PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF
TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Dias Aditya Yudhistira
079114075
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Skripsi yang bagus adalah
skripsi yang selesai
-Anies Baswedan -
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 5 Oktober 2012
Penulis,
vi
PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF
TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA)
Dias Aditya Yudhistira
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi secara terperinci proses pemaknaan hidup dan makna pengalaman hidup tersebut bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Penelitian ini mempunyai 2 pertanyaan penelitian. Pertanyaan pertama adalah bagaimana proses pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan melalui nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. Pertanyaan kedua adalah apa makna hidup tersebut. Penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta. Pendataan dilakukan terhadap 3 subjek melalui wawancara semi terstruktur. Proses validitas yang digunakan menggunakan member checking, jika subjek telah merasa data yang dituliskan oleh peneliti dapat menggambarkan realitasnya, maka transkrip wawancara dinyatakan terpercaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderitaan dimaknai sebagai: 1) risiko dari perilaku yang dilakukan, 2) menemukan hidup sebagai “aku” yang baru, 3) meniadakan harapan-harapan yang menurutnya malah dapat menjerumuskan, 4) pembentuk karakter dalam menghadapi kehidupan selanjutnya.
vii
THE DEFINING LIFE OF PRISONERS
(INTERPRETATIVE FENOMENOLOGY STUDY OF PRISONERS IN II A CLASS JAIL YOGYAKARTA)
Dias Aditya Yudhistira
ABSTRACT
This study aimed to explore the defining life of prisoners. The two research questions are: 1) how the process meaning of life for prisoners through creativity values, appreciation values, and attitude values, 2) what the meaning of the life. The study was conducted in II A Class Jail in Yogyakarta. The data were collected from three subjects through semi-structured interviews. Validity process employed member checking, if the subject assumed that the written data from the research represent the reality, so the result of interview is correct. The results show that the experience interpreted as: 1) the risk of the action, 2) finding a new life as a new “I”, 3) ignore the bad expectation, and 4) Make a new character to face a new life.
viii
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata
Dharma
NAMA : Dias Aditya Yudhistira
NIM : 079114075
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
(STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETATIF
TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A YOGYAKARTA)
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya
memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk
menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2012
Yang menyatakan,
ix
KATA PENGANTAR
Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang
berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian penulis terhadap permasalahan sosial,
khususnya permasalahan mengenai Warga Binaan Pemasyarakatan.
Terdorong keinginan untuk melihat bagaimana fenomena permasalahan
sosial terjadi pada mereka sekaligus memberikan sumbangan ide dan menerapkan
ilmu yang telah didapatkan, maka penulis menyusun penelitian ini.
Peneliti memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada pihak-pihak
yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya. Tanpa
bantuan mereka, karya ini tidak akan pernah terwujud dan mewujudkan dirinya.
Terima kasih penulis haturkan kepada :
1. Tuhan Yesus, atas segenap talenta, anugerah, dan pencerahan dalam
ilmu pengetahuan.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan dan Bapak C. Siswa
Widyatmoko, M.Psi. selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang memberikan dukungan berupa
perizinan penelitian sehingga skripsi ini pada akhirnya dapat
diselesaikan.
3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terima
kasih atas diskusi dan masukan yang diberikan dari awal hingga
x
4. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi. dan Bapak V. Didik Suryo Hartoko,
M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas diskusi
dan nasehat yang telah bapak berikan.
5. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi. selaku Kaprodi dan Ibu Agnes Indar
Etikawati, M.Si., Psi. selaku wakaprodi, dan segenap dosen serta
karyawan yang telah bersedia membantu saya.
6. Kementerian Hukum dan HAM DIY dan Sekretariat Daerah DIY
yang sudah memberi izin untuk melakukan penelitian.
7. Bapak Riyanto, Bc. IP, SH. selaku kepala Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II A Yogyakarta atas diskusi, masukan, dan izin untuk
melakukan penelitian.
8. Ibu Kandi Tri S., SH, MH. selaku pembina para warga binaan atas
kerja sama, diskusi, dan nasehat selama melakukan penelitian, serta
mempertemukan penulis dengan para warga binaan.
9. Ibu Et, ibu Tgl, dan bapak Ir, informan dalam penelitian ini. Penulis
mengucapkan banyak terima kasih. Kiranya Tuhan memberikan
anugerah yang terbaik dalam menjalani hidup ini dan segera dapat
memulai kehidupan baru di luar Lembaga Pemasyarakatan.
10. Papenk, Putu, Arya, Reno, Oie, Adel, Lanang, Riko, Dody, Ve, Ucil,
atas kerja sama dan inspirasi di setiap diskusi kecil kita. Selamat
berjuang!
11. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Rani, Mega, Visca, Niena, atas
xi
12. Yang berharga dalam hidup saya, Mama, Papa, dan adik-adik saya,
Rosa dan Yesi. Keluarga besar yang selama ini selalu mensupport
selama mengerjakan skripsi.
13. Christella Suryo Kusumastuti, yang selalu mendampingi di saat suka
dan duka ketika mengerjakan skripsi.
14. Semua pihak yang membantu saya untuk menyelesaikan studi ini,
skripsi ini, dan menjalani kehidupan ini. Terima kasih.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak.
Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini selalu tidak sempurna jika dipikirkan
lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun tentunya akan
sangat membantu untuk kepatutan karya tulis ini. Terima Kasih.
Yogyakarta, 5 Oktober 2012 Penulis,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Warga Binaan Pemasyarakatan ... 7
B. Makna Hidup ... 9
xiii
D. Kerangka Penelitian ... 14
E. Pertanyaan Penelitian ... 15
BAB III. METODE PENELITIAN ... 16
A. Jenis Penelitian ... 16
B. Fokus Penelitian ... 16
C. Subjek Penelitian ... 17
D. Metode Pengumpulan Data ... 17
E. Proses Pengumpulan Data... 19
F. Kepatuhan Terhadap Kode Etik Untuk Menjaga Kesejahteraan Psikologis Subjek Penelitian ... 21
G. Metode Analisis Data ... 22
H. Validitas Penelitian ... 24
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 25
A. Konteks Penelitian ... 25
B. Profil Subjek ... 26
C. Hasil Penelitian ... ... 32
D. Pembahasan Penelitian ... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Keterbatasan Penelitian ... 74
C. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 77
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara ... 18
Tabel 2 Pelaksanaan Wawancara ... 21
Tabel 3 Biodata Subjek ... 32
Tabel 4 Respon Terhadap Pengalaman yang Dialami ... 33
Tabel 5 Sikap Awal Terhadap Pengalaman yang Dialami ... 38
Tabel 6 Proses Penemuan Makna Hidup Melalui Nilai-nilai ... 40
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Interview Protocol ... 80
Lampiran 2 Verbatim Wawancara Subjek I (Et) ... 81
Lampiran 3 Tabel Tema-Tema Subjek I (Et) ... 93
Lampiran 4 Verbatim Wawancara Subjek II (Tgl) ... 94
Lampiran 5 Tabel Tema-Tema Subjek II (Tgl) ... 105
Lampiran 6 Verbatim Wawancara Subjek III (Ir) ... 106
Lampiran 7 Tabel Tema-Tema Subjek III (Ir) ... 115
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem supremasi hukum,
yaitu hukum mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara (Waluyo,
2004). Seseorang yang melakukan pelanggaran hukum akan mengalami
proses peradilan (Criminal Justice Process) dalam sistem Peradilan Pidana
atau Criminal Justice System. Criminal Justice Process merupakan
tahapan-tahapan dari suatu keputusan yang membawa seorang tersangka ke dalam
proses penentuan pidana (Atmasasmita, 1998). Criminal Justice System
merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan. Dalam
konteks ini, sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem yang berfungsi
dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Tahap awal dari proses peradilan adalah penangkapan, penyidikan,
dan penyelidikan yang dilakukan Kepolisian dalam suatu Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Tahap selanjutnya ialah membawa BAP tersebut pada
pihak Kejaksaan yang melakukan penuntutan pada suatu perkara pidana.
