• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEPSI TEORITIS

2.1 Teori Deprivasi Relatif

Salah satu peristiwa yang menonjol sejak era reformasi digulirkan adalah munculnya beragam aksi protes dari masyarakat sipil, baik itu petani, buruh, maupun mahasiswa dengan latar belakang persoalan yang berbeda-beda. Sedangkan bentuk-bentuk protes baik yang destruktif maupun konstruktif akibat dari perlakuan tidak adil sering disebut dengan deprivasi relatif (Crosby, 1982; Croby & Gonzales-Intal, 1984), namun tidak semua deprivasi relatif berakhir dengan protes.

Secara konseptual deprivasi relatif diungkapkan secara berbeda-beda oleh beberapa ahli antara lain; Pertama, David Aberle menyatakan bahwa deprivasi relatif kesenjangan antara legitimate expectation dengan kenyataan. Definisi ini menimbulkan perdebatan, terutama dalam memahami legitimate expectation. Pengertiannya bisa reference group, common man, namun ada juga yang mengartikan sebagai harapan yang biasanya dalam arti past expectation. Lebih

detil lagi Davis memebedakan reference group, yang diartikan sebagai in-group, dengan out-group. Dijelaskan lebih lanjut bahwa deprivasi relatif terjadi bila pembandingnya adalah anggota in-group. Sementara itu bila pembandingnya out-group maka yang terjadi adalah social inferiority. Baik deprivasi relatif maupun keminderan sosial terjadi bila kondisinya lebih jelek dari pembandingnya. Bila kondisinya lebih baik dan pembandingnya in-group maka yang terjadi adalah gratifikasi (kepuasan), sedangkan bila pembandingnya out-group maka yang muncul adalah sosial superiority.4

Kedua, Runciman memformulasikan munculnya deprivasi relatif bila seseorang (1) tidak mempunyai X, (2) dia tahu orang lain mempunyai X, (3) dia menginginkan X, (4) dia merasa layak/mampu memiliki X. Menurut Runciman deprivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu egoistical and fraternal deprivation. Deprivasi egoistikal terjadi bila seseorang merasa kondisinya lebih buruk dibanding orang lain dalam kelompoknya. Sementara deprivasi fraternal terjadi bila seseorang menilai kondisi kelompoknya lebih jelek dibanding dengan kelompok lainnya. Ada kemungkinan seseorang merasakan keduanya sehingga dia mengalami doubly deprived.

Ketiga, Ted Robert Gurr mendefinisikan deprivasi relatif sebagai the discrepancy between ought an is (adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya dangan apa yang senyatanya). Secara operasional, konsep ini digunakan untuk menggambarkan persepsi seseorang terhadap ketimpangan antara nilai-nilai yang diharapkan (value expectation) dengan nilai-nilai kapabilitas (value capabilities)

4 Faturrochman. 1999. Deprivasi Relatif: Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis Buruh Pabrik. Jurnal Psikologi UGM. Hal. 6

yang diperlukan untuk meraih harapan tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud berupa benda material atau kondisi kehidupan dimana seseorang merasa mempunyai hak untuk memilih atau menikmatinya. Secara matematis ia memformulasikan deprivasi relatif sebagai berikut :

Ve – Vc RD = Ve Ket: RD : relative deprivation Ve : value expectations Vc : value capabilities

Lebih lanjut, menurut Gurr terdapat tiga bentuk deprivasi. Pertama, decremental deprivation terjadi bila nilai-nilai harapan kelompok tidak berubah tetapi kemampuan kelompok menurun. Kedua, aspirational deprivation (deprivasi aspirasi) yang akan muncul bila kemampuan kelompok tidak berubah tetapi harapan kelompok meningkat. Ketiga, progresive deprivation (deprivasi progresif) dapat terjadi bila kedua unsurnya berubah, yaitu terjadi penurunan kemampuan sementara harapannya justru meningkat. Kategori deprivasi relatif yang ketiga, progressive deprivation seringkali menjadi rasionalitas atau sumber trjadinya protes sosial atau gerakan sosial. Dari penjelasan ini terlihat bahwa model yang dikemukakan Gurr tampak lebih dinamis dibanding dengan lainnya.

