And it doesn't matter how long it takes
Believe in yourself and you'll fly high
And it only matters how true you are
Be true to yourself and follow your heart
vi
Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika proses pembukaan diri
lesbian kepada keluarga. Dinamika proses tersebut unik sehingga menarik untuk diteliti.
Proses pembukaan diri
kepada keluarga dianggap paling beresiko karena keluarga
memiliki dua fungsi yaitu sebagai pelindung anggota keluarga dan bagian dari
masyarakat yang mengadopsi stigma-stigma terhadap lesbian.
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus (
case study
) dengan pendekatan
kualitatif. Subjek penelitian ini adalah tiga orang perempuan yang memiliki orientasi
seksual lesbian dan sudah atau sedang mengalami proses pembukaan diri
.
Data
didapatkan dari wawancara mendalam kepada ketiga subjek. Data yang diperoleh
dianalisis isinya melalui pengorganisasian data yang sistematis, pengkodean data dan
interpretasi sehingga data yang diperolah dapat lebih mudah dipahami secara mendalam.
Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk melakukan pembukaan diri
seseorang
harus yakin dengan orientasi seksualnya. Selain itu, latar belakang keluarga
mempengaruhi reaksi yang muncul dari pihak keluarga ketika subjek melakukan proses
pembukaan diri
.
Keluarga yang menginternalisasikan aturan-aturan masyarakat ke dalam
kehidupan keluarga akan bereaksi lebih keras dibandingkan dengan keluarga yang
memiliki norma-norma otonom dan kebebasan mutlak. Pengetahuan positif tentang
identitas seksualnya penting untuk dimiliki lesbian karena dengan pengetahuan yang
positif seseorang akan mampu membela diri dan orientasi seksualnya dalam proses
pembukaan diri
.
This research was designed to describe the process of self disclosure itself, when
lesbian disclosure their sexual identity to their family. The process is long and sometimes
difficult for many lesbian so that it is interesting to be studied. Self disclosure process
especially to family was considered as the hardest and risky path because family has two
value system at once in a society. Those are: as a protector of family member and as a
part of society in which heterosexuality is the norm and homosexuality is stigmatized.
The method that was used in this research is qualitative approach with a case
study model. Three lesbian women, who has already or in the progress of self disclosure,
participated in this study. The data was gained from depth-interview with these three
subject. These data then, being analysed with systematical data organization, coding, and
interpretation so that it can be profound understood.
The result of this examination showed that when individuals decided to do
‘coming-out’, she must be convinced with her sexual orientation. In addition, family
background will also affects the reaction which emerged from family member. A family
in which society norms is internalized, will react more offensive rather than family who
has an autonomy norm. Having positive knowledge about their sexual identity is
necessary lesbian because with a positive knowledge she will able to defend herself and
her sexual orientation in the self disclosure process.
begitu besar penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi syarat
mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari banyak dorongan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
selama proses penulisan skripsi ini yang sangat berarti bagi penulis. Untuk itu, dengan
segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1.
Tuhan Yesus yang selalu mendampingi langkah penulis, memberikan berkat-Nya
yang melimpah, serta selalu menyadarkan penulis bahwa hidup membutuhkan
usaha yang keras sehingga penulis dapat menyeselaikan tugas akhir ini.
2.
Bapak P. Eddy Suhartanto S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang
telah memeberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan tugas akhir.
3.
Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang
telah memberikan banyak dukungan dan bimbingan selama proses penulisan
skripsi.
4.
Bapak Vincentius Didik Suryohartoko S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
pengarahan dan dukungan kepada penulis.
5.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama
menempuh pendidikan di fakultas psikologi. Terutama kepada bapak Heri
x
bantuannya selama penulis menempuh studi di fakultas psikologi.
7.
Bapak Krisnomo dan mamah Lies tersayang di Cimahi yang selalu memberikan
dukungan dan kekuatan serta selalu menyakinkan penulis bahwa penulis mampu
menyelesaikan tugas akhir ini. Terimakasih atas semua dukungan dan
kesabarannya selama ini. Skripsi ini aku persembahkan untuk mamah dan bapak.
8.
Kedua adekku, Dimas dan Laras yang selalu bertanya kapan aku pulang ke cimahi
karena menunggu oleh-oleh, trimakasih untuk semua kedekatan kita.
9.
Deojha yang banyak memberikan dukungan selama penulisan skripsi ini.
Terimakasih banyak untuk semua yang sudah kamu berikan untuk aku.
Terimakasih untuk semua kesabarannya selama ini. Terimakasih sudah
mendengarkan banyak keluhan dan tangisan serta tawa dan bahagia.
10.
Semua teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2003 yang telah memberikan
banyak pengalaman berharga selama penulis menyelesaikan studinya. Khususnya
untuk Melati, Otik, Haksi, Wiwied yang sudah berjuang bersama dalam proses
penulisan skripsi ini. Trimakasih atas semuanya.
11.
Teman-teman divisi konseling PKBI DIY khususnya As3 dan Mbak Vena yang
telah banyak memberikan dukungan agar penulis cepat-cepat menyelesaikan
skripsi ini. Terimakasih untuk sharing dan curhatnya selama ini. Bantuan kalian
teman-teman PKBI yang sudah mendukung penelitian ini.
13.
Teman-teman People Like Us Satu Hati (PLU Satu Hati) terimakasih untuk
banyak pengalaman dan pengetahuan tentang LGBT (Lesbian Gay Biseksual
Transgender). Berjuang Untuk Perubahan Sosial!!!
14.
Ketiga Subjekku O, S dan D yang sudah banyak membantu proses penulisan
skripsi ini, terimakasih sudah diijinkan memasuki kehidupan kalian yang sarat
dengan pengalaman. Pengalaman kalian sangat berharga untuk banyak orang.
15.
Teman-teman seperjuangan di kos lama: Lucy, Otik, Rista, Deo.. terimakasih
untuk semua yang kita lalui bersama selama bertahun-tahun. Walaupun akhirnya
kita semua harus berjalan masing-masing menyongsong masa depan. Terimakasih
untuk semua PELANGI indah yang dijalin Tuhan untuk kita.
16.
Semua pihak yang belum disebutkan satu persatu oleh penulis. Terimakasih untuk
semua dukungan dan perhatiannya selama ini.
Penulis menyadari skrispi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang menjadi masukan agar penulis mampu
mengembangkan kemampuan dan menjadikan penelitian ini menjadi lebih baik. Penulis
berharap semoga karya ini dapat menjadi inspirasi bagi semua pembaca dan bermanfaat
bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
xii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..ii
HALAMAN PENGESAHAN……….iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………..iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..v
ABSTRAK………..vi
ABSTRACT.………..vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…….viii
KATA PENGANTAR………ix
DAFTAR ISI………...xii
DAFTAR TABEL………...xiv
DAFTAR SKEMA………..xiv
DAFTAR LAMPIRAN………...xiv
BAB I. PENDAHULUAN………1
A.
Latar Belakang………...1
B.
Rumusan Masalah……….6
C.
Tujuan Penelitian………...6
D.
Manfaat Penelitian……….6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………..8
A.
Lesbian………...8
B.
Pembukaan Diri...11
C.
Keluarga………14
D.
Pembukaan Diri Lesbian kepada Keluarga………...17
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………...20
A.
Jenis Penelitian……….20
B.
Subjek Penelitian………..20
C.
Fokus Penelitian dan Definisi Operasional………..22
D.
Metode Pengumpulan Data………..23
C.
Pemeriksaan Kesahihan………30
D.
Deskripsi Subjek Penelitian………..30
1.
Subjek 1………..30
2.
Subjek 2………..39
3.
Subjek 3………..49
E.
Pembahasan………..59
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….70
A.
Kesimpulan………..70
B.
Kelemahan Penelitian………..70
xiv
Tabel 4.1. Panduan Koding………...94
Tabel 4.2. Tabel Analisis Ketiga Subjek……….107
DAFTAR SKEMA
Skema 4.1. Skema Usaha Pembukaan diri………...65
Skema 4.2. Skema Hasil Penelitian………..69
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
‘Love her or him, a simply love. Respect your child’s right and wisdom to make his or her own choices. Affirm his or her honesty
and courage. Celebrate his or her sexuality as a gift from God’ (a mother)
A. Latar Belakang
Keberadaan homoseksual perempuan atau lesbian di masyarakat menjadi
sesuatu hal yang idealnya disadari dengan penuh toleransi (Manji, 2008).
