• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN: ANTARA ALAT PERJUANGAN DAN NALURI KOLEKTIF

3. Runtuhnya Arogansi Sang Kepala Daerah

Sampai pada terjadinya tragedi kemanusiaan di Pelabuhan Sape Bupati Bima masih kukuh dengan sikap dan pendiriannya. Sikap arogansi bupati ini membuat masyarakat geram sehingga semakin memicu reaksi perlawanan yang lebih besar dari masyarakat. Kali ini masyarakat mengarahkan targetnya kepada simbol pemerintah (Kantor Pemerintah Kabupaten Bima).

Sekitar 1 minggu kemudian masyarakat kembali melakukan konsolidasi, masyarakat yang belum bisa menerima kematian dua orang warganya melampiaskan amarahnya dengan membakar instansi pemeritahan yang ada di kecamatan Lambu serta empat (4) kantor Desa yang kepala desanya dinilai ikut mendukung berdirinya perusahaan tambang adapun rinciannya adalah Kantor UPT Kehutanan Lambu, Kantor UPT Pertanian Lambu, Kantor KAU Kecamatan Lambu, Kantor Polsek Lambu, dan empat kator desa antara lain; kantor Desa Lanta, kantor Desa Sumi, kantor Desa Soro, kantor Desa Melayu.

Pada tanggal 26 Januari 2012 terjadi aksi besar-besaran yang mengerahkan massa lebih dari 5000 yang merupakan gabungan dari masyarakat Kecamatan

Lambu, Sape, Wera, Wawo, Parado dan Kecamatan Langgudu. Jika saja pemerintah peