• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan Izin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan Izin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP

KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan Izin

Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima

MUHAMMAD ERWIN NIM. 071214453011

PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(2)

RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP

KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan Izin

Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi Ilmu Politik

Pada Program Magister Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Oleh :

Muhammad Erwin 071214453011

PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

PENULISAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 7 JULI 2014

Oleh :

Pembimbing Ketua

Dr. Siti Aminah, MA NIP.19655022419890032002

Pembimbing Kedua

Drs. Aribowo, MS NIP.195808011985021002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga

(4)

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Telah Diuji Oleh Panitia Penguji Tesis Sidang Terbuka Tanggal 21 Juli 2014

PANITIA PENGUJI

Tanda Tangan

Ketua : Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si ( ...)

Anggota:

1. Dr. Kris Nugroho, M.Si ( ... )

2. Dr. Siti Aminah, MA ( ... )

(5)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Dengan ini saya, Muhammad Erwin, menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan karya ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana (S1) ataupun Magister (S2) dari Universitas Airlangga ataupun Perguruan Tinggi lain.

Semua informasi yang terdapat di dalam karya ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik yang dipublikasikan maupun tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber kutipan penulis secara benar, dituliskan dengan format kutipan dalam isi penulisan proposal tesis dan penulisan tesis. Semua isi dari karya ilmiah atau tesis ini sepenuhnya asli dan menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Apabila ditemukan bukti bahwa pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Airlangga.

Surabaya, 16 Juli 2014

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur alhamdulillah yang amat mendalam kepada Illahi Robbi, tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya dan Rosulku pembuka umat yang menjadi pelita hidup.

Segala kesulitan, kelelahan dan kebanggaan tugas akhir ini kuhaturkan untuk mereka yang begitu sangat memberi arti dalam perjalanan hidupku serta pihak-pihak disekitar saya yang turut memberikan sumbangsih dukungan baik materil maupun moral, pemikiran, akses informasi, saran/kritik, serta kerjasamanya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, antara lain :

 Kepada Pembimbing I, Dr. Siti Aminah, MA. Penulis tuturkan penghargaan, penghormatan serta ucapan terima kasih sebesar-besarnya, oleh karena telah sabar membimbing, mengarahkan saya dalam penyelesaian tesis ini. Pada waktu sibuk pun Beliau sempatkan membalas SMS sejenak untuk sekedar memberikan informasi mengenai waktu tenggang untuk bisa konsultasi bimbingan. Dalam proses bimbingan pun masih cukup mudah memberikan arahan-arahan solusi perbaikan tesis ini untuk melengkapi data tesis ini.

 Penghargaan, penghormatan dan ucapan terima kasih, juga penulis sampaikan kepada Pembimbing II, Drs. Aribowo, MS. Walaupun penuh dengan kesibukannya sebagai Dekan Fkultas Ilmu Budaya (FIB), Beliau masih bisa menyempatkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dengan baik demi penyelesaian Tesis ini.

(7)

penguji Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si yang telah mendampingi saya selama menimba ilmu di kampus tercinta ini.

 Tak lupa ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Dr. Kris Nugroho, MA. Selaku anggota tim penguji tesis. Beliau telah turut mewarnai tulisan ini dengan saran dan kritik yang bersifat konstruktif.

 Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh struktur universitas Airlangga, terutama Staf Pengajar S2 Ilmu Politik. Kepada Rektor Universitas Airlangga Dr. H. Fasich, APT. Dekan Fakultas FISIP Universitas Airlangga Dr. I Basis Susilo, MA. Dan seluruh staff pengajar Magister (S2) Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof. Ramlan Surbakti, Drs, MA, Ph.D. prof. Kacung Marijan, Drs, MA, Ph.D. Drs. Priyatmoko MA, Dr. Dwi Windyastuti, MA, Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si, Dr. Kris Nugroho, MA, Drs. Haryadi MA, Drs. Wisnu Pramutanto, M.Si, Dr. Siti Aminah, MA, Drs. Sutrisno, MS, Drs. Aribowo, MS, serta seluruh staf administrasiilmu politik yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk mbak Hilda dan mas Tino orang yang paling sabar yang pernah saya temui, semoga kesabaran mas dalam melayani kami menjadi amal kelak di kemudian hari.

(8)

Ismail, Risca, mas Boni, dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih buaanyak sobat, aku bangga bisa berteman & menjadi bagian dari kalian semua semoga cerita ini akan berlanjut dikemudian hari

 Penghargaan, penghormatan dan ucapan terima kasih sangat tulus dengan penuh kerendahan hati kepada mama dan papa tersayang yang senantiasa memberikan doa, semangat, bimbingan, cinta dan kasih sayang yang tiada batas, adik Rengga, abang Agaf, serta tak lupa untuk calon istriku Dyah.

 Penulis ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Camat Lambu Bapak Mustafa H. AR, beserta jajarannya yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan selama proses penelitian.

 Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa saya haturkan kepada Bapak Hasanudin, Bapak M. Syafrin, mas Wardan, Bapak Mulyadin dan tokoh-tokoh penggerak rakyat lambu lainnya serta seluruh masyarakat Lambu yang bersedia di repotkan selama proses pengumpulan data.

 Tidak lupa juga untuk sahabatku Andre (tuan guru) beserta keluarga yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung, terima kasih telah menjadi teman, keluarga selama saya berada ditanah yang baru pertama kali kuinjakkan kaki.

Surabaya, 2015

(9)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang, faktor apa yang menyebabkan masyarakat melakukan perlawanan terhadap korporasi, implikasi gerakan, serta siapa saja aktor yang memimpin gerakan dan melalui institusi apa saja massa digerakkan dalam perlawanan menolak ijin usaha pertambangan di tanah Lambu Kabupaten Bima. Dalam menganalisis perlawanan rakyat Lambu terhadap korporasi dikaji dan ditelusuri faktor penyebab, implikasi gerakan, serta faktor kepemimpinan aktor gerakan dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap korporasi. Faktor kepemimpinan dikaji untuk mengetahui dan memahami seberapa besar kontribusinya dalam memotivasi terjadinya perlawanan rakyat Lambu. Untuk merekonstruksi peristiwa penolakan rakyat Lambu terhadap izin usaha pertambangan sebagai sebuah gerakan perlawanan politik dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dengan analisa deskriptif. Metode ini dipilih karena lebih mampu menemukan fakta dan mampu mengurai ralitas di lapangan dengan teori. Hasil penelitian menunjukkan perlawanan rakyat Lambu digerakkan oleh kondisi deprivasi relatif yang disebabkan oleh sikap arogansi kepala daerah yang kemudian berubah menjadi deprivasi kolektif sehingga mereduksi tindakan masyarakat Lambu untuk memobilisasi tuntutan melalui ekspresi kekerasan. Sedangkan, implikasi dari gerakan ini terjadinya berbagai peristiwa kekerasan massa serta membawa dampak terhadap tergeraknya kecamatan-kecamatan lain untuk turut menolak keberadaan perusahaan tambang di Kabupaten Bima

(10)

ABSTRACT

(11)

DAFTAR ISI

D. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat... 46

1. Kondisi Sosial ... 46

(12)

E. Potensi Kekayaan Alam ... 49

F. Profil Singkat Kecamatan Lambu ... 51

BAB V PERLAWANAN MASSA TERHADAP KORPORASI 5.1 Latar Belakang Perlawanan Rakyat Lambu ... 54

5.2 Awal Lahirnya Perlawanan masyarakat ... 58

5.3 Pembentukan FRAT ... 65

5.4 Penggalangan Dana Gerakan ... 66

5.5 Aktor-Aktor Dalam Gerakan ... 67

BAB VI KEKERASAN: ANTARA ALAT PERJUANGAN DAN NALURI KOLEKTIF A. Pembakaran Kantor Camat Lambu ... 72

B. Kisah Pilu di Pelabuhan Sape ... 76

C. Runtuhnya Arogansi Kepala Daerah ... 81

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan ... 86

B. Saran dan Rekomendasi ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Antar Agen dengan Struktur ... 22

Tabel 2.2 Jejaring Kekerasan ... 24

Tabel 2.3 Aras dan Dimensi Kekerasan ... 26

Tabel 3.1 Daftar Informan ... 33

Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan ... 44

Tabel 5.1 Rentetan Peristiwa Perlawanan Rakyat Lambu ... 62

Tabel 6.1 Kronologis Kejadian Tragedi Pelabuhan Sape ... 79

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Konseptual ... 30

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dinamika sosial-politik masyarakat di negeri ini pasca berakhirnya rejim Orde Baru menunjukkan perkembangan yang sungguh menarik untuk diamati. Bagaimana tidak, pada masa rejim Orde Baru masih berkuasa, hampir tidak ada dinamika didalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kebijakan politik Orde Baru yang tidak memberikan peluang dan ruang kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasi. Masyarakat diatur dan dibatasi perilaku dan tindakannya oleh norma, nilai dan sistem hukum yang berlaku. Barulah di era reformasi masyarakat memiliki panggung politik sehingga dapat leluasa untuk mengungkapkan kepentingan dan aspirasi politiknya.

