• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - BAB I USWATI SEJARAH'13

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - BAB I USWATI SEJARAH'13"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang sejarah pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan maupun lembaga keagamaan memang cukup menarik untuk dicermati berbagai sisi. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas di Indonesia yang mampu mempertahankan, bahkan perkembang pada saat ini.

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kiai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Oleh karena itu, dalam penyusunan sejarah berdiri Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran di Desa Randudongkal Kecamatan Randudongkal ini tidak bisa dipisahkan dengan pendirinya, yaitu Kiai Fathur Munir pada tanggal 1 April 2003. Tujuan pondok pesantren pada awal berdirinya dititik beratkan untuk menyiapkan tenaga mubaligh dan guru-guru yang akan menyiarkan pokok-pokok ajaran Islam kepada para pengikutnya dengan menggunakan sumber-sumber asli Al-quran dan Hadits dari kitab-kitab berbahasa Arab keterangan ulama terdahulu, dengan sistem sorogan, wetonan dan bandongan.

(2)

bersikap inklusif dan berprilaku adaptif. Mereka semacam dihadapkan pada berbagai pilihan baru yang menarik dan cukup menggoda untuk mengikutinya. Masyarakat sekarang begitu intens terhadap perubahan-perubahan baik menyangkut pola pikir, kebutuhan sehari-hari maupun proyeksi kebutuhan masa depan. Kondisi demikian tentu sangat berpengaruh terhadap standar kehidupan masyarakat. Mereka, mau tidak mau senantiasa berusaha berpikir progresif sebagai respon terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Hal ini juga terjadi dalam pondok pesantren yang mengalami perubahan dalam mengembangkan program pendidikannya, mau tidak mau harus mengembangkan sistem pendidikannya untuk mencetak kader bangsa yang profesional.

Mayoritas pesantren yang ada sekarang ini, masih bertahan hidup dan berkembangan dan mengalami kemajuan dengan meningkatnya jumlah santri yang belajar di pondok pesantren. Walaupun terkadang orang tua ketika memasukan putra atau putrinya ke pesantren dilatarbelakangi untuk menjadikan pesantren sebagai bengkel perbaikan moral anak mereka. Dengan persoalan-persoalan yang ada seperti yang dikemukakan generasi-generasi penerus yang prilakunya sesuai dengan ketentuan agama di samping itu pesantren juga dituntut untuk sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

(3)

ekologi dan sosial mereka. Sikap ini sebagai konsekuensi logis ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tidak diimbangi dengan kedalaman iman dan taqwa.

Menurut Manfreed (1997 : 33) pesantren dalam bentuk ini hidup matinya sangat tergantung pada kebesaran kiainya, artinya kalau di pesantren tersebut masih ada kiai yang mumpuni dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut masih tetap eksis, tetapi sebaliknya jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan maka secara berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh para santrinya.

Di tengah berjalannya arus globalisasi, para pakar ramai menyatakan bahwa dunia akan semakin komplek dan saling ketergantungan satu sama lain. Dikatakan oleh Manfreed bahwa, perubahan yang akan terjadi dalam bentuk tidak bersambung, dan tidak bisa diramalkan. Masa depan merupakan suatu yang tidak berkesinambungan. Memerlukan pemikiran ulang dan rekayasa ulang masa depan yang akan dilewati, sehingga berani tampil dengan pemikiran yang terbuka dan meninggalkan cara-cara yang tidak produktif.

(4)

orang tua pun dilibatkan dalam mendidik anak tersebut sehingga anak tersebut terkontrol dalam pembelajarannya.

Maka penulisan ini mencoba menjadikan Pondok Pesantren Tahfidzul Roudlotut Quran Tholibin Hidayatul Quran di Desa Randudongkal Kecamatan Randudongkal sebagai objek Penelitian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut.

1. Profil Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran periode 2003-2012?

2. Program pendidikan Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran periode 2003-2012?

3. Perkembangan Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Hidayatul Quran periode 2003-2012?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengungkapkan profil Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran periode 2003-2012.

