• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEPSI TEORITIS

2.2 Teori Kekerasan Kolektif

Dalam analisis politik, dikenal dua tradisi atau tema utama sebagai unsur wadah pemikiran yang memiliki kerangka analisis tentang kekerasan, yaitu paham tingkah laku (behavioralism) dan paham struktural (strukturalism). Kedua tradisi tersebut memiliki tumpuan analisis yang berbeda. Paham tingkah laku bertumpu pada pengambilan individu selaku manusia politik sebagai satuan dasar pengamatan, mengkaji bagaimana orang bertingkah laku dan apa yang mendorong tingkah laku mereka. Sementara itu, pembagian kehidupan sosial kedalam jaringan peran, tukar, kelas-kelas, dan cara-cara teratur untuk melakukan tindakan timbal-balik merupakan bidang paham struktural.

Dua pemikir besar yang memiliki pandangan paradoks mengenai kekerasan sekaligus mewakili pertentangan kedua tradisi tersebut adalah; Thomas Hobbes (1588-1679) dan Jean-Jacques Rosseau (1712-1778)7. Pandangan Hobbes didasarkan pada anggapan manusia sebagai mahluk yang dikuasai oleh dorongan irasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, pendek pikir, atau bersosok homo homini lupus,

7 Deden Faturrochman & Wawan Sobari. 2004. Pengantar Ilmu Politik. UMM Press. Malang. Hal. 260-261

belum omnium contra omnes. Artinya kekerasan itu alamiah, merupakan dinamika sifat manusia untuk mempertahankan dan meraih keinginannya.

Sedangkan Rosseau berpandangan bahwa kekerasan bukan merupakan produk manusia secara alamiah sebagai mahluk yang polos, mencintai diri serta spontan, tidak egois dan tidak altruis, mustahil mau berbuat kekerasan. Jadi rantai peradabanlah yang membentuk manusia memiliki sifat agresi, hubungan-hubungan dengan aktifitas manusia menimbulkan gesekan yang bermasalah sehingga menciptakan manusia yang memiliki kemungkinan melakukan kekerasan

Pada dasarnya persilangan pendapat antara Hobbes dengan Rousseau diatas mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan besar apakah suatu tindakan kekerasan itu ditentukan oleh agen atau individu secara otonom ataukah ditentukan oleh struktur yang melingkupinya, baik struktur dalam pengertian nilai, budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam perdebatan teoritis, muncul dua pandangan yang menyebutkan, apakah suatu kekerasan itu diletakkan dalam tataran agen atau struktur.

Dugaan tentang sinyalemen adanya pihak ketiga atau pihak tertentu yang melakukan provokasi sampai menggerakkan kerumunan massa, bukan merupakan alasan pemerintah semata, di kalangan ilmuwan sosial pun cara pandang ini digunakan, yaitu melihat kekerasan kolektif dalam tataran agen. Kekerasan diyakini sebagai suatu tindakan individu yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mereproduksi dan mentransformasikan realitas sosial. Dugaan-dugaan adanya dalang, rekayasa, dan konspirasi dibalik peristiwa kekerasan massa

dipandang sebagai usaha rasional dari individu atau kelompok tertentu, yang mencoba menarik kepentingan dengan terjadinya kekerasan dalam cara pandang ini menjadi sah. Sehingga tokoh sentral yang diperankan individu atau kelompok penggerak kekerasan massa, mengabaikan dugaan faktor luar atau kendala struktural yang mempengaruhi massa, dan secara ekstrim tidak memperhatikan dampak hubungan-hubungan sosial dan masyarakat.

Sebaliknya dalam tataran struktur, kekerasan dipahami sebagai hasil dari proses-proses hubungan sosial atau struktur dimana pelaku tersebut berada. Hubungan itu bukan sekedar antar masyarakat, tetapi melibatkan pemerintah, yang di dalamnya terdapat persoalan. Hal inilah yang mendorong massa melakukan tindakan kekerasan, dan yang terpenting bukan dugaan oleh individu yang mempunyai niat untuk memanfaatkannya, tetapi individu-individu itulah yang menjadi produk struktur.