Kemudian proses peradilan akan dilakukan di dalam Pengadilan yang
bertugas memeriksa permasalahan hukum dan menjatuhkan sanksi sesuai
tingkat permasalahannya. Proses peradilan sampai dengan penjatuhan sanksi
tersebut menurut undang-undang adalah cepat, sederhana, berbiaya ringan,
bebas, jujur, tidak memihak, dan adil. Pada saat proses peradilan tersebut,
tersangka akan ditempatkan pada suatu tempat yang dinamakan Rumah
Tahanan Negara (RUTAN). Ketika proses peradilan selesai dan berakhir
dengan penjatuhan pidana, maka tersangka akan dipindahkan dari RUTAN
ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang telah ditentukan dan status
tersangka tersebut berubah menjadi Narapidana. Narapidana adalah
terpidana yang hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU No
12 tentang Pemasyarakatan, 1995). Narapidana, yang selanjutnya disebut
sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), tersebut harus bertanggung
jawab atas perbuatan yang dilakukan dengan menjalani pidana penjara.
Suryobroto (2002) mengatakan bahwa WBP yang menunggu proses
peradilan mulai mengalami penderitaan. Penderitaan tersebut berlanjut
ketika WBP menjalani hidup di LAPAS. Sebagai WBP, individu tidak
mendapat kebebasan yang sama seperti individu lain yang di luar LAPAS.
Ruang gerak WBP telah diatur dan dibatasi menurut perundangan yang
berlaku. Kehidupan di LAPAS meliputi perampasan kebebasan pribadi dan
barang-barang material, hilangnya privasi, persaingan untuk sumber daya
yang langka, dan ketidaknyamanan yang sangat besar, stres, dan tidak dapat
terprediksi (Dharmawan, dkk, 2010).
Beberapa penelitian menyatakan penderitaan yang dialami oleh WBP.
Maull (1991) mengatakan bahwa WBP yang menjalani hidup di LAPAS
Demonization merupakan karakteristik sebagai individu yang jahat.
Maksudnya ialah WBP memberikan stigma pada dirinya sendiri sebagai
orang jahat. Depersonalisasi merupakan kondisi psikis yang ditandai dengan
perasaan tidak percaya dengan realitas yang dihadapi. Depersonalisasi
menyebabkan munculnya kecemasan selama berada di LAPAS.
Jencks dan Mayer (1990) menyatakan terdapat korelasi antara
kriminalitas dan lingkungan fisik (LAPAS) yang buruk karena menyangkut
penurunan tingkat kesehatan mental sebagai akibat dari tidak adanya
kebermaknaan hidup yang dirasakan oleh WBP. Johnson (2002)
menegaskan bahwa LAPAS merupakan tempat yang tidak manusiawi
sebagai akibat dari pengabaian terhadap WBP sehingga terjadi kegagalan
dalam menciptakan kehidupan yang bermakna.
Tartaro (2003) menyebutkan bahwa lingkungan LAPAS dengan
sistem pengawasan yang ketat dan adanya pembatasan-pembatasan
memungkinkan terjadinya kasus bunuh diri. Pengawasan ketat dan
pembatasan menimbulkan stres bagi WBP yang akhirnya sebagian
memutuskan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Di Indonesia, penyebab
bunuh diri diantaranya kuatnya tekanan sosial di keluarga, keluarga korban,
WBP lain, sipir, dan pemberitaan media massa. Hal-hal tersebut
menimbulkan rasa malu yang dirasakan WBP. Bunuh diri juga dilakukan
untuk menghilangkan penderitaan yang semakin diperparah oleh kondisi
Sulhin (2009) mengatakan bahwa penderitaan WBP merupakan akibat
dari metode pendidikan dan keterampilan yang tidak terstruktur. Metode
pelatihan pendidikan dan keterampilan disusun agar setelah keluar dari
LAPAS WBP dapat mengintegrasikan pelatihan yang telah didapatnya pada
masyarakat. Akan tetapi, kondisi yang terjadi adalah metode-metode
pelatihan tersebut tidak diaplikasikan di kenyataan. Kondisi demikian
menyebabkan WBP menganggur dan merasa tidak menemukan aktivitas
untuk mengisi hari-harinya di dalam LAPAS.
Masyarakat juga memiliki andil secara tidak langsung dari adanya
mantan WBP yang kembali masuk LAPAS atau yang lebih dikenal sebagai
residivis. Masyarakat masih cenderung memberikan stigma negatif bagi
mantan WBP yang pada akhirnya menciptakan stressfull. Keadaan tersebut
membuat mantan WBP terasing dari kehidupan sosialnya dan membuatnya
kembali lagi pada komunitasnya sehingga cenderung mengulangi
pelanggaran hukum lagi.
Penderitaan yang dialami para WBP menunjukkan perasaan cemas,
menurunnya kesehatan mental, stres, malu, hampa, dan merasa
terpinggirkan. Individu tersebut disebut Frankl sebagai individu yang
menghayati hidup tidak bermakna/meaningless (Frankl, 1963). Hal tersebut
dikarenakan individu tidak berhasil memenuhi keinginan untuk hidup
bermakna.
Frankl (1963) mengatakan bahwa perjuangan individu untuk hidup
tersebut. Motivasi ini mendorong individu untuk menemukan makna hidup
dari penderitaan yang ia alami. Hal tersebut tidak terkecuali WBP. Frankl,
yang memiliki pengalaman hidup dalam kamp konsentrasi NAZI, percaya
bahwa dalam kondisi yang paling buruk sekalipun, seperti halnya di dalam
LAPAS yang penuh tekanan dan penderitaan, seseorang tetap bisa
menemukan makna hidupnya.
Frankl melihat bahwa terdapat individu yang masih memiliki
harapan bahwa dirinya dapat keluar dari kamp konsentrasi, meski harapan
tersebut sangat kecil. Frankl melihat bahwa harapan dan kebahagiaan itu
tidak dikejar olehnya, namun harus terjadi. Hal tersebut merupakan efek
samping dari dedikasi individu pada suatu hal yang lebih bermakna dan
penyerahan diri individu bagi orang lain di luar dirinya sendiri. Individu
yang demikian mampu mengubah kondisi penghayatan dirinya dari
penghayatan tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna
(meaningfull).
Bastaman (2007) mengatakan bahwa makna hidup dapat
ditemukan dalam tiga bidang kegiatan yang mengandung nilai-nilai. Ketiga
nilai tersebut ialah nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai
bersikap. Berkaitan dengan hal tersebut, dimungkinkan pula WBP yang
mengalami tekanan dan penderitaan akan menemukan kembali makna hidup
yang menurut mereka sudah tidak ada lagi.
Peneliti melakukan penelitian pada WBP dengan alasan
tidak berjalan sempurna, kekerasan, stres, kondisi lingkungan LAPAS yang
tidak mendukung, stigma dari masyarakat, dan masalah psikologis lainnya.
Selain itu, penelitian ini untuk mengeksplisitkan proses pemaknaan hidup
WBP dan makna pengalamanan hidup tersebut bagi WBP.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana
pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan dan apa makna hidup bagi
Warga Binaan Pemasyarakatan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengeksplisitkan secara terperinci pemaknaan hidup dan
makna pengalaman hidup tersebut bagi Warga Binaan Pemasyarakatan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini mengeksplisitkan proses pemaknaan hidup dan
penemuan makna hidup Warga Binaan Pemasyarakatan sehingga
diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini membantu pihak psikolog maupun konselor di dalam
Lembaga Pemasyarakatan untuk menentukan bantuan yang tepat
terkait proses pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan.
b. Bagi keluarga dari Warga Binaan Pemasyarakatan, penelitian ini
membantu untuk menentukan bantuan dan pendekatan yang sesuai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A . WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
Berdasarkan UU Nomor 12 tentang Pemasyarakatan (1995),
pengertian Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Sebelum ditetapkan
sebagai seorang narapidana, atau yang selanjutnya disebut sebagai Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP), seseorang akan melewati beberapa tahapan
dalam proses peradilan. Tahap awal dari proses peradilan adalah
penangkapan, penyidikan, dan penyelidikan yang dilakukan Kepolisian
dalam suatu Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kemudian, BAP tersebut
diserahkan pada pihak Kejaksaan di Pengadilan Negeri yang melakukan
pemeriksaan, penuntutan suatu perkara pidana, dan menjatuhkan sanksi
sesuai tingkat permasalahannya. Apabila individu akan melakukan
melakukan banding, maka individu tersebut dapat melakukannya di tingkat
Pengadilan Tinggi. Individu dapat melanjutkan bandingnya pada tingkat
Mahkamah Agung untuk mengajukan Kasasi.
Proses peradilan sampai dengan penjatuhan sanksi bagi tersangka
adalah cepat, sederhana, berbiaya ringan, bebas, jujur, tidak memihak, dan
adil. Ketika proses peradilan selesai dan berakhir dengan penjatuhan pidana,
status tersangka akan berubah menjadi WBP dan akan menghuni LAPAS.
LAPAS adalah tempat dimana orang secara fisik dibatasi ruang geraknya
dan kehilangan berbagai kebebasan pribadi (Pujileksono, 2009).
Menurut UU Nomor 12 tentang Pemasyarakatan (1995), WBP
memiliki hak-hak yang melindungi dirinya ketika menjalani kehidupan di
LAPAS. Hak-hak tersebut antara lain hak melakukan ibadah, hak
mendapatkan perawatan jasmani dan rohani, hak mendapatkan pendidikan
dan pengajaran, hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang
layak, hak menyampaikan keluhan, hak mendapatkan bahan bacaan dan
siaran media massa, hak mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan,
hak menerima kunjungan keluarga, hak mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi), hak mendapat kesempatan melakukan asimilasi, hak
mendapat pembebasan bersyarat, dan hak mendapat cuti menjelang bebas.
Di sisi lain, tujuan adanya Sistem Pemasyarakatan bagi WBP adalah
menyadarkan WBP agar menyesali perbuatannya, mengembalikannya
menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung
tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan
masyarakat yang aman, tertib, dan damai, serta melindungi masyarakat
terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan (UU Nomor 12 tentang Pemasyarakatan, 1995).
B. MAKNA HIDUP
Frankl (1963) mengatakan bahwa setiap orang selalu mendambakan
merupakan ganjaran dari usaha individu untuk menemukan makna
hidupnya. Makna hidup sendiri adalah hal-hal khusus yang dirasakan
penting dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta layak dijadikan
sebagai tujuan hidup yang harus diraih (Bastaman, 2007). Hal ini ditemukan
dengan menyadari dan menemukan alasan apa yang individu lakukan pada
situasi tertentu, sekalipun situasi tersebut sulit. Makna hidup bisa berbeda
antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Oleh karena itu,
yang terpenting bukan makna hidup secara umum, namun makna khusus
dari hidup seseorang pada suatu situasi tertentu. Makna hidup juga tidak
bersifat abstrak. Setiap individu memiliki tugas untuk menyelesaikan suatu
misi atau tugas khusus. Individu tersebut harus dapat menyikapi dan
bertanggung jawab atas tugas yang diberikan padanya.
Individu dapat gagal dalam menemukan makna hidup dari situasi sulit
yang dialaminya atau merasa hidupnya tidak bermakna (meaningless). Hal
ini antara lain disebabkan kurangnya kesadaran bahwa kehidupan dan
pengalaman mengandung makna hidup potensial yang dapat ditemukan dan
kemudian dikembangkan (Bastaman, 1996). Ada individu yang tidak dapat
melihat adanya makna hidup dalam keadaan mereka yang buruk sekalipun
padahal makna hidup akan selalu ada. Ketidakberhasilan menghayati makna
hidup dapat menimbulkan frustasi eksistensial dan neuroses noogenik
(Frankl dalam Koeswara, 1992). Frustasi eksistensial adalah suatu fenomena
umum yang berkaitan dengan kegagalan individu untuk memenuhi
hilangnya minat dan inisiatif untuk melakukan suatu hal, munculnya
perasaan hampa terhadap hidupnya, merasa tidak memiliki tujuan hidup,
bosan, dan apatis. Neurosis noogenik adalah manifestasi dari frustasi
eksistensial yang bisa disebut neurosis, yang ditandai dengan simptom
tertentu, seperti depresi, alkoholisme, hiperseksualitas, dan tindakan
kejahatan.
Berbeda dengan individu yang tidak menemukan makna, individu
yang menghayati makna hidup menunjukkan corak kehidupan penuh
semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani
kehidupan sehari-hari (meaningfull) walaupun dalam situasi yang tidak
menyenangkan atau dalam penderitaan (Schultz, 1991).
C. PEMAKNAAN HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
Berbagai kondisi psikologis yang dialami oleh WBP dapat mengarah
pada kondisi penghayatan pengalaman tanpa makna. Mereka adalah tipikal
individu yang mudah dihinggapi oleh perasaan tidak percaya terhadap
realitas, stres akibat rasa malu dan rasa bersalah yang amat mendalam,
perasaan hampa terhadap hidupnya, berada dalam tekanan, dan merasa tidak
memiliki tujuan hidup.
Penghayatan hidup tanpa makna memunculkan respon yang
berbeda-beda pada tiap individu. Respon yang biasa muncul ialah individu tersebut
resisten terhadap kenyataan yang ia hadapi dan berusaha mempertahankan
berupa rasa tidak berdaya, rasa sakit yang mendalam, menyalahkan diri
sendiri, dan rasa menyesal, serta rasa hampa. Tahap ini dinamakan sebagai
tahap derita (Bastaman, 1996).
Bastaman (1996) mengatakan bahwa respon dari pengalaman khusus
yang dihadapi individu memunculkan sikap awal terhadap pengalaman
khusus tersebut. LaPiere (dalam Azwar, 1995) mendefinisikan sikap sebagai
suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan untuk menyesuaikan diri dalam
situasi sosial sedangkan Allport (dalam Sears, Freedman, & Peplau, 1985)
mengemukakan bahwa sikap adalah keadaan mental melalui pengalaman
yang memberikan pengaruh terhadap respon individu pada semua objek dan
situasi yang berkaitan dengannya.
Makna hidup ditemukan ketika individu dapat melalui tahap
penerimaan diri (Bastaman, 1996), yakni individu tersebut mampu
menyikapi penderitaan dengan menerima segala bentuk penderitaan yang ia
alami. Sikap yang ditunjukkan oleh individu ini didorong oleh beragam
sebab, misalnya dari perenungan diri, konsultasi dengan para ahli,
mendapat pandangan dari seseorang, maupun dari hasil do’a dan ibadah.
Perjuangan individu untuk menemukan makna dalam setiap situasi
hidup merupakan motivasi utama individu tersebut (Frankl, 1963). Motivasi
ini mendorong seseorang untuk menemukan makna hidup dari penderitaan
yang ia alami. Begitu pula dengan WBP. Pengalaman terpisah dari
orang-orang yang dicintai, kerinduan pada orang-orang tua, istri, dan anak-anak membuat
pernah dilakukan (Dharmawan, dkk, 2010). Penemuan makna hidup
tersebut akan menimbulkan perasaan bahagia bagi mereka.
Setiap individu dapat menemukan makna hidupnya dengan cara-cara
yang berbeda. Bandyopadhyay (2007) mengatakan bahwa WBP dapat
merancang cara-cara berbeda untuk dapat melalui hari-hari mereka di dalam
LAPAS sedangkan Bastaman (2007) mengatakan bahwa makna hidup dapat
ditemukan dalam tiga bidang kegiatan yang mengandung nilai-nilai yang
memungkinkan individu menemukan makna hidup di dalamnya apabila
nilai-nilai tersebut dipenuhi. Nilai-nilai tersebut yaitu nilai-nilai kreatif,
nilai penghayatan, dan nilai bersikap. Wujud konkrit dari
nilai-nilai kreatif adalah pelaksanaan aktivitas kerja. Setiap pekerjaan bisa
mengantarkan individu pada penemuan makna asalkan pekerjaan itu
merupakan usaha memberikan sesuatu kepada hidup, baik itu kehidupan
sendiri maupun orang lain, yang didekati secara kreatif dan dijalankan
sebagai komitmen pribadi dan penuh tanggung jawab (Bastaman, 2007).