Sayangnya, masyarakat pada umumnya belum mau menerima, apalagi
bertoleransi dengan keberagaman orientasi seksual. Akibatnya masih banyak
orang yang tidak mengerti tentang orientasi seksual lesbian.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III
(1993) mengemukakan bahwa, homoseksual tidak termasuk ke dalam gangguan
jiwa. Stigma masyarakat dan agama masih menganggap bahwa lesbian adalah
perbuatan asusila. Menurut Manji dalam seminarnya (Diversity and Sexuality,
2008), homoseksual dilarang oleh agama tidak memiliki dasar yang kuat karena
hanya berdasarkan pada satu cerita, yaitu mengenai kaum nabi Luth. Dijelaskan
lebih lanjut oleh Manji bahwa sebenarnya kaum nabi Luth dijatuhi hukuman
kerena mereka berbuat jahat pada sesama bukan karena mereka memiliki orientasi
homoseksual.
Lesbian atau homoseksual perempuan, dipandang masyarakat awam
untuk menjadi heteroseksual karena berdasarkan konstruksi tersebut hanya
tersedia satu orientasi saja, yaitu heteroseksual (Riza, 2007). Selain itu,
keberadaan lesbian yang masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan
heteroseksual membuat stigma terhadap lesbian semakin kuat (Krisna, 2006).
Amoral, asusila, pembawa aib dan penyakit masyarakat merupakan sebagian kecil
dari stigma sosial yang diberikan terhadap lesbian (Krisna, 2006; Muttaqin, 2003;
Kaum Homoseksual Protes). Berdasarkan stigma agama, lesbian dipandang
sebagai kaum pendosa. Lesbian dianggap sebagai kejahatan yang sangat keji dan
pengkhianatan karena merugikan umat manusia dengan melakukan hubungan
seksual yang tidak menghasilkan keturunan (Bambang, 2005; Az-Zulfi, 2005).
Bahkan artikel di sebuah situs menyebutkan bahwa lesbian dianggap sebagai cacat
mental (LGBT Cacat Mental?, tanpa tahun).
Stigma yang melekat kuat terhadap lesbian menjelma menjadi perilaku
diskriminasi. Penelitian Garnets (2004) menjabarkan perlakuan diskriminasi yang
diberikan kepada lesbian. Lesbian dibenci dan dipandang rendah, ditolak keluarga
dan teman, diusir dari rumah, menerima penyerangan secara fisik dan verbal,
kehilangan pekerjaan dan hak pengasuhan yang mengakibatkan kerugian secara
mental dan material (Garnets, 2004; Ajeng, 2005). Dilihat dari perspektif hukum,
masih banyak tindakan pelanggaran HAM yang diterima lesbian, tanpa adanya
pembelaan sebagai warga negara yang seharusnya dilindungi oleh hukum.
Berdasarkan kesaksian dari beberapa orang anggota PKBI DIY, pada
tanggal 11 November 2000 terjadi kekerasan terhadap kelompok Lesbian, Gay,
tersebut merupakan fakta bahwa kelompok LGBT rentan terhadap kekerasan.
Kelompok LGBT yang sedang melakukan pertemuan dan sharing tentang
HIV/AIDS difitnah oleh pihak lain sebagai pesta seks. Kelompok lain yang
merasa bertanggung jawab menjaga moral bangsa menyerang tempat pertemuan
dan melakukan kekerasan serta perampasan harta pribadi peserta pertemuan.
Polisi yang diminta oleh penyelenggara pertemuan untuk menjaga keamanan,
melarikan diri. Kekerasan dan diskriminasi yang diterima oleh lesbian
mempengaruhi hubungan lesbian dengan masyarakat. Banyak lesbian yang
memilih untuk menjauhi masyarakat atau bersikap seolah-olah dirinya memiliki
orientasi heteroseksual untuk menghindari perlakuan kekerasan dan diskriminasi.
Bila ada rasa toleransi terhadap orientasi seksual selain heteroseksual, kejadian
seperti itu tidak harus terjadi.
Stigma dan diskriminasi pada lesbian menyebabkan berbagai dampak
buruk. Mereka merasa takut dan bersalah sehingga kemungkinan sulit untuk
menerima diri sendiri. Berdasarkan teori Maslow (1991), penerimaan diri
merupakan salah satu syarat untuk menjadi orang yang sehat secara mental.
Melakukan proses coming out merupakan salah satu cara untuk menerima diri sendiri.
Proses coming out menjadi proses yang paling penting dalam kehidupan lesbian, karena dalam proses tersebut lesbian belajar untuk menerima dirinya lalu
terbuka kepada orang lain tentang orientasi seksualnya. Coming out adalah rangkaian kompleks yang dimulai dari pengakuan individual, pengenalan dan
diluar diri mereka. (Garnets, 2004). Proses keterbukaan diri tersebut dimulai dari
teman terdekat, teman-teman lain yang masih dalam satu komunitas lesbian dan
terakhir kepada keluarga dan orang-orang lain yang berhubungan dengan dirinya
(Masters, 1992). Proses coming out itu, membutuhkan pengakuan pada diri sendiri, siapa diri yang sebenarnya dan bagaimana penerimaan terhadap realitas.
Proses ini membantu lesbian untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia
yang memiliki orientasi orientasi. Proses coming out ada beberapa dimensi, salah satunya adalah pembukaan diri terhadap keluarga. Proses pembukaan diri kepada
keluarga penting, mengingat budaya timur yang masih menganggap bahwa
keluarga memiliki kontrol penuh pada kehidupan seseorang, berbeda dengan
budaya barat yang sangat menghargai kedewasaan seseorang serta pilihan
hidupnya.
Keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat yang menempati posisi
terdekat dengan lesbian mempunyai andil yang sangat besar dalam pembenaran
stigma yang berujung pada kekerasan dan diskriminasi. Keluarga menjadi
lembaga penghakiman terdekat yang harus dihadapi oleh lesbian sebelum
menghadapi lembaga yang lebih besar, yaitu masyarakat. Keluarga sering kali
melakukan kekerasan terhadap anggota keluarganya yang memiliki orientasi
lesbian, dinikahkan adalah salah satu contoh kekerasan yang nyata di masyarakat.
Keluarga idealnya menjadi lembaga perlindungan yang mampu mendukung
anggota keluarganya. Cinta antar anggota keluarga yang tulus seharusnya
membuat anggota keluarga dapat menerima dan menghormati orientasi seksual
Berdasarkan teori Maslow (dalam Schultz, 1991), pribadi yang sehat
adalah pribadi yang mampu mengaktualisasikan diri mereka. Maslow
menyebutkan sejumlah sifat khusus yang menggambarkan aktualisasi diri,
diantaranya adalah penerimaan umum atas kodrat orang lain dan diri sendiri.
Coming out merupakan salah satu cara untuk menerima kodrat diri sendiri sehingga coming out diharapkan membantu seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih sehat. Bagi keluarga yang menerima orientasi seksual anggota keluarganya,
peristiwa pembukaan diri dari anggota keluarganya juga membantu keluarga
tersebut bertumbuh menjadi keluarga yang lebih sehat.
Peristiwa pembukaan diri dan penerimaan keluarga memberikan
kontribusi bagi masyarakat heteroseksual. Pembukaan diri dan penerimaan
keluarga berfungsi sebagai pemutus mata rantai kekerasan dalam perkawinan
semu antara lesbian dan heteroseksual. Bila ada seorang perempuan lesbian yang
tidak melakukan pembukaan diri lalu ia dinikahkan dengan seorang laki-laki
heteroseksual, maka hal tersebut mengakibatkan kekerasan baik terhadap lesbian
tersebut maupun terhadap heteroseksual. Hal diatas dapat dicegah jika perempuan
lesbian tersebut melakukan pembukaan diri dan diterima oleh keluarganya.
Peneliti ingin melihat bagaimana pembukaan diri lesbian pada keluarga
dan reaksi keluarga. Dinamika pembukaan diri inilah yang akan menjadi fokus
penelitian.
Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena proses pembukaan diri
merupakan proses yang unik. Penelitian tentang lesbian juga masih sangat terbatas
Peneliti mengungkap masalah yang jarang diungkap banyak orang karena peneliti
ingin memberikan kajian kapada masyarakat bahwa lesbian itu ada dan menjadi
bagian dari masyarakat. Saat ini masyarakat berpandangan bahwa heteroseksual
adalah satu-satunya orientasi seksual yang ada. Melalui kehadian lesbian dan
banyak penelitian tentang lesbian diharapkan masyarakat mendapatkan perubahan
ide seksualitas bahwa keberadaan lesbian merupakan salah satu variasi orientasi
seksual sehingga dapat dicapai suatu perubahan sosial yaitu menerima perbedaan
orientasi seksual.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana dinamika pembukaan diri lesbian pada keluarga dan reaksi
keluarga?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif studi kasus yang memiliki tujuan
untuk mengetahui dinamika pembukaan diri lesbian kepada keluarga dan reaksi
keluarga.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat:
1. Manfaat Praktis
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat awam bahwa pembukaan diri
2. Manfaat Teoritis
Memberi sumbangan bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial
mengenai pembukaan diri lesbian terhadap keluarga dengan adanya stigma
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lesbian
1. Homoseksual
Dede’ Oetomo (2003) dalam bukunya Memberi Suara Pada yang Bisu
mendefinisikan homoseksual sebagai perilaku yang ditandai oleh ketertarikan
secara emosi dan seksual pada seseorang yang sama jenis kelaminnya. Secara
populer seorang laki-laki yang tertarik kepada laki-laki lain secara emosi dan
seksual disebut gay, sedangkan wanita yang memiliki ketertarikan pada wanita
lain disebut lesbian.
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Jiwa (PPDGJ) III
(1993), homoseksual tidak termasuk ke dalam gangguan jiwa kecuali
homoseksual yang mengingkari (denial) orientasi seksualnya (homoseksual
egodistonik). Bila dilihat dari ilmu biologis, homoseksual disebabkan oleh
kurangnya hormon seksual, perbedaan struktur otak dan bawaan genetik
(Huffman, 1997). Namun pengaruh lingkungan dan pengalaman juga ikut
membentuk orientasi seksual seseorang (McCommon, 1998).
Supratiknya (1995) mengatakan bahwa pengaruh ibu yang dominan dan
tidak adanya pengaruh ayah merupakan salah satu contoh pengalaman yang
membentuk orientasi seseorang. Dalam hidup seseorang sedikitnya satu kali ia
akan mengalami pengalaman atau paling tidak imajinasi tentang hubungan yang
sejenis (Phelps, 1993). Huffman (1997) menjelaskan bahwa perkembangan
orientasi seksual juga dipengaruhi oleh pengalaman seksual yang dialami
seseorang sebelum masa dewasa. Bila seseorang mengalami pengalaman
homoseksual semasa kanak-kanak, pada masa dewasanya ia akan
mengembangkan orientasi homoseksual. Hal ini bertolak belakang dengan
penelitian Bell (dalam Huffman, 1997) yang membuktikan bahwa orang
menemukan orientasi seksualnya terlebih dahulu baru kemudian mencari atau
mendapatkan pengalaman homoseksual.
2. Lesbian
Lesbian adalah label yang diberikan untuk menyebut homoseksual
perempuan. Definisi lesbian menurut Rich adalah perempuan yang memiliki
hasrat seksual dan emosi kepada perempuan lainnya (dalam Crawford, 2000).
Menurut Ferguson (dalam Crawford, 2000) lesbian adalah perempuan yang
memiliki hasrat seksual dan emosi kepada perempuan lain atau perempuan yang
secara sadar mengidentifikasikan dirinya sebagai lesbian.
Kata lesbian berasal dari pulau lesbos yaitu sebuah pulau di Yunani yang
terletak di sebelah timur laut Aegean. Di pulai lesbos tinggal seorang penyair
Yunani kuno bernama Sappho yang mendirikan sekolah khusus perempuan pada
abad ke-6 SM. Sappho banyak membuat puisi yang menggambarkan gairahnya
terhadap murid-muridnya (Administrator, 2007).
Di Indonesia, lesbian dimasukkan dalam UU Pornografi (2008) sebagai
tindakan pornoaksi. Selain itu, Perda Sumatera Selatan memasukan lesbian
belum memahami konsep orientasi seksual. Lesbian masih dianggap sebagai
penyimpangan seksual. UU dan Perda tersebut juga membuktikan bahwa lesbian
diperlakukan secara diskriminatif oleh negara.
Kuatnya stigma lesbian di masyarakat membuat lesbian menjadi kelompok
yang sangat tertutup bahkan bila dibandingkan dengan kelompok gay. Menurut
Susilandari (2005) sifat tertutup lesbian bila dibandingkan dengan gay terletak
pada norma budaya bahwa laki-laki lebih rasional, sedangkan perempuan lebih
mengutamakan perasaan. Perempuan lebih rentan terhadap gunjingan orang
dibandingkan laki-laki sehinga banyak lesbian yang memilih untuk tertutup dari
dunia luar.
Gunjingan harus diterima lesbian berasal dari stigma yang sudah sangat
melekat pada lesbian. Stigma tersebut berasal dari agama-agama besar yang
menilai bahwa lesbian adalah dosa dan perilaku menyimpang. Bumi (dalam
Krisna, 2006) mengatakan bahwa stigma yang melekat pada lesbian juga
dikarenakan lesbian lebih jarang ditemui bila dibandingkan dengan heteroseksual
sehingga keberadaan lesbian yang masih dianggap asing sulit untuk
menumbangkan stigma yang sudah melekat sekian lama.
Stigma masyarakat membuat lesbian cenderung menutupi diri dan
menjauh dari masyarakat heteroseksual. Usaha menutup diri ini membuat lesbian
tidak leluasa mengaktualisasikan orientasi seksualnya secara total dan hal ini
sangat menyikasa dan dapat mengakibatkan penekanan jiwa (Andara, 2002).
Penelitian Andara (2002) menyimpulkan bahwa gangguan penyesuaian diri pada
(2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tekanan dan konflik yang
terus-menerus dirasakan dapat menimbulkan frustasi, stres bahkan depresi. Aktualisasi
disebutkan sebagai salah satu cara untuk mengurangi gangguan-gangguan
tersebut.
B. Pembukaan Diri
Dalam kehidupan lesbian, proses yang paling penting adalah coming out (Garnets, 2004). Proses coming out dikenal sebagai perkembangan orientasi seksual. Coming out adalah rangkaian kompleks yang merupakan pengakuan individual, pengenalan dan label terhadap orientasi seksualnya diikuti kebukaan
pada orang lain di luar kehidupan mereka (Rosario, 2001; Masters 1992).
DeMonteflares (dalam Garnets, 2004) menjelaskan bahwa coming out membutuhkan pengakuan pada diri sendiri siapa kita. Phelps (1993) juga
mengatakan bahwa coming out membutuhkan keterbukaan dan kejujuran agar dapat membuat keputusan untuk melakukan coming out. Proses coming out adalah proses yang unik, sehingga masing-masing individunya memiliki dinamika
yang berbeda-beda. Secara garis besar, coming out dinilai tidak mudah karena membutuhkan keberanian untuk menerima sesuatu yang tidak umum di
masyarakat (Edwards, 1996). Proses ini dapat memakan waktu yang sangat lama
dan tidak menentu (Crawford, 2000) Coming out biasanya dimulai dengan membuka diri kepada teman baik dan melihat bagaimana reaksinya. Proses
dan kemudian pada anggota keluarga, teman kerja, dan orang baru yang masuk
dalam kehidupannya.
Coming out sangat penting dalam kehidupan lesbian karena menemukan orientasi seksual merupakan bagian dari pencarian orientasi. Remaja lesbian
mengalami masa ‘strom and stress’ yang lebih berat dibandingkan dengan remaja heteroseksual. Remaja lesbian cenderung mengalami masa di mana mereka
mengalami ketidaknyamanan terhadap keadaan dirinya (Gwadz, 2002). Remaja
heteroseksual tidak memiliki beban ketika menyukai lawan jenisnya sedangkan
remaja lesbian biasanya mengalami kebingungan saat jatuh cinta dengan sesama
jenis karena masyarakat membentuk heteroseksual sebagai orientasi tunggal.
Remaja lesbian memiliki masa-masa sulit selama sekolah menengah. Mereka
memiliki resiko yang tinggi terhadap rendahnya harga diri, pengucilan secara
sosial, nilai sekolah yang rendah, dan dikeluarkan dari sekolah (Crawford, 2000).