(15)

gerakan masyarakat miskin kota yang menolak penggusuran, serta aksi-aksi protes para petani.

Berbagai dinamika sosial-politik yang muncul di negeri ini pun berhasil menarik perhatian banyak peneliti antara lain adalah Wahyudi (2005), dalam bukunya yang berjudul Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus Reklaiming/Penjarahan Atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang, yang mengkaji struktur dan struktur gerakan sosial petani (peasant) di Kalibakar, Malang Selatan. Buku ini menggambarkan perjuangan petani Kalibakar dalam mengambil kembali (reklaiming) tanah nenek moyang mereka yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan industri. Namun, pemerintah menganggap pengambilalihan tanah tersebut oleh petani, yakni merupakan suatu usaha penjarahan kekayaan negara. Perjuangan gerakan petani tersebut sesungguhnya berlangsung cukup panjang dan mengalami pasang surut, yakni dimulai dengan usaha prosedural land reform sejak pasca pendudukan zaman Jepang, berlanjut ke Agresi Belanda ke-II, masa Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, masa Reformasi, dan hingga saat ini pun belum selesai.

(16)

lingkungan sebagai efek dari operasional perusahaan Indorayon, masalah adat, kesejahteraan, keadilan dan sosial-ekonomi bagi komunitas Batak Toba Samosir. Yang unik dari temuan silaen adalah gerakan anti Indorayon tidak muncul dari kaum terpelajar melainkan digagas dan dimotori oleh para inang (ibu-ibu) yang berjumlah sepuluh orang, melalui aksi pencabutan tanaman ekaliptus yang ditanam oleh perusahaan itu ditanah adat mereka. Artinya kesadaran akan dampak negatif keberadaan perusahaan Indorayon malah pertama kali muncul dari kaum ibu-ibu (para inang).

Keunikan lain dari gerakan ini adalah terciptanya jejaring solidaritas se-Sumatera utara, bahkan nasional untuk mendukung perjuangan kesepuluh orang ibu ini, sehingga mereka tidak hanya terbebas dari penjara tetapi berhasil mendapatkan kembali tanah adat mereka. Selanjutnya adalah bahwa gerakan rakyat di kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir ini di dukung oleh tokoh-tokoh gereja di Sumatra Utara, terutama Huria Kristen Batak Protestan terbesar di Indonesia.

(17)

horisontal maupun vertikal tumbuh subur di negeri ini.1 tidak hanya terjadi di kota-kota besar dan pusat pemerintahan namun merambah hingga ke pelosok-pelosok daerah. Berbagai gerakan tersebut tersebar di berbagai daerah dengan ekskalasi konfik yang begitu luas, salah satu dari sekian kasus yang paling meradang adalah penolakan masyarakat Lambu Kabupaten Bima terhadap kebijakan pemerintah yang memberi ijin eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam mereka.

Peristiwa besar itu diawali dengan keputusan Bupati Bima yang memberikan Izin eksplorasi kepada PT Sumber Mineral Nusantara (SMN)2

melalui SK. No. 188.45/367/004/2010 sebagai kuasa pertambangan dengan tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat dan lokasi pertambangan yang tidak jauh dari daerah pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Hal ini kemudian memicu gelombang protes dari warga setempat yang merasa dirugikan dengan keberadaan perusahaan pertambangan.

Penolakan masyarakat terhadap rencana eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam yang berlangsung di kecamatan Lambu Kabupaten Bima menjadi kasus yang menarik untuk diteliti, disamping faktor yang melatar belakangi lahirnya sikap kolektif masyarakat dalam menolak kehadiran perusahaan pertambangan, gerakan yang dibumbui dengan aksi kekerasan massa terhadap instansi-instansi

1 Soenyono. 2005. Gerakan Sosial Masyarakat Miskin Perkotaan : Studi Kasus Gerakan Sosial

Masyarakat Stren Kali Surabaya Menolak Kebijakan Penggusuran (yang dilakukan pemerintah).

Disertasi. Unair

(18)

pemerintahan setempat, disisi lain juga memperlihatkan bagaimana negara dalam cengkeraman hegemoni korporasi.

Kabupaten Bima adalah salah satu daerah dengan intensitas konflik sosial yang tinggi. Berbagai peristiwa berdarah yang melibatkan massa besar sudah sering terjadi ditanah Bima tanah yang lebih dikenal dengan sebutan dana mbojo, beberapa diantaranya misalkan pada 14 Juni 2010 terjadi bentrokan antara massa aksi yang menolak hasil pilkada yang memenangkan pasangan Feri Zukarnain dan H. Syafrudin dengan aparat kepolisian. Dalam peristiwa tersebut menghasilkan 11 korban luka-luka akibat terkena peluru tajam aparat kepolisian serta insiden pemboman kantor KPUD dan pembakaran kantor DPD Golkar oleh massa aksi. Selain itu ditemukannya pondok pesantren yang teridentifikasi sebagai pusat aktifitas teroris yang berlokasi di desa Sanolo, belum lagi bentrokan antar warga kampung hampir tidak terhitung jumlahnya, hal ini kemudian mengukuhkan Bima sebagai daerah dengan budaya kekerasan yang tinggi.

(19)

kepada PT Mineral Nusantara Citra Persada dan PT Indomineral Citra Persada mengantongi 2 (dua) IUP Operasi Produksi, PT Indomining Karya Buana mengantongi tujuh IUP Operasi Produksi, dengan jenis bahan galian berupa mangan dan pasir besi, sedangkan untuk bahan galian emas, pemerintah kabupaten menguasakan IUP eksplorasi kepada PT Bima Putera Minerals dan PT Sumber Mineral Nusantara. Selain 14 IUP itu, pemerintah Kabupaten juga mengeluarkan IUP Eksplorasi Mangan pada PT Anugerah Nusantara Resources pada tanggal 28 April 2010, dengan Nomor 188.45/357/004/2010 pada wilayah Desa Lido dan Soki, Kecamatan Belo.

Kekayaan alam berlimpah ruah yang dimiliki suatu daerah sejatinya merupakan anugerah tuhan yang tidak ternilai harganya, namun tidak jarang pula menjadi bencana bagi daerah dan rakyat. Berkaca pada daerah-daerah yang lebih dulu melakukan eksplorasi kekayaan alam seperti Freeport di Papua, Blok Cepu di Kabupaten Blora, dan yang paling dekat adalah daerah tetangga Kabupaten Sumbawa Barat yang memiliki PT Newmont. Kenyataannya keberadaan perusahaan-perssahaan tambang tersebut tidak mampu mengangkat taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat, yang menonjol justru dampak negatif yang ditimbulkan baik secara ekologi maupun dampak secara sosial.

(20)

apa yang akan terjadi setelah penambangan selesai tidak akan bisa terpisahkan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar dan oleh karenanya itu dalam proses pengelolaannya haruslah memperhitungkan berbagai macam dampak yang akan ditimbulkan dari proses penambangan tersebut, maka dari itu diperlukan kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh masyarakat), untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan kelak, seperti yang telah dipesankan oleh Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama dalam pidato Tri Sakti 1963 yang menganjurkan agar kekayaan alam Negara ini tetap tersimpan di perut bumi, hingga Saat putra-putri bangsa indonesia sudah mampu untuk mengelolahnya sendiri.

