• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Progra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Progra"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF

TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Dias Aditya Yudhistira

079114075

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Skripsi yang bagus adalah

skripsi yang selesai

-Anies Baswedan -

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Oktober 2012

Penulis,

(6)

vi

PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF

TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA)

Dias Aditya Yudhistira

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi secara terperinci proses pemaknaan hidup dan makna pengalaman hidup tersebut bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Penelitian ini mempunyai 2 pertanyaan penelitian. Pertanyaan pertama adalah bagaimana proses pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan melalui nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. Pertanyaan kedua adalah apa makna hidup tersebut. Penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta. Pendataan dilakukan terhadap 3 subjek melalui wawancara semi terstruktur. Proses validitas yang digunakan menggunakan member checking, jika subjek telah merasa data yang dituliskan oleh peneliti dapat menggambarkan realitasnya, maka transkrip wawancara dinyatakan terpercaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderitaan dimaknai sebagai: 1) risiko dari perilaku yang dilakukan, 2) menemukan hidup sebagai “aku” yang baru, 3) meniadakan harapan-harapan yang menurutnya malah dapat menjerumuskan, 4) pembentuk karakter dalam menghadapi kehidupan selanjutnya.

(7)

vii

THE DEFINING LIFE OF PRISONERS

(INTERPRETATIVE FENOMENOLOGY STUDY OF PRISONERS IN II A CLASS JAIL YOGYAKARTA)

Dias Aditya Yudhistira

ABSTRACT

This study aimed to explore the defining life of prisoners. The two research questions are: 1) how the process meaning of life for prisoners through creativity values, appreciation values, and attitude values, 2) what the meaning of the life. The study was conducted in II A Class Jail in Yogyakarta. The data were collected from three subjects through semi-structured interviews. Validity process employed member checking, if the subject assumed that the written data from the research represent the reality, so the result of interview is correct. The results show that the experience interpreted as: 1) the risk of the action, 2) finding a new life as a new “I”, 3) ignore the bad expectation, and 4) Make a new character to face a new life.

(8)

viii

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata

Dharma

NAMA : Dias Aditya Yudhistira

NIM : 079114075

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada

Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

(STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF

TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA)

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya

memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk

menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau

media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya

maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 5 Oktober 2012

Yang menyatakan,

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang

berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian penulis terhadap permasalahan sosial,

khususnya permasalahan mengenai Warga Binaan Pemasyarakatan.

Terdorong keinginan untuk melihat bagaimana fenomena permasalahan

sosial terjadi pada mereka sekaligus memberikan sumbangan ide dan menerapkan

ilmu yang telah didapatkan, maka penulis menyusun penelitian ini.

Peneliti memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada pihak-pihak

yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya. Tanpa

bantuan mereka, karya ini tidak akan pernah terwujud dan mewujudkan dirinya.

Terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Tuhan Yesus, atas segenap talenta, anugerah, dan pencerahan dalam

ilmu pengetahuan.

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan dan Bapak C. Siswa

Widyatmoko, M.Psi. selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang memberikan dukungan berupa

perizinan penelitian sehingga skripsi ini pada akhirnya dapat

diselesaikan.

3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terima

kasih atas diskusi dan masukan yang diberikan dari awal hingga

(10)

x

4. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi. dan Bapak V. Didik Suryo Hartoko,

M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas diskusi

dan nasehat yang telah bapak berikan.

5. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi. selaku Kaprodi dan Ibu Agnes Indar

Etikawati, M.Si., Psi. selaku wakaprodi, dan segenap dosen serta

karyawan yang telah bersedia membantu saya.

6. Kementerian Hukum dan HAM DIY dan Sekretariat Daerah DIY

yang sudah memberi izin untuk melakukan penelitian.

7. Bapak Riyanto, Bc. IP, SH. selaku kepala Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II A Yogyakarta atas diskusi, masukan, dan izin untuk

melakukan penelitian.

8. Ibu Kandi Tri S., SH, MH. selaku pembina para warga binaan atas

kerja sama, diskusi, dan nasehat selama melakukan penelitian, serta

mempertemukan penulis dengan para warga binaan.

9. Ibu Et, ibu Tgl, dan bapak Ir, informan dalam penelitian ini. Penulis

mengucapkan banyak terima kasih. Kiranya Tuhan memberikan

anugerah yang terbaik dalam menjalani hidup ini dan segera dapat

memulai kehidupan baru di luar Lembaga Pemasyarakatan.

10. Papenk, Putu, Arya, Reno, Oie, Adel, Lanang, Riko, Dody, Ve, Ucil,

atas kerja sama dan inspirasi di setiap diskusi kecil kita. Selamat

berjuang!

11. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Rani, Mega, Visca, Niena, atas

(11)

xi

12. Yang berharga dalam hidup saya, Mama, Papa, dan adik-adik saya,

Rosa dan Yesi. Keluarga besar yang selama ini selalu mensupport

selama mengerjakan skripsi.

13. Christella Suryo Kusumastuti, yang selalu mendampingi di saat suka

dan duka ketika mengerjakan skripsi.

14. Semua pihak yang membantu saya untuk menyelesaikan studi ini,

skripsi ini, dan menjalani kehidupan ini. Terima kasih.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak.

Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini selalu tidak sempurna jika dipikirkan

lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun tentunya akan

sangat membantu untuk kepatutan karya tulis ini. Terima Kasih.

Yogyakarta, 5 Oktober 2012 Penulis,

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Warga Binaan Pemasyarakatan ... 7

B. Makna Hidup ... 9

(13)

xiii

D. Kerangka Penelitian ... 14

E. Pertanyaan Penelitian ... 15

BAB III. METODE PENELITIAN ... 16

A. Jenis Penelitian ... 16

B. Fokus Penelitian ... 16

C. Subjek Penelitian ... 17

D. Metode Pengumpulan Data ... 17

E. Proses Pengumpulan Data... 19

F. Kepatuhan Terhadap Kode Etik Untuk Menjaga Kesejahteraan Psikologis Subjek Penelitian ... 21

G. Metode Analisis Data ... 22

H. Validitas Penelitian ... 24

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Konteks Penelitian ... 25

B. Profil Subjek ... 26

C. Hasil Penelitian ... ... 32

D. Pembahasan Penelitian ... 54

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Keterbatasan Penelitian ... 74

C. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara ... 18

Tabel 2 Pelaksanaan Wawancara ... 21

Tabel 3 Biodata Subjek ... 32

Tabel 4 Respon Terhadap Pengalaman yang Dialami ... 33

Tabel 5 Sikap Awal Terhadap Pengalaman yang Dialami ... 38

Tabel 6 Proses Penemuan Makna Hidup Melalui Nilai-nilai ... 40

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Interview Protocol ... 80

Lampiran 2 Verbatim Wawancara Subjek I (Et) ... 81

Lampiran 3 Tabel Tema-Tema Subjek I (Et) ... 93

Lampiran 4 Verbatim Wawancara Subjek II (Tgl) ... 94

Lampiran 5 Tabel Tema-Tema Subjek II (Tgl) ... 105

Lampiran 6 Verbatim Wawancara Subjek III (Ir) ... 106

Lampiran 7 Tabel Tema-Tema Subjek III (Ir) ... 115

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem supremasi hukum,

yaitu hukum mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara (Waluyo,

2004). Seseorang yang melakukan pelanggaran hukum akan mengalami

proses peradilan (Criminal Justice Process) dalam sistem Peradilan Pidana

atau Criminal Justice System. Criminal Justice Process merupakan

tahapan-tahapan dari suatu keputusan yang membawa seorang tersangka ke dalam

proses penentuan pidana (Atmasasmita, 1998). Criminal Justice System

merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari

lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Dalam

konteks ini, sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem yang berfungsi

dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.

Tahap awal dari proses peradilan adalah penangkapan, penyidikan,

dan penyelidikan yang dilakukan Kepolisian dalam suatu Berita Acara

Pemeriksaan (BAP). Tahap selanjutnya ialah membawa BAP tersebut pada

pihak Kejaksaan yang melakukan penuntutan pada suatu perkara pidana.