Identifikasi orientasi seksual sangat penting karena membantu lesbian
melakukan aktualisasi diri dengan lebih baik. Menurut Maslow, orang yang
mampu melakukan aktualisasi diri adalah orang yang menerima kodrat mereka
sehingga mereka tidak bersembunyi di balik topeng dan peran sosial mereka.
Mereka menerima diri mereka apa adanya tanpa rasa malu (Schultz, 1991).
Rosario, dkk (2001) memberikan 4 dimensi dari proses coming out: 1) Identifikasi orientasi seksual
Dimensi ini memberikan gambaran bahwa lesbian yang melakukan proses
Pencarian orientasi seksual ini berjalan secara terus menerus sampai individu
tersebut yakin dengan orientasi seksualnya dan menerima dirinya apa adanya.
2) Keterlibatan dalam komunitas lesbian
Dimensi ini memberikan gambaran bahwa lesbian yang melakukan coming out akan terlibat dalam aktivitas lesbian. Aktivitas lesbian yang diikuti dapat berupa komunitas formal ataupun nonformal. Aspek terpenting dari dimensi
ini adalah pencarian pengalaman sebagai lesbian yang berkelompok dengan
sesama lesbian. Selain itu, dengan adanya teman lesbian lain seseorang dapat
bertukar pikiran sehingga tidak merasa sendiri menghadapi kehidupan.
Idealnya, teman komunitas yang dibutuhkan adalah teman yang sudah
melakukan coming out dan menjalaninya dengan baik sehingga dapat menuntun teman lain yang belum melakukan coming out.
3) Sikap terhadap homoseksual
Dimensi ini memberikan gambaran bahwa lesbian yang melakukan proses
coming out harus mengembangkan sikap positif terhadap orientasi seksualnya. Menghargai secara positif dirinya dan komunitas homoseksual lainnya.
4) Pembukaan orientasi seksual
Dimensi ini memberikan gambaran bahwa lesbian yang melakukan proses
coming out harus belajar membuka diri terhadap orientasi seksualnya, baik pada orang yang dengan baik dikenal, misalnya teman atau keluarga dan
bahkan kepada orang asing yang ingin mengetahui orientasi seksualnya.
Banyak lesbian yang melakukan proses pembukaan diri mengatakan
bahwa lebih mudah untuk pembukaan diri kepada teman-teman komunitas lesbian
daripada kepada teman heteroseksual atau keluarga (Masters, 1992). Lesbian yang
belum melakukan pembukaan diri mengatakan alasan mengapa mereka belum
melakukan pembukaan diri, antara lain: menghindari stigma sosial, diskriminasi,
belum yakin dengan pilihan hidupnya dan takut menyakiti hati orang tua. Alasan
lesbian yang melakukan pembukaan diri adalah adanya keinginan yang kuat untuk
membagi kehidupan pribadi mereka dengan orang tua, merasa lelah bersembunyi
dan berharap menjadi lebih dekat dengan orang tua setelah proses pembukaan diri.
C. Keluarga
Keluarga adalah kelompok terkecil masyarakat yang didasarkan pada
ikatan darah, perkawinan atau adopsi dan dijiwai oleh rasa afeksi dan tanggung
jawab, yang berfungsi untuk memelihara, merawat dan melindungi anak (Masitah,
2006).
Suyono (1997) mendefinisikian keluarga sebagai lembaga pertama dan
utama dimana manusia mulai mengenal peradaban dunia yang mempunyai peran
sangat besar dalam menanamkan nila-nilai yang ada di masyarakat. Keluarga juga
merupakan wahana pengendalian dan penyesuaian sosial bagi anggota-anggotanya
dan tempat perlindungan dari ancaman yang berasal dari luar.
Keluarga sebagai kelompok sosial kecil memiliki fungsi tertentu (Masitah,
1. Fungsi Pendidikan
Keluarga memiliki tugas sebagai lembaga pendidikan yang pertama dalam
kehidupan seorang anak sebelum tugas tersebut diambil sebagian oleh
lembaga sekolah sehingga keluarga merupakan lembaga pendidikan yang
utama.
2. Fungsi Rekreasi
Keluarga dapat menjadi wahana rekreasi karena di dalamnya terdapat interaksi
yang bersifat menghibur antara anak dan orang tua.
3. Fungsi Keagamaan
Keluarga merupakan pusat penanaman nilai-nilai agama karena dari dalam
keluarga anak mendapat pemahaman yang pertama tentang konsep keagamaan
dan cara melaksanakan ibadahnya.
4. Fungsi Perlindungan
Keluarga memberikan jaminan perlindungan yang utama baik fisik maupun
sosial terhadap ancaman-ancaman yang berasal dari lingkungan diluar
keluarga kepada anggota keluarganya.
5. Fungsi Biologik
Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak yang merupakan penerus
keluarga.
6. Fungsi Afeksi
Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini sangat penting bagi perkembangan
anak dan suasana afeksi tersebut tidak dapat ditemui dalam institusi sosial
7. Fungsi Sosialisasi
Keluarga memiliki peran sebagai pembentuk kepribadian anak. Melalui
interaksi dalam keluarga, anak belajar untuk berinteraksi dalam masyarakat
yang lebih luas.
Keluarga menjalankan dua peran, yaitu: peran keluarga sebagai wakil dari
masyarakat dan peran lainnya sebagai pelindung bagi orang yang ada di dalam
keluarga. Suyono (1997) menyebutkan bahwa peran keluarga dalam hal
memberikan perlindungan sudah menurun karena perkembangan dan perubahan
sosial dalam kehidupan kemasyarakatan. Laju perubahan dan mobilitas yang
cepat, memunculkan ketegangan antara generasi berbeda yang tinggal seatap.
Terdapat tiga tipe keluarga berdasarkan kekuatan, hak dan kewajiban
keluarga serta hubungan keluarga dengan masyarakat (Suyono, 1997).
1. Tipe pertama mengatakan bahwa keluarga adalah institusi independen yang
mempunyai norma-norma otonom dan kebebasan mutlak untuk menentukan
nasibnya sendiri. Keluarga yang mengikuti pandangan ini menolak keras
campur tangan masyarakat dalam kehidupan keluarga.
2. Tipe kedua sebaliknya, mengatakan bahwa keluarga adalah bagian dari
komunitas, masyarakat dan negara sehingga norma internal keluarga harus
tunduk pada norma eksternal.
3. Tipe ketiga mengatakan bahwa harus ada keseimbangan antara nilai yang
dianut keluarga dengan masyarakat. Masyarakat berhak mengatur keluarga,
D. Pembukaan DiriLesbian kepada Keluarga
Kuatnya budaya yang hanya mengakui satu orientasi saja yaitu
heteroseksual menyebabkan posisi lesbian menjadi terjepit. Di satu sisi lesbian
tidak diijinkan secara sosial untuk menunjukan orientasi seksualnya, namun disisi
lain lesbian memiliki kebutuhan untuk melakukan aktualisasi diri melalui coming out. Aktualisasi diri disebut sebagai salah satu cara untuk mengurangi gangguan-gangguan tersebut (Ajeng, 2005). Hal inilah yang menjadi dilema bagi lesbian
yang ingin melakukan proses coming out.
Keluarga merupakan lingkungan pertama individu memulai kehidupan.
Keluarga memiliki tugas untuk melindungi anggota keluarganya dimana keluarga
menjadi sumber dukungan terbesar bagi seseorang. Seiring dengan perubahan
kehidupan masyarakat fungsi perlindungan menjadi menurun. Keluarga memikul
dua peran yaitu sebagai wakil masyarakat dan pelindung anggota keluarga.
Keluarga menjadi lembaga penghakiman dan wakil masyarakat yang ditakuti oleh
lesbian karena keluarga sudah mengadopsi stigma masyarakat.
Pembukaan diri terhadap keluarga menjadi penting untuk memutus mata
rantai kekerasan baik terhadap lesbian maupun terhadap masyarakat
heteroseksual. Setelah melalui proses pembukaan diri diharapkan keluarga mau
menerima orientasi seksual anggota keluarganya yang berbeda.