(21)

Penolakan masyarakat Lambu terhadap keberadaan perusahaan tambang diwujudkan melalui aksi-aksi protes yang kemudian berkembang menjadi gerakan perlawanan dengan melibatkan massa besar, dan melahirkan gejolak sosial yang begitu besar di tanah Bima. Menurut Michael C. Hudson dan Charles Lewin Taylor Unjuk rasa atau demonstrasi - aksi protes merupakan ekspresi atau akatualisasi nilai dan kepentingan politik masyarakat yang dibenturkan secara langsung dengan nilai dan kepentingan politik negara.

Dalam negara demokrasi aksi protes, demonstrasi, pawai tentu saja menjadi hal yang sah saja terjadi. Di Indonesia pun diatur dalam UU No. 9/1998 tentang Keemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 2 ayat 1 dan 2, dan Pasal 9 ayat 1. Namun reaksi yang berlebihan tentu juga tidak dibenarkan dalam konstitusi misalkan tindakan yang mengarah pada kekerasan, seperti mengganggu ketertiban umum serta merusak fasilitas publik. Sebaliknya pemerintah juga tidak menggunakan cara-cara represif ketika menghadapi gejolak di akar rumput.

(22)

Konflik Lambu telah mengorbankan sejumlah fasilitas publik serta memakan korban jiwa. Dari data yang dihimpun di lapangan terdapat beberapa instansi pemeritahan yang dibakar massa pada konflik Lambu antara lain; Kantor Camat Lambu, Kantor Dinas Kehutanan Kecamatan Lambu, Kantor Urusan Agama (KUA) Lambu, Kantor Polsek Lambu, Kantor Pertanian Kecamatan Lambu, dan 4 (empat) kantor kepala desa yaitu desa Lanta, desa Sumi, desa Soro, dan desa Melayu, dan yang terakhir adalah Kantor Bupati Bima yang merupakan pusat aktifitas pemerintahan Kabupaten Bima.

Selain itu, sebelum kejadian pembakaran Kantor Bupati Bima oleh massa aksi, terdapat aksi kekerasan massa lainnya yang bahkan menyita perhatian nasional yaitu peristiwa di pelabuhan sape pada 24 Desember 2011, massa menduduki pelabuhan sape yang kemudian menyebabkan jalur transportasi Bima - Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur menjadi lumpuh total. Puncak dari peristiwa ini terjadi bentrokan antar massa aksi dengan aparat kepolisian pada tanggal 24 Desember 2011 yang berujung pada jatuhnya 2 (dua) korban jiwa dan ratusan orang luka-luka.

(23)

tidak segan untuk menciderai kita, dalam hal ini apakah salah ketika kita menggunakan kekerasan untuk melawan mereka.

Pemaknaan kekerasan dari sudut pandang teori gerakan sosial baru terbagi menjadi dua sifat antara lain, kekerasan itu bersifat ofensif apabila secara aktif dipakai untuk menyerang orang lain atau sumber daya yang dijadikan tujuan kekerasan. Kekerasan bersifat defensif apabila hanya dipakai untuk membela diri. Kalau itu ditarik pada gerakan yang terjadi di tanah Lambu maka peggunaan kekerasan dalam gerakan penolakan terhadap ijin usaha pertambangan yang berlokasi disekitar pemukiman mereka dapat dikatakan sebagai bentuk usaha masyarakat mempertahankan hak-haknyaa atas ligkungan disekitar area pemukiman mereka.

Disisi lain, undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan lebih bagi Daerah dalam urusan pengelolaan pertambangan di daerah, termasuk dalam hal perijinan usaha pertambangan. Kewenangan tersebut kemudian diperkuat lagi oleh Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba (Mineral dan Batubara) dimana pada pasal 37 disebutkan bahwa IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan oleh bupati/walikota jika wilayah tambang berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota. Selanjutnya, IUP diberikan oleh gubernur jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi. Selanjutnya, IUP diberikan oleh Menteri ESDM jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah provinsi.3

(24)

Maka secara tidak langsung otonomi daerah telah memberi kuasa yang amat besar kepada pemerintah daerah dalam pemberian izin pertambangan. Selain itu, undang-undang Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 menempatkan kepala daerah sebagai aktor tunggal dalam penerbitan dan pencabutan izin tambang. Otoritas besar yang dimiliki daerah melalui kepala daerah seharusnya menjadikan pemerintah daerah bijak dalam mengelola potensi yang dimiliki daerah serta memberikan hak untuk menolak atau menerima segala bentuk investasi yang masuk.

Kembali pada kasus Lambu negara dapat diasumsikan tidak hadir sebagai institusi yang menjamin dan memproteksi hak-hak masyarakat sipil, melainkan sebagai kekuatan besar dan kejam yang menindas dan memangsa hak-hak dan merampas keadilan masyarakat sipil atau dalam istilah lain yang diungkap Marx negara tidak lain sebagai alat bagi kaum kapitalis. Otoritas besar yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan kepala daerah sebagai penguasa yang seringkali mematahkan kekuatan oposisi rakyat dengan mengatas namakan negara.

(25)

namun juga harus mampu membangun dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat.

Kembali pada gerakan perlawanan rakyat Lambu, posisi yang teralienasi inilah yang telah mendorong solidaritas dan soliditas antar-warga masyarakat yang sama-sama merasakan terancamnya kepentingan ekonomi mereka karena hadirnya perusahaan pertambangan. Disamping itu, menurut James Scott komunitas petani memang menganut pola hidup gotong-royong, tolong menolong dan melihat persoalan secara kolektif. Sikap tersebut muncul karena dilandasi oleh struktur kehidupan yang terjepit sehingga harus menyelamatkan diri.

Demikian, hadirnya industri besar berjenis perusahaan tambang di sekitar pemukiman penduduk kecamatan Lambu yang jauh dari keramaian kota, oleh pemerintah diasumsikan dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, ternyata tidak berbanding lurus dengan sambutan masarakat setempat. Bahkan bagi masyarakat menganggapnya sebagai bentuk arogansi pemerintah dalam hal ini kepala daerah karena tidak mempertimbangkan area pemukiman dan lahan pertanian warga setempat. Sejak awal digulirnya isu hadirnya perusahaan pertambangan telah menuai reaksi protes dan penolakan dari masyarakat, yang seiring dengan waktu bahkan berkembang menjadi gerakan perlawanan demi dicabutnya kebijakan tentang ijin pertambangan di daerah mereka untuk selama-lamanya.

(26)

mengkaji dan membahas lebih dalam tentang perlawanan masyarakat dalam menolak ijin pertambangan di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, maka peneliti mengambil judul:

Resistensi Politik Masyarakat Terhadap Korporasi: Kekerasan Massa dalam Aksi Penolakan Ijin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan gambaran permasalahan yang disampaikan didepan, penelitian ini mencoba untuk mencari jawaban atas permasalahan berikut :

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat melakukan perlawanan terhadap korporasi?

2. Bagaimana implikasi perlawanan masyarakat Lambu terhadap korporasi dan pemerintah Kabupaten Bima?

3. Siapa saja aktor yang memimpin gerakan dan melalui institusi apa saja massa digerakkan dalam perlawanan menolak ijin usaha pertambangan di tanah Lambu Kabupaten Bima?

C. Tujuan Penelitan

(27)

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Secara akademis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang berarti kepada entitas akademisi sebagai wahana untuk menambah wacana dan memperkaya khasanah tentang perlawanan massa terhadap hegemoni korporasi yang berlangsung di Lambu Kabupaten Bima.

b. Manfaat Praktis

(28)

BAB II

KONSEPSI TEORITIS

Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini, antara lain: Teori deprivasi relatif dan teori kekerasan kolektif. Peneliti berpendapat kedua teori tersebut dapat menjelaskan kompleksitas dari fenomena kekerasan massa dalam aksi penolakan terhadap perusahaan pertambangan oleh masyarakat Lambu. Disamping itu, disadari juga bahwa untuk memahami realitas konflik kekerasan yang terjadi tidak dapat diterangkan dengan teori tunggal, akan tetapi dari banyak dimensi, teori dan bahkan perspektif.

2.1 Teori Deprivasi Relatif

Salah satu peristiwa yang menonjol sejak era reformasi digulirkan adalah munculnya beragam aksi protes dari masyarakat sipil, baik itu petani, buruh, maupun mahasiswa dengan latar belakang persoalan yang berbeda-beda. Sedangkan bentuk-bentuk protes baik yang destruktif maupun konstruktif akibat dari perlakuan tidak adil sering disebut dengan deprivasi relatif (Crosby, 1982; Croby & Gonzales-Intal, 1984), namun tidak semua deprivasi relatif berakhir dengan protes.

