BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
Telah dilakukan penelitan pada pasien stroke non hemoragik (Windartha et al,2013) di RSD dr.Soebandi Jember untuk mengidentifikasi potensi terjadinya DRP menurut klasifikasi Cippole. DRP diklasifikasikan menjadi delapan kelompok meliputi indikasi yang tidak diterapi, obat dengan indikasi tidak sesuai, obat salah, interaksi obat, overdosis (dosis lebih), dosis subterapi, Adverse Drug Reactions dan kegagalan dalam menerima obat. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif selama periode 1 Januari 2013- 31 Desember 2013. Hasil penelitian tersebut yaitu 62,26% terdapat indikasi butuh obat, 58,49% interaksi obat , 43,40% dosis kurang, 20,75% obat tanpa indikasi sesuai serta pemilihan obat dan dosis tidak tepat sebesar 24,53%.
Penelitian lain di fasilitas kesehatan tersier di India Selatan (November 2011-April 2012) menemukan 80 DRP dari 108 pasien stroke dengan persentase DRP 1.54 per pasien. DRP diklasfikasikan menurut klasifikasi Cippole meliputi 25% kasus interaksi obat, 15 % penggunaan obat tak sesuai indikasi dan 15% adanya efek samping obat. Selain itu, polifarmasi diindikasikan memiliki potensi besar penyumbang kasus DRP. Persentase penerimaan intervensi apoteker sebesar 97% dan hanya 70% kasus yang mendapat perubahan terapi (T Cellin et al,2012).
B. Stroke Non Hemoragik
1. Definisi
Stroke non hemoragik atau stroke iskemik adalah salah satu jenis penyakit stroke yang disebabkan oleh oklusi formasi trombus ataupun emboli di arteri serebral (Di Piro et al,2007). Emboli penyebab iskemik dapat muncul di daerah arteri-intra dan ekstra kranial. Sekitar 88% kasus stroke merupakan jenis stroke non hemoragik atau iskemik (ISFI a, 2008).
2. Patofisiologi
Menurut Junaidi dalam Nastiti (2011), stroke iskemik umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu trombosis dan emboli. Trombosis yaitu pembekuan darah pada jaringan. Trombosis yang terdapat di pembuluh darah yang menuju otak akan menyumbat aliran darah. Otak akan
kekurangan oksigen dan terjadilah stroke iskemik. Iskemik otak juga dapat disebabkan oleh emboli. Emboli didefinisikan sebagai segala
benda asing yang lepas dan ikut aliran pembuluh darah. Emboli dapat berupa trombus yang terlepas, bekuan darah, udara dsb. Emboli yang ikut aliran darah akan terhenti disaluran pembuuh darah yang sempit dan menyebabkan stroke iskemik.
Berdasarkan proses perjalanan klinis penyakitnya, stroke iskemik dibagi menjadi :
1. Transient Ischemic Attack (TIA) : serangan stroke sementara < 24 jam.
2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) : timbulnya gejala neurologis dalam rentang > 24 jam sampai 21 hari yang kemudian menghilang.
3. Progressing Stroke atau Stroke in evolution : kondisi penurunan neurologis ringan sampai berat.
3. Faktor Resiko
Faktor risiko stroke secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga sesuai dengan tabel berikut :
Tabel 2.1. Faktor risiko stroke iskemik
Bisa Dikendalikan Berpontensi Dikendalikan
Tidak Bisa Dikendalikan
Hipertensi Atrial Fibrilasi
Penyakit kardiak lainnya Diabetes
Dislipidemia Rokok Tembakau Alkohol
Penyakit sickle cell
Asimptomatik karotid stenosis Terapi hormon postmenopause Gaya Hidup
Kontrasepsi oral
Gangguan tidur dan
bernapas Homosistein
Hemostatis dan faktor inflamasi
Penyalahgunaan obat dan alkohol
4. Gejala Klinik
Menurut Junaidi dalam Nastiti (2011), gejala stroke dapat berupa : a. Sulit berbicara atau tidak lancar atau tak jelas.
b. Terdapat serangan penurunan neurologis/kelumpuhan fokal (lumpuh sebelah badan kanan atau kiri saja)
c. Terasa kesemutan dan mati rasa sebelah badan d. Mulut atau lidah pelo
e. Sulit mendengar, melihat, menelan, menulis, berjalan, membaca dan tidak mengerti tulisan.