Tabel 2.1

Perbandingan Antara Agen dengan Struktur

Agen Struktur

1.Individu adalah agen yang tindakannya secara sadar dan sengaja mereproduksi dan mentransformasi realitas sosial.

2.―Penjelasan dari dalam ‖ mengabaikan dan menyepelekan faktor dan kendala struktural dan proses-proses sosial dan politik. 3.―Masalah Weber‖yaitu perhatian

pada individu dan aksi manusia penentu struktur sosial.

4.Realitas dipandang‖rapuh‖dapat dirundingkan (―bargaining for reality‖)dan terbentuk sebagai

1.Masyarakat terdiri dari hubungan-hubungan sosial atau‖struktur‖yang menjadi kondisi interaksi dan hasil tindakan agen-agen.

2.―Penjelasan dari luar‖mengabaikan dan menyepelekan faktor-faktor motivasi, niat, strategi dan aksi agen karena dianggap tidak lebih dari artefak atau produk struktur.

3.―Masalah Durkheim‖yaitu perhatian pada masyarakat sebagai sistem yang‖berdikari‖sedangkan individu dianggap sebagai sebagian emanasi, representasi dan epifenomena

konstruksi individu-individu yang subjektif.

5.Hubungan yang monocausal dan sederhana mengaitkan agen dengan struktur : Agen membentuk struktur. 6.Penekanan pada praktik-praktik

mikro(micro-practices) dalam interaksi sosial yang ditandai dengan keunikan dan kekayaan interaksi sosial dan politik.

7.Untuk menjelaskan suatu peristiwa dan fenomena politik dimulai dari-dan diakhiri dengan-individu.

8.Voluntarisme yakni memahami peristiwa dan fenomena politik dengan memperhatikan niat dan motivasi aktor.

9.Penekanan pada bagian-bagian yang membentuk keseluruhan seperti tindakan individu

masyarakat.

4.Nilai dan norma dipandang sebagai‖imperatif struktural‖ yang terinternalisasi dalam individu, sehingga orang berperilaku selaras dengan atau fungsional terhadap sistem.

5.Hubungan yang monocausal dan sederhana mengaitkan struktur dengan agen : Struktur membatasi dan bahkan menentukan keagenan. 6.Penekanan pada aksi yang selalu

tertanam dalam struktur yang lebih luas(macro-embeddedness).

7.Struktur sosial politik dianggap sebagai alpa dan omega penjelasan tindakan aktor.

8.Determinisme dan teleologisme, yakni pandangan yang menempatkan proses-proses sosial dan politik dinisbatkan kepada’historical and state’ seperti hubungan-hubungan ekonomi dalam marxisme.

9.Penekanan pada keseluruhan yang mempengaruhi bagian-bagian yang menjadi unsurnya

Sumber: Dikutip dari Akmal Budianto, Pemimpin Politik dan Kualitas Demokrasi Tahun 2010

Sejalan dengan tabel diatas Robert Gurr dalam teori tentang konflik kekerasan. Ia melihat bahwa tindakan kekerasan dapat dilihat dari dua bentuk yaitu kekerasan struktural dan kekerasan nonstruktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha maupun penguasa. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia mampu membuat hukum atau peraturan yang kemudian merugikan bahkan menindas rakyat. Kekerasan nonstruktural biasanya dilakukan oleh masyarakat, dan sifatnya perlawanan spontan, sporadis, dan tidak tersistematis.