Kemudian proses peradilan akan dilakukan di dalam Pengadilan yang

bertugas memeriksa permasalahan hukum dan menjatuhkan sanksi sesuai

tingkat permasalahannya. Proses peradilan sampai dengan penjatuhan sanksi

(17)

tersebut menurut undang-undang adalah cepat, sederhana, berbiaya ringan,

bebas, jujur, tidak memihak, dan adil. Pada saat proses peradilan tersebut,

tersangka akan ditempatkan pada suatu tempat yang dinamakan Rumah

Tahanan Negara (RUTAN). Ketika proses peradilan selesai dan berakhir

dengan penjatuhan pidana, maka tersangka akan dipindahkan dari RUTAN

ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang telah ditentukan dan status

tersangka tersebut berubah menjadi Narapidana. Narapidana adalah

terpidana yang hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU No

12 tentang Pemasyarakatan, 1995). Narapidana, yang selanjutnya disebut

sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), tersebut harus bertanggung

jawab atas perbuatan yang dilakukan dengan menjalani pidana penjara.

Suryobroto (2002) mengatakan bahwa WBP yang menunggu proses

peradilan mulai mengalami penderitaan. Penderitaan tersebut berlanjut

ketika WBP menjalani hidup di LAPAS. Sebagai WBP, individu tidak

mendapat kebebasan yang sama seperti individu lain yang di luar LAPAS.

Ruang gerak WBP telah diatur dan dibatasi menurut perundangan yang

berlaku. Kehidupan di LAPAS meliputi perampasan kebebasan pribadi dan

barang-barang material, hilangnya privasi, persaingan untuk sumber daya

yang langka, dan ketidaknyamanan yang sangat besar, stres, dan tidak dapat

terprediksi (Dharmawan, dkk, 2010).

Beberapa penelitian menyatakan penderitaan yang dialami oleh WBP.

Maull (1991) mengatakan bahwa WBP yang menjalani hidup di LAPAS

(18)

Demonization merupakan karakteristik sebagai individu yang jahat.

Maksudnya ialah WBP memberikan stigma pada dirinya sendiri sebagai

orang jahat. Depersonalisasi merupakan kondisi psikis yang ditandai dengan

perasaan tidak percaya dengan realitas yang dihadapi. Depersonalisasi

menyebabkan munculnya kecemasan selama berada di LAPAS.

Jencks dan Mayer (1990) menyatakan terdapat korelasi antara

kriminalitas dan lingkungan fisik (LAPAS) yang buruk karena menyangkut

penurunan tingkat kesehatan mental sebagai akibat dari tidak adanya

kebermaknaan hidup yang dirasakan oleh WBP. Johnson (2002)

menegaskan bahwa LAPAS merupakan tempat yang tidak manusiawi

sebagai akibat dari pengabaian terhadap WBP sehingga terjadi kegagalan

dalam menciptakan kehidupan yang bermakna.

Tartaro (2003) menyebutkan bahwa lingkungan LAPAS dengan

sistem pengawasan yang ketat dan adanya pembatasan-pembatasan

memungkinkan terjadinya kasus bunuh diri. Pengawasan ketat dan

pembatasan menimbulkan stres bagi WBP yang akhirnya sebagian

memutuskan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Di Indonesia, penyebab

bunuh diri diantaranya kuatnya tekanan sosial di keluarga, keluarga korban,

WBP lain, sipir, dan pemberitaan media massa. Hal-hal tersebut

menimbulkan rasa malu yang dirasakan WBP. Bunuh diri juga dilakukan

untuk menghilangkan penderitaan yang semakin diperparah oleh kondisi

(19)

Sulhin (2009) mengatakan bahwa penderitaan WBP merupakan akibat

dari metode pendidikan dan keterampilan yang tidak terstruktur. Metode

pelatihan pendidikan dan keterampilan disusun agar setelah keluar dari

LAPAS WBP dapat mengintegrasikan pelatihan yang telah didapatnya pada

masyarakat. Akan tetapi, kondisi yang terjadi adalah metode-metode

pelatihan tersebut tidak diaplikasikan di kenyataan. Kondisi demikian

menyebabkan WBP menganggur dan merasa tidak menemukan aktivitas

untuk mengisi hari-harinya di dalam LAPAS.

Masyarakat juga memiliki andil secara tidak langsung dari adanya

mantan WBP yang kembali masuk LAPAS atau yang lebih dikenal sebagai

residivis. Masyarakat masih cenderung memberikan stigma negatif bagi

mantan WBP yang pada akhirnya menciptakan stressfull. Keadaan tersebut

membuat mantan WBP terasing dari kehidupan sosialnya dan membuatnya

kembali lagi pada komunitasnya sehingga cenderung mengulangi

pelanggaran hukum lagi.

Penderitaan yang dialami para WBP menunjukkan perasaan cemas,

menurunnya kesehatan mental, stres, malu, hampa, dan merasa

terpinggirkan. Individu tersebut disebut Frankl sebagai individu yang

menghayati hidup tidak bermakna/meaningless (Frankl, 1963). Hal tersebut

dikarenakan individu tidak berhasil memenuhi keinginan untuk hidup

bermakna.

Frankl (1963) mengatakan bahwa perjuangan individu untuk hidup

(20)

tersebut. Motivasi ini mendorong individu untuk menemukan makna hidup

dari penderitaan yang ia alami. Hal tersebut tidak terkecuali WBP. Frankl,

yang memiliki pengalaman hidup dalam kamp konsentrasi NAZI, percaya

bahwa dalam kondisi yang paling buruk sekalipun, seperti halnya di dalam

LAPAS yang penuh tekanan dan penderitaan, seseorang tetap bisa

menemukan makna hidupnya.

Frankl melihat bahwa terdapat individu yang masih memiliki

harapan bahwa dirinya dapat keluar dari kamp konsentrasi, meski harapan

tersebut sangat kecil. Frankl melihat bahwa harapan dan kebahagiaan itu

tidak dikejar olehnya, namun harus terjadi. Hal tersebut merupakan efek

samping dari dedikasi individu pada suatu hal yang lebih bermakna dan

penyerahan diri individu bagi orang lain di luar dirinya sendiri. Individu

yang demikian mampu mengubah kondisi penghayatan dirinya dari

penghayatan tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna

(meaningfull).

Bastaman (2007) mengatakan bahwa makna hidup dapat

ditemukan dalam tiga bidang kegiatan yang mengandung nilai-nilai. Ketiga

nilai tersebut ialah nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai

bersikap. Berkaitan dengan hal tersebut, dimungkinkan pula WBP yang

mengalami tekanan dan penderitaan akan menemukan kembali makna hidup

yang menurut mereka sudah tidak ada lagi.

Peneliti melakukan penelitian pada WBP dengan alasan

(21)

tidak berjalan sempurna, kekerasan, stres, kondisi lingkungan LAPAS yang

tidak mendukung, stigma dari masyarakat, dan masalah psikologis lainnya.

Selain itu, penelitian ini untuk mengeksplisitkan proses pemaknaan hidup

WBP dan makna pengalamanan hidup tersebut bagi WBP.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana

pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan dan apa makna hidup bagi

Warga Binaan Pemasyarakatan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengeksplisitkan secara terperinci pemaknaan hidup dan

makna pengalaman hidup tersebut bagi Warga Binaan Pemasyarakatan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini mengeksplisitkan proses pemaknaan hidup dan

penemuan makna hidup Warga Binaan Pemasyarakatan sehingga

diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya

(22)

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini membantu pihak psikolog maupun konselor di dalam

Lembaga Pemasyarakatan untuk menentukan bantuan yang tepat

terkait proses pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan.

b. Bagi keluarga dari Warga Binaan Pemasyarakatan, penelitian ini

membantu untuk menentukan bantuan dan pendekatan yang sesuai

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A . WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Berdasarkan UU Nomor 12 tentang Pemasyarakatan (1995),

pengertian Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Sebelum ditetapkan

sebagai seorang narapidana, atau yang selanjutnya disebut sebagai Warga

Binaan Pemasyarakatan (WBP), seseorang akan melewati beberapa tahapan

dalam proses peradilan. Tahap awal dari proses peradilan adalah

penangkapan, penyidikan, dan penyelidikan yang dilakukan Kepolisian

dalam suatu Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kemudian, BAP tersebut

diserahkan pada pihak Kejaksaan di Pengadilan Negeri yang melakukan

pemeriksaan, penuntutan suatu perkara pidana, dan menjatuhkan sanksi

sesuai tingkat permasalahannya. Apabila individu akan melakukan

melakukan banding, maka individu tersebut dapat melakukannya di tingkat

Pengadilan Tinggi. Individu dapat melanjutkan bandingnya pada tingkat

Mahkamah Agung untuk mengajukan Kasasi.