f. Mengalami penuruan kognitif dan vertigo g. Demensia
h. Terganggunya penglihatan dan pendengaran i. Terganggunya kestabilan emosi
j. Gerakaan tubuh yang tak terkoordinasi k. Gangguan kesadaran (pingsan hingga koma) l. Stroke diawali dengan Transient Ischemic Attack
5. Diagnosis
hemoragik (Di Piro et al, 2008). Pemeriksaan MRI dapat dilakukan bila onset terjadinya serangan stroke akut antara 1 hingga kurang dari 24 jam (Di Piro et al, 2008 ; Perdossi,2011). CT Scan dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi lokasi terjadinya injury pada sistem saraf pusat dan distribusinya di otak (Di Piro et al, 2008). Berikut ini daftar pemeriksaan yang ditegakan untuk mengevaluasi pasien suspek stroke iskemik akut saat masuk ke unit gawat darurat (Perdossi, 2011).
Tabel 2.2 Pemeriksaan diagnosis pada stroke akut
Elektrokardiogram (EKG)(AHA/ASA, Class I, Level of Evidence B) Pencitraan otak :
CT (ESO, Class IA) non kontras
MRI (ESO, Class II) dengan perfusi dan difusi
Pemeriksaan Laboratorium Darah : hematologi rutin, gula darah sewaktu, fungsi gagal ginjal (ureum, kreatinin). Activated partial thrombin time (Aptt), Phrotrombin time (PT), INR (AHA,ASA, Class I, Level of Evidence B).
Pemeriksaan laboratorium di ruang gawat darurat anatar lain gula darah puasa dan 2 jam setelah makan, profil lipid, C-Reactive Protein (CRP), laju endap darah dan pemeriksaan atas indikasi seperti : enzim jantung (troponin/CKMB), serum elektrolit, analisis hepatik dan pemeriksaan elektrolit.
Sumber : Perdossi, 2011
6. Penatalaksanaan Terapi
a. Terapi Non Farmakologi
Tindakan bedah dekompresi merupakan alternatif pertama untuk menurunkan tekanan intrakranial penyebab iskemik. Alternatif lain yaitu karotid endarterektomi dan stenting (Di Piro et al, 2008). Pencegahan primer dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat rendah lemak dan kolestrol. Makanan yang dapat membantu menurunkan kadar kolestrol diantaranya serat, oat (beta glucan), kacang kedelai dan kacang – kacangan. Konsumsi vitamin B12, B6, riboflavin, asam folat, susu, ikan tuna, ikan salmon, teh hitam dan teh hijau dapat membantu menurunkan risiko stroke. Selain itu mengurangi asupan natrium (<6 gram/hari) dan menambah asupan kalium (>4,7 gram/hari) (Perdosi, 2011).
relaksasi yang menurunkan tekanan darah dan denyut jantung (Perdosi, 2011).
b. Terapi Farmakologi
Antitrombotika adalah zat-zat yang digunakan untuk pengobatan atau pencegahan trombosis dan emboli. Pada trombosis terjadi pembentukan suatu trombus, yakni bekuan darah didalam pembuluh. Pada emboli terdapat penyumbatan arteri kecil atau kapiler akibat embolus, yakni bekuan darah atau sumbatan lain (antara lain gelembung udara) yang dibawa oleh aliran darah dan tersendat di pembuluh dan menyumbatnya. Antitrombotika adalah zat – zat yang digunakan untuk terapi dan prevensi trombosis yang berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi menjadi tiga kelompok :
1) Antikoagulansia
Antikoagulansia merupakan antagonis vitamin K berkerja dengan menghambat pembentukan fibrin. Fibrin terbentuk dari fibrinogen yang merupakan suatu globulin di hati. Protein ini adalah zat utama dari bekuan darah. Fibrin akan menjaring trombosit dan unsur darah lainnya. Antagonis vitamin K menghambat sintesa benang – benang fibrin. Penggunaanya yaitu pada tromboemboli, termasuk tromboflebitis (radang vena),
setelah pembedahan dimana terdapat faktor-faktor yang memudahkan terjadinya trombosis, terutama trombosis koroner.