(29)

detil lagi Davis memebedakan reference group, yang diartikan sebagai in-group, dengan out-group. Dijelaskan lebih lanjut bahwa deprivasi relatif terjadi bila pembandingnya adalah anggota in-group. Sementara itu bila pembandingnya out-group maka yang terjadi adalah social inferiority. Baik deprivasi relatif maupun keminderan sosial terjadi bila kondisinya lebih jelek dari pembandingnya. Bila kondisinya lebih baik dan pembandingnya in-group maka yang terjadi adalah gratifikasi (kepuasan), sedangkan bila pembandingnya out-group maka yang muncul adalah sosial superiority.4

Kedua, Runciman memformulasikan munculnya deprivasi relatif bila seseorang (1) tidak mempunyai X, (2) dia tahu orang lain mempunyai X, (3) dia menginginkan X, (4) dia merasa layak/mampu memiliki X. Menurut Runciman deprivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu egoistical and fraternal deprivation. Deprivasi egoistikal terjadi bila seseorang merasa kondisinya lebih buruk dibanding orang lain dalam kelompoknya. Sementara deprivasi fraternal terjadi bila seseorang menilai kondisi kelompoknya lebih jelek dibanding dengan kelompok lainnya. Ada kemungkinan seseorang merasakan keduanya sehingga dia mengalami doubly deprived.

Ketiga, Ted Robert Gurr mendefinisikan deprivasi relatif sebagai the discrepancy between ought an is (adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya dangan apa yang senyatanya). Secara operasional, konsep ini digunakan untuk menggambarkan persepsi seseorang terhadap ketimpangan antara nilai-nilai yang diharapkan (value expectation) dengan nilai-nilai kapabilitas (value capabilities)

(30)

yang diperlukan untuk meraih harapan tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud berupa benda material atau kondisi kehidupan dimana seseorang merasa mempunyai hak untuk memilih atau menikmatinya. Secara matematis ia memformulasikan deprivasi relatif sebagai berikut :

Ve – Vc RD =

Ve Ket:

RD : relative deprivation Ve : value expectations Vc : value capabilities

Lebih lanjut, menurut Gurr terdapat tiga bentuk deprivasi. Pertama, decremental deprivation terjadi bila nilai-nilai harapan kelompok tidak berubah tetapi kemampuan kelompok menurun. Kedua, aspirational deprivation (deprivasi aspirasi) yang akan muncul bila kemampuan kelompok tidak berubah tetapi harapan kelompok meningkat. Ketiga, progresive deprivation (deprivasi progresif) dapat terjadi bila kedua unsurnya berubah, yaitu terjadi penurunan kemampuan sementara harapannya justru meningkat. Kategori deprivasi relatif yang ketiga, progressive deprivation seringkali menjadi rasionalitas atau sumber trjadinya protes sosial atau gerakan sosial. Dari penjelasan ini terlihat bahwa model yang dikemukakan Gurr tampak lebih dinamis dibanding dengan lainnya.

(31)

menegaskan, gerakan sosial pada umumnya terjadi sebagai akibat terjadinya deprivasi relatif, yakni ketika dihadapan masyarakat terbentang jurang panjang yang memisahkan antara harapan masyarakat dengan kemampuan mereka mendapatkan sarana-sarana yang diperlukan untuk memenuhi harapan-harapan yang diinginkan.

Lebih jauh dari pada itu, Zeihin dalam konsepnya yang disebut ―deprivasi kumulatif‖, menyatakan bahwa kekecewaan seseorang cenderung memiliki sumbernya dalam ketidakpuasan ekonomi, terutama ketika ketidakpuasan dan ketidaknyamanan yang dipikulnya sebagai akibat kemiskinan ekonomi yang sudah lama dialaminya menjadi semakin memburuk.5 Dengan kata lain, Zeihin

ingin menyatakan bahwa ketidak puasan dan ketidaknyamanan yang terakumulasi akan lebih mudah mengarahkan dan memotivasi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan perlawanan ataupun gerakan sosial.

Dalam konteks terjadinya gerakan perlawanan masyarakat ataupun gerakan sosial DiRenzo menyatakan argumen yang hampir tidak berbeda bahwa penyebab terjadinya perlawanan sosial bersumber pada adanya perasaan kekecewaan (sense of discontent) yang luas, kemunikasi kekecewaan (communicatition of discontent),6 ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial (social attribution of discontent), kemungkinan adanya resolusi kekecewaan (probability of resolution of discontent), dan adanya sumber daya untuk melakukan mobilisasi (resource mobilization). Ia berpendapat kondisi deprivation

5 M. Zeihin. 1966. Economic Insecurity and Political Attitudes of Cuban Workers. American Sociology Review. Vol. 31 No. 1. Hal 31

(32)

hanya merupakan faktor sekunder dari suatu gerakan perlawanan masyarakat, sementara yang menjadi faktor primer adalah mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang dimaksud meliputi kepemimpinan, pendukung atau pengikut, aset keuangan, profesionalitas yang berbakat, akses kepada media, perlengkapan yang tepat, dan kedekatan fisik. Bagi peneliti, kondisi deprivasi bukan sekedar sebagai faktor sekunder, akan tetapi merupakan faktor primer mendahului kepemilikan sumber daya. Terbukti, bayak masyarakat hanya berbekal rasa kekecewaan, mereka mempunyai tekad yang kuat dan sanggup melakukan gerakan meskipun tanpa didukung oleh sumber daya yang memadai.

Sedangkan resistensi sendiri diartikan sebagai semua tindakan para anggota kelas masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini (Scott, 1985). Konsep resistensi seringkali dipakai untuk menjelaskan perlawanan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas karena ketidak adilan dan hegemoni kekuasaan.

(33)

akan adanya perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Sedangkan gerakan perlawanan rakyat Lambu merupakan gerakan yang lahir dari prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada ataupun bahkan bertentangan dengan harapan dan kepentingan masyarakat setempat.

2.2Teori Kekerasan Kolektif

Dalam analisis politik, dikenal dua tradisi atau tema utama sebagai unsur wadah pemikiran yang memiliki kerangka analisis tentang kekerasan, yaitu paham tingkah laku (behavioralism) dan paham struktural (strukturalism). Kedua tradisi tersebut memiliki tumpuan analisis yang berbeda. Paham tingkah laku bertumpu pada pengambilan individu selaku manusia politik sebagai satuan dasar pengamatan, mengkaji bagaimana orang bertingkah laku dan apa yang mendorong tingkah laku mereka. Sementara itu, pembagian kehidupan sosial kedalam jaringan peran, tukar, kelas-kelas, dan cara-cara teratur untuk melakukan tindakan timbal-balik merupakan bidang paham struktural.

Dua pemikir besar yang memiliki pandangan paradoks mengenai kekerasan sekaligus mewakili pertentangan kedua tradisi tersebut adalah; Thomas Hobbes (1588-1679) dan Jean-Jacques Rosseau (1712-1778)7. Pandangan Hobbes

didasarkan pada anggapan manusia sebagai mahluk yang dikuasai oleh dorongan irasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, pendek pikir, atau bersosok homo homini lupus,

(34)

belum omnium contra omnes. Artinya kekerasan itu alamiah, merupakan dinamika sifat manusia untuk mempertahankan dan meraih keinginannya.

Sedangkan Rosseau berpandangan bahwa kekerasan bukan merupakan produk manusia secara alamiah sebagai mahluk yang polos, mencintai diri serta spontan, tidak egois dan tidak altruis, mustahil mau berbuat kekerasan. Jadi rantai peradabanlah yang membentuk manusia memiliki sifat agresi, hubungan-hubungan dengan aktifitas manusia menimbulkan gesekan yang bermasalah sehingga menciptakan manusia yang memiliki kemungkinan melakukan kekerasan

Pada dasarnya persilangan pendapat antara Hobbes dengan Rousseau diatas mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan besar apakah suatu tindakan kekerasan itu ditentukan oleh agen atau individu secara otonom ataukah ditentukan oleh struktur yang melingkupinya, baik struktur dalam pengertian nilai, budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam perdebatan teoritis, muncul dua pandangan yang menyebutkan, apakah suatu kekerasan itu diletakkan dalam tataran agen atau struktur.