Proses peradilan sampai dengan penjatuhan sanksi bagi tersangka

adalah cepat, sederhana, berbiaya ringan, bebas, jujur, tidak memihak, dan

adil. Ketika proses peradilan selesai dan berakhir dengan penjatuhan pidana,

status tersangka akan berubah menjadi WBP dan akan menghuni LAPAS.

(24)

LAPAS adalah tempat dimana orang secara fisik dibatasi ruang geraknya

dan kehilangan berbagai kebebasan pribadi (Pujileksono, 2009).

Menurut UU Nomor 12 tentang Pemasyarakatan (1995), WBP

memiliki hak-hak yang melindungi dirinya ketika menjalani kehidupan di

LAPAS. Hak-hak tersebut antara lain hak melakukan ibadah, hak

mendapatkan perawatan jasmani dan rohani, hak mendapatkan pendidikan

dan pengajaran, hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang

layak, hak menyampaikan keluhan, hak mendapatkan bahan bacaan dan

siaran media massa, hak mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan,

hak menerima kunjungan keluarga, hak mendapatkan pengurangan masa

pidana (remisi), hak mendapat kesempatan melakukan asimilasi, hak

mendapat pembebasan bersyarat, dan hak mendapat cuti menjelang bebas.

Di sisi lain, tujuan adanya Sistem Pemasyarakatan bagi WBP adalah

menyadarkan WBP agar menyesali perbuatannya, mengembalikannya

menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung

tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan

masyarakat yang aman, tertib, dan damai, serta melindungi masyarakat

terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan

Pemasyarakatan (UU Nomor 12 tentang Pemasyarakatan, 1995).

B. MAKNA HIDUP

Frankl (1963) mengatakan bahwa setiap orang selalu mendambakan

(25)

merupakan ganjaran dari usaha individu untuk menemukan makna

hidupnya. Makna hidup sendiri adalah hal-hal khusus yang dirasakan

penting dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta layak dijadikan

sebagai tujuan hidup yang harus diraih (Bastaman, 2007). Hal ini ditemukan

dengan menyadari dan menemukan alasan apa yang individu lakukan pada

situasi tertentu, sekalipun situasi tersebut sulit. Makna hidup bisa berbeda

antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Oleh karena itu,

yang terpenting bukan makna hidup secara umum, namun makna khusus

dari hidup seseorang pada suatu situasi tertentu. Makna hidup juga tidak

bersifat abstrak. Setiap individu memiliki tugas untuk menyelesaikan suatu

misi atau tugas khusus. Individu tersebut harus dapat menyikapi dan

bertanggung jawab atas tugas yang diberikan padanya.

Individu dapat gagal dalam menemukan makna hidup dari situasi sulit

yang dialaminya atau merasa hidupnya tidak bermakna (meaningless). Hal

ini antara lain disebabkan kurangnya kesadaran bahwa kehidupan dan

pengalaman mengandung makna hidup potensial yang dapat ditemukan dan

kemudian dikembangkan (Bastaman, 1996). Ada individu yang tidak dapat

melihat adanya makna hidup dalam keadaan mereka yang buruk sekalipun

padahal makna hidup akan selalu ada. Ketidakberhasilan menghayati makna

hidup dapat menimbulkan frustasi eksistensial dan neuroses noogenik

(Frankl dalam Koeswara, 1992). Frustasi eksistensial adalah suatu fenomena

umum yang berkaitan dengan kegagalan individu untuk memenuhi

(26)

hilangnya minat dan inisiatif untuk melakukan suatu hal, munculnya

perasaan hampa terhadap hidupnya, merasa tidak memiliki tujuan hidup,

bosan, dan apatis. Neurosis noogenik adalah manifestasi dari frustasi

eksistensial yang bisa disebut neurosis, yang ditandai dengan simptom

tertentu, seperti depresi, alkoholisme, hiperseksualitas, dan tindakan

kejahatan.

Berbeda dengan individu yang tidak menemukan makna, individu

yang menghayati makna hidup menunjukkan corak kehidupan penuh

semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani

kehidupan sehari-hari (meaningfull) walaupun dalam situasi yang tidak

menyenangkan atau dalam penderitaan (Schultz, 1991).

C. PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Berbagai kondisi psikologis yang dialami oleh WBP dapat mengarah

pada kondisi penghayatan pengalaman tanpa makna. Mereka adalah tipikal

individu yang mudah dihinggapi oleh perasaan tidak percaya terhadap

realitas, stres akibat rasa malu dan rasa bersalah yang amat mendalam,

perasaan hampa terhadap hidupnya, berada dalam tekanan, dan merasa tidak

memiliki tujuan hidup.

Penghayatan hidup tanpa makna memunculkan respon yang

berbeda-beda pada tiap individu. Respon yang biasa muncul ialah individu tersebut

resisten terhadap kenyataan yang ia hadapi dan berusaha mempertahankan

(27)

berupa rasa tidak berdaya, rasa sakit yang mendalam, menyalahkan diri

sendiri, dan rasa menyesal, serta rasa hampa. Tahap ini dinamakan sebagai

tahap derita (Bastaman, 1996).

Bastaman (1996) mengatakan bahwa respon dari pengalaman khusus

yang dihadapi individu memunculkan sikap awal terhadap pengalaman

khusus tersebut. LaPiere (dalam Azwar, 1995) mendefinisikan sikap sebagai

suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan untuk menyesuaikan diri dalam

situasi sosial sedangkan Allport (dalam Sears, Freedman, & Peplau, 1985)

mengemukakan bahwa sikap adalah keadaan mental melalui pengalaman

yang memberikan pengaruh terhadap respon individu pada semua objek dan

situasi yang berkaitan dengannya.

Makna hidup ditemukan ketika individu dapat melalui tahap

penerimaan diri (Bastaman, 1996), yakni individu tersebut mampu

menyikapi penderitaan dengan menerima segala bentuk penderitaan yang ia

alami. Sikap yang ditunjukkan oleh individu ini didorong oleh beragam

sebab, misalnya dari perenungan diri, konsultasi dengan para ahli,

mendapat pandangan dari seseorang, maupun dari hasil do’a dan ibadah.

Perjuangan individu untuk menemukan makna dalam setiap situasi

hidup merupakan motivasi utama individu tersebut (Frankl, 1963). Motivasi

ini mendorong seseorang untuk menemukan makna hidup dari penderitaan

yang ia alami. Begitu pula dengan WBP. Pengalaman terpisah dari

orang-orang yang dicintai, kerinduan pada orang-orang tua, istri, dan anak-anak membuat

(28)

pernah dilakukan (Dharmawan, dkk, 2010). Penemuan makna hidup

tersebut akan menimbulkan perasaan bahagia bagi mereka.

Setiap individu dapat menemukan makna hidupnya dengan cara-cara

yang berbeda. Bandyopadhyay (2007) mengatakan bahwa WBP dapat

merancang cara-cara berbeda untuk dapat melalui hari-hari mereka di dalam

LAPAS sedangkan Bastaman (2007) mengatakan bahwa makna hidup dapat

ditemukan dalam tiga bidang kegiatan yang mengandung nilai-nilai yang

memungkinkan individu menemukan makna hidup di dalamnya apabila

nilai-nilai tersebut dipenuhi. Nilai-nilai tersebut yaitu nilai-nilai kreatif,

nilai penghayatan, dan nilai bersikap. Wujud konkrit dari

nilai-nilai kreatif adalah pelaksanaan aktivitas kerja. Setiap pekerjaan bisa

mengantarkan individu pada penemuan makna asalkan pekerjaan itu

merupakan usaha memberikan sesuatu kepada hidup, baik itu kehidupan

sendiri maupun orang lain, yang didekati secara kreatif dan dijalankan

sebagai komitmen pribadi dan penuh tanggung jawab (Bastaman, 2007).

Melalui aktivitas kerja, individu dapat merasakan kebahagiaan.