Secara preventif, antikoagulansia digunakan ntuk mencegah terbentuknya trombi (darah beku) pada aterosklerosis, misalnya pada gangguan sirkulasi akibat penyempitan pembuluh. Antikoagulansia dikelompokan menjadi dua golongan yaitu :
a) Zat –zat dengan kerja langsung
demikian heparin merupakan zat pencegah pembekuan darah yang kuat.
b) Zat – zat dengan kerja tak langsung
Mekanismenya yaitu dengan menghalangi pembentukan faktor pembekuan darah secara tidak langsung. Antikoagulansia oral memiliki onset 18-72 jam yaitu jika faktor pembekuan darah yang ada bersikulasi hilang. Contoh : asenokumarol, warfarin dan fenkprokumon.
2) Penghambat penggumpalan trombosit
Senyawa ini menghambat agregasi trombosit. Caranya dengan menghambat sintesa tromboksan A2 di trombosit, meningkatkan jumlah cAMP atau dengan mengurangi
pengikatan fibrinogen pada reseptor GP trombosit. Contoh obat – obat golongan ini yaitu asetosal, klopidogrel, dipiridamol,
tiklopidin, indobufen dan epoprostenol. 3) Trombolitika (fibrinolitika)
Obat – obat ini berdaya melarutkan gumpalan darah yang terbentuk beberapa jam sebelumnya. Caranya ialah dengan jalan mengaktivasi sistem fibrinolitis tubuh melalui stimulasi
pengubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin ini memecahkan jaringan fibrin dari trombus. Bila diberikan tepat
pada waktunya, yakni dalam jam pertama setelah timbulnya gejala, obat – obat ini dapat membatasi luasnya infark dan kerusakan otot jantung, sehingga memperbaiki prognosa penyakit.
obat golongan ini yaitu streptokinase, alteplase, urokinase dan reteplase (Tjay Hoan Tan, 2013).
Rekomendasi terapi stroke non hemoragik menurut Joseph Di Piro et al (2008) :
Tabel. 2.3 Rekomendasi terapi stroke non hemoragik
Rekomendasi Level EBM Terapi Akut t-PA 0.9 mg/kg iv (maksimum
90kg) selama 1 jam atau 3 jam untuk pasien tertentu
ASA 160-325 mg/hari, dimulai
Terapi antiplatelet : Aspirin 50 -325 mg/hari Klopidogrel 75 mg/hari
Aspirin 25 mg + 200 mg dipyridamole extended release dua kali sehari
Warfarin (INR=2.5)
Terapi antihipertensi ACEI + diuretik ACEI + diuretik Statin
C. Drug Related Problems (DRP)
Drug Related Problems (DRP) didefinisikan sebagai suatu kejadian yang diakibatkan oleh pengobatan obat baik yang secara nyata ataupun memilikipotensi mengganggu hasil terapi yang diinginkan. Pharmaceutical Care Network Europe telah mengklasifikasikan tiga domain utama masalah, delapan domain penyebab dan lima domain intervensi terapi yang mana tiap
Tabel 2.4 Klasifikasi domain utama DRP PCNE V.07
Ada masalah yang cukup potensial dengan kurangnya efek farmakoterapi
P2
Reaksi yang merugikan
Pasien menderita, atau mungkin akan menderita, dari pemberian obat
P3 Lainnya
2 Penyebab
C1
Pemilihan obat
Penyebab dari DRP dapat berhubungan dengan pemilihan obat
C2
Bentuk sediaan obat
Penyebab dari DRP dapat berhubungan dengan bentuk sediaan obat
C3
Pemilihan dosis
Penyebab dari DRP dapat berhubungan dengan pemilihan daftar dosis
C4
Durasi pengobatan
Penyebab dari DRP dapat behubungan dengan durasi dari terapi
C5
Dispensing
Penyebab dari DRP dapat berhubungan dengan kondisi logistik dari proses prescribing dan dispensing
C6
Proses penggunaan obat
Penyebab DRP yang berkaitan dengan cara pasien mendapat obat dari tenaga kesehatan profesional, terlepas dari instruksi dosis yang tepat (pada label)
C7
Pasien
Penyebab DRP dapat berhubungan dengan kepribadian atau perilaku pasien
C8 Lainnya
3 Intervensi I0 Tanpa intervensi
I1 Pada tingkat prescriber I2 Pada tingkat pasien I3 Pada tingkat obat I4 Lainnya
4 Penerimaan intervensi A1 Intervensi diterima A2 Intervensi tidak diterima A3 Lainnya
5 Status DRP O0 Permasalahan tidak diketahui
O1 Permasalahan terpecahkan
Tabel. 2.5 Klasifikasi masalah DRP PCNE V.07
No Domain utama Kode V7.0
Masalah
1 Efektifitas pengobatan : Ada masalah yang cukup potensial dengan kurangnya efek farmakoterapi
P1.1 P1.2 P1.3 P1.4
Tidak ada efek dari obat / terapi gagal Efek terapi obat tidak optimal
Obat atau pengobatan yang tidak diperlukan Indikasi yang tidak tertangani
2 Reaksi tidak diinginkan : Pasien menderita kesakitan atau kemungkinan menderita kesakitan akibat suatu efek yang tidak diinginkan dari obat.