Melalui aktivitas kerja, individu dapat merasakan kebahagiaan.
Nilai-nilai penghayatan tampak dalam realisasi nilai-nilai yang berasal
dari agama atau hubungan dengan Tuhan maupun muncul dari cinta kasih
dari dan kepada sesama makhluk hidup. Cinta kasih dapat menjadikan
individu menghayati perasaan bermakna dalam hidupnya. Hal itu dapat
terjadi karena dari pengalaman memberi dan menerima cinta kasih, individu
akan merasa hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang
sebagai hal yang membutakan namun menjadikan individu mampu melihat
nilai-nilai yang berguna bagi dirinya maupun sesama.
Menghayati nilai-nilai bersikap berarti dapat menerima dengan penuh
ketabahan dan kesabaran menghadapi segala bentuk penderitaan yang tidak
mungkin dielakkan lagi (Bastaman, 2007). Hal yang penting adalah sikap
yang tepat yang diambil oleh setiap individu dalam menghadapi keadaan
tertentu. Sikap menerima pengalaman dengan penuh ikhlas dan sabar dapat
mengubah individu yang tidak bermakna menjadi individu yang mampu
melihat makna dan hikmah dari setiap pengalaman tersebut.
D. KERANGKA PENELITIAN
Proses pemaknaan hidup mulai muncul ketika individu mengalami
situasi tertentu dalam hidupnya. Seringkali makna hidup justru muncul dari
situasi yang menimbulkan penderitaan bagi individu tersebut. Situasi yang
dimaksud adalah ketika individu menjalani kehidupan di LAPAS.
Situasi penderitaan terjadi ketika individu menunggu proses peradilan
bagi dirinya, jatuhnya vonis, hingga menjalani kehidupan di LAPAS
(Suryobroto, 2002). Pada tahap ini, individu mulai merespon pengalaman
yang dialaminya sebagai penghayatan hidup tanpa makna. Respon ini akan
dilanjutkan dengan sikap awal yang muncul dari individu sebagai bentuk
kesiapan individu menghadapi situasi sulit yang dialaminya.
Perjuangan individu untuk menemukan makna dalam setiap situasi
tersebut mendorong WBP untuk menemukan makna hidupnya. Makna
hidup dapat ditemukan dalam tiga bidang kegiatan yang mengandung
nilai-nilai yang memungkinkan individu menemukan makna hidup di dalamnya
apabila nilai-nilai tersebut dipenuhi. Nilai-nilai tersebut yaitu nilai-nilai
kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. Dengan demikian,
pengalaman hidup yang dialami oleh setiap individu dapat dimaknai.
E. PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan kerangka penelitian, peneliti menyusun pertanyaan
penelitian. Pertanyaan penelitian tersusun atas dua macam.
1. Central Question : Bagaimana pemaknaan hidup Warga Binaan
Pemasyarakatan dan apa makna hidup bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan?
2. Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan
penelitian utama. Subquestion pada penelitian ini adalah :
a. Bagaimana respon Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap
pengalaman yang dialaminya?
b. Bagaimana sikap awal Warga Binaan Pemasyarakatan dari
pengalaman yang dialaminya?
c. Bagaimana pemaknaan hidup Warga Binaan Pemasyarakatan
melalui nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai
bersikap?
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
analisis fenomenologis interpretatif untuk melakukan analisa. Terdapat dua
langkah yang digunakan dalam metode ini. Langkah pertama adalah subjek
berusaha mengeksplorasi pengalaman personalnya. Langkah kedua adalah
peneliti mengartikan kegiatan subjek yang berusaha mengeksplorasi
pengalaman personalnya itu (Smith, 2009). Dengan menggunakan metode ini,
peneliti mengharap proses pemaknaan hidup dari sebuah pengalaman dapat
dieksplisitkan secara lebih terperinci dan dapat menemukan makna hidup dari
pengalaman tersebut.
B. FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah berfokus
pada proses pemaknaan hidup melalui nilai-nilai yang merupakan sumber
makna hidup, yakni nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai
bersikap. Kedua adalah berfokus pada penemuan makna hidup dalam suatu
pengalaman kehidupan, yakni ketika berada di Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS).
C. SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini berjumlah tiga orang. Ketiga subjek
dipilih dengan menggunakan Criterion Sampling, yaitu cara penentuan
subjek berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti. Subjek dalam penelitian ini
adalah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menjalani hukuman di
LAPAS. Hal yang penting adalah subjek mengalami sendiri pengalaman
atas fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 2007).
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah
wawancara semi terstruktur dengan jenis panduan pertanyaan yang bersifat
terbuka. Metode ini memungkinkan adanya fleksibilitas yang lebih tinggi
dalam cakupan wilayah wawancara dan wawancara masuk ke
wilayah-wilayah yang benar-benar baru sehingga akan menghasilkan data yang lebih
kaya (Smith, 2009). Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun
Tabel 1
Panduan Pertanyaan Wawancara
No Panduan Pertanyaan Wawancara
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Bisakah anda menceritakan riwayat tindakan kriminal yang telah anda lakukan sehingga anda menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan? Bisakah anda menceritakan cara anda menghadapi hari ke hari hidup di Lembaga Pemasyarakatan?
Bisakah anda menceritakan aktivitas anda selama berada di Lembaga Pemasyarakatan?
(Apa yang anda dapatkan dari aktivitas anda? Apa motivasi anda bekerja? Apa anda mencintai pekerjaan yang anda lakukan?)
Bisakah anda menceritakan perbedaan aktivitas kerja anda sebelum & sesudah berada di Lembaga Pemasyarakatan?
(Apakah ada perubahan? Apakah ada konflik yang terjadi?)
Bisakah anda menceritakan apa yang anda pikirkan dan rasakan ketika anda ditangkap, diproses, divonis, dan menjalani hidup di Lembaga Pemasyarakatan saat ini?
Bisakah anda menceritakan hubungan anda dengan orang lain (pasangan, keluarga, teman, teman sesama napi) selama anda berada di Lembaga Pemasyarakatan?
(Bagaimana sikap dari orang lain terhadap anda? Bagaimana anda memandang orang lain saat ini? Bagaimana tanggapan anda mengenai pandangan orang lain terhadap anda?)
Bisakah anda menceritakan hubungan anda dengan Tuhan selama anda berada di Lembaga Pemasyarakatan?
(Apa yang anda dapatkan dari hubungan anda dengan Tuhan?)
Bisakah anda menceritakan sikap anda terhadap penderitaan yang anda alami dan rasakan ketika anda ditangkap, diproses , divonis, dan menjalani hidup di Lembaga Pemasyarakatan saat ini?
(Bagaimana sikap anda dalam memandang hidup anda saat ini?)
Bisakah anda menceritakan hikmah yang anda dapatkan dari pengalaman hidup di Lembaga Pemasyarakatan saat ini?
Bisakah anda menceritakan harapan anda setelah bebas nanti?
Tahapan dalam proses wawancara :
1. Mencari subjek untuk menjadi partisipan penelitian.
2. Membuat jadwal wawancara sesuai kesepakatan subjek dan peneliti
3. Melakukan perkenalan, rapport, menjelaskan tujuan penelitian, dan
memastikan kesediaan subjek untuk menjadi partisipan penelitian.
4. Melakukan wawancara.
Proses pengambilan data dilakukan beberapa kali. Maksudnya
adalah peneliti melakukan pengambilan data di lapangan kemudian
menganalisis datanya dan kembali ke lapangan untuk mengambil atau
menambahkan data lanjutan untuk kemudian dianalisis kembali. Proses
tersebut dilakukan hingga ditemukan data yang mampu menggambarkan
pengalaman subjek secara utuh (Creswell, 2007). Data wawancara direkam
dengan menggunakan digital recorder dan disalin dalam transkrip
wawancara.