Nilai-nilai penghayatan tampak dalam realisasi nilai-nilai yang berasal

dari agama atau hubungan dengan Tuhan maupun muncul dari cinta kasih

dari dan kepada sesama makhluk hidup. Cinta kasih dapat menjadikan

individu menghayati perasaan bermakna dalam hidupnya. Hal itu dapat

terjadi karena dari pengalaman memberi dan menerima cinta kasih, individu

akan merasa hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang

(29)

sebagai hal yang membutakan namun menjadikan individu mampu melihat

nilai-nilai yang berguna bagi dirinya maupun sesama.

Menghayati nilai-nilai bersikap berarti dapat menerima dengan penuh

ketabahan dan kesabaran menghadapi segala bentuk penderitaan yang tidak

mungkin dielakkan lagi (Bastaman, 2007). Hal yang penting adalah sikap

yang tepat yang diambil oleh setiap individu dalam menghadapi keadaan

tertentu. Sikap menerima pengalaman dengan penuh ikhlas dan sabar dapat

mengubah individu yang tidak bermakna menjadi individu yang mampu

melihat makna dan hikmah dari setiap pengalaman tersebut.

D. KERANGKA PENELITIAN

Proses pemaknaan hidup mulai muncul ketika individu mengalami

situasi tertentu dalam hidupnya. Seringkali makna hidup justru muncul dari

situasi yang menimbulkan penderitaan bagi individu tersebut. Situasi yang

dimaksud adalah ketika individu menjalani kehidupan di LAPAS.

Situasi penderitaan terjadi ketika individu menunggu proses peradilan

bagi dirinya, jatuhnya vonis, hingga menjalani kehidupan di LAPAS

(Suryobroto, 2002). Pada tahap ini, individu mulai merespon pengalaman

yang dialaminya sebagai penghayatan hidup tanpa makna. Respon ini akan

dilanjutkan dengan sikap awal yang muncul dari individu sebagai bentuk

kesiapan individu menghadapi situasi sulit yang dialaminya.

Perjuangan individu untuk menemukan makna dalam setiap situasi

(30)

tersebut mendorong WBP untuk menemukan makna hidupnya. Makna

hidup dapat ditemukan dalam tiga bidang kegiatan yang mengandung

nilai-nilai yang memungkinkan individu menemukan makna hidup di dalamnya

apabila nilai-nilai tersebut dipenuhi. Nilai-nilai tersebut yaitu nilai-nilai

kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. Dengan demikian,

pengalaman hidup yang dialami oleh setiap individu dapat dimaknai.

E. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan kerangka penelitian, peneliti menyusun pertanyaan

penelitian. Pertanyaan penelitian tersusun atas dua macam.

1. Central Question : Bagaimana pemaknaan hidup Warga Binaan

Pemasyarakatan dan apa makna hidup bagi Warga Binaan

Pemasyarakatan?

2. Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan

penelitian utama. Subquestion pada penelitian ini adalah :

a. Bagaimana respon Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap

pengalaman yang dialaminya?

b. Bagaimana sikap awal Warga Binaan Pemasyarakatan dari

pengalaman yang dialaminya?

c. Bagaimana pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan

melalui nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai

bersikap?

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode

analisis fenomenologis interpretatif untuk melakukan analisa. Terdapat dua

langkah yang digunakan dalam metode ini. Langkah pertama adalah subjek

berusaha mengeksplorasi pengalaman personalnya. Langkah kedua adalah

peneliti mengartikan kegiatan subjek yang berusaha mengeksplorasi

pengalaman personalnya itu (Smith, 2009). Dengan menggunakan metode ini,

peneliti mengharap proses pemaknaan hidup dari sebuah pengalaman dapat

dieksplisitkan secara lebih terperinci dan dapat menemukan makna hidup dari

pengalaman tersebut.

B. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah berfokus

pada proses pemaknaan hidup melalui nilai-nilai yang merupakan sumber

makna hidup, yakni nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai

bersikap. Kedua adalah berfokus pada penemuan makna hidup dalam suatu

pengalaman kehidupan, yakni ketika berada di Lembaga Pemasyarakatan

(LAPAS).

(32)

C. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini berjumlah tiga orang. Ketiga subjek

dipilih dengan menggunakan Criterion Sampling, yaitu cara penentuan

subjek berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti. Subjek dalam penelitian ini

adalah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menjalani hukuman di

LAPAS. Hal yang penting adalah subjek mengalami sendiri pengalaman

atas fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 2007).

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah

wawancara semi terstruktur dengan jenis panduan pertanyaan yang bersifat

terbuka. Metode ini memungkinkan adanya fleksibilitas yang lebih tinggi

dalam cakupan wilayah wawancara dan wawancara masuk ke

wilayah-wilayah yang benar-benar baru sehingga akan menghasilkan data yang lebih

kaya (Smith, 2009). Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun

(33)

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Wawancara

No Panduan Pertanyaan Wawancara

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Bisakah anda menceritakan riwayat tindakan kriminal yang telah anda lakukan sehingga anda menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan? Bisakah anda menceritakan cara anda menghadapi hari ke hari hidup di Lembaga Pemasyarakatan?

Bisakah anda menceritakan aktivitas anda selama berada di Lembaga Pemasyarakatan?

(Apa yang anda dapatkan dari aktivitas anda? Apa motivasi anda bekerja? Apa anda mencintai pekerjaan yang anda lakukan?)

Bisakah anda menceritakan perbedaan aktivitas kerja anda sebelum & sesudah berada di Lembaga Pemasyarakatan?

(Apakah ada perubahan? Apakah ada konflik yang terjadi?)

Bisakah anda menceritakan apa yang anda pikirkan dan rasakan ketika anda ditangkap, diproses, divonis, dan menjalani hidup di Lembaga Pemasyarakatan saat ini?

Bisakah anda menceritakan hubungan anda dengan orang lain (pasangan, keluarga, teman, teman sesama napi) selama anda berada di Lembaga Pemasyarakatan?

(Bagaimana sikap dari orang lain terhadap anda? Bagaimana anda memandang orang lain saat ini? Bagaimana tanggapan anda mengenai pandangan orang lain terhadap anda?)

Bisakah anda menceritakan hubungan anda dengan Tuhan selama anda berada di Lembaga Pemasyarakatan?

(Apa yang anda dapatkan dari hubungan anda dengan Tuhan?)

Bisakah anda menceritakan sikap anda terhadap penderitaan yang anda alami dan rasakan ketika anda ditangkap, diproses , divonis, dan menjalani hidup di Lembaga Pemasyarakatan saat ini?

(Bagaimana sikap anda dalam memandang hidup anda saat ini?)

Bisakah anda menceritakan hikmah yang anda dapatkan dari pengalaman hidup di Lembaga Pemasyarakatan saat ini?

Bisakah anda menceritakan harapan anda setelah bebas nanti?

(34)

Tahapan dalam proses wawancara :

1. Mencari subjek untuk menjadi partisipan penelitian.

2. Membuat jadwal wawancara sesuai kesepakatan subjek dan peneliti

3. Melakukan perkenalan, rapport, menjelaskan tujuan penelitian, dan

memastikan kesediaan subjek untuk menjadi partisipan penelitian.

4. Melakukan wawancara.

Proses pengambilan data dilakukan beberapa kali. Maksudnya

adalah peneliti melakukan pengambilan data di lapangan kemudian

menganalisis datanya dan kembali ke lapangan untuk mengambil atau

menambahkan data lanjutan untuk kemudian dianalisis kembali. Proses

tersebut dilakukan hingga ditemukan data yang mampu menggambarkan

pengalaman subjek secara utuh (Creswell, 2007). Data wawancara direkam

dengan menggunakan digital recorder dan disalin dalam transkrip

wawancara.

E. PROSES PENGUMPULAN DATA

Penelitian ini diawali dengan mencari subjek penelitian, yakni

Warga Binaan Pemasyarakatan. Peneliti menggunakan subjek di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta. Peneliti melakukan prosedur

perizinan penelitian kepada pihak-pihak yang berwenang sebagai langkah

awal. Setelah izin telah diperoleh, peneliti mulai melaksanakan penelitian.