Protes sosial, gerakan perlawanan ataupun gerakan sosial menurut Ted Robert Gurr pada umumnya dipicu oleh kemarahan banyak anggota masyarakat, khususnya ketika kondisi lingkungan praktis dan budaya mereka menciptakan terjadinya kesenjangan yang lebar antara harapan-harapan dan kemampuan mereka untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut. Dengan kata lain ia

menegaskan, gerakan sosial pada umumnya terjadi sebagai akibat terjadinya deprivasi relatif, yakni ketika dihadapan masyarakat terbentang jurang panjang yang memisahkan antara harapan masyarakat dengan kemampuan mereka mendapatkan sarana-sarana yang diperlukan untuk memenuhi harapan-harapan yang diinginkan.

Lebih jauh dari pada itu, Zeihin dalam konsepnya yang disebut ―deprivasi kumulatif‖, menyatakan bahwa kekecewaan seseorang cenderung memiliki sumbernya dalam ketidakpuasan ekonomi, terutama ketika ketidakpuasan dan ketidaknyamanan yang dipikulnya sebagai akibat kemiskinan ekonomi yang sudah lama dialaminya menjadi semakin memburuk.5 Dengan kata lain, Zeihin ingin menyatakan bahwa ketidak puasan dan ketidaknyamanan yang terakumulasi akan lebih mudah mengarahkan dan memotivasi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan perlawanan ataupun gerakan sosial.

Dalam konteks terjadinya gerakan perlawanan masyarakat ataupun gerakan sosial DiRenzo menyatakan argumen yang hampir tidak berbeda bahwa penyebab terjadinya perlawanan sosial bersumber pada adanya perasaan kekecewaan (sense of discontent) yang luas, kemunikasi kekecewaan (communicatition of discontent),6 ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial (social attribution of discontent), kemungkinan adanya resolusi kekecewaan (probability of resolution of discontent), dan adanya sumber daya untuk melakukan mobilisasi (resource mobilization). Ia berpendapat kondisi deprivation

5 M. Zeihin. 1966. Economic Insecurity and Political Attitudes of Cuban Workers. American Sociology Review. Vol. 31 No. 1. Hal 31

6 Komunikasi kekecewaan yang dimaksud disini adalah bertemunya kekecewaan seseorang dengan kekecewaan orang yang lain, sehingga mereka merasa mempunyai perasaan senasib. Dengan perasaan senasib itu, mereka mudah bersatu untuk melakukan gerakan.

hanya merupakan faktor sekunder dari suatu gerakan perlawanan masyarakat, sementara yang menjadi faktor primer adalah mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang dimaksud meliputi kepemimpinan, pendukung atau pengikut, aset keuangan, profesionalitas yang berbakat, akses kepada media, perlengkapan yang tepat, dan kedekatan fisik. Bagi peneliti, kondisi deprivasi bukan sekedar sebagai faktor sekunder, akan tetapi merupakan faktor primer mendahului kepemilikan sumber daya. Terbukti, bayak masyarakat hanya berbekal rasa kekecewaan, mereka mempunyai tekad yang kuat dan sanggup melakukan gerakan meskipun tanpa didukung oleh sumber daya yang memadai.

Sedangkan resistensi sendiri diartikan sebagai semua tindakan para anggota kelas masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini (Scott, 1985). Konsep resistensi seringkali dipakai untuk menjelaskan perlawanan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas karena ketidak adilan dan hegemoni kekuasaan.

Dengan demikian, aksi protes, gerakan perlawanan atau bahkan gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya kekecewaan secara kolektif dari masyarakat terkait dengan ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau keinginan

akan adanya perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Sedangkan gerakan perlawanan rakyat Lambu merupakan gerakan yang lahir dari prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada ataupun bahkan bertentangan dengan harapan dan kepentingan masyarakat setempat.

Dokumen terkait