E. PROSES PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini diawali dengan mencari subjek penelitian, yakni
Warga Binaan Pemasyarakatan. Peneliti menggunakan subjek di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta. Peneliti melakukan prosedur
perizinan penelitian kepada pihak-pihak yang berwenang sebagai langkah
awal. Setelah izin telah diperoleh, peneliti mulai melaksanakan penelitian.
Untuk mendapatkan subjek penelitian, peneliti melakukan konsultasi
adalah Warga Binaan Pemasyarakatan dengan kondisi emosional yang baik
dan dapat berkomunikasi dengan baik ketika menceritakan pengalamannya.
Setelah berkonsultasi dengan Subsie Bimaswat pula akhirnya diputuskan
subjek penelitian ini berjumlah tiga orang. Keterbatasan waktu penelitian
menjadi bahan pertimbangan penentuan jumlah subjek. Kemudian, peneliti
dan Subsie Bimaswat membuat jadwal wawancara yang disesuaikan dengan
jadwal harian yang telah disusun oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan
kepada para Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pelaksanaan wawancara diadakan di perpustakaan Lembaga
Pemasyarakatan dan di kantor Bimaswat. Proses wawancara tiap subjek
didahului dengan melakukan perkenalan, rapport, penjelasan tujuan
penelitian, dan memastikan kesediaan subjek untuk menjadi partisipan
penelitian. Ketiga subjek menyambut dengan baik dan bersedia untuk
menjadi partisipan penelitian.
Proses rapport dengan subjek pertama dilaksanakan secara cepat.
Hal ini disebabkan subjek merupakan pribadi yang ramah dan terbuka,
Pelaksanaan wawancarapun dilakukan setelah rapport dilakukan.
Rapport dengan subjek kedua juga dilaksanakan tanpa kendala. Hal
ini disebabkan subjek memang dikenal di lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai pribadi yang ramah dan murah senyum pada setiap
orang. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang selalu gembira sehingga suasana
menjadi mudah untuk dicairkan. Pelaksanaan wawancara pun segera dapat
Untuk subjek ketiga pun rapport juga dilaksanakan tanpa kendala
yang berarti. Memang jika dilihat secara fisik, perawakan subjek besar,
tegap, dan bertato. Tetapi, di balik perawakannya tersebut, ia adalah orang
yang murah senyum. Ia tidak segan untuk berbincang dengan orang yang
baru pertama kali bertemu dengannya. Pelaksanaan wawancara dapat segera
dilakukan.
Peneliti tidak membatasi durasi waktu setiap wawancara.
Wawancara berakhir setelah semua pertanyaan ditanyakan dan subjek
menceritakan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan wawancara.
Tabel 2
Pelaksanaan Wawancara
Subjek Tanggal Waktu Tempat
Et 22 Januari 2012
21 Maret 2012
11.00-12.00 WIB
10.00-11.00 WIB
Perpustakaan WBP
Kantor Bimaswat
Tgl 22 Januari 2012
21 Maret 2012
12.00-13.00 WIB
11.00-12.00 WIB
Perpustakaan WBP
Kantor Bimaswat
Ir 22 Januari 2012
21 Maret2012
13.00-13.45 WIB
12.00-13.00 WIB
Perpustakaan WBP
Kantor Bimaswat
F. KEPATUHAN TERHADAP KODE ETIK UNTUK MENJAGA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS SUBJEK PENELITIAN
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memungkinkan timbulnya
sudah mereka lupakan. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk taat
terhadap kode etik Himpunan Psikologi Indonesia (2008) yang berlaku.
Kode etik yang menjadi landasan oleh peneliti untuk menjaga kesejahteraan
psikologis subjek adalah pasal 7.2.2 tentang menghormati hak dalam
melaksanakan kegiatan di bidang riset. Sebelum melakukan penelitian,
peneliti mematuhi aturan hukum dan ketentuan yang berlaku, yakni
mengurus perizinan penelitian dari instansi terkait dari wilayah yang
menjadi lokasi penelitian (Huruf F). Peneliti juga membuat perjanjian
melalui penjelasan mengenai tanggung jawab masing-masing pihak, maksud
dan tujuan penelitian, serta proses pengumpulan data. Peneliti juga tidak
lupa membuat informed consent dan menjelaskannya secara lisan kepada
subjek penelitian. Hal tersebut menjadi pertimbangan subjek untuk
memutuskan kesediaannya untuk menjadi partisipan penelitian. (Huruf G
dan H). Peneliti juga meminta izin dari subjek penelitian untuk melakukan
proses perekaman audio selama dilaksanakannya wawancara (Huruf K).
G. METODE ANALISIS DATA
Tujuan dari analisis fenomenologis interpretatif adalah hendak
mengungkap secara detail bagaimana partisipan memaknai dunia personal
dan sosialnya (Smith, 2009). Langkah-langkah proses analisis fenomenologi
1. Mencari tema-tema pada subjek pertama
Mencari tema-tema dilakukan dengan membaca transkrip
wawancara beberapa kali. Tepi kiri tabel digunakan untuk
memberikan komentar akan hal-hal yang menarik dari transkrip
wawancara. Kemudian komentar-komentar tersebut ditransformasikan
ke dalam frasa-frasa singkat berupa tema-tema pada tepi kanan tabel
Tema-tema tersebut menunjukkan abstraksi yang lebih tinggi dan
memunculkan istilah psikologis yang lebih banyak (Smith, 2009).
2. Menghubungkan tema-tema pada subjek pertama
Setelah itu, tema-tema pada satu kasus diurutkan secara
kronologis. Tema-tema disusun berdasarkan urutan kemunculannya
dalam transkrip. Tema-tema yang telah diurutkan secara kronologis,
diurutkan lagi secara analitis atau teoritis untuk menemukan hubungan
antar tema.
3. Menghubungkan tema-tema pada subjek lainnya
Tema-tema yang telah terangkum dari subjek pertama
digunakan untuk menganalisis transkrip pada subjek-subjek
berikutnya. Pada prosesnya, akan ditemukan tema-tema yang sama
dari masing subjek dan tema-tema yang khas dari
masing-masing subjek. Untuk dapat memperlihatkan tema-tema yang sama
dan tema-tema yang berbeda dari masing-masing subjek, maka dibuat
H. VALIDITAS PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prinsip transparansi
dan koherensi (Yardley dalam Smith, 2009). Transparansi dan koherensi
mengarah pada seberapa jelas proses penelitian. Hal ini dapat dilakukan
dengan mendeskripsikan bagaimana partisipan dipilih, bagamaina mengatur
jadwal wawancara, dan menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk
analisa data.
Selain itu, penelitian ini menggunakan member checking dengan
cara mengkonfirmasi kembali transkrip wawancara kepada subjek dan
melakukan koreksi terhadap transkrip wawancara yang tidak sesuai dengan
realitas. Jika subjek telah merasa data yang dituliskan oleh peneliti dapat
menggambarkan realitasnya, maka transkrip wawancara dinyatakan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KONTEKS PENELITIAN
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang dipilih dalam penelitian
ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta. LAPAS Kelas
II A Yogyakarta berdiri sekitar tahun 1910. LAPAS tersebut berada di
bawah pengawasan Kementerian Hukum dan HAM DIY. Di LAPAS
tersebut, pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dikelola oleh
Subsie Bimaswat, dimana di dalamnya terdapat para wali WBP. LAPAS
tersebut memiliki tujuh blok sel laki-laki dan tiga blok sel perempuan.
Para wali WBP berstatus terlatih dan berpendidikan. Para wali
WBP tersebut dikirim untuk mengikuti diklat yang didiadakan oleh
Departemen Pusat maupun Kanwil serta yang diselenggarakan oleh lintas
instansi, seperti Badan Narkotika DIY, Polda DIY, dan lain-lain. Meskipun
demikian, LAPAS tersebut tidak memiliki psikolog atau konselor klinis. Hal
ini menyebabkan pelayanan jasa psikologis tidak tertangani secara
profesional. Para WBP mengatakan bahwa permasalahan psikologis yang
mereka alami seperti ketakutan, jaminan keamanan dan lain-lain mereka
kemukakan kepada para wali WBP.
LAPAS Kelas II A Yogyakarta telah merancang sejumlah program
agar hak para WBP terpenuhi. Program tersebut adalah pembinaan,
rehabilitasi, dan reintegrasi. Kegiatan pembinaan dilakukan secara bertahap.
Tahap awal dimulai dari registrasi WBP, orientasi atau pengenalan terhadap
kegiatan-kegiatan, identifikasi yang merupakan kelanjutan tahap
sebelumnya dan untuk menggali potensi WBP, dan seleksi untuk
mengelompokkan WBP. Tahap kedua yakni tahap pelaksanaan pembinaan.
Pada tahap ini, WBP telah diberi beberapa pembinaan. Bentuk pembinaan
yang disediakan ialah pembinaan agama dan budi pekerti, kesadaran
berbangsa dan bernegara, pendidikan umum, kesegaran jasmani dan
kesenian, dan latihan ketrampilan.
LAPAS Kelas II A Yogyakarta juga memberikan asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat kepada
WBP dengan beberapa persyaratan khusus. Hal tersebut diberikan jika WBP
menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan
dijatuhi pidana, menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang
positif, berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan
bersemangat, dan beberapa persyaratan administratif lainnya.
B. PROFIL SUBJEK
Berikut adalah profil subjek dalam penelitian ini :
1. Subjek 1
a. Deskripsi Subjek
Subjek pertama berinisial Et. Et adalah seorang wanita
berusia 39 tahun. Perawakan dari Et cukup tinggi, berkulit sawo
adalah ibu dari tiga orang anak. Et telah bercerai dengan
suaminya dikarenakan ketidakcocokan dalam rumah tangga,
jauh sebelum dirinya berada di LAPAS. Et memiliki tutur kata
yang sopan dan lembut. Ketika bercerita, terkadang ia
menitikkan air mata karena teringat dengan anak-anak Et yang
harus ia tinggalkan. Nasehat dari anak pertama Et agar selalu
mengutamakan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari membuat
Et kuat dalam menjalani kehidupan di LAPAS.
b. Riwayat Pengalaman di Lembaga Pemasyarakatan
Et terlibat dalam kasus penggelapan mobil rental. Setelah
beberapa kali proses persidangan, Et akhirnya divonis sembilan
bulan penjara oleh pengadilan dan diwajibkan mencicil
pembayaran mobil tersebut hingga lunas.
Et baru pertama kali ini mengalami kasus yang
membuatnya harus berada di LAPAS. Perasaan takut yang
mendalam adalah hal pertama yang dialaminya karena selama
ini tidak pernah berurusan dengan pihak LAPAS. Wali WBP di
LAPAS sering berkomunikasi dengan Et dan mengenalkan Et
dengan WBP yang lainnya. Et menghabiskan waktunya berada
di LAPAS dengan berbagai macam aktivitas, seperti pengajian,
2. Subjek 2
a. Deskripsi Subjek
Subjek kedua adalah seorang wanita berinisial Tgl yang
berusia 43 tahun. Ia terlihat sebagai sosok yang murah senyum
pada semua orang. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perkataan
Tgl yang diakhiri dengan tawa. Secara fisik, perawakan Tgl
tampak cukup kurus dan pendek. Sebelum menjadi WBP
LAPAS, Tgl berprofesi sebagai pedagang soto di salah satu
pasar di Yogyakarta. Profesi tersebut sudah dilakukannya sejak
tahun 2003. Selain menjalani profesinya tersebut, Tgl masih
menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan dalam masyarakat,
seperti arisan, pengajian, dan PKK.
Tgl pernah mengandung seorang anak. Akan tetapi, pada
bulan kandungan kelima ia mengalami keguguran. Hasrat yang
tinggi untuk memiliki seorang anak membuat Tgl mengadopsi
seorang anak. Saat ini, anak tersebut berumur 10 tahun dan
tinggal bersama dengan orangtua Tgl.
Selama berada di LAPAS, Tgl mendapati kenyataan
bahwa ternyata dirinya merupakan istri ketiga dari mantan
suaminya. Kenyataan tersebut membuat Tgl merasa tertipu dan
kecewa. Ia mendapatkan pilihan, yakni permohonan Peninjauan
Kembali akan ditanggung oleh keluarga Tgl tetapi dengan syarat
memutuskan untuk mengambil pilihan untuk menceraikan
mantan suaminya.
b. Riwayat Pengalaman di Lembaga Pemasyarakatan
Tgl terlibat dalam kasus pembunuhan. Setelah melalui
beberapa kali proses persidangan, Tgl akhirnya dijatuhi vonis
delapan tahun penjara di LAPAS Yogyakarta. Pada awal berada
di dalam sel LAPAS, Tgl sempat dua kali pingsan. Tgl
membayangkan bahwa jangka waktu vonis tersebut sangat
panjang dan lama sekali. Ia juga dengan cermat memiliki catatan
hitungan berapa lama waktu yang sudah ia jalani di LAPAS dan
berapa lama lagi waktu sampai ia bebas nanti. Selain itu, ia juga
sempat menjalani puasa dengan harapan agar dirinya menjadi
tenang dan dapat menerima penderitaan yang menimpa dirinya.
Tgl menjalani hukuman di LAPAS dengan berbagai macam
aktivitas kerja, seperti membuat kerajinan dan sholat.
3. Subjek 3
a. Deskripsi Subjek
Subjek ketiga adalah seorang pria berinisial Ir. Ir berusia
39 tahun. Secara fisik, memang perawakan Ir besar, tegap, dan
bertato. Namun, di balik perawakannya tersebut, ia adalah orang
yang murah senyum pada setiap orang. Ia tidak segan untuk
dengannya. Cara berbicara Ir dan pilihan-pilihan kata dalam
menjawab pertanyaan penelitian memberi kesan bahwa Ir
merupakan seseorang yang memiliki intelektual yang tinggi.
Ir adalah bapak dari dua orang anak yang berumur dua
belas tahun dan delapan tahun. Saat ini, kedua anaknya tinggal
bersama dengan istri Ir di Magelang. Kedua anak Ir telah
mengetahui kejadian yang dialami oleh Ir karena mereka
memang sengaja diberi tahu oleh Ir sendiri. Ir merasa bahwa
kedua anaknya harus dapat menerima kenyataan bahwa Ir
menyandang predikat sebagai WBP dan berharap agar keduanya
tidak mengalami kejadian yang sama.
Sebelum menjadi warga binaan LAPAS, Ir bekerja sebagai
salah satu supervisor perusahaan swasta yang cukup terkenal di
Indonesia. Dia telah cukup lama bekerja di perusahaan tersebut.
Akan tetapi, kejadian yang dialaminya memaksa Ir untuk keluar
dari perusahaan tersebut dan tidak akan kembali lagi ke
perusahaan apabila dirinya bebas nanti. Ia merasa bahwa jika ia
kembali, maka pasti akan ada banyak pandangan negatif dari
teman-teman dalam satu perusahaan. Ia juga merasa akan
dijauhi oleh teman-temannya.
Hal yang terus diperjuangkan oleh Ir adalah bahwa hidup
merupakan suatu pilihan. Ketika di dalam sel LAPAS pun, Ir
meyakini bahwa ia akan bebas suatu hari nanti, atau hanya loyo
dan tidak bersemangat, “membusuk di dalam sel”, atau dalam
istilah yang sering digunakan orang-orang di LAPAS “kroak”. Ir
memilih untuk bersemangat dalam menjalani hari-harinya dan
tidak ingin menjadi orang yang hanya berdiam diri tidak
melakukan hal apapun.
b. Riwayat Pengalaman di Lembaga Pemasyarakatan
Ir terlibat dalam kasus pembunuhan berencana. Ir
mengajak istrinya dalam menjalankan niatnya tersebut. Ir dan
istrinya langsung ditangkap di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Mereka berdua dibawa ke Polsek. Setelah melalui proses
pengadilan, Ir dan istrinyapun dijatuhi hukuman masing-masing
dua belas dan delapan tahun penjara. Saat ini, Ir telah menjalani
kurang lebih empat tahun penjara, sedangkan istri Ir telah bebas
dikarenakan beberapa alasan yang meringankan dirinya.
Ia sempat ditahan di rutan Cirebon. Pada awal masuk sel,
ia banyak terlibat dalam perkelahian dengan tahanan lainnya.
Setelah beberapa kali mengalami perkelahian tersebut, ia
akhirnya dipindahkan di LAPAS Yogyakarta. Selain berkelahi,
Tabel 3
Biodata Subjek
Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Inisial Et Tgl Ir
Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki
Tanggal lahir 2 Februari 1973 22 Juli 1969 23 April 1973
Usia 39 tahun 43 tahun 39 tahun
Status pernikahan Cerai Menikah Menikah
Agama Islam Islam Kristen Protestan
Pendidikan SMA SD SMA
Pekerjaan Wiraswasta Wiraswasta Karyawan Swasta
Lamanya vonis 9 bulan 8 tahun 12 tahun
C. HASIL PENELITIAN
Hasil analisis lanjutan terhadap ketiga subjek digunakan sebagai hasil
pembahasan. Hasil pembahasan dilakukan dengan mensistesiskan
tema-tema yang muncul secara berulang pada subjek dan tema-tema-tema-tema yang baru
didapatkan pada subjek lainnya. Maka, dimungkinkan terjadinya tema-tema
yang sama dan berbeda pada masing-masing subjek. Penyajian hasil
pembahasan berupa tabel tema-tema yang sama dan berbeda pada
1. Respon Terhadap Pengalaman yang Dialami Tabel 4
Respon Terhadap Pengalaman yang Dialami
Tema-tema Subjek Et Tgl Ir a. Tema-tema yang sama pada
ketiga subjek :
1. Merasakan ketidakadilan yang memunculkan pembelaan diri dan mempertanyakan figur otoritas
2. Kesedihan yang muncul dari perasaan takut dan sakit yang mendalam 3. Kesedihan yang
memunculkan rasa penyesalan yang mendalam dan
menyalahkan diri sendiri 4. Keadaan tidak berdaya
b. Tema-tema yang berbeda pada ketiga subjek :
1. Pergulatan sebagai “orang jahat”
2. Merasa hampa dengan kenyataan yang dialami
99 – 107,
Ketiga subjek memiliki respon yang sama dalam menghadapi
pengalamannya. Ketiganya merespon dengan merasakan ketidakadilan
terhadap vonis dan perlakuan yang diberikan kepada mereka. Subjek Et
merasakan ketidakadilan dalam proses peradilan, yakni ketika pihak Polsek
membuat keterangan palsu di BAP sedangkan Tgl merasakan ketidakadilan
ketika pengadilan membuat keputusan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Ir merasakan ketidakadilan yang terjadi selama dirinya berada di LAPAS,
dengan aturan yang berlaku.
“Saya kaget, merasa diperlakukan tidak adil..di prosesnya itu, kita merasa dibohongi oleh Polsek. Kita lihat faktanya itu, mobil saya yang bermasalah itu cuma satu, tapi dalam BAP yang dilaporkan ke kejaksaan itu ada dua mobil, yang satu dianggap hilang”.
(Et, 99 - 107)
“Saya merasa tidak adil. Saya dituduh melindungi suami. Padahal saya juga gak tahu melindungi yang bagaimana”.
(Tgl, 68 - 71)
“Saya merasa ketidakadilan di sini tidak sesuai aturan, masa hukuman isolasi itu kan enam hari, tapi di sini bisa lebih dari enam hari”.
(Ir, 106 - 110)
Ketidakadilan yang dialami oleh Et dan Tgl membuat mereka
melakukan pembelaan diri. Pembelaan diri ini terlihat pada usaha yang
dilakukan Et untuk menyelesaikan permasalahan di luar pengadilan.
“..pertama kali waktu ditangkap itu, kita berusaha jangan sampai masalah itu dibawa ke pengadilan..kita ngomong sama polisi, kita pernah mengajukan waktu satu minggu untuk menyelesaikan permasalahan itu..”
(Et, 80 - 83)
Tgl melakukan pembelaan diri dengan mencoba menjelaskan pada
hakim mengenai kenyataan yang sebenarnya terjadi.
“..saya waktu sidang sempat mendatangi jaksa buat ngomong bu saya ini kan tidak melakukan apa-apa, masak dituntut 20 tahun, demi Allah saya cuma melihat..”
(Tgl, 122 - 127)
Ketidakadilan yang dialami Et mau tidak mau memunculkan
pemikirannya dengan mempertanyakan figur otoritas, dalam hal ini lembaga
peradilan. Et mempertanyakan pihak kepolisian yang tidak bijaksana, tidak
mengatakan bahwa seharusnya yang ditangkap adalah para pejabat yang
melakukan tindak korupsi.
“..kalau dipikir itu, polisi itu katanya membantu masyarakat, tapi itu apa? Jadi polisinya itu kurang bijaksana. Disini itu juga banyak lurah
yang ditangkap. Harusnya yang kayak gitu yang
ditangkap..mtidakakanya kadang polisi itu kayak gitu, bukannya membantu masyarakat tapi menyengsarakan..”
(Et, 198 - 215)
Ketidakadilan yang terjadi menyebabkan perasaan takut dan sakit
yang mendalam bagi ketiga subjek. Et merasakan sakit ketika harus
meninggalkan ketiga anaknya untuk menjalani hukuman di dalam LAPAS.
“..mungkin kalau tidak ada anak, tidak akan sakit rasanya. Tapi ini ada anak yang masih sekolah-sekolah, kok rasanya jadi besar masalahnya..”
(Et, 518 - 522) Di sisi lain, lamanya masa hukuman yang harus dijalani merupakan
penyebab rasa sakit yang dialami oleh Tgl. Ia merasa diperlakukan tidak
adil karena hukumannya tersebut tidak sesuai dengan perbuatan yang telah
ia lakukan.
“..stres, rasanya sakit mas. Sakitnya itu kan karena ketidakadilannya itu lho mas, karena kesalahannya cuma kecil saya dihukum lama..”
(Tgl, 91 - 95)
Berbeda dengan kedua subjek lainnya, rasa sakit dan takut yang
dialami oleh Ir muncul dari siksaan fisik yang harus dialaminya.
“..iya, kalau rasa takut pada situasi itu gak, tapi kalau rasa takut dan sakit dipukuli petugas itu iya..”
(Ir, 186 - 189)
Kesedihan yang dirasakan oleh ketiga subjek memunculkan rasa
penyesalan yang mendalam dan menyalahkan diri sendiri. Et menyalahkan
keluarga.
“..ya saya sama anak jadi kayak malu, sudah bikin malu sama anak-anak saya. Jadi merasa bersalah juga karena telah buat kesalahan..”
(Et, 377 - 381)
Lain halnya dengan Et, Tgl merespon penderitaan yang dialami
dengan menyalahkan diri sendiri karena perbuatannya melanggar hukum.
Akibatnya, ia harus menanggung sendiri akibat dari perbuatannya tersebut.
“..di koran kan muka saya ditutupi, dia bilang kemarin aku baca, muka’e mak kok dipetengi kuwi to mak..saya sempat meneteskan air mata. Iya saya salah..”
(Tgl, 415 - 417)
Ir juga menyesal karena telah berbuat kesalahan yang membuatnya
menjalani kehidupannya di penjara. Ia merasa jera karena merasa hukuman
yang diberikan tersebut berat untuk dijalani.
“Saya menyesal di penjara. Kapok berada di penjara. Dua belas tahun itu waktu yang lama.”