Untuk mendapatkan subjek penelitian, peneliti melakukan konsultasi

(35)

adalah Warga Binaan Pemasyarakatan dengan kondisi emosional yang baik

dan dapat berkomunikasi dengan baik ketika menceritakan pengalamannya.

Setelah berkonsultasi dengan Subsie Bimaswat pula akhirnya diputuskan

subjek penelitian ini berjumlah tiga orang. Keterbatasan waktu penelitian

menjadi bahan pertimbangan penentuan jumlah subjek. Kemudian, peneliti

dan Subsie Bimaswat membuat jadwal wawancara yang disesuaikan dengan

jadwal harian yang telah disusun oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan

kepada para Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pelaksanaan wawancara diadakan di perpustakaan Lembaga

Pemasyarakatan dan di kantor Bimaswat. Proses wawancara tiap subjek

didahului dengan melakukan perkenalan, rapport, penjelasan tujuan

penelitian, dan memastikan kesediaan subjek untuk menjadi partisipan

penelitian. Ketiga subjek menyambut dengan baik dan bersedia untuk

menjadi partisipan penelitian.

Proses rapport dengan subjek pertama dilaksanakan secara cepat.

Hal ini disebabkan subjek merupakan pribadi yang ramah dan terbuka,

Pelaksanaan wawancarapun dilakukan setelah rapport dilakukan.

Rapport dengan subjek kedua juga dilaksanakan tanpa kendala. Hal

ini disebabkan subjek memang dikenal di lingkungan Lembaga

Pemasyarakatan sebagai pribadi yang ramah dan murah senyum pada setiap

orang. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang selalu gembira sehingga suasana

menjadi mudah untuk dicairkan. Pelaksanaan wawancara pun segera dapat

(36)

Untuk subjek ketiga pun rapport juga dilaksanakan tanpa kendala

yang berarti. Memang jika dilihat secara fisik, perawakan subjek besar,

tegap, dan bertato. Tetapi, di balik perawakannya tersebut, ia adalah orang

yang murah senyum. Ia tidak segan untuk berbincang dengan orang yang

baru pertama kali bertemu dengannya. Pelaksanaan wawancara dapat segera

dilakukan.

Peneliti tidak membatasi durasi waktu setiap wawancara.

Wawancara berakhir setelah semua pertanyaan ditanyakan dan subjek

menceritakan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan wawancara.

Tabel 2

Pelaksanaan Wawancara

Subjek Tanggal Waktu Tempat

Et 22 Januari 2012

21 Maret 2012

11.00-12.00 WIB

10.00-11.00 WIB

Perpustakaan WBP

Kantor Bimaswat

Tgl 22 Januari 2012

21 Maret 2012

12.00-13.00 WIB

11.00-12.00 WIB

Perpustakaan WBP

Kantor Bimaswat

Ir 22 Januari 2012

21 Maret2012

13.00-13.45 WIB

12.00-13.00 WIB

Perpustakaan WBP

Kantor Bimaswat

F. KEPATUHAN TERHADAP KODE ETIK UNTUK MENJAGA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS SUBJEK PENELITIAN

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memungkinkan timbulnya

(37)

sudah mereka lupakan. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk taat

terhadap kode etik Himpunan Psikologi Indonesia (2008) yang berlaku.

Kode etik yang menjadi landasan oleh peneliti untuk menjaga kesejahteraan

psikologis subjek adalah pasal 7.2.2 tentang menghormati hak dalam

melaksanakan kegiatan di bidang riset. Sebelum melakukan penelitian,

peneliti mematuhi aturan hukum dan ketentuan yang berlaku, yakni

mengurus perizinan penelitian dari instansi terkait dari wilayah yang

menjadi lokasi penelitian (Huruf F). Peneliti juga membuat perjanjian

melalui penjelasan mengenai tanggung jawab masing-masing pihak, maksud

dan tujuan penelitian, serta proses pengumpulan data. Peneliti juga tidak

lupa membuat informed consent dan menjelaskannya secara lisan kepada

subjek penelitian. Hal tersebut menjadi pertimbangan subjek untuk

memutuskan kesediaannya untuk menjadi partisipan penelitian. (Huruf G

dan H). Peneliti juga meminta izin dari subjek penelitian untuk melakukan

proses perekaman audio selama dilaksanakannya wawancara (Huruf K).

G. METODE ANALISIS DATA

Tujuan dari analisis fenomenologis interpretatif adalah hendak

mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal

dan sosialnya (Smith, 2009). Langkah-langkah proses analisis fenomenologi

(38)

1. Mencari tema-tema pada subjek pertama

Mencari tema-tema dilakukan dengan membaca transkrip

wawancara beberapa kali. Tepi kiri tabel digunakan untuk

memberikan komentar akan hal-hal yang menarik dari transkrip

wawancara. Kemudian komentar-komentar tersebut ditransformasikan

ke dalam frasa-frasa singkat berupa tema-tema pada tepi kanan tabel

Tema-tema tersebut menunjukkan abstraksi yang lebih tinggi dan

memunculkan istilah psikologis yang lebih banyak (Smith, 2009).

2. Menghubungkan tema-tema pada subjek pertama

Setelah itu, tema-tema pada satu kasus diurutkan secara

kronologis. Tema-tema disusun berdasarkan urutan kemunculannya

dalam transkrip. Tema-tema yang telah diurutkan secara kronologis,

diurutkan lagi secara analitis atau teoritis untuk menemukan hubungan

antar tema.

3. Menghubungkan tema-tema pada subjek lainnya

Tema-tema yang telah terangkum dari subjek pertama

digunakan untuk menganalisis transkrip pada subjek-subjek

berikutnya. Pada prosesnya, akan ditemukan tema-tema yang sama

dari masing subjek dan tema-tema yang khas dari

masing-masing subjek. Untuk dapat memperlihatkan tema-tema yang sama

dan tema-tema yang berbeda dari masing-masing subjek, maka dibuat

(39)

H. VALIDITAS PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prinsip transparansi

dan koherensi (Yardley dalam Smith, 2009). Transparansi dan koherensi

mengarah pada seberapa jelas proses penelitian. Hal ini dapat dilakukan

dengan mendeskripsikan bagaimana partisipan dipilih, bagamaina mengatur

jadwal wawancara, dan menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk

analisa data.

Selain itu, penelitian ini menggunakan member checking dengan

cara mengkonfirmasi kembali transkrip wawancara kepada subjek dan

melakukan koreksi terhadap transkrip wawancara yang tidak sesuai dengan

realitas. Jika subjek telah merasa data yang dituliskan oleh peneliti dapat

menggambarkan realitasnya, maka transkrip wawancara dinyatakan

(40)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KONTEKS PENELITIAN

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang dipilih dalam penelitian

ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta. LAPAS Kelas

II A Yogyakarta berdiri sekitar tahun 1910. LAPAS tersebut berada di

bawah pengawasan Kementerian Hukum dan HAM DIY. Di LAPAS

tersebut, pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dikelola oleh

Subsie Bimaswat, dimana di dalamnya terdapat para wali WBP. LAPAS

tersebut memiliki tujuh blok sel laki-laki dan tiga blok sel perempuan.

Para wali WBP berstatus terlatih dan berpendidikan. Para wali

WBP tersebut dikirim untuk mengikuti diklat yang didiadakan oleh

Departemen Pusat maupun Kanwil serta yang diselenggarakan oleh lintas

instansi, seperti Badan Narkotika DIY, Polda DIY, dan lain-lain. Meskipun

demikian, LAPAS tersebut tidak memiliki psikolog atau konselor klinis. Hal

ini menyebabkan pelayanan jasa psikologis tidak tertangani secara

profesional. Para WBP mengatakan bahwa permasalahan psikologis yang

mereka alami seperti ketakutan, jaminan keamanan dan lain-lain mereka

kemukakan kepada para wali WBP.

LAPAS Kelas II A Yogyakarta telah merancang sejumlah program

agar hak para WBP terpenuhi. Program tersebut adalah pembinaan,

rehabilitasi, dan reintegrasi. Kegiatan pembinaan dilakukan secara bertahap.

(41)

Tahap awal dimulai dari registrasi WBP, orientasi atau pengenalan terhadap

kegiatan-kegiatan, identifikasi yang merupakan kelanjutan tahap

sebelumnya dan untuk menggali potensi WBP, dan seleksi untuk

mengelompokkan WBP. Tahap kedua yakni tahap pelaksanaan pembinaan.