(35)

dipandang sebagai usaha rasional dari individu atau kelompok tertentu, yang mencoba menarik kepentingan dengan terjadinya kekerasan dalam cara pandang ini menjadi sah. Sehingga tokoh sentral yang diperankan individu atau kelompok penggerak kekerasan massa, mengabaikan dugaan faktor luar atau kendala struktural yang mempengaruhi massa, dan secara ekstrim tidak memperhatikan dampak hubungan-hubungan sosial dan masyarakat.

Sebaliknya dalam tataran struktur, kekerasan dipahami sebagai hasil dari proses-proses hubungan sosial atau struktur dimana pelaku tersebut berada. Hubungan itu bukan sekedar antar masyarakat, tetapi melibatkan pemerintah, yang di dalamnya terdapat persoalan. Hal inilah yang mendorong massa melakukan tindakan kekerasan, dan yang terpenting bukan dugaan oleh individu yang mempunyai niat untuk memanfaatkannya, tetapi individu-individu itulah yang menjadi produk struktur.

1.Masyarakat terdiri dari hubungan-hubungan sosial atau‖struktur‖yang menjadi kondisi interaksi dan hasil tindakan agen-agen.

2.―Penjelasan dari luar‖mengabaikan dan menyepelekan faktor-faktor motivasi, niat, strategi dan aksi agen karena dianggap tidak lebih dari artefak atau produk struktur.

(36)

konstruksi individu-individu yang subjektif.

5.Hubungan yang monocausal dan sederhana mengaitkan agen dengan struktur : Agen membentuk struktur. 6.Penekanan pada praktik-praktik

mikro(micro-practices) dalam interaksi sosial yang ditandai dengan keunikan dan kekayaan interaksi sosial dan politik.

7.Untuk menjelaskan suatu peristiwa dan fenomena politik dimulai dari-dan diakhiri dengan-individu.

8.Voluntarisme yakni memahami peristiwa dan fenomena politik dengan memperhatikan niat dan motivasi aktor.

9.Penekanan pada bagian-bagian yang membentuk keseluruhan seperti sehingga orang berperilaku selaras dengan atau fungsional terhadap sistem.

5.Hubungan yang monocausal dan sederhana mengaitkan struktur dengan agen : Struktur membatasi dan bahkan menentukan keagenan. 6.Penekanan pada aksi yang selalu

tertanam dalam struktur yang lebih luas(macro-embeddedness).

7.Struktur sosial politik dianggap sebagai alpa dan omega penjelasan tindakan aktor.

8.Determinisme dan teleologisme, yakni pandangan yang menempatkan proses-proses sosial dan politik dinisbatkan kepada’historical and state’ seperti hubungan-hubungan ekonomi dalam marxisme.

9.Penekanan pada keseluruhan yang mempengaruhi bagian-bagian yang menjadi unsurnya

Sumber: Dikutip dari Akmal Budianto, Pemimpin Politik dan Kualitas Demokrasi Tahun 2010

(37)

Disis lain, seiring dengan perkembangannya teori kekerasan dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok besar, yaitu kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor, kekerasan sebagai produk dari struktur, dan kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur. Jack Douglas mendeskripsikan kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan oleh aktor atau kelompok aktor yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan. Selanjutnya kelompok yang memberikan pengertian bahwa kekerasan terkait dengan struktur dipelopori oleh Johan Galtung. Galtung (1975) mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Bentuk kekerasan structural yang dikemukakan oleh galtung menunjukan bentuk kekerasan tidak langsung, tidak tampak, dan statis. Dalam perkembangan berikutnya Galltung dan Turpin juga menjelaskan bahwa kekerasan dapat ditimbulkan oleh adanya pertautan antara aktor dan struktur.

Tabel 2.2 Jejaring Kekerasan

Aktor Kekerasan Asumsi Pemerhati Tesis

Individu/kelompok

(38)

terkait dengan

struktur/negara Barbara Salet Marx Johnson Anthony Giddens

Lester R. Kurtz Kekerasan sebuah jaringan sebagai Pertautan kekerasan aktor dan struktur

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat dilakukan oleh indifidu atau kelompok, Negara atau struktur, dan jejaring antar aktor dan struktur. Jenis kekerasan yang terakhir ini oleh Galtung disebut sebagai kekerasan kultural. Kemudian penjelasan tentang gejala kekerasan yang lebih spesifik tampak pada table berikut ini :

Tabel 2.3

Struktur social Aparat Negara Pengendali capital

(39)

ok anomi

Aksi indifidual

Sumber : Dikutip dari Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan Tahun 2002 Peristiwa pembakaran dan perusakan oleh massa terhadap instansi pemerintah yang notabene sebagai fasilitas publik merupakan bentuk dari kekerasan kolektif, yaitu kekerasan yang dilakukan secara beramai-ramai atau secara bersama-bersama. Menurut Ted Robert Gurr8 dalam teori ―deprivasi relatif‖ menyatakan bahwa kekerasan kolektif terjadi karena adanya kesenjangan antara ekspektasi nilai dan kapabilitas nilai. Ekspektasi nilai adalah barang dan kondisi kehidupan yang dianggap bisa diperoleh dan dipelihara. Sedangkan kapabilitas nilai adalah barang dan kondisi yang dianggap bisa diperoleh dan dipelihara.

Namun, mengapa manusia melakukan kekerasan secara kolektif atau massal? dari teori ―deprivasi relative‖ Ted Robert Gurr, oleh para sejarah dan ilmuwan sosial telah mendiskusikan secara luas teori-teori kekerasan kolektif (revolusi, pemberontakan, kerusuhan, pembuhuhan beramai-ramai oleh massa), gerakan sosial, dan partisipasi politik agresif.

Pada paruh pertama abad 20, para sosiolog Amerika menerima bentuk penjelasan tunggal fenomena tersebut dibawah rubric ―perilaku kolektif‖. Perilaku seperti itu didefinisikan sebagai perilaku yang mengganggu keseimbangan masyarakat normal atau stabil. Perilaku seperti itu didiorong oleh tindakan emosional indifidu yang terisolasi secara social.

(40)

Menurut Rule (1988)9, teori perilaku kolektif ditegakkan berdasarkan premis bahwa setiap bentuk pemberontakan dengan kekerasan atau tidak, berasal dari tindakan orang-orang dan merepresentasikan ancaman bagi masyarakat. Untuk itulah riset ilmu-ilmu social tentang perilaku kolektif dan ―masyarakat massa‖ dibutuhkan guna memfasilitasi pengendallian atas kekerasan atau gerakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan.

Menurut kajian ilmu-ilmu sosial, kekerasan kolektif pada prinsipnya dapat ditelaah dari dua perangkat lunak analisis sosial yaitu studi-studi mengenai perilaku kolektif dan kerumunan (collective behavior and crowds) sehingga menghasilkan tindakan kolektif (the logic of collective action) serta studi-studi dalam perspektif konflik social (social conflict).

Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.

Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau

(41)

kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama (tindakan kolektif) untuk merubah norma dan nilai.

Logika tindakan kolektif dilandasi asumsi bahwa kerjasama hanya dapat terjadi apabila setiap indifidu yang terlibat didalamnya akan memperoleh manfaat. Hitungan untung rugi individu jauh lebih penting daripada hitungan untung rugi kelompok. Sebab bukan kelompok itu yang rasional, melainkan indifidu-indifidu yang menjadi anggotanya.

Dalam suatu interaksi sosial, seseorang dimugkinkan untuk memmpengaruhi perilaku orang lain yang selanjutnya memudahkan penyamaan persepsi sabagai pijakan kerjasama. Suatu kerjasama kelompok dapat terjadi untuk hal-hal yang dianggap baik, dapat pula untuk hal-hal yang dianggap tidak baik. Tindakan kolektif adalah suatu bentuk kerjasama juga. Oleh karena yang terpenting dalam suatu kerjasama adalah individu, maka berartiterdapat peluang untuk melihat bentuk kekerasan kolektif pada tingkat indifidual yang mendompleng gerakan massa. Dalam situasi seperti itu – meminnjam istilah Hoffer, anggota-anggota kerumunan dikendalikan oleh sikap ketidakpuasan, rasa kecewa, dan lainnya. Sumber-sumber kekecewaan, rasa tidak puas, dianggap sebagai suatu sebab munculnya aksi kolektif.