(Ir, 401 – 404)
Ketiga subjek merasa dalam keadaan tidak berdaya dengan kondisi
yang dialami oleh mereka. Karena pihak kepolisian memberikan keterangan
palsu di BAP, Et kesulitan untuk memperoleh keringanan hukuman.
“..di prosesnya itu, kita merasa dibohongi oleh Polsek..jadi susah buat kita untuk dapat keringanan hukuman..”
(Et, 107 - 109)
Di sisi lain, Tgl mengatakan bahwa vonis dari pengadilan sempat
membuat dia pingsan di pengadilan. Ia membayangkan bahwa ia harus
menjalani hukuman dalam waktu yang lama. Hal ini menimbulkan perasaan
“..saya sampai pingsan dua kali di pengadilan lho mas. Ya karena vonis delapan tahun itu, rasanya panjang dan lama gitu..”
(Tgl, 75 - 77)
Dalam situasi yang berbeda dengan Et dan Tgl, Ir merasa tidak
berdaya dengan menghuni ruangan sempit sel LAPAS sebagai hukuman
atas perbuatan yang dilakukannya.
“..ya, dengan ukuran ruangan 2x3 tanpa air, tanpa alas, keluar dari kamar cuma waktu ngambil jatah makan sama mandi. Stres mas ada di ruangan itu..”
(Ir, 176 - 181)
Ketiga subjek juga memberikan respon yang berbeda terhadap
pengalaman yang dialami. Et dan Ir merespon penderitaan yang mereka
alami dengan mengalami pergulatan sebagai “orang jahat”. Dari perbuatan
penggelapan mobil yang dilakukannya, Et merasa khawatir bahwa orang
lain tidak akan bisa lagi percaya kepadanya.
“..rencana masih ingin kerja lagi, tapi kalau untuk mengelola rental kayaknya udah nggak, mungkin temen-temen udah khawatir dan sulit membuat kepercayaan lagi..”
(Et, 53 - 58)
Ir merasa bahwa jika nantinya keluar dari LAPAS dan kembali
bekerja di tempat yang sama, ia akan mendapat cibiran dari teman sekantor
dan masyarakat.
“..sebenarnya mungkin bisa saja saya kembali kerja di usaha sebelumnya, tapi pasti akan ada cibiran dari teman-teman sekantor dan masyarakat. Itu malah membuat tidak nyaman. Jadi ya saya cari yang lain saja..”
(Ir, 358 - 363)
Pada awal masuk LAPAS, Ir menjalani hari-harinya dengan melamun
disebabkan pikirannya yang kacau akibat teringat anak-anaknya yang harus
ditinggalkan.
“..saya waktu hari-hari pertama di penjara sempat melamun saja..ya saya teringat anak-anak saya yang akhirnya harus saya tinggal karena tindakan saya.”
(Ir, 65 - 73)
2. Sikap Awal Terhadap Pengalaman yang Dialami Tabel 5
Sikap Awal Terhadap Pengalaman yang Dialami
Tema-tema Subjek Et Tgl Ir a. Tema-tema yang berbeda
pada ketiga subjek :
1. Penolakan terhadap penderitaan yang membatasi diri 2. Penolakan terhadap
penderitaan yang dialihkan
b. Tema-tema yang sama pada ketiga subjek :
1. Penerimaan terhadap penderitaan
221 - 223
-
254 - 256
-
-
102 - 103
131 - 136
296 – 301
54 - 58
Sikap awal dari ketiga subjek berbeda satu dengan yang lainnya. Et
pada awalnya menolak penderitaan yang membatasi dirinya. Penolakan Et
bersumber dari ketidakadilan hukuman dengan perbuatan yang telah
dilakukannya. Menurut Et, dengan hukumannya itu, salah satu anaknya
tidak dapat melanjutkan pendidikan dan pekerjaannya menjadi terganggu.
“..untuk menerima itu ya tidak terima, masalah cuma sepele gitu..karena saya kena masalah ini kan jadi semua berantakan, anak saya jadi tidak kuliah, urusan-urusan saya juga jadi terbengkalai.”
(Et, 221 - 223)
dalam berkomunikasi dengan keluarga.
“..minggu wartel yang disediakan itu tutup. Hari-hari yang lain itu saya merasanya waktu yang disediakan untuk menelepon keluarga itu terbatas waktunya..”
(Ir, 131 - 136)
Penolakan Ir terhadap penderitaan yang dialami membuatnya merasa
ada sosok yang harus bertanggung jawab terhadap dirinya. Maka dari itu, It
memilih untuk menyalahkan Tuhan atas segala hal terjadi pada dirinya.
Pada awal-awal masuk di LAPAS, Ir justru menjauhi sosok Tuhan.
“..pada tahun-tahun pertama kita malah jauh dari sosok yang kita sembah, yang disebut Tuhan itu. Mungkin itu timbul dari rasa sakit, kecewa dengan masuknya kita disini, merasa tidak adil karena hukum manusia, jadi kan ya larinya ke sosok Tuhan itu..”
(Ir, 296 – 301)
Ketiga subjek juga memunculkan sikap yang sama yakni penerimaan
terhadap penderitaan. Pada awal masuk LAPAS, Et merasa berat untuk
menerima penderitaan yang dialaminya. Namun, ia tetap menjalani
hukuman dan akhirnya menerima penderitaan yang dialami.
“..setelah kita masuk, memang untuk menerima agak berat. Tapi ya saya jalani saja dan terima saja..”
(Et, 254 - 256)
Tgl juga menerima penderitaan yang dialaminya. Masukan dari orang
lain membuat Tgl berpikir bahwa penderitaan yang dialami harus dijalani
dengan perbuatan baik, seperti berdoa, puasa, dan beribadah.
“..alhamdulilah vonisnya delapan tahun. Saya terima..ada ibu penjaga blok yang sekarang sudah pensiun itu sering menasehati saya, katanya kamu itu harus berdoa yang rajin, puasa, sholat yang rajin, ibadahnya ditingkatkan. Biarpun kamu nangis darah kamu gak akan keluar. Saya pikir-pikir ya ada benarnya juga kata-kata dari ibu itu..”
Ir menerima penderitaan yang dialaminya dengan menganggap bahwa
setiap orang yang masuk dalam LAPAS pasti akan merasakan penderitaan.
“Saya menerima bahwa semua orang yang masuk penjara itu pasti merasakan menderita, bagi saya itu pasti merasa sakit..”
(Ir, 54 - 58)
3. Pemaknaan Hidup Melalui Nilai-Nilai Tabel 6
Proses Penemuan Makna Hidup Melalui Nilai-Nilai
Tema-tema Subjek Et Tgl Ir a. Tema-tema yang sama pada
ketiga subjek :
1. Bentuk dan Pemenuhan Nilai-Nilai Kreatif a.Menghilangkan
perasaan negatif dengan beraktivitas 2. Bentuk dan Pemenuhan
Nilai-Nilai Penghayatan 2.1. Penghayatan terhadap
Tuhan
a. Mendekatkan diri pada Tuhan
2.2. Memaknai pengalaman melalui hubungan dengan orang lain a. Mendapat perhatian
dan cinta kasih dari keluarga
b. Perhatian dan mencintai keluarga 2.3. Penyerahan diri pada
pengalaman
a. Menghilangkan rasa menderita dan merasakan ketenangan hati 3. Bentuk dan Pemenuhan
Nilai-Nilai Bersikap a. Ikhlas menghadapi
b. Tema-tema yang berbeda pada ketiga subjek :
1. Bentuk dan Pemenuhan Nilai-Nilai Kreatif a. Melakukan aktivitas
yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain dengan orang lain a. Kehadiran sesama
merubah rasa tidak berdaya
3. Bentuk dan Pemenuhan Nilai-Nilai Bersikap a. Hidup untuk keluarga
yang dicintai b. Bertanggung jawab
atas perbuatan yang dilakukan
c. Berpikir positif terhadap kenyataan yang dialami d. Kekuatan mental