Keluarga biasanya memberikan respon yang keras dan sarat akan nilai
penolakan (Masters, 1992). Banyak orang tua merasa sangat kecewa ketika
mengetahui kenyataan bahwa anak mereka adalah seorang homoseksual. Mereka
kasus, orang tua yang menolak kenyataan tidak mau membicarakan apapun yang
berhubungan dengan homoseksual. Bambang (2005), mengungkapkan bahwa hal
yang paling sering terjadi di indonesia adalah dipaksa untuk menikah atau
dipukuli yang bertujuan untuk ‘mengubah’ secara paksa orientasi seksual mereka.
Pembukaan diri kepada keluarga sangat beresiko, resiko terbesar adalah
dibuang dari keluarga. Di New York terdapat program yang menyarankan lesbian
untuk tidak melakukan pembukaan diri kepada keluarga sampai mereka mampu
secara finansial, karena banyak lesbian yang dibuang dari keluarga ketika
melakukan pembukaan diri (Phelps, 1993). Sebelum membuat keputusan untuk
melakukan pembukaan diri, seseorang harus yakin dan nyaman dengan orientasi
seksualnya sebagai lesbian (McCammon, 1998).
Green, Bettinger dan Zacks (McCammon, 1998) melaporkan dari 104
subjek lesbian, 62% melakukan pembukaan diri kepada ibunya, sedangkan 39%
lainnya melakukan pembukaan diri kepada ayahnya. Williams (2003) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa dari 164 partisipan penelitiannya memilih
untuk melakukan pembukaan diri kepada ibunya terlebih dahulu daripada kepada
ayahnya karena ibu biasanya lebih dahulu bertanya atau anak tersebut yang ingin
membagi rahasia kehidupannya dengan sang ibu. Pembukaan diri lesbian kepada
ibu merupakan problem yang unik. Zitter (dalam Masters, 1992) menyebutkan
bahwa banyak ibu yang berespon negatif. Respon ini merupakan refleksi dari
perasaan kecewa karena harus merelakan impiannya terhadap pernikahan
putrinya, mengorbankan kebahagiaan menjadi nenek, dan harus menyesuaikan
Banyak orang tua yang merasa gagal ketika anak mereka melakukan
pembukaan diri. Orang tua merasa telah membuat kesalahan yang menyebabkan anak mereka menjadi lesbian. Mereka takut anak mereka terkena HIV/AIDS,
ditolak dan menerima kekerasan dari orang lain yang bukan keluarga. Kekejaman
yang sebenarnya paling menyakitkan adalah tidak diterimanya mereka dalam
keluarga dan ditolak oleh orang yang mereka sayangi (Phelps, 1993).
Studi yang dilakukan oleh Cramer and Roach (dalam Masters, 1992)
menyatakan bahwa sebagian besar relasi antara anak yang homoseksual dengan
orang tuanya mengalami ketegangan segera setelah mereka pembukaan diri,
namun setelah fase ini terlewati relasi anak dan orang tua menjadi lebih baik.
Peneliti ingin melihat bagaimana dinamika pembukaan diri lesbian kepada
keluarga. Proses coming out sangat kompleks dan luas sehingga peneliti mengambil bagian pembukaan diri kepada keluarga sebagai topik yang menarik
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan motode penelitian kualitatif studi kasus.
Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk memahami fenomena sosial melalui
gambaran yang menyeluruh dan pemahaman yang mendalam (Moleong, 2005).
Penelitian kualitatif lebih bersifat deskripif sehingga data yang dikumpulkan
berupa kata-kata dan makna dibalik data tersebut (Sugiyono, 2007).
Penelitian kualitatif dipilih dalam penelitian ini karena penelitian ini
memiliki latar alamiah dan memiliki asumsi bahwa individu tidak dapat
dipisahkan dari lingkungannya sehingga dapat melihat proses pembukaan diri
lesbian kepada keluarga dengan lebih utuh (Moleong, 2005; Sugiyono, 2007).
Menurut Yin (1996), studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok digunakan
jika peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa
yang akan diteliti seperti proses pembukaan diri lesbian. Pendekatan studi kasus membuat peneliti mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai fakta dari kasus
unik tertentu (Poerwandari, 2005).
B. Subjek Penelitian
Penelitian kualitatif tidak menekankan upaya generalisasi melalui perolehan
subjek secara acak seperti pada penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif
berupaya memahami konteks dan sudut pandang subjek secara lebih mendalam.
Sarantokos, dalam Poerwandari (2005) menjelaskan penentuan prosedur
penentuan subjek, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak mengambil subjek dalam jumlah besar, tetapi melihat kasus per kasus
yang memiliki kekhususan tipe dengan masalah penelitian.
2. Sejak awal penelitian tidak ditentukan secara kaku, baik jumlah maupun
karakteristik subjek tetapi berkembang mengikuti pemahaman konseptual
selama penelitian.
3. Mencari kecocokan konteks, bukan pada keterwakilan (dalam arti
jumlah/peristiwa acak).
Pemilihan responden penelitian akan memakai teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan responden sumber data dengan pertimbangan orang tersebut
dianggap sangat mendalami topik yang sedang diteliti sehingga memudahkan
peneliti menjelajahi situasi tersebut.
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kriteria yaitu
memiliki orientasi seksual lesbian dan sudah atau sedang melakukan pembukaan
diri kepada setidaknya salah satu anggota keluarga inti. Peneliti memilih subjek
yang sudah atau sedang melakukan pembukaan diri, agar informasi yang didapat memenuhi tujuan penelitian ini.
Dalam penelitian ini nama subjek akan disamarkan bila subjek tidak ingin
namanya dicantumkan. Tetapi bagi subjek yang tidak keberatan namanya
C. Fokus Penelitian dan Definisi Operasional
Fokus dalam penelitian ini adalah dinamika proses pembukaan diri lesbian
kepada keluarga dan reaksi keluarga.
Definisi pembukaan diri dalam penelitian ini adalah pembukaan diri
terhadap orientasi seksual lesbian kepada keluarga. Keluarga yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah atau
hubungan adopsi, khususnya orang tua. Dalam penelitian ini peneliti akan melihat
dinamika yang terjadi dalam proses pembukaan diri lesbian kepada keluarga.
Dinamika pembukaan diri yang dimaksud adalah semua perasaan dan pikiran
lesbian, saat melakukan proses pembukaan diri kepada keluarga. Menurut Rosario
(2001), indikator pembukaan diri lesbian kepada keluarga, yaitu:
1. Identifikasi orientasi seksualnya sebagai lesbian
• Apakah subjek sudah melakukan identifikasi terhadap orientasi
seksualnya.
• Apakah subjek memiliki teman dalam komunitas lesbian.
2. Pembukaan orientasi seksualnya kepada keluarga
• Bagaimana pikiran dan perasaan subjek saat dan sesudah melakukan
coming out kepada keluarga.
Data yang akan dihasilkan adalah data berupa wawancara sehingga
diharapkan indikator pembukaan diri lesbian kepada keluarga dapat tergali dengan
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan antara pewawancara (interviewer) dan yang diwawancara (interviewee). Lincoln dan Guba (1985) menegaskan tujuan wawancara (dalam Moleong, 2005)
antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian dan perasaan-perasaan,
memverifikasi data, mengungkap masa lalu dan harapan di masa datang. Jenis
wawancara yang akan digunakan adalah wawancara dengan pedoman umum.
Peneliti memilih untuk menggunakan wawancara jenis ini karena proses
wawancara dapat berjalan dengan santai sehingga keakraban dengan subjek dapat
terjalin dengan baik namun tetap memiliki pedoman mengenai aspek-aspek yang
akan dilihat. Wawancara dengan pedoman umum memungkinkan terjadinya
proses wawancara yang mendalam (Poerwandari, 2005).
Informasi yang ingin peneliti dapatkan dari proses wawancara adalah:
a. Latar belakang subjek, meliputi keharmonisan keluarga, hubungan antar
anggota keluarga, pola asuh orang tua dan pandangan subjek tentang
keluarganya.
b. Identifikasi terhadap orientasi seksual, meliputi perasaan subjek menjadi
lesbian, kemampuan subjek untuk tetap bertahan dengan orientasi seksualnya,
pengetahuan lesbian terhadap orientasinya secara positif, pandangan subjek
mengenai homoseksual, khususnya lesbian dan keterlibatan subjek dalam
c. Pengalaman pembukaan diri kepada keluarga, meliputi perasaan subjek ketika
melakukan pembukaan diri, persiapan sebelum melakukan pembukaan diri,
reaksi keluarga, penerimaan subjek terhadap reaksi keluarga, reaksi-reaksi
yang muncul dari dalam diri setelah melakukan pembukaan diri.