Pada tahap ini, WBP telah diberi beberapa pembinaan. Bentuk pembinaan

yang disediakan ialah pembinaan agama dan budi pekerti, kesadaran

berbangsa dan bernegara, pendidikan umum, kesegaran jasmani dan

kesenian, dan latihan ketrampilan.

LAPAS Kelas II A Yogyakarta juga memberikan asimilasi,

Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat kepada

WBP dengan beberapa persyaratan khusus. Hal tersebut diberikan jika WBP

menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan

dijatuhi pidana, menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang

positif, berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan

bersemangat, dan beberapa persyaratan administratif lainnya.

B. PROFIL SUBJEK

Berikut adalah profil subjek dalam penelitian ini :

1. Subjek 1

a. Deskripsi Subjek

Subjek pertama berinisial Et. Et adalah seorang wanita

berusia 39 tahun. Perawakan dari Et cukup tinggi, berkulit sawo

(42)

adalah ibu dari tiga orang anak. Et telah bercerai dengan

suaminya dikarenakan ketidakcocokan dalam rumah tangga,

jauh sebelum dirinya berada di LAPAS. Et memiliki tutur kata

yang sopan dan lembut. Ketika bercerita, terkadang ia

menitikkan air mata karena teringat dengan anak-anak Et yang

harus ia tinggalkan. Nasehat dari anak pertama Et agar selalu

mengutamakan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari membuat

Et kuat dalam menjalani kehidupan di LAPAS.

b. Riwayat Pengalaman di Lembaga Pemasyarakatan

Et terlibat dalam kasus penggelapan mobil rental. Setelah

beberapa kali proses persidangan, Et akhirnya divonis sembilan

bulan penjara oleh pengadilan dan diwajibkan mencicil

pembayaran mobil tersebut hingga lunas.

Et baru pertama kali ini mengalami kasus yang

membuatnya harus berada di LAPAS. Perasaan takut yang

mendalam adalah hal pertama yang dialaminya karena selama

ini tidak pernah berurusan dengan pihak LAPAS. Wali WBP di

LAPAS sering berkomunikasi dengan Et dan mengenalkan Et

dengan WBP yang lainnya. Et menghabiskan waktunya berada

di LAPAS dengan berbagai macam aktivitas, seperti pengajian,

(43)

2. Subjek 2

a. Deskripsi Subjek

Subjek kedua adalah seorang wanita berinisial Tgl yang

berusia 43 tahun. Ia terlihat sebagai sosok yang murah senyum

pada semua orang. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perkataan

Tgl yang diakhiri dengan tawa. Secara fisik, perawakan Tgl

tampak cukup kurus dan pendek. Sebelum menjadi WBP

LAPAS, Tgl berprofesi sebagai pedagang soto di salah satu

pasar di Yogyakarta. Profesi tersebut sudah dilakukannya sejak

tahun 2003. Selain menjalani profesinya tersebut, Tgl masih

menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan dalam masyarakat,

seperti arisan, pengajian, dan PKK.

Tgl pernah mengandung seorang anak. Akan tetapi, pada

bulan kandungan kelima ia mengalami keguguran. Hasrat yang

tinggi untuk memiliki seorang anak membuat Tgl mengadopsi

seorang anak. Saat ini, anak tersebut berumur 10 tahun dan

tinggal bersama dengan orangtua Tgl.

Selama berada di LAPAS, Tgl mendapati kenyataan

bahwa ternyata dirinya merupakan istri ketiga dari mantan

suaminya. Kenyataan tersebut membuat Tgl merasa tertipu dan

kecewa. Ia mendapatkan pilihan, yakni permohonan Peninjauan

Kembali akan ditanggung oleh keluarga Tgl tetapi dengan syarat

(44)

memutuskan untuk mengambil pilihan untuk menceraikan

mantan suaminya.

b. Riwayat Pengalaman di Lembaga Pemasyarakatan

Tgl terlibat dalam kasus pembunuhan. Setelah melalui

beberapa kali proses persidangan, Tgl akhirnya dijatuhi vonis

delapan tahun penjara di LAPAS Yogyakarta. Pada awal berada

di dalam sel LAPAS, Tgl sempat dua kali pingsan. Tgl

membayangkan bahwa jangka waktu vonis tersebut sangat

panjang dan lama sekali. Ia juga dengan cermat memiliki catatan

hitungan berapa lama waktu yang sudah ia jalani di LAPAS dan

berapa lama lagi waktu sampai ia bebas nanti. Selain itu, ia juga

sempat menjalani puasa dengan harapan agar dirinya menjadi

tenang dan dapat menerima penderitaan yang menimpa dirinya.

Tgl menjalani hukuman di LAPAS dengan berbagai macam

aktivitas kerja, seperti membuat kerajinan dan sholat.

3. Subjek 3

a. Deskripsi Subjek

Subjek ketiga adalah seorang pria berinisial Ir. Ir berusia

39 tahun. Secara fisik, memang perawakan Ir besar, tegap, dan

bertato. Namun, di balik perawakannya tersebut, ia adalah orang

yang murah senyum pada setiap orang. Ia tidak segan untuk

(45)

dengannya. Cara berbicara Ir dan pilihan-pilihan kata dalam

menjawab pertanyaan penelitian memberi kesan bahwa Ir

merupakan seseorang yang memiliki intelektual yang tinggi.

Ir adalah bapak dari dua orang anak yang berumur dua

belas tahun dan delapan tahun. Saat ini, kedua anaknya tinggal

bersama dengan istri Ir di Magelang. Kedua anak Ir telah

mengetahui kejadian yang dialami oleh Ir karena mereka

memang sengaja diberi tahu oleh Ir sendiri. Ir merasa bahwa

kedua anaknya harus dapat menerima kenyataan bahwa Ir

menyandang predikat sebagai WBP dan berharap agar keduanya

tidak mengalami kejadian yang sama.

Sebelum menjadi warga binaan LAPAS, Ir bekerja sebagai

salah satu supervisor perusahaan swasta yang cukup terkenal di

Indonesia. Dia telah cukup lama bekerja di perusahaan tersebut.

Akan tetapi, kejadian yang dialaminya memaksa Ir untuk keluar

dari perusahaan tersebut dan tidak akan kembali lagi ke

perusahaan apabila dirinya bebas nanti. Ia merasa bahwa jika ia

kembali, maka pasti akan ada banyak pandangan negatif dari

teman-teman dalam satu perusahaan. Ia juga merasa akan

dijauhi oleh teman-temannya.

Hal yang terus diperjuangkan oleh Ir adalah bahwa hidup

merupakan suatu pilihan. Ketika di dalam sel LAPAS pun, Ir

(46)

meyakini bahwa ia akan bebas suatu hari nanti, atau hanya loyo

dan tidak bersemangat, “membusuk di dalam sel”, atau dalam

istilah yang sering digunakan orang-orang di LAPAS “kroak”. Ir

memilih untuk bersemangat dalam menjalani hari-harinya dan

tidak ingin menjadi orang yang hanya berdiam diri tidak

melakukan hal apapun.

b. Riwayat Pengalaman di Lembaga Pemasyarakatan

Ir terlibat dalam kasus pembunuhan berencana. Ir

mengajak istrinya dalam menjalankan niatnya tersebut. Ir dan

istrinya langsung ditangkap di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Mereka berdua dibawa ke Polsek. Setelah melalui proses

pengadilan, Ir dan istrinyapun dijatuhi hukuman masing-masing

dua belas dan delapan tahun penjara. Saat ini, Ir telah menjalani

kurang lebih empat tahun penjara, sedangkan istri Ir telah bebas

dikarenakan beberapa alasan yang meringankan dirinya.

Ia sempat ditahan di rutan Cirebon. Pada awal masuk sel,

ia banyak terlibat dalam perkelahian dengan tahanan lainnya.

Setelah beberapa kali mengalami perkelahian tersebut, ia

akhirnya dipindahkan di LAPAS Yogyakarta. Selain berkelahi,

(47)

Tabel 3

Biodata Subjek

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3

Inisial Et Tgl Ir

Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki

Tanggal lahir 2 Februari 1973 22 Juli 1969 23 April 1973

Usia 39 tahun 43 tahun 39 tahun

Status pernikahan Cerai Menikah Menikah

Agama Islam Islam Kristen Protestan

Pendidikan SMA SD SMA

Pekerjaan Wiraswasta Wiraswasta Karyawan Swasta

Lamanya vonis 9 bulan 8 tahun 12 tahun

C. HASIL PENELITIAN

Hasil analisis lanjutan terhadap ketiga subjek digunakan sebagai hasil

pembahasan. Hasil pembahasan dilakukan dengan mensistesiskan

tema-tema yang muncul secara berulang pada subjek dan tema-tema-tema-tema yang baru

didapatkan pada subjek lainnya. Maka, dimungkinkan terjadinya tema-tema

yang sama dan berbeda pada masing-masing subjek. Penyajian hasil

pembahasan berupa tabel tema-tema yang sama dan berbeda pada

(48)

1. Respon Terhadap Pengalaman yang Dialami Tabel 4

Respon Terhadap Pengalaman yang Dialami

Tema-tema Subjek Et Tgl Ir a. Tema-tema yang sama pada

ketiga subjek :

1. Merasakan ketidakadilan yang memunculkan pembelaan diri dan mempertanyakan figur otoritas

2. Kesedihan yang muncul dari perasaan takut dan sakit yang mendalam 3. Kesedihan yang

memunculkan rasa penyesalan yang mendalam dan

menyalahkan diri sendiri 4. Keadaan tidak berdaya

b. Tema-tema yang berbeda pada ketiga subjek :

1. Pergulatan sebagai “orang jahat”

2. Merasa hampa dengan kenyataan yang dialami

99 – 107,

Ketiga subjek memiliki respon yang sama dalam menghadapi

pengalamannya. Ketiganya merespon dengan merasakan ketidakadilan

terhadap vonis dan perlakuan yang diberikan kepada mereka. Subjek Et

merasakan ketidakadilan dalam proses peradilan, yakni ketika pihak Polsek

membuat keterangan palsu di BAP sedangkan Tgl merasakan ketidakadilan

ketika pengadilan membuat keputusan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Ir merasakan ketidakadilan yang terjadi selama dirinya berada di LAPAS,

(49)

dengan aturan yang berlaku.

“Saya kaget, merasa diperlakukan tidak adil..di prosesnya itu, kita merasa dibohongi oleh Polsek. Kita lihat faktanya itu, mobil saya yang bermasalah itu cuma satu, tapi dalam BAP yang dilaporkan ke kejaksaan itu ada dua mobil, yang satu dianggap hilang”.

(Et, 99 - 107)

“Saya merasa tidak adil. Saya dituduh melindungi suami. Padahal saya juga gak tahu melindungi yang bagaimana”.

(Tgl, 68 - 71)

“Saya merasa ketidakadilan di sini tidak sesuai aturan, masa hukuman isolasi itu kan enam hari, tapi di sini bisa lebih dari enam hari”.

(Ir, 106 - 110)

Ketidakadilan yang dialami oleh Et dan Tgl membuat mereka

melakukan pembelaan diri. Pembelaan diri ini terlihat pada usaha yang

dilakukan Et untuk menyelesaikan permasalahan di luar pengadilan.

“..pertama kali waktu ditangkap itu, kita berusaha jangan sampai masalah itu dibawa ke pengadilan..kita ngomong sama polisi, kita pernah mengajukan waktu satu minggu untuk menyelesaikan permasalahan itu..”

(Et, 80 - 83)

Tgl melakukan pembelaan diri dengan mencoba menjelaskan pada

hakim mengenai kenyataan yang sebenarnya terjadi.

“..saya waktu sidang sempat mendatangi jaksa buat ngomong bu saya ini kan tidak melakukan apa-apa, masak dituntut 20 tahun, demi Allah saya cuma melihat..”

(Tgl, 122 - 127)

Ketidakadilan yang dialami Et mau tidak mau memunculkan

pemikirannya dengan mempertanyakan figur otoritas, dalam hal ini lembaga

peradilan. Et mempertanyakan pihak kepolisian yang tidak bijaksana, tidak

(50)

mengatakan bahwa seharusnya yang ditangkap adalah para pejabat yang

melakukan tindak korupsi.

“..kalau dipikir itu, polisi itu katanya membantu masyarakat, tapi itu apa? Jadi polisinya itu kurang bijaksana. Disini itu juga banyak lurah

yang ditangkap. Harusnya yang kayak gitu yang

ditangkap..mtidakakanya kadang polisi itu kayak gitu, bukannya membantu masyarakat tapi menyengsarakan..”

(Et, 198 - 215)

Ketidakadilan yang terjadi menyebabkan perasaan takut dan sakit

yang mendalam bagi ketiga subjek. Et merasakan sakit ketika harus

meninggalkan ketiga anaknya untuk menjalani hukuman di dalam LAPAS.

“..mungkin kalau tidak ada anak, tidak akan sakit rasanya. Tapi ini ada anak yang masih sekolah-sekolah, kok rasanya jadi besar masalahnya..”

(Et, 518 - 522) Di sisi lain, lamanya masa hukuman yang harus dijalani merupakan

penyebab rasa sakit yang dialami oleh Tgl. Ia merasa diperlakukan tidak

adil karena hukumannya tersebut tidak sesuai dengan perbuatan yang telah

ia lakukan.

“..stres, rasanya sakit mas. Sakitnya itu kan karena ketidakadilannya itu lho mas, karena kesalahannya cuma kecil saya dihukum lama..”

(Tgl, 91 - 95)

Berbeda dengan kedua subjek lainnya, rasa sakit dan takut yang

dialami oleh Ir muncul dari siksaan fisik yang harus dialaminya.

“..iya, kalau rasa takut pada situasi itu gak, tapi kalau rasa takut dan sakit dipukuli petugas itu iya..”

(Ir, 186 - 189)

Kesedihan yang dirasakan oleh ketiga subjek memunculkan rasa

penyesalan yang mendalam dan menyalahkan diri sendiri. Et menyalahkan

(51)

keluarga.

“..ya saya sama anak jadi kayak malu, sudah bikin malu sama anak-anak saya. Jadi merasa bersalah juga karena telah buat kesalahan..”

(Et, 377 - 381)

Lain halnya dengan Et, Tgl merespon penderitaan yang dialami

dengan menyalahkan diri sendiri karena perbuatannya melanggar hukum.

Akibatnya, ia harus menanggung sendiri akibat dari perbuatannya tersebut.

“..di koran kan muka saya ditutupi, dia bilang kemarin aku baca, muka’e mak kok dipetengi kuwi to mak..saya sempat meneteskan air mata. Iya saya salah..”

(Tgl, 415 - 417)

Ir juga menyesal karena telah berbuat kesalahan yang membuatnya

menjalani kehidupannya di penjara. Ia merasa jera karena merasa hukuman

yang diberikan tersebut berat untuk dijalani.

“Saya menyesal di penjara. Kapok berada di penjara. Dua belas tahun itu waktu yang lama.”

(Ir, 401 – 404)

Ketiga subjek merasa dalam keadaan tidak berdaya dengan kondisi

yang dialami oleh mereka. Karena pihak kepolisian memberikan keterangan

palsu di BAP, Et kesulitan untuk memperoleh keringanan hukuman.

“..di prosesnya itu, kita merasa dibohongi oleh Polsek..jadi susah buat kita untuk dapat keringanan hukuman..”

(Et, 107 - 109)

Di sisi lain, Tgl mengatakan bahwa vonis dari pengadilan sempat

membuat dia pingsan di pengadilan. Ia membayangkan bahwa ia harus

menjalani hukuman dalam waktu yang lama. Hal ini menimbulkan perasaan

(52)

“..saya sampai pingsan dua kali di pengadilan lho mas. Ya karena vonis delapan tahun itu, rasanya panjang dan lama gitu..”

(Tgl, 75 - 77)

Dalam situasi yang berbeda dengan Et dan Tgl, Ir merasa tidak

berdaya dengan menghuni ruangan sempit sel LAPAS sebagai hukuman

atas perbuatan yang dilakukannya.

“..ya, dengan ukuran ruangan 2x3 tanpa air, tanpa alas, keluar dari kamar cuma waktu ngambil jatah makan sama mandi. Stres mas ada di ruangan itu..”