(42)

mempengaruhi gerakan massa, termasuk didalamnya adalah pembunuhan oleh massa.

Konteks indifidual yang diduga melingkupi kekerasan kolektif dalam bentuk pembakaran oleh massa terhadap sejumlah istansi pemerintahan yang juga merupakan fasilitas publik dalam penelitian ini adalah terakumulasinya kekecewaan (deprivation), keluhan (grievance), bahkan oleh sebagian aktor dipersepsikan sebagai instrument perjuangan.

Jika ditinjau dari teori konflik, maka asal muasal konflik kekerasan berasal dari rasa frustrasi yang dialami setiap anggota masyarakat. Rasa kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk dialami rakyat kemudian melahirkan ketidak senangan, yang puncaknya adalah tindakan kekerasan.

2.3Kerangka Konseptual

(43)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Masyarakat

Lokal

Aksi Protes Masyarakat

Pemerintah Daerah

Perusahaan Pertambangan

SK. 188

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian

Secara metodologis, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif lebih tepatnya kualitatif deskriptif. Menurut Newman, penelitian kualitatif merupakan reseach that more concerned about construct social reality, cultural meaning, focus on interactive processes, events authenticly is key values

are present and explicit, situationally constrained, few cases, and subject thematic

analysis where the researcher is involved.10 Maka penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang digunakan dengan tujuan untuk mengkonstruksi realitas dan memahami fenomena.

Disamping itu, adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini dipilih dimaksudkan mempelajari secara mendalam dan komprehensif salah satu peristiwa sosial politik yang terjadi di Kabupaten Bima. Metode ini dipilih karena lebih mampu menemukan fakta dan mampu mengurai ralitas di lapangan dengan teori. Karena penelitian kualitatif-deskriptif berupaya untuk mendiskripsikan secara rinci dan menyeluruh kekerasan massa dalam gerakan masyarakat menolak ijin pertambangan di Kabupaten Bima.

Dalam penelitian ini pula peneliti melakukan kajian analisis dari perspektif studi gerakan sosial politik untuk melihat serta menganalisa gerakan perlawanan

(45)

masyarakat disekitar area pertambangan di kecamatan Lambu Kabupaten Bima. Inilah kemudian yang menjadi alasan peneliti mengunakan metode kualitatif.

Dengan pendekatan ini, peranan peneliti dalam melaksanakan penelitian sangat dominan, oleh karenanya ciri-ciri penelitian kualitatif itu menempatkan peneliti baik secara sendiri ataupun dengan bantuan orang lain sebagai alat pengumpul data yang paling utama atau sebagai instrumen penelitian itu sendiri. 3.2Lokasi Penelitian

Dalam penelitian yang bercerita tentang gerakan perlawanan masyarakat menolak ijin usaha pertambangan ini, lokasi yang dijadikan sebagai kajian penelitian adalah kecamatan Lambu Kabupaten Bima. Meskipun area yang menjadi lokasi pertambangan mencakup tiga kecamatan yaitu Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu.

Namun tidak semua kecamatan yang tercakup pada area pertambangan akan menjadi lokasi penelitian, melainkan penelitian akan difokuskan pada kecamatan lambu. Karena selain menjadi daerah terdekat dari lokasi pertambangan, Kecamatan lambu merupakan kecamatan dengan potensi gerakan yang relatif radikal dan menjadi poros dari perlawanan menolak keberadaan perusahaan pertambangan.

3.3 Penentuan Subjek Penelitian

(46)

cases with a specific purpose in mind.11 Teknik ini dipilih karena peneliti ingin memperoleh data dari informan sesuai dengan kapasitas dan kedudukannya, sehingga mampu merepresentasikan informasi dari suatu fenomena yang berlangsung. Untuk itu, maka peneliti memetakan dan memilih informan yang memiiki kapasitas dan kapabilitas sesuai dengan masalah penelitian yang diteliti.

Berdasarkan penjelasan diatas, penentuan subjek penelitian dalam penelitian tesis ini meliputi, sebagai berikut :

Tabel 3.1 Daftar Informan

No Nama Informan Profil Informan

1. Bpk. Mustafa H. AR Camat Lambu

2. Bpk. Jubair, S.Ag Sekretaris Camat Lambu

3. Bpk. Drs. H. Abdul Wahab Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kab. Bima

4. Bpk. M. Syafrin Kepala Desa Lanta

5. Bpk. Hasan Koordinator FRAT

6. Bpk. Mulyadin, S.Pd Sekretaris FRAT

7. Adicus Wardana Aktifis LMND

8. Adi Supriadin Aktifis KMLB

9. Agus Andriansyah, S.Ip Aktifis KKLM

10. Bpk. Jakaria Masyarakat

11. Bpk. Muhammad Masyarakat

(47)

12. Bpk. Burhan Masyarakat

13. Bpk. Maman Masyarakat

14. Bpk. Abidin Masyarakat

15. Bpk. Masykur Masyarakat

Beberapa nama yang dijadikan informan diatas dipilih karena kedekatannya dengan persoalan penelitian atau dengan kata lain merupakan tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan langsung serta terlibat dalam gerakan. Sehingga diharapkan dapat menjawab dan menjelaskan persoalan yang sedang diteliti.

3.4 Instrumen Penelitian

The researcher is the instrument for measuring field data (Newman, 2003: 375). Dari penjelasan yang dikemukakan oleh Newman tersebut maka yang menjadi instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Peneliti menjadi instrumen penting dalam penelitian karena dengan posisi sebagai instrumen dapat menjadikan pengingat bagi peneliti ketika menggali data di lapangan agar lebih sensitif terhadap apa yang terjadi di lapangan dan disiplin didalam merekam data-data yang diinterpretasikan oleh peneliti menjadi tanggungjawab peneliti itu sendiri.

(48)

para informan dalam penelitian ini. Sementara kamera digital digunakan untuk membuat dokumentasi (gambar/foto) ketika peneliti melakukan pencarian data ataupun melakukan penggalian data pada informan serta mengumpulkann gambar-gambar terkait dengan fenomena dinamika sosial politik masyarakat Lambu. Sedangkan note book digunakan untuk mencatat hal-hal yang peneliti temukan ketikamengumpulkan data-data di lapangan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk instrumen pengumpulan data, agar menjadi satu kesatuan yang utuh dan konsisten dengan metode penelitian yang dipilih dan objek yang menjadi unit analisis, maka ada dua teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik wawancara mendalam terhadap informan yang ditentukan dan kajian dokumentasi.

a. Wawancara Mendalam (Dept Interview)

(49)

Dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan sebagai aktor yang terkait dengan peristiwa perlawanan masyarakat Lambu, peneliti bisa mendapatkan informasi yang absah terkait dengan masalah yang sedang diteliti, selain itu. diharapkan bisa menggali berbagai informasi terkait dengan permasalahan penelitian.

Sedangkan prosedur wawancara yang digunakan adalah tidak terstruktur, sehingga dapat berkembang sesuia harapan dan kebutuhan penelitian. Data yang diperoleh dari wawancara berupa kutipan langsung dari subyek/informan tentang pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuannya maupun dari observasi langsung terdiri dari pemberian rinci tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-orang, serta keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal, dan proses penataan merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati, (Oetomo dalam Bagong, 1995, 152).

Wawancara mendalam dilakukan dengan berpatokan pada interview guide, yakni daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka dan ingin memperoleh jawaban mendalam. Dalam interview guide, peneliti tidak membuat instrumen interview yang terstruktur dan baku, melainkan hanya mencantumkan daftar pertanyaan yang sifatnya umum berupa rambu-rambu untuk mengarahkan peneliti agar tidak terjebak dalam pertanyaan dan dialog dengan informan diluar permasalahan dan tujuan penelitian.

(50)

1. Apakah yang melatarbelakangi penolakan masyarakat terhadap adanya ijin usaha pertambangan di Lambu?

2. Bagaimana masyarakat mengorganisasikan diri dan bergerak menolak keberadaan perusahaan pertambangan.

3. Mengapa masyarakat membakar sejumlah fasilitas publik?

4. Apakah dalam proses hadirnya perusahaan tambang telah memenuhi prosedur?

5. Apakah ada sosialisasi baik dari pemerintah maupun pihak korporasi terkait dengan rencana pertambangan di Lambu?

6. Kelompok/siapa saja yang terlibat dalam konflik pertambangan?

7. Siapa saja aktor yang terlibat dalam aksi penolakan terhadap ijin usaha pertambangan?

8. Adakah upaya dari stake holder untuk membicarakan bersama pemecahan konflik?

9. Adakah pengaruh konflik pertambangan terhadap kehidupan masyarakat setempat?

10.Bagaimana dampak konflik bagi kehidupan sosial politik masyarakat Lambu?