Tabel 3.1 Panduan Wawancara
Latar belakang keluarga subjek •Bagaimana hubungan subjek dengan orang tua dan saudara dekat?
•Apakah keluarga subjek harmonis? •Bagaimana pola asuh orang tua? •Apa arti keluarga bagi subjek? •Bagaimana subjek memandang
keluarga?
Identifikasi orientasi seksual •Apakah subjek yakin dengan orientasi seksualnya?
•Bagaimana penyadaran diri subjek sebagai lesbian?
•Bagaimana keterlibatan subjek dengan komunitas lesbian?
•Bagaimana perasaan subjek menjadi lesbian yang dipandang tidak normal oleh masyarakat?
•Apakah subjek memiliki
pengetahuan yang benar tentang orientasi seksualnya?
Pembukaan diri kepada keluarga •Perasaan apa saja yang dirasakan ketika melakukan proses pembukaan diri?
•Seperti apa reaksi dari keluarga? •Bagaimana cara subjek menghadapi
reaksi keluarga?
E. Analisis Data
Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2007) analisis data kualitatif
adalah usaha untuk mengorganisasi data, memilih dan mengelola data,
mensintesis, mencari dan menemukan pola, menemukan hal yang penting dan
harus dipelajari, dan memutuskan hal-hal yang akan dipublikasikan pada orang
lain. Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2005) mengatakan bahwa
organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh data
yang berkualitas baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan
menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.
Peneliti harus melakukan analisis terhadap data yang diperoleh melalui
wawancara, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut
(Poerwandari, 2005):
1. Memindahkan hasil wawancara dari alat perekam ke dalam kertas kosong.
Data hasil wawancara dipindahkan ke dalam kertas tanpa kecuali. Data hasil
wawancara tersebut dinamakan transkrip verbatim.
2. Langkah selanjutnya adalah menemukan tema-tema yang muncul.
3. Selanjutnya tema-tema tersebut dikategorisasikan secara konseptual agar lebih
terperinci sehingga memberi makna yang jelas untuk permasalahan yang
sedang diteliti.
4. Langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil kategorisasi
data wawancara. Hal ini bertujuan agar memudahkan peneliti untuk
memahami pembahasan kasus penelitian, setelah itu peneliti dapat menarik
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi. Isi dari hasil
wawancara tersebut dianalisis untuk menemukan tema-tema yang muncul. Setelah
itu peneliti melakukan interpretasi dan koding. Koding memudahkan peneliti
untuk melakukan pembahasan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Alat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan pedoman
umum untuk memudahkan peneliti melakukan wawancara, namun juga
tidak membatasi informasi yang didapatkan peneliti. Selain itu wawancara
dengan pedoman umum membuat proses wawancara dapat berjalan
dengan santai sehingga keakraban dengan subjek dapat terjalin dengan
baik. Peneliti juga mempersiapkan sarana yang mendukung dalam proses
wawancara antara lain : tape recorder, kaset, mp3 recorder, serta kertas kosonguntuk mencatat kejadian penting.
2. Subjek
Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan kriteria yang
sudah ditentukan dan disesuaikan dengan tujuan penelitian yang tertera di
bab III. Dalam penelitian ini, ditemukan tiga orang subjek. Tahap
persiapan yang dilakukan peneliti terhadap subjek yang didapat adalah
sebagai berikut:
a. Pencarian subjek 1, 2 dan 3 awalnya dilakukan peneliti dengan
cara bertanya kepada beberapa teman lesbian yang dikenal oleh
seorang teman lesbian yang dikenal peneliti. Teman peneliti yang
mengetahui bahwa peneliti mencari subjek penelitian dengan
kriteria tertentu dan mengetahui bahwa subjek 1 memenuhi kriteria
tersebut, membantu mengenalkan peneliti dengan subjek 1. Peneliti
bertemu dengan subjek 2, dan 3 di LSM PKBI (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia) tempat peneliti bekerja sebagai
volunteer. Subjek 2 bertemu dengan peneliti ketika ia bermain ke
PKBI. Ketika sedang mengobrol santai, ada teman dari subjek 2
yang bercerita bahwa subjek baru saja melakukan pembukaan diri
kepada keluarganya. Sedangkan peneliti bertemu dengan subjek 3
ketika acara gathering ‘L Afternoon’ sebuah acara yang dilakukan
oleh PKBI untuk merekatkan hubungan teman-teman lesbian
sejogja. Awalnya peneliti tidak kenal baik dengan subjek 3, namun
ketika PKBI mengadakan diskusi tentang lesbian dan perjuangan
orientasi, peneliti baru mengetahui bahwa subjek 3 memenuhi
kriteria penelitian ini.
b. Pendekatan atau raport yang dilakukan peneliti dengan cara
melakukan pendekatan emosional, menjadi teman curhat yang baik
dan membiarkan subjek tahu bahwa peneliti bersimpati kepada
ketiga subjek sebagai teman dan bukan hanya semata-mata ingin
B. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan wawancara dalam penelitian ini, tiap subjek banyaknya
berbeda. Proses pengambilan data secara ringkas dijelaskan di tabel 3
dibawah ini :
Subjek Waktu Tempat Kegiatan
1 7 Februari 2008 Kamar kos subjek Wawancara 1 dengan S
1 26 Juni 2008 Kamar kos subjek Wawancara 2 dengan S
2 4 Maret 2008 Gazebo PKBI DIY
Taman Siswa
Wawancara 1 dengan O
2 11 Juni 2008 Kontrakan teman
subjek.
Wawancara 2 dengan O
3 13 Mei 2008 PKBI DIY Badran Wawancara 1 dengan D
Keterangan :
Subjek : S : subjek 1
O : subjek 2
D : subjek 3
Wawancara dengan S terjadi sebanyak 2 kali dan dilakukan di kamar kos
subjek. Wawancara dilakukan di kamar kos subjek agar subjek lebih leluasa
memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti tanpa takut ada orang yang
mendengarkan pembicaraan. Wawancara yang pertama dilakukan di kamar
kos subjek yang lama. Beberapa bulan kemudian subjek menghilang dan
juga terjadi sebanyak 2 kali. Wawancara yang pertama dilakukan di gazebo
PKBI DIY taman siswa ketika subjek sedang main ke PKBI dan wawancara
yang ke-2 dilakukan di kontrakan teman subjek. Wawancara dengan D hanya
berlangsung 1 kali yang dilakukan di PKBI DIY badran ketika sedang
dilakukan acara persiapan IDAHO (International Day Against Homophobia).
C. Pemeriksaan Kesahihan (Kredibilitas)
Peneliti melakukan pemeriksaan kesahihan dengan cara memberikan
transkrip verbatim untuk diperiksa kepada subjek penelitian agar peneliti dan
subjek penelitian menemukan kesamaan persepsi. Ketiga subjek menyatakan
persetujuannya bahwa data yang telah dicatat peneliti benar dan telah terjadi
kesamaan persepsi antara subjek dengan peneliti.
D. Deskripsi Subjek Penelitian dan Hasil Penelitian
1. Subjek 1
a) Latar Belakang Subjek
Subjek 1 yang selanjutnya akan disebut S, memiliki tinggi
dan berat yang proporsional. S baru berusia 20 tahun dan berjenis
kelamin perempuan. Wajah S yang oriental dengan potongan rambut
pendek yang bergaya membuat S selalu terlihat segar dan menarik. S
memiliki gaya yang sedikit tomboy tetapi masih terpancar aura
feminin. Raut wajahnya cukup ramah dan sering tersenyum. Saat ini S
Jogja. Namun ia ingin berhenti dari kuliahnya karena merasa tidak
memiliki ketertarikan di bidang tersebut. S dipaksa ayahnya untuk
kuliah di tempat dan jurusan tersebut. S menunggu surat drop out (DO) dari kampusnya agar ayahnya tahu bahwa subjek tidak berminat kuliah
di jurusan tersebut.
b) Latar Belakang Keluarga
S adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya laki-laki
dan masih duduk di bangku SD. S memiliki hubungan yang dekat
dengan ibunya, namun S tidak terlalu akrab dengan ayahnya karena
ayahnya bekerja di luar pulau jawa dan jarang pulang ke rumah. Ibu S
adalah orang yang lembut dan selalu mengerti keadaan S. Ayah S
adalah orang yang keras, bertemperamen tinggi dan S sering
bertengkar dengan ayahnya. Hubungan dalam keluarga S tidak
egaliter. Ayahnya lebih dominan dan ibunya lebih suka mengalah dan
mengikuti kemauan ayahnya. Namun, S merasa bahwa keluarganya
harmonis. S merasa ibunya yang sering mengalah dapat menetralkan
ayahnya yang keras. S juga merasa bahwa ibunya selalu berusaha
melindungi S. Saat ini ibunya sedang melindungi S dari ayahnya
perihal kuliah S yang terancam dikeluarkan (Drop Out). S merasa hanya dapat mengadu pada ibunya. S memiliki adik laki-laki yang
menginternalisasi norma masuarakat ke dalam keluarga. Ia
menganggap bahwa subjek sedang terjebak ‘jatuh’ dalam pergaulan.
‘Yang dibahas cuma itu doang, masalah lesbi-lesbi itu. Kenapa bisa jatuh kaya gitu. Maksudnya temenmu tuh kayak gimana’ (W1.S.brs 18)
c) Orientasi Seksual Lesbian
Subjek menyadari dirinya sebagai lesbian sejak ia memiliki
perasaan cinta dengan seorang perempuan. Ketika subjek masih
bersekolah di Sekolah Menengah Pertama ia pernah menyukai seorang
perempuan, tetapi tidak terjadi hubungan apapun diantara mereka.
Subjek baru merasa benar-benar yakin dengan orientasi seksualnya
sejak berpacaran dengan seorang perempuan.
‘Ya aku ngrasanya waktu aku bener-bener deket ma Dian aku nyadar banget. Sebelumnya aku udah tau punya bakat lesbian dari smp kelas 1. Waktu bener-bener lagi deket sama Dian aku baru nyadar bahwa sebenernya aku tau kalo punya bakat seperti itu. Bener-bener nyadar waktu aku sama Dian itu. Bener-bener nyadar kalo ini jalanku, jalanku memang kaya gini, bukan kaya gitu (heteroseksual)’ (W1.S.brs 115)
Selain itu, subjek juga merasa bahwa ketika ia berpacaran
dengan laki-laki, ia tidak mendapatkan perasaan nyaman seperti ketika
ia berpasangan dengan perempuan. Hal tersebut terbukti dari
pengakuan subjek bahwa ketika ia berpacaran dengan laki-laki ia
bertahan paling lama hanya sebulan lebih sehari.
mereka pacaran kita ikut pacaran. Ya fun fun aja gitu’ (W1.S.brs 104)
Subjek menerima dirinya sebagai lesbian tanpa adanya
penolakan-penolakan yang menekan. Ia menyadari lalu menjalaninya.
‘Aku sih intinya cuma ngejalanin ajah’ (W2.S.brs 60) ‘He’eh.. aku menerima ini diriku..’ (W2.S.brs 63)
Dilihat dari proses penerimaan diri subjek sebagai lesbian,
Subjek menjalani proses yang tidak terlalu rumit dalam penerimaan
diri terhadap orientasi seksualnya. Ia tidak mengalami masa-masa
penolakan dalam diri subjek (denial) ketika ia mulai mengidentifikasikan dirinya sebagai lesbian.
d) Peristiwa pembukaan diri
Proses pembukaan diri yang dilakukan subjek bermula
ketika subjek tiba-tiba ingin memberi tahu ibunya tentang orientasi
seksualnya. Saat itu subjek sedang tidak memiliki masalah apapun, ia
hanya ingin mengadukan keadaan dirinya kepada ibunya. Awalnya
subjek memberitahukan hal tersebut melalui SMS, setelah itu ibu
subjek langsung menelpon subjek.
‘ak ngomong di sms.. bentar banget mama langsung nelpon ‘kamu tuh kenapa?’’ (W1.S.brs 15) ‘Ga da ap2.. ga da masalah sama sekali.. lagi sendiri.. trus ngaku..’ (W1.S.brs 43)
Setelah itu ibu subjek memberikan banyak nasehat kepada
subjek dan subjek hanya dapat terdiam. Sampai saat ini, subjek masih
e) Reaksi keluarga
Reaksi yang yang datang dari ibu subjek bukan perasaan
marah. Ibu subjek kaget namun tidak mengeluarkan emosinya dengan
cara frontal. Ia hanya menasehati subjek. Ia menganggap bahwa subjek
sedang terjebak ‘jatuh’ dalam pergaulan.
‘Yang dibahas cuma itu doang, masalah lesbi-lesbi itu. Kenapa bisa jatuh kaya gitu. Maksudnya temenmu tuh kayak gimana.. ngapain sih nggak penting. Dya ngomong kayak gitu kok. Ga marah sih nadanya juga.. emh.. pelan gitu loh.. slowly bgt..’ (W1.S.brs 18)
Reaksi selanjutnya yang muncul dari ibu subjek adalah aksi
diam. Ibunya tidak mau bertanya lebih lanjut kepada subjek tentang
orientasi seksual subjek sebagai lesbian karena sebenarnya ibu subjek
memendam perasaan cemas.
‘aku taulah mamaku pasti cemas, cuma dia ga over omong ke aku.. jadi dya cemas dipendem sendiri.. paling cuma omongin apa yang penting untuk diomongin aja..’(W1.S.brs 172)
Ibu subjek kaget namun berusaha untuk tidak mengeluarkan
emosinya secara berlebihan. Ia hanya menasehati subjek.
f) Reaksi-reaksi Subjek yang Muncul Setelah Melakukan
Pembukaan Diri dan Cara Subjek Menghadapi Reaksi Keluarga
Subjek tidak merasakan apapun ketika proses pembukaan
diri terjadi. Subjek hanya mengatakan bahwa ia mati rasa.
Mati rasa yang dimaksud oleh subjek adalah secara sadar
tidak merasakan perasaan apapun. Mati rasa ini adalah salah satu
mekanisme pertahanan diri (MPD) yang digunakan subjek secara tidak
sadar untuk menutupi perasaan subjek yang sebenarnya.
Subjek menghadapi reaksi ibunya dengan diam, ia lebih
memilih untuk tidak mengungkapkan pikirannya. Subjek hanya
menanggapi seperlunya dan tidak berbicara masalah tersebut kecuali
jika ibunya bertanya.
‘.. truz ak cuma bisa diem gitu kak..’ (W1.S.brs 21) ‘Ya nanggepin seperlunya. Tapi aku emang ga banyak omong kok. Aku ga jelasin apapun.’ (W2. S. brs 78) ‘Enggak, kalo mamaku nanya, baru aku jawab. Aku ga pernah buka omongan. Kalo mamaku ga nanya ya aku diem.’ (W2. S. brs 81)
Subjek mengatakan bahwa ia akan menjelaskan semua
hal tentang dirinya kepada ibunya ketika sudah mendapatkan
pasangan yang serius.
‘Ya itu tadi, kalo pasanganku bener2 serius.’ (W1.S.brs 18)
Cara subjek menghadapi reaksi ibunya adalah diam
karena subjek masih belum mampu membela diri dan orientasi
seksualnya.
g) Keterlibatan dengan Komunitas
Subjek S tidak bergabung dengan komunitas lesbian yang
teman-teman lesbian hanya sebatas teman bermain, dalam hal ini
teman-teman subjek adalah teman dari pacarnya.
‘Waktu dulu sih enggak ya, tapi waktu aku kenal sama pacarku yang sekarang ini, ya jadi maen sama temen-temennya dia gt..’(W2. S. brs 40)
Subjek tidak atau belum menyadari pentingnya bergaul dan
terlibat dalam komunitas formal. Teman-teman lesbian subjek hanya
sebatas teman bermain. Di dalam komunitas formal sebenarnya subjek
dapat menambah pengetahuan positif tentang orientasi seksualnya.
h) Pengetahuan yang Positif Terhadap Orientasi Seksualnya
Subjek tidak memiliki pengetahuan yang positif tentang
orientasi seksualnya sendiri. Ia tidak memiliki keinginan untuk
mencari tau informasi tersebut secara lebih mendalam bukan hanya hal
yang umum mengenai lesbian. Ia hanya menjalani saja semuanya apa
adanya.