P2.1 Reaksi obat yang merugikan terjadi
3 Lainnya P3.1 Pasien tidak puas dengan terapi meskipun hasil pengobatan secara klinis dan ekonomi optimal.
Tabel. 2.6 Klasifikasi penyebab DRP PCNE V.07
Obat yang tidak tepat menurut pedoman / formularium
Obat yang tidak tepat (dalam pedoman tetapi sebaliknya kontraindikasi)
Tidak ada indikasi untuk obat
Kombinasi obat yang tidak tepat, atau obat dan makanan.
Duplikasi yang tidak tepat pada kelompok terapeutik atau bahan/zat aktif
Indikasi untuk obat-pengobatan tidak diperhatikan
Terlalu banyak obat yang diresepkan untuk indikasi
Obat yang sinergis dan diperlukan untuk pencegahan tidak diberikan
Indikasi baru bagi terapi obat muncul 2 Bentuk sediaan
C2.1 Bentuk sediaan obat yang tidak tepat
3 Pemilihan dosis
Dosis obat terlalu rendah Dosis obat terlalu tinggi
Frekuensi regimen dosis kurang
C3.4 Frekuensi regimen dosis berlebih
Durasi pengobatan terlalu singkat Durasi pengobatan terlalu lama
5 Dispensing
Obat yang diresepkan tidak tersedia
Kesalahan peresepan (informasi penting hilang) Kesalahan peresepan (terkait perangkat lunak resep)
Kesalahan dispensing (salah obat atau salah dosis) obat dari tenaga kesehatan
Waktu penggunaan dan/atau interval dosis yang tidak tepat
Lanjutan ...
profesional, terlepas dari instruksi dosis yang tepat (pada label)
7 Pasien
Penyebab DRP dapat
berhubungan dengan
kepribadian atau perilaku pasien.
C7.1 C7.2 C7.3
C7.4
Pasien lupa menggunakan obat
Pasien menggunakan obat yang tidak diperlukan Pasien mengonsumsi makanan yang berinteraksi dengan obat.
Pasien menyimpan obat dengan tidak tepat
C7.5 Pasien menggunakan obat dengan cara yang salah C7.6 Pasien tidak dapat mengadakan obat
C7.7 Penyalahgunaan obat (pemakaian berlebihan yang tidak diatur)
C7.8 Pasien tidak dapat menggunakan obat seperti yang dianjurkan
8 Lainnya C8.1 Tidak dipantau, atau pemantauan hasil yang tidak tepat (termasuk TDM)
C8.2 Penyebab lain ; menentukan C8.3 Tidak ada penyebab yang jelas
Sumber : Pharamceutical Care Network Europe, 2016
D. Rumah Sakit
Rumah Sakit merupakan institusi yang melayani dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Dalam penyelanggarananya, rumah sakit memiliki fungsi sesuai dengan PERMENKES No.44 Tahun 2009 sebagai berikut :
a. Menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit
b. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan medis
c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan SDM
d. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan dalam bidang kesehatan
ditinjau dari pengelolaannya. Rumah sakit dibagi menjadi dua kategori yaitu rumah sakit publik dan privat (Depkes, 2009).
E. Rekam Medik
Sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan No.269, disebutkan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Depkes, 2008). Rekam medis merupakan dokumen rahasia pasien berisi tentang identitas, diagnosa penyakit, riwayat medis, riwayat penyakit dan riwayat pengobatan yang hanya dapat dibuka dalam kondisi berikut :
a. Demi kepentingan kesehatan pasien
b. Memenuhi permintaan penegakan hukum oleh aparatur negara c. Atas persetujuan pasien sendiri
d. Permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan undang undang dan
e. Kepentingan penelitian, pendidikan dan audit media dengan catatan tidak menyebutkan identitas pasien.