2. Mengungkapkan program pendidikan Pondok Pesantren Tahfidzul Quran

Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran periode 2003-2012.

(5)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberi motivasi kepada pembaca agar lebih mengenal pondok pesantren dilingkungan tempat tinggalnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi sumbangan pemikiran tentang Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran desa Randudongkal kecamatan Randudongkal.

b. Membuat karya sejarah pondok pesantren Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran yang sampai saat ini belum pernah diteliti.

c. Menambah wawasan tentang program pendidikan yang berlangsung di pondok pesantren.

d. Menambah ilmu pengetahuan di bidang sejarah. E. Tinjauan Pustaka

(6)

Menurut Dhofier (1987 : 18) dalam bukunya Tradisi Pesantren: Studi Pesantren tentang Kiai secara etimologi berasal dari kata Santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata Shastri yang artinya murid, sedangkan menurut C.C. Berg, ia berpendapat bahwa istilah Pesantren berasal dari kata Shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri berasal dari kata Shastra yang berarti buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat santri atau tempat murid atau tempat mengaji.

(7)

Pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan mengajarkan, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu Agama Islam keadaan semacam ini masih terdapat pada pesantren-pesantren di Pulau Jawa, Pulau Madura dan Daerah yang lain, yang bercorak tradisional. Dalam pengembangan pondok pesantren yang lebih maju pondok pesantren tidak hanya memberikan pengajaran kitab kuning yang klasik dan agama saja akan, tetapi pesantren mengajarkan ilmu-ilmu umum, keterampilan dan sebagaimana yang di ketahui pada peranan Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran yang sudah menerapkan sistem dan metode yang

menggabungkan antara sistem pengajaran non-klasikal (tradisional) dan sistem klasikal (sekolah), dan yang menjadi unik dalam pondok pesantren ini, walaupun sistem yang diterapkan cukup maju akan tetapi, ia tidak mau disebut pondok modern.

Beberapa definisi di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat aktivitas pembelajaran, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam yang pembelajarannya didasarkan pada kitab-kitab klasik dalam bentuk bahasa Arab yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu, para santri tinggal bersama dalam sebuah kelompok yang dilengkapi dengan asrama, masjid atau mushola dengan kiai sebagai tokoh sentralnya.

(8)

santri untuk siap dan mampu mandiri. Dapat juga diambil pengertian dasarnya sebagai suatu tempat dimana para santri belajar pada seseorang kiai untuk memperdalam atau memperoleh ilmu pengetahuan, utamanya ilmu-ilmu agama yang diharapkan nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi kehidupan di dunia maupun akhirat nantinya. Dalam istilah singkatnya pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang menciptakan santri kaffah (sholihin sholihat), yang nantinya menjadi Insan Kamil (manusia sempurna) mampu memilah dan memilih antara hak dan kewajiban.

Dari tinjauan pustaka di atas bahwa peneliti lakukan di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran benar-benar belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya.

F. Landasan Teori dan Pendekatan 1. Landasan Teori

(9)

menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan ngesahi dengan memberi catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah di berikan kiai. Istilah sorogan berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyadorkan kitab di hadapan kiai atau pembantunya (Saridjo, 1982 : 32).

Pondok pesantren di Indonesia terdiri dari 5 unsur elemen-elemen yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai.

a. Pondok.

Di kawasan nusantara istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren pondok berasal dari bahasa arab fundoq yang berarti asrama rumah dan tempat tinggal. Pondok dalam pesantren pada dasarnya merupakan dua kata yang menyebutkannya sering tidak dipisahkan menjadi pokok pondok pesantren yang berarti keberadaan pondok dalam pesantren merupakan wadah pengglembengan, pembinaan, dan pendidikan serta pengajaran ilmu pengetahuan.

(10)

Sehingga di perlukan pondok sebagai asrama santri; dan (3) ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, di mana santri menanggap kiainya seolah-olah sebagai orang tuanya sendiri, begitu sebaliknya kiai menganggap para santri titipan ilahi yang harus di bina sepenuh hati (Hasbullah, 1996 : 138).

b. Santri

Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang menimba ilmu pengetahuan yang di miliki oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu, santri seringkali di bedakan menjadi dua yaitu santri mukim dan santri kalong.

Pertama, Santri Mukim yaitu santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dan tinggal serta secara aktif menutut ilmu dari seorang kiai. Dapat juga secara langsung sebagai pengurus pesantren yang atas keberadaan santri lainnya. Ikut tanggung jawab atas keberadaan santri lainnya.

Ada dua motif yang mendasari seorang santri menetap sebagai santri muslim, yaitu: (1) motif menuntut ilmu artinya santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiainya; dan (2) motif menjunjung tinggi akhlak, artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki akhlak yang terpuji sesuai yang diajarkan kiainya. Kedua, Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa sekitar pondok pesantren,

(11)

lain pesantren kecil akan lebih banyak memilik santi kalong di bandingkan santri mukim (Ghozali, 2001 : 23).

c. Masjid

Kata masjid secara harfiah berarti tempat sujud, dari akar kata sajada yang artinya sujud. Dalam sejarah Islam masjid memilki fungsi yang sangat luas, bukan hanya tempat sujud dalam arti ibadah semata seperti salat dan i’tikaf tetapi juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses belajar mengajar.

Ketika Nabi Muhammad SAW, hijrah dari Mekkah ke Madinah, yang pertama ia katakan ia bangun adalah masjid yaitu Masjid Quba ketika Rasullulah masih dalam perjalanan dan Masjid Nabawi ketika ia telah tiba di Madinah. Rasullulah menyadari bahwa masjid akan menjadi modal utama dalam melanjutkan misi dakwahnya untuk membangun masyarakat yang beradab. Dengan kata lain, Rasullulah mencontohkan bagaimana sebuah masjid dapat bersifat multifungsi dan menjadi bagian penting dalam masyarakat Islam. Masjid adalah eleman yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren, sebab masjid

dijadikan ajang sentral kegiatan dengan mencontohkan pada teladan yang diberikan Rasullulah yang menjadikan sebagai pusat segala aktivitas yang dilakukan melalui sarana ibadah ini, sebagaimana terlihat dalam pertumbuhan dan perkembangan sebuah pesantren (Madjid, 1997 : 34).

d. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik

(12)

ulama-ulama zaman dahulu yang berisikan tentang ilmu keislaman. Dalam hal ini terutama kitab-kitab karangan ulama yang beraliran syafiyah. Kitab-kitab klasik tersebut pada umumnya dapat dikelompokan ke dalam delapan bidang yaitu: (1) naswu dan shorof (tata bahasa Arab), (2) figih, (3) usul al-fiqh, (4) hadis, (5) tafsir, (6) tauhid, (7) tasawuf dan etika, dan (8) cabang-cabang lain seperti tarikh (sejarah Islam) dan balaghah (sastra Arab). Sistem pengajaran kitab-kitab kuning telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di pesantren. Kitab-kitab tersebut biasanya dikategorikan ke dalam tiga tingkat (1) kitab-kitab dasar, (2) kitab-kitab menengah, dan (3) kitab-kitab besar.

Proses mempelajari kitab-kitab klasik tersebut biasanya menggunakan sistem wetonan dan sorogan atau lebih kenal dengan sorogan dan bandongan. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu maupun fokus bahasnya (kitabnya), sedangkan sorogan merupakan pengajian yang diajukan oleh seseorang ataupun kelompok santri kepada kiainya untuk diajarkan kitab tertentu. Pengajian sistem sorogan ini biasaanya ditujukan kepada para santri yang prestasi belajar cukup baik dan yang berminat akan suatu bahasa khususnya sebagai bekal mempersiapkan diri sebagai penerus kiai ( Ismail, 1997 : 116-117 ).

e. Kiai

(13)

semata-mata tergantung kepada kemampuan pribadi kiainya. Menurut (Dhofier, 1987 : 55) asal-usulnya perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda :

1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap kramat,

umpamanya, Kiai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta.

2) Gelar kehormatan untuk orang-orang Tuakan pada umumnya.

3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).

Pada masa penjajahan Belanda, ketika memunculkan politik balas budi. Belanda membuat suatu kebijakan dimana para anak pribumi diberi keleluasaan untuk belajar/mengenyam sekolah umum, hal tersebut secara langsung atau tidak langsung mulai mempengaruhi proses belajar mengajar di pondok pesantren pada saat itu masih menggunakan metode lama dan hanya menggunakan hal-hal yang bersifat keagamaan saja.

(14)

Peran pesantren semakin strategis ketika masa penjajahan di mana pendidikan pada saat itu hampir tidak ada, kalau pun ada hanya terbatas pada kalangan bangsawan dan para penjabat. Pandangan masyarakat yang masih mengganggap ketika anak di sekolahan umum (bukan pesantren) yaitu sama dengan membelandakan anak-anak. Hal tersebut semakin membuat peran pesantren sebagai lembaga pendidikan nomor satu pilihan masyarakat tidak tergoyahkan.

Pertimbangan lain ketika anak disekolahaan di pesantren yaitu di samping faktor ekonomi juga karena melihat alumi pondok pesantren ketika berbaur dengan masyarakat pada alumi tersebut bisa menularkan ilmunya dan mendapatkan gelar kiai dari masyarakat merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tua yang bisa melihat anak menyandang predikat tersebut di lingkungan masyarakat.

Seiring perkembangan Islam, pondok pesantren berangsur-angsur mengalami berubahan ke arah yang lebih maju dan dewasa. Namun, dalam perkembangan tidak semuanya mengalami perubahan yang sama. Masing-masing pesantren mengikuti kecenderungan yang berbeda-beda. Secara garis besar lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini terdapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu :

(15)

lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa memperkenalkan pengajaran pengetahuan umum.

2) Pesantren khalafi yang memasukan pelajaran-pelajaran umum dalam madrsah-madrsah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren dan masih mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.

Dari uraian tersebut di atas diketahui bahwa sebagai seorang arsitek di masyarakat, rupanya para kiai harus memperhatikan selera masyarakat. Itulah mereka mampu bertahan untuk mengembangkan lembaga-lembaga pesantren untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi dan antropologi. Pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang berdasarkan ilmu yang mempelajari sifat dan berkembangan masyarakat atau ilmu yang mempelajari tindakan manusia dalam lingkup masyarakat. Pendekatan antropologi adalah pendekatan berdasarkan suatu ilmu mengenai kehidupan manusia, khususnya asal usul aneka warna bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaan pada masa lampau. Jadi, antropologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat-sifat kebiasaan, kebudayaan dan perilaku manusia (Maran, 2001 : 14).

(16)

pondok pesantren serta perkembangan dari Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran itu sendiri. Mengenai antropologi diterapkan sistem budaya (simbol-simbol yang ada di pesantren).

G. Metode Penelitian

Dalam sebuah penelitian, pasti menggunakan metode tertentu agar hasil yang akan didapatkan sesuai dengan tujuan awal penelitian di dalam penelitian ini digunakan metode sejarah, karena berkaitan dengan masalah lampau yang sudah terjadi. Pengertian metode sejarah disini adalah suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman masa lampau.

Menurut Kuntowijoyo (1995 : 88 - 89) ada 5 (lima) tahap dalam penelitian sejarah yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik sumber, dan veritifikasi (kritik ekstern dan kritik intern), interpretasi (analisis dan sintesis) dan histriografi.

Adapun penjelasan tahap-tahap penelitian sejarah meliputi :

1. Pemilihan Topik

(17)

itu bukan gagasan yang punya harga mati karena penelitian kualitatif yang menggunakan logika, induksi sangat tergantung pada kondisi dan hasil-hasil penelitian yang dapat dicapai dilapangan (Priyadi, 2011 : 5). Dalam penulisan ini, penulis memilih topik tentang Sejarah Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran Desa Randudongkal Kecamatan Randudongkal Periode 2003-2012.

2. Heuristik

(18)

3. Kritik Sumber dan Vertifikasi

Kritik sumber dan vertifikasi di bagi ke dalam 2 bagian, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Langkah berikutnya, penulis berusaha mencari sumber dan informasi yang relevan terhadap penelitian yang disusun. Kritik ekstern yang dipakai untuk menguji keotentikan (keaslian) sumber informasi. Informasi yang di dapat itu benar-benar asli atau bukan, apakah masih utuh atau sudah mengalami perubahan. Kritik yang kedua adalah kritik intern dilakukan penulis dengan memperhatikan dua hal yaitu penilaian intrsik terdapat sumber-sumber dan membanding-bandingkan kesaksian dari berbagai sumber agar sumber dapat dipercaya (diterima kredibilitasnya) yang bertujuan mencari tahu apakah yang nara sumber yang dipakai sudah memenuhi syarat sehingga informasinya dapat dipercayakan atau dipertanggungjawabkan (Priyadi, 2011 : 75).

4. Interpretasi (analisis dan sintesis)

Dalam melakukan interpretasi atau penafsiran fakta-fakta sejarah yang terdiri dari dari mentifact (kejiwaan), sosifact (kontak sosial), dan artifact (benda) (Priyadi, 2011 : 85). Dalam hal ini yang harus dikerjakan penelitian adalah analisis dan sintesis. Dalam tahap analisis, penulis menguraikan sedetail mungkin ketiga fakta tersebut menampak koherensinya, selanjutnya pada tahap sintesis, penulis mengaitkan dan menyatukan fakta-fakta sehingga interaksi antarunsur akan membentuk makna keseluruhan yang utuh dan bulat.

(19)

Pada tahap penulisan, penulis menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang diajukan pada hakekatnya, penyajian historiografi meliputi, pengantar, hasil penelitian dan simpulan. Penulis sejarah sebagai laporan seringkali disebut karya histriografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodesasi, serialisasi dan kausalitas (Priyadi, 2011 : 92). Dalam hai ini penulis memaparkan hasil penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran yang disajikan dalam 5 (lima) bab yang akan dijelaskan dalam sistematika penulisan dibawah.

H. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan berisi tentang, latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab II Profil Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran periode 2003-2012 terdiri dari, letak geografis, tujuan berdirinya, kondisi objektif pondok pesantren, visi misi pondok pesantren, pengelolan pondok pesantren.

(20)

Bab IV Perkembangan Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Roudlotut Tholibin Hidayatul Quran periode 2003-2012 terdiri dari, perkembangan fisik, perkembangan program pengajaran kegiatan pelajar, perkembangan jumlah santri.

Bab V Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Pengguna dapat membalikan aksi yang dilakukan dengan mudah karena pada setiap scene yang digunakan dalam aplikasi, pengguna diberikan pilihan untuk kembali ke scene

Berdasarkan hasil penelitian bahwa : “Pelimpahan Wewenang Dokter kepada Perawat dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit” menurut perspektif hukum perdata dan

Penelitian ini menunjukkan rerata kadar MMP­9 lebih tinggi dan bermakna pada kelompok STEMI dibandingkan kelompok NSTEACS, dan kadar MMP­9 yang tinggi terjadi

Hal ini terbukti dengan kondisi perdagangan jamur tiram yang mengalami net ekspor sejak tahun 1999 hingga tahun 2005 (Tabel 2), ini menunjukkan bahwa peluang pasar untuk

Ipteks bagi Masyarakat (IbM) yang dilakukan pada UMKM pembibitan dan penggemukan sapi potong di kecamatan Kedungpring kabupaten Lamongan untuk menjawab permasalahan belum

• Kompetensi Utama: Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan (1) keuangan negara; (2) akuntansi keuangan pemerintah; (3) pengadaan barang milik negara; (4)

Selain itu, sangat dianjurkan bahwa semua instruktur yang mempunyai level 3 harus dilibatkan secara intensif dalam pelatihan yang ada dalam organisasi dan juga untuk membimbing

Dari hasil pengamatan yang dilakukan bersama antara peneliti dan kolaborator, pada pelaksanaan siklus I adalah: bagi guru secara umum penyampaian materi sudah