Disis lain, seiring dengan perkembangannya teori kekerasan dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok besar, yaitu kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor, kekerasan sebagai produk dari struktur, dan kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur. Jack Douglas mendeskripsikan kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan oleh aktor atau kelompok aktor yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan. Selanjutnya kelompok yang memberikan pengertian bahwa kekerasan terkait dengan struktur dipelopori oleh Johan Galtung. Galtung (1975) mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Bentuk kekerasan structural yang dikemukakan oleh galtung menunjukan bentuk kekerasan tidak langsung, tidak tampak, dan statis. Dalam perkembangan berikutnya Galltung dan Turpin juga menjelaskan bahwa kekerasan dapat ditimbulkan oleh adanya pertautan antara aktor dan struktur.

Tabel 2.2 Jejaring Kekerasan

Aktor Kekerasan Asumsi Pemerhati Tesis

Individu/kelompok individu

Penyebab kekerasan adalah faktor biologis, fisiologis, dan psikologis (faktor bawaan/innate)

Jack D. Dougla dan Frances Chaput Waksler James Giligan Ted Robert Gurr Chrales tilly

Kekerasan dilakukan oleh aktor/kelompok aktor yang memiliki kekuatan

menghancurkan. kekerasan sebagai balasan atas represi rejim yang berkuasa. Mobilisasi massa dengan kalkulasi politik berpengaruh bagi keberhasilan kekerasan.

terkait dengan

struktur/negara Barbara Salet Marx Johnson Anthony Giddens Norbert Elias aktualisasi individu merupakan bentuk kekerasan negara. Kekerasan terkait dengan revolusi. Peran negara bangsa dalam kekerasan Kaitan perdebatan dengan struktur sosial dalam melahirkan kekerasan

Jaringan antar aktor dengan struktur

Konflik bersifat endemik

Kekerasan adalah akibat perubahan organisasi sosial dan indiidu

Jeniffer Turpin dan

Lester R. Kurtz Kekerasan sebuah jaringan sebagai Pertautan kekerasan aktor dan struktur

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat dilakukan oleh indifidu atau kelompok, Negara atau struktur, dan jejaring antar aktor dan struktur. Jenis kekerasan yang terakhir ini oleh Galtung disebut sebagai kekerasan kultural. Kemudian penjelasan tentang gejala kekerasan yang lebih spesifik tampak pada table berikut ini :

Tabel 2.3

Aras dan Dimensi Kekerasan

Aras Pelaku Dimensi Medium Ruang

Lingkup

Negara Aparat Negara

Fisik/non fisik (teror mental) Senjata Organisasi tentara dan polisi Kebijakan publik Komprehensif

Struktur social Aparat Negara Pengendali capital Non-fisik (politik, sosial, ekonomi, dan budaya) Kebijakan public Akumulasi capital Proses dan sarana produksi Komprehensif

ok anomi

Aksi indifidual

Sumber : Dikutip dari Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan Tahun 2002 Peristiwa pembakaran dan perusakan oleh massa terhadap instansi pemerintah yang notabene sebagai fasilitas publik merupakan bentuk dari kekerasan kolektif, yaitu kekerasan yang dilakukan secara beramai-ramai atau secara bersama-bersama. Menurut Ted Robert Gurr8 dalam teori ―deprivasi relatif‖ menyatakan bahwa kekerasan kolektif terjadi karena adanya kesenjangan antara ekspektasi nilai dan kapabilitas nilai. Ekspektasi nilai adalah barang dan kondisi kehidupan yang dianggap bisa diperoleh dan dipelihara. Sedangkan kapabilitas nilai adalah barang dan kondisi yang dianggap bisa diperoleh dan dipelihara.

Namun, mengapa manusia melakukan kekerasan secara kolektif atau massal? dari teori ―deprivasi relative‖ Ted Robert Gurr, oleh para sejarah dan ilmuwan sosial telah mendiskusikan secara luas teori-teori kekerasan kolektif (revolusi, pemberontakan, kerusuhan, pembuhuhan beramai-ramai oleh massa), gerakan sosial, dan partisipasi politik agresif.