(51)

kualitatif ini didasarkan atas pertimbangan, untuk penelitian deskriptif, lebih memungkinkan untuk memahamin fenomena dan gejala sosial secara luas dan mendalam. Dengan data kualitatif dapat diikuti dan dipahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak bermanfaat. Disisi lain, data kualtatif akan dapat membimbing peneliti memperoleh penemuan-penemuan yang tak terduga sebelumnya, membentuk kerangka teooritis baru; data tersebut membantu peneliti untuk melangkah lebih jauh dari praduga dan kerangka kerja.

b. Dokumentasi

Selain wawancara mendalam, peneliti juga menggunakan data dokumentasi atau yang sering disebut dengan data sekunder berupa sejumlah data dan informasi dokumentasi tertulis yang berkaitan dengan peristiwa perlawanan masyarakat menolak ijin usaha pertambangan di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, seperti halnya Surat Keputusan Bupati Bima tentang pemberian ijin eksplorasi pertambangan, artikel dan laporan-laporan penelitian tentang peristiwa kekerasan massa di kecamatan Lambu.

3.6 Teknik Analisis Data

(52)

Bima terhadap Hegemoni Korporasi. Adapun tahapan yang dilakukan dalam menganlisis data adalah sebagai berikut: pertama, tahap klasifikasi data, kedua tahap analisa pola, dan ketiga tahap analisa logis, (straus & corbin, 1990).12

Analisa klasifikasi dilakukan untuk mengkategorikan data dari subyek. Analisa pola dilakukan untuk mengungkapkan konfigurasi berbagai inti persoalan yang telah dikatagorikan. Analisa logis dilakukan untuk menarik hubungan-hubungan logis antara berbagai inti data yang dikonfigurasikan.

(53)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

Pada bab ini secara khusus memaparkan hal-hal umum yang berkaitan dengan profil Kabupaten Bima, meliputi sejarah Kabupaten Bma, letak geografis, kondisi topografis, struktur sosial-ekonomi masyarakat, dan profil singkat kecamatan Lambu.

4.1 Sejarah Kabupaten Bima

Dari hasil penelitian sejarah, Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan pemerintahan berdasarkan syariah Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Bima yang diperingati setiap tahun.

Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa melayu purba dan bangsa melayu baru. Demikian halnya dengan penduduk yang mendiami daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya dou mbojo, dou donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari sulawesi selatan, jawa, madura, kalimantan, nusa tenggara timur, dan maluku.

Dalam sejarah Bima disebutkan bahwa Kerajaan Bima dahulu terpecah-pecah dalam kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh ncuhi. Ada lima ncuhi yang menguasai lingkungan lima wilayah, yakni :

(54)

4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah bima utara. 5. Ncuhi Dorowoni, memegang kekuasaan wilayah bima timur.

Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat-menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Ncuhi Dara bertindak sebagai pemimpin dari Ncuhi lainnya.

Pada masa-masa berikutnya para ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercayai secara turun temurun oleh masyarakat bima, cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandudewata yang mempunyai lima orang putra yaitu Darmawangsa, Sang Bima, Sang Arjuna, Sang Kula, Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni sang bima berlayar kearah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda.

Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar ―Sangaji‖. Sejak saat itulah bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan hadat, dan saat itu pulalah hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan dan masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana.

(55)

Bima yang berdasarkan hadat mengalami perubahan yakni ketika pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana pemerintahan yang ada disesuaikan. Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara. Dan yang sangat melanggar hadat adalah pergantian jabatan. Jabatan raja yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan diubah oleh Bilmana. Tahta kerajaan yang seharusnya diduduki oleh raja Ma Wa’a Bilmana diserahkan kepada adiknya Manggampo Donggo yang menjabat sebagai raja bicara, sedangkan jabatan raja sifatnya permanen karena dikukuhkan dengan sumpah bahwa untuk melanjutkan keturunan Bilmana tetap sebagai Raja Bicara, sedangkan keturunan Manggampo Donggo tetap menduduki tahta kerajaan.

Kebijaksanaan ini dilakukan oleh Bilmana, dikarenakan keadaan rakyat waktu itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampok-perampok merampok rakyat sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang meprihatinkan ini hanya dapat diatasi oleh Raja Bicara sebagai pemegang kekuasaan, sedangkan Raja Bicara

(56)

mengemban tugas pelaksanaan Hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu oleh :

1. Majelis Tureli (Dewan Menteri) yang terdiri atas Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado, dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo atau Raja Bicara.

2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa Na’e dibantu oleh Buni Lumah Bolo. Majelis Hadat beranggotakan dua belas orang dan merupakan Wakil Rakyat dan mengganti hak Ncuhi untuk mengangkat atau melantik dan memberhentikan Sultan.

3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi (Imam Kerajaan) yang beranggotakan empat orang Khatib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’e.

4.2 Letak Geografi Kabupaten Bima

Kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonom di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak diujung timur pulau sumbawa atau lebih tepatnya bersebelahan dengan Kota Bima (pemekaran dari Kabupaten Bima). Kabupaten Bima berada pada posisi I17°.40’ — II9°.24’ Bujur Timur dan 8°.51 - 9°40’ Lintang Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut13:

a. Sebelah Utara dengan : Laut Flores b. Sebelah Timur dengan : Selat Sape

c. Sebelah Selatan dengan : Samudera Indonesia

(57)

d. Sebelah Barat dengan : Kabupaten Dompu

Luas Wilayah Kabupaten Bima setelah pembentukan Kota Bima berdasarkan undang-undang Nomor 13 tahun 2002 adalah 438.940 Ha atau 4.394,38 km2 (sebelum pemekaran 459.690 Ha atau 4.596,90 km2). Kabupaten Bima terbagi atas 14 kecamatan yang kemudian pada tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah dengan penambahan empat kecamatan baru yaitu Kecamatan Parado, kecamatan Lambitu, Kecamatan Soromandi, dan Kecamatan Palibelo. Dengan adanya pemekaran tersebut, sekarang Kabupaten Bima memiliki jumlah kecamatan sebanyak 18 wilayah yang terdiri dari 168 desa dan 542 dusun. Kecamatan sanggar dan tambora merupakan kecamatan yang berlokasi paling jauh dari pusat pemerintahan kabupaten bima, keduanya memiliki jarak tempuh sekitar 130 km dan 250 km. Selain itu, kedua kecamatan ini merupakan kecamatan terluas dikabupaten bima dengan luas masing-masing 627.820 km2 dan 477.890 km214.

Tabel 4.1

Luas Wilayah Kabupaten Bima Menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas Wilayah

Ha Km²

1 Monta 24.500 245,00

2 Parado 24.381 243,81

3 Madapangga 23.758 237,58

4 Woha 10.557 105,57

(58)

5 Belo 5.831 58,31

6 Langgudu 32.294 322,94

7 Wawo 13.500 135,00

8 Sape 23.212 232,12

9 Lambu 40.425 404,25

10 Wera 46.532 465,32

11 Ambalawi 18.065 180,65

12 Donggo 11.337 113,37

13 Sanggar 47.789 477,89

14 Tambora 62.782 627,82

15 Bolo 6.693 66,93

16 Soromandi 35.212 352,12

17 Lambitu 6.269 62,69

18 Palibelo 5.803 58,03

Jumlah 438.940 4.389,400

Sumber : BPN Kabupaten Bima, 2010

4.3 Kondisi Topografi Kabupaten Bima

(59)

Secara topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur pegunungan sementara sisanya (30%) adalah dataran rendah. Sekitar 14% dari proporsi dataran rendah tersebut merupakan areal persawahan dan Iebih dari separuh merupakan lahan kering. Oleh karena keterbatasan lahan pertanian seperti itu dan dikaitkan pertumbuhan penduduk kedepan, akan menyebabkan daya dukung lahan semakin sempit. Konsekuensinya diperlukan transformasi dan reorientasi basis ekonomi dari sektor pertanian tradisional ke wirausaha dan sektor industri kecil dan perdagangan. Dilihat dan ketinggian dari permukaàn laut, Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan sape dan Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut.15