Aku sih intinya cuma ngejalanin ajah, aku ga nyari info tentang itu. (W2. S. brs 60)
Subjek tidak menyadari pentingnya pengetahuan yang
positif mengenai dirinya sebagai lesbian. Pengetahuan yang positif ini
sebenarnya dapat membantu subjek ketika ia menghadapi orang yang
memandang dirinya secara negatif, sehingga ia mampu membela
i) Kemampuan untuk Membela Diri dan Orientasi Seksualnya
Subjek belum mampu membela dirinya dan orientasi
seksualnya. Ia tidak memberikan penjelasan apapun yang berkaitan
dengan orientasi seksualnya sebagai lesbian kepada ibunya. Subjek
hanya diam. Ia menceritakan bahwa ia mati rasa.
‘.. truz ak cuma bisa diem gitu kak.. Aku ga tau, ak mati rasa..’ (W1.S.brs 42)
Mati rasa yang dimaksud oleh subjek adalah ia tidak mampu
merasakan emosi apapun ketika proses pembukaan diri. Hal tersebut
berkaitan dengan mekanisme pertahanan diri yang digunakan subjek
untuk menghadapi situasi tersebut. Subjek secara tidak sadar menutup
dan mematikan perasaannya
Ia tidak berani menyampaikan pendapatnya bahwa ia menjadi
lesbian bukan karena pergaulan seperti yang dikatakan oleh ibunya. Ia
juga tidak berani mengatakan bahwa ia benar-benar merasa mencintai
perempuan, bukan hanya sebatas formalitas seperti ketika ia
berpacaran dengan laki-laki.
‘Ak belum berani… aku belum berani merjuangin banget’ (W1. S.brs 69) ‘Aku ga omongin (ke mamahku) ‘aku bener-bener pake feel mah sebenernya’’ (W1.S. brs 25)
Subjek yang tidak mampu membela diri kemungkinan
dikarenakan oleh pengetahuannya yang minim mengenai orientasi
Mungkin juga hal tersebut dikarenakan rasa takut yang dirasakan
subjek, sehingga ia tidak berani menjelaskan kepada ibunya.
j) Pendapat mengenai pembukaan diri
Subjek mengartikan pembukaan diri sebagai sikap jujur dan
terbuka kepada orang tuanya. Ia melakukan pembukaan diri secara
sukarela karena hanya ingin mengadu kepada ibunya.
‘Ga ada hanya pengen cerita aja.’ (W2. S. brs 86) ‘Ya jujur-jujuran sama orang tua aja. Keterbukaan. Walaupun ya.. susah diterima.’ (W2. S. brs 84)
Subjek mengartikan pembukaan diri sebagai sarana untuk
terbuka pada orang tuanya. Namun subjek sebenarnya masih belum
siap melakukan pembukaan diri karena subjek tidak memiliki
keberanian untuk memperjuangkan orientasi seksualnya.
k) Perasaan Subjek Menghadapi Stigma Masyarakat kepada Lesbian
Subjek sebenarnya cuek dan masa bodoh dengan
pandangan masyarakat terhadap dirinya sebagai lesbian. Ia juga
cenderung cuek menghadapi stigma masyarakat. Namun terkadang ia
merasa sakit hati dan sedih bila ada orang yang tidak menerima dan
merendahkan dirinya hanya karena ia lesbian.
Subjek sebenarnya merasa sedih ketika ada orang yang tidak
menerima dirinya dan merendahkan dirinya karena ia lesbian. Namun
mekanisme pertahanan diri (MPD) yang digunakan subjek untuk
menghadapi masalah ini adalah dengan cara tidak perduli atau cuek.
2. Subjek 2
a) Latar Belakang Subjek
Subjek 2 yang selanjutnya akan disebut O adalah perempuan
berumur 25 tahun. O memiliki perawakan yang kurus, berambut cepak,
bergaya sporty dan cukup maskulin. Wajahnya tenang dan cenderung pendiam, namun ketika sudah akrab ia adalah pribadi yang hangat.
Subjek adalah lulusan teknik industri di salah satu universitas di
jakarta. Saat ini subjek sedang berusaha untuk mencari pekerjaan di
kota pelariannya ini.
b) Latar Belakang Keluarga
Subjek memiliki darah suku Padang. Subjek adalah anak
bungsu dari dua bersaudara. O memiliki hubungan yang cukup dekat
dengan almarhum ibunya serta kakak perempuannya. Subjek sendiri
tidak merasakan kedekatan emosional dengan ayahnya. Ayahnya
adalah orang yang otoriter dan keras. Ia suka menerapkan disiplin
militer seperti, telat melaksanakan sholat akan dihukum pukul
menggunakan sapu lidi. Subjek menggambarkan ibunya sebagai
tahun setelah ibunya meninggal, ayah subjek memutuskan untuk
menikah lagi. O merasa sakit hati karna ia tidak diberitahu masalah
pernikahan ayahnya sampai satu hari sebelum hari pernikahan. Setelah
kejadian itu, subjek hanya merasakan kedekatan emosional dengan
kakak perempuannya. Ayah subjek termasuk orang yang sangat
menginternalisasikan norma masyarakat ke dalam kehidupan keluarga.
Dalam hal ini, keluarga O tidak memiliki otoritasnya sendiri.
c) Orientasi Seksual Lesbian
Subjek merasa bahwa dirinya ‘berbeda’ dari
teman-temannya ketika ia duduk di bangku SD. Saat itu ia sudah mulai
memiliki perasaan terhadap perempuan.
‘Kayanya sih udah, SD’ (W1.O.brs 5)
Tetapi ia mengetahui istilah lesbian ketika ia duduk di
bangku SMA, itupun hanya sebatas tau dan subjek tidak terlalu peduli
dengan hal tersebut karena ia merasa tidak ada orang yang memiliki
orientasi sepertinya di lingkungan sekitar subjek.
‘Pas SMA sih nyuekin aja, nah karna di sekitar lingkungan ga da orang yang kayak gitu kan?!’ (W1.O.brs 11)
Ia juga sempat mencoba berpacaran dengan laki-laki untuk
membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak bersalah ketika
mencari sesuatu yang lebih nyaman.
Ketika ia kuliah di jakarta, ia mulai mencari tau tentang
lesbian melalui internet. Dari sanalah ia mengenal teman-teman IPP
(Institute Pelangi Perempuan) dan mendapat banyak informasi yang
positif mengenai lesbian.
‘Nah, baru pas kuliah di jakarta, ngecek di internet ktm di IPP, ktm sama orangnya ngobrol2.. baru deh..’ (W1.O.brs 14)
Sebelum ia bertemu dengan komunitas formal seperti IPP,
ia mengalami konflik batin yang cukup berat. Subjek sempat
memandang dirinya secara negatif. Namun pandangan itu lalu berubah
karena ia merasa bahwa dirinya tidak pernah memberi pengaruh
negatif pada orang lain.
‘Dulunya negatif. Sekarang sih udah biasa karna ngeliat langsung orang2nya kayak gimana. Aku sendiri jg kayak gmn. Aku rasa aku ga memberi pengaruh negatif pada orang lain. Kenapa harus dibilang negatif juga.’ (W1.O.brs 32)
Subjek mengalami masa-masa penolakan (denial) yang membuat ia tersiksa karena menolak orientasi dirinya sendiri.
‘Dulu ga terima’ (W1.O.brs 18)
Namun setelah melewati tahap denial selama 7 tahun ia mulai dapat menerima dirinya sendiri.
‘Ga da gunanya kayanya dihindar hindari juga’ (W1.O.brs 23)
Proses penerimaan diri subjek O tergolong cukup berat
d) Peristiwa pembukaan diri
Proses pembukaan diri yang dijalani subjek O berawal ketika kakak
subjek mencurigai pembicaraan subjek dengan seorang perempuan.
Setelah itu, kakak subjek juga membaca buku harian subjek. Awal proses
pembukaan diri subjek dilakukan dengan keterpaksaan.
‘Kakak cw itu ktauan karna aku sering telpon sama ada seseorang di bandung, trus kayaknya kakakku nguping. Dia tanya ‘Syapa?’ Ngomongnya udah gt2 d.. yah.. udahlah.. dia udah denger ini.. aku nulis sesuatu di buku ternyata diobrak abrik sama kakakku.’ (W1.O.brs 150)
Selanjutnya subjek melakukan pembukaan diri pada adik
sepupunya. Subjek dengan sukarela mengaku pada adik sepupunya
bahwa ia lesbian. Adik sepupu subjek dapat menerima subjek apa
<