Pada paruh pertama abad 20, para sosiolog Amerika menerima bentuk penjelasan tunggal fenomena tersebut dibawah rubric ―perilaku kolektif‖. Perilaku seperti itu didefinisikan sebagai perilaku yang mengganggu keseimbangan masyarakat normal atau stabil. Perilaku seperti itu didiorong oleh tindakan emosional indifidu yang terisolasi secara social.

Menurut Rule (1988)9, teori perilaku kolektif ditegakkan berdasarkan premis bahwa setiap bentuk pemberontakan dengan kekerasan atau tidak, berasal dari tindakan orang-orang dan merepresentasikan ancaman bagi masyarakat. Untuk itulah riset ilmu-ilmu social tentang perilaku kolektif dan ―masyarakat massa‖ dibutuhkan guna memfasilitasi pengendallian atas kekerasan atau gerakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan.

Menurut kajian ilmu-ilmu sosial, kekerasan kolektif pada prinsipnya dapat ditelaah dari dua perangkat lunak analisis sosial yaitu studi-studi mengenai perilaku kolektif dan kerumunan (collective behavior and crowds) sehingga menghasilkan tindakan kolektif (the logic of collective action) serta studi-studi dalam perspektif konflik social (social conflict).

Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.

Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau

9 Rule, James B. 1988. Theories of Civil Violence. Berkeley : University Of California Press. Hal 145

kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama (tindakan kolektif) untuk merubah norma dan nilai.

Logika tindakan kolektif dilandasi asumsi bahwa kerjasama hanya dapat terjadi apabila setiap indifidu yang terlibat didalamnya akan memperoleh manfaat. Hitungan untung rugi individu jauh lebih penting daripada hitungan untung rugi kelompok. Sebab bukan kelompok itu yang rasional, melainkan indifidu-indifidu yang menjadi anggotanya.

Dalam suatu interaksi sosial, seseorang dimugkinkan untuk memmpengaruhi perilaku orang lain yang selanjutnya memudahkan penyamaan persepsi sabagai pijakan kerjasama. Suatu kerjasama kelompok dapat terjadi untuk hal-hal yang dianggap baik, dapat pula untuk hal-hal yang dianggap tidak baik. Tindakan kolektif adalah suatu bentuk kerjasama juga. Oleh karena yang terpenting dalam suatu kerjasama adalah individu, maka berartiterdapat peluang untuk melihat bentuk kekerasan kolektif pada tingkat indifidual yang mendompleng gerakan massa. Dalam situasi seperti itu – meminnjam istilah Hoffer, anggota-anggota kerumunan dikendalikan oleh sikap ketidakpuasan, rasa kecewa, dan lainnya. Sumber-sumber kekecewaan, rasa tidak puas, dianggap sebagai suatu sebab munculnya aksi kolektif.

Pada level indifidual (agen), salah satu penjelasan tentang munculnya kekerasan kolektif acapkali dikaitkan dengan sifat dasar manusia dalam psikologi politiknya Thomas Hobbes disebut homo homini lupus, atau versi Le Bon sebagai kecenderungan barbarianisme ketika terjadi kerumunan (crowds), atau disebut sebagai situasi anomie, yakni suatu kondisi hilangnya orientasi masyarakat yang

mempengaruhi gerakan massa, termasuk didalamnya adalah pembunuhan oleh massa.

Konteks indifidual yang diduga melingkupi kekerasan kolektif dalam bentuk pembakaran oleh massa terhadap sejumlah istansi pemerintahan yang juga merupakan fasilitas publik dalam penelitian ini adalah terakumulasinya kekecewaan (deprivation), keluhan (grievance), bahkan oleh sebagian aktor dipersepsikan sebagai instrument perjuangan.

Jika ditinjau dari teori konflik, maka asal muasal konflik kekerasan berasal dari rasa frustrasi yang dialami setiap anggota masyarakat. Rasa kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk dialami rakyat kemudian melahirkan ketidak senangan, yang puncaknya adalah tindakan kekerasan.

Dokumen terkait