4.5Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat a. Kondisi Sosial

Penduduk Kabupaten Bima hampir 99% merupakan pemeluk agama Islam, dengan jumlah Masjid 420 buah, Langgar 344 buah, dan Mushola 139 buah, Gereja Protestan 3 buah, Gereja Katolik 3 buah dan Pure 3 buah.16 Selain

itu juga terdapat sarana pembinaan agama seperti TPQ sebanyak 372 buah dengan jumlah siswa 20.238 orang, lembaga dakwah 20, Madrasah 86 buah, dengan jumlah siswa 23.450, penyuluh agama 210 orang dan tokoh agama sebanyak 493 orang.17

15 Data BPN Kabupaten Bima. 2003

(60)

Guna memantapkan pengamalan ajaran agama berdasarkan Syariat Islam mulai tahun 2002 ditetapkannya Piagam Mbojo yang berisikan tentang pelaksanaan dan pemberlakuan jum’at khusyu’ di seluruh wilayah bima. Piagam Mbojo tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2003. Isi Perda tersebut pada intinya adalah menciptakan ketenangan dan kekhusyu’an pelaksanaan Ibadah Sholat Jum’at dengan menghentikan segala aktifitas diluar pelaksanaan ibadah mulai pukul 11.30 Wita sampai 13.30 Wita.

b. Kondisi Ekonomi

Struktur perekonomian suatu daerah mencerminkan kekuatan dan sekaligus ketergantungan suatu daerah terhadap suatu sektor. Struktur perekonomian Kabupaten Bima masih didominasi oleh sektor pertanian yang memiliki peranan 50,14 persen. Sektor yang paling kecil menciptakan nilai tambah adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (LGA). Sektor industri yang diharapkan menggantikan posisi sektor pertanian untuk menuju proses industrialisasi, belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Peranan sektor industri baru mencapai sekitar 2,24 persen dari perekonomian Kabupaten Bima.18

Komoditas utama pertanian, selain padi dan palawija seperti kedelai, jagung, dan ubi, juga memiliki komoditas unggulan yang menjadi andalan holtikultura sebagai penghasil bawang merah dan bawang putih. Luas area untuk budidaya bawang merah mencakup sekitar 13.683 Ha dan baru dimanfaatkan

(61)

sekitar 49% dari seluruh potensi dengan total produksi per tahun mencapai 66.076 ton.

Bima dikenal sebagai daerah penghasil bawang dengan kualitas terbaik. Bawang Keta Monca (bawang merah) saat ini menjadi komoditi unggul nasional, dan bersama bidang usaha pertanian lainnya seperti yang dijelaskan sebelumnya telah memberikan sumbangan cukup signifikan dalam perekonomian Kabupaten Bima. Selain produksi yang besar, bawang Keta Monca dikenal memiliki mutu dan ciri khas sendiri, serta banyak diminati konsumen baik dari Bali, Jawa, Makassar dan Banjarmasin maupun luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. Bahkan sejak 2009 lalu, Kabupaten Bima dijadikan sentra benih bawang merah nasional. Sumbangan perekonomian lainnya berasal dari peternakan terutama sapi dan kambing, serta perikanan.

(62)

sumber air, mereka belajar dari potret buruk tambang emas raksasa di Batu Hijau milik Newmont, tetangga di pulau yang sama.

Selain itu, mayoritas masyarakat Kabupaten Bima juga banyak menggantungkan kehidupan di bidang perkebunan. Jenis tanaman perkebunan yang dikembangkan meliputi 18 jenis yang terdiri dari 11 (sebelas) jenis tanaman tahunan dan 7 (tujuh) jenis tanaman musiman meliputi tanaman jambu mete, kopi, kelapa, kemiri, kapas, wijen, dan empon-empon. Khusus pengembangan Jambu Mete diupayakan melalui program kimbun dengan memanfaatkan lahan kering di kecamatan Donggo, kecamatan Bolo, dan kecamatan Madapangga.

Salah satu komoditas perkebunan unggulan yang dimilki Kabupaten Bima adalah Kopi Tambora yang potensi pengembangannya cukup luas. Sekitar 10.085,15 Ha lahan perkebunan di kecamatan Tambora telah dikembangkan komoditas kopi, Jambu Mete, Kelapa dan komoditas lainnya. Khusus pengembangan kebun Kopi Tambora berdasarkan status kepemilikan dikelompokkan dalam 2 (dua) bagian, yaitu kebun Kopi Eks. HGU PT Bayu Aji Bima Sena dan Kebun Kopi milik rakyat. Dari 831 Ha luas pertanaman kopi di kecamatan Tambora, 500 Ha dikelola oleh Eks. HGU PT Bayu Aji Bima Sena, sedangkan 331 Ha lainnya dikelola secara personal oleh rakyat.

4.4 Potensi Kekayaan Alam

(63)

kecamatan di Kabupaten Bima. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Bima, terdapat 14 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan sebagai penyesuaian dari Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Bima sebelumnya. Terdapat Sebanyak 14 IUP yang dikeluarkan itu yakni izin untuk PT Mineral Nusantara Citra Persada dengan IUP eksplorasi nomor 188.45/346/004/2010, masa berlaku tanggal 28 April 2010 hingga 1 Mei 2015, dengan luas wilayah 14.403 hektare. Meliputi wilayah Kecamatan Madapangga yaitu Desa Campa, Tonda, Mpuri, Rade, Woro. Kemudian Kecamatan Bolo di Desa Tumpu dan Kecamatan Woha di Desa Keli dan Risa. Bahan galian jenis tembaga.

PT Indomineral Citra Persada dengan IUP Eksplorasi nomor 188.45/348/004/2010, dengan luas wilayah 30.521 hektare. Berada di Kecamatan Monta, meliputi Desa Baralau, Pela, Tolo Uwi, Wilamaci dan Kecamatan Parado, meliputi Desa Parado Wane dan Lere. Dengan jenis bahan galian tembaga. PT Indomineral Citra Persada, IUP Eksplorasi Tembaga nomor 188.45/347/004/2010, luas wilayah 14.318 hektare, berada di Kecamatan Lambu, meliputi Desa Mangge, Lanta dan Simpasai, serta Kecamatan Langgudu pada desa Waworada.

(64)

Sedangkan untuk bahan galian pasir besi diberikan PT Indomining Karya Buana mengantongi IUP di Desa Oi Tui, Tawali dan Tengge, Kecamatan Wera dan Desa Mawu, Nipa, Nangaraba dan Tololai, Kecamatan Ambalawi. PT Jagad Mahesa Karya mengantongi IUP Operasi Produksi bahan galian pasir besi dengan SK Nomor 188.45/345/004/2010 untuk wilayah Desa Sangiang, Oi Tui, Tadewa, Kecamatan Wera dan Desa Mawu, Kecamatan Ambalawi.

Untuk bahan galian emas, pemerintah kabupaten keluarkan IUP eksplorasi pada PT Bima Putera Minerals dengan SK Nomor 188.45/344/004/2010, pada wilayah Desa Maria, Pesa dan Kambilo, Kecamatan Wawo. Kemudian untuk biji besi dikeluarkan IUP Eksplorasi 188.45/356/004/2010 pada PT Bima Feroindo, pada wilayah Desa Karampi, Waduruka, Kecamatan Langgudu.

Sedangkan IUP Nomor 188.45/357/004/2010, untuk bahan galian emas diberikan pada PT Sumber Mineral Nusantara, dengan wilayah Kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu. Selain 14 IUP itu, pemerintah Kabupaten juga mengeluarkan IUP Eksplorasi Mangan pada PT Anugerah Nusantara Resources pada tanggal 28 April 2010, dengan Nomor 188.45/357/004/2010 pada wilayah Desa Lido dan Soki, Kecamatan Belo.

4.5 Profil Singkat Kecamatan Lambu

Gambar

Gambar 2.1    Kerangka Konseptual .................................................................
Tabel 2.1 Perbandingan Antara Agen dengan Struktur
Tabel 2.2  Jejaring Kekerasan
Tabel 2.3 Aras dan Dimensi Kekerasan
+7

Referensi

Dokumen terkait