(Ir, 176 - 181)

Ketiga subjek juga memberikan respon yang berbeda terhadap

pengalaman yang dialami. Et dan Ir merespon penderitaan yang mereka

alami dengan mengalami pergulatan sebagai “orang jahat”. Dari perbuatan

penggelapan mobil yang dilakukannya, Et merasa khawatir bahwa orang

lain tidak akan bisa lagi percaya kepadanya.

“..rencana masih ingin kerja lagi, tapi kalau untuk mengelola rental kayaknya udah nggak, mungkin temen-temen udah khawatir dan sulit membuat kepercayaan lagi..”

(Et, 53 - 58)

Ir merasa bahwa jika nantinya keluar dari LAPAS dan kembali

bekerja di tempat yang sama, ia akan mendapat cibiran dari teman sekantor

dan masyarakat.

“..sebenarnya mungkin bisa saja saya kembali kerja di usaha sebelumnya, tapi pasti akan ada cibiran dari teman-teman sekantor dan masyarakat. Itu malah membuat tidak nyaman. Jadi ya saya cari yang lain saja..”

(Ir, 358 - 363)

Pada awal masuk LAPAS, Ir menjalani hari-harinya dengan melamun

(53)

disebabkan pikirannya yang kacau akibat teringat anak-anaknya yang harus

ditinggalkan.

“..saya waktu hari-hari pertama di penjara sempat melamun saja..ya saya teringat anak-anak saya yang akhirnya harus saya tinggal karena tindakan saya.”

(Ir, 65 - 73)

2. Sikap Awal Terhadap Pengalaman yang Dialami Tabel 5

Sikap Awal Terhadap Pengalaman yang Dialami

Tema-tema Subjek Et Tgl Ir a. Tema-tema yang berbeda

pada ketiga subjek :

1. Penolakan terhadap penderitaan yang membatasi diri 2. Penolakan terhadap

penderitaan yang dialihkan

b. Tema-tema yang sama pada ketiga subjek :

1. Penerimaan terhadap penderitaan

221 - 223

-

254 - 256

-

-

102 - 103

131 - 136

296 – 301

54 - 58

Sikap awal dari ketiga subjek berbeda satu dengan yang lainnya. Et

pada awalnya menolak penderitaan yang membatasi dirinya. Penolakan Et

bersumber dari ketidakadilan hukuman dengan perbuatan yang telah

dilakukannya. Menurut Et, dengan hukumannya itu, salah satu anaknya

tidak dapat melanjutkan pendidikan dan pekerjaannya menjadi terganggu.

“..untuk menerima itu ya tidak terima, masalah cuma sepele gitu..karena saya kena masalah ini kan jadi semua berantakan, anak saya jadi tidak kuliah, urusan-urusan saya juga jadi terbengkalai.”

(Et, 221 - 223)

(54)

dalam berkomunikasi dengan keluarga.

“..minggu wartel yang disediakan itu tutup. Hari-hari yang lain itu saya merasanya waktu yang disediakan untuk menelepon keluarga itu terbatas waktunya..”

(Ir, 131 - 136)

Penolakan Ir terhadap penderitaan yang dialami membuatnya merasa

ada sosok yang harus bertanggung jawab terhadap dirinya. Maka dari itu, It

memilih untuk menyalahkan Tuhan atas segala hal terjadi pada dirinya.

Pada awal-awal masuk di LAPAS, Ir justru menjauhi sosok Tuhan.

“..pada tahun-tahun pertama kita malah jauh dari sosok yang kita sembah, yang disebut Tuhan itu. Mungkin itu timbul dari rasa sakit, kecewa dengan masuknya kita disini, merasa tidak adil karena hukum manusia, jadi kan ya larinya ke sosok Tuhan itu..”

(Ir, 296 – 301)

Ketiga subjek juga memunculkan sikap yang sama yakni penerimaan

terhadap penderitaan. Pada awal masuk LAPAS, Et merasa berat untuk

menerima penderitaan yang dialaminya. Namun, ia tetap menjalani

hukuman dan akhirnya menerima penderitaan yang dialami.

“..setelah kita masuk, memang untuk menerima agak berat. Tapi ya saya jalani saja dan terima saja..”

(Et, 254 - 256)

Tgl juga menerima penderitaan yang dialaminya. Masukan dari orang

lain membuat Tgl berpikir bahwa penderitaan yang dialami harus dijalani

dengan perbuatan baik, seperti berdoa, puasa, dan beribadah.

“..alhamdulilah vonisnya delapan tahun. Saya terima..ada ibu penjaga blok yang sekarang sudah pensiun itu sering menasehati saya, katanya kamu itu harus berdoa yang rajin, puasa, sholat yang rajin, ibadahnya ditingkatkan. Biarpun kamu nangis darah kamu gak akan keluar. Saya pikir-pikir ya ada benarnya juga kata-kata dari ibu itu..”

(55)

Ir menerima penderitaan yang dialaminya dengan menganggap bahwa

setiap orang yang masuk dalam LAPAS pasti akan merasakan penderitaan.

“Saya menerima bahwa semua orang yang masuk penjara itu pasti merasakan menderita, bagi saya itu pasti merasa sakit..”

(Ir, 54 - 58)

3. Pemaknaan Hidup Melalui Nilai-Nilai Tabel 6

Proses Penemuan Makna Hidup Melalui Nilai-Nilai

Tema-tema Subjek Et Tgl Ir a. Tema-tema yang sama pada

ketiga subjek :

1. Bentuk dan Pemenuhan Nilai-Nilai Kreatif a.Menghilangkan

perasaan negatif dengan beraktivitas 2. Bentuk dan Pemenuhan

Nilai-Nilai Penghayatan 2.1. Penghayatan terhadap

Tuhan

a. Mendekatkan diri pada Tuhan

2.2. Memaknai pengalaman melalui hubungan dengan orang lain a. Mendapat perhatian

dan cinta kasih dari keluarga

b. Perhatian dan mencintai keluarga 2.3. Penyerahan diri pada

pengalaman

a. Menghilangkan rasa menderita dan merasakan ketenangan hati 3. Bentuk dan Pemenuhan

Nilai-Nilai Bersikap a. Ikhlas menghadapi

(56)

b. Tema-tema yang berbeda pada ketiga subjek :

1. Bentuk dan Pemenuhan Nilai-Nilai Kreatif a. Melakukan aktivitas

yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain dengan orang lain a. Kehadiran sesama

merubah rasa tidak berdaya

3. Bentuk dan Pemenuhan Nilai-Nilai Bersikap a. Hidup untuk keluarga

yang dicintai b. Bertanggung jawab

atas perbuatan yang dilakukan

c. Berpikir positif terhadap kenyataan yang dialami d. Kekuatan mental

Gambar

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara ..................................................
Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara
Tabel 2 Pelaksanaan Wawancara
tabel tema. Selanjutnya dilakukan penjabaran terhadap tema-tema.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Alat analisis data menggunakan Struktural Equation Model (SEM). Hasil pengujian instrumen menyimpulkan bahwa semua variabel valid dan reliabel sebagai alat pengumpul

Berdasarkan uji hemaglutinasi antara crude protein vibrio dengan eritrosit ikan kerapu tikus menunjukan hasil hemaglutinasi positif, Hal ini berarti bahwa crude

Bapak Pimpinan dan Bapak Menteri Penaidikan dan Kebudayaan Bapak-lbu sekalian Anggota Pansus yang kami honnati. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Pendirian atau

Urut Nama peserta Akademik NIP NUPTK Kelamin Tempat Lahir (Tgl/Bln/Thn) Kepagawaian Gol.. Rejang

Pada skenario yang kedua ini, dengan menambahkan rectifier di belakang antena yang dihubungkan oleh konektor SMA dan kemudian titik yang akan diukur adalah pada

Persentase pengeluaran pangan dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kesejahteraan, dimana petani dengan persentase pangan yang lebih besar dari persentase non

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu 1) kultivasi mikroalga, untuk menghasilkan biomasa dengan kandungan eksopolisakarida terbanyak; 2) pemanenan dan

Ta próba się nie udaje, a bohater powieści, krocząc po kolejnych kryptach, jest coraz bliższy własnej śmierci, która i tak toczy się w nim już od dawna: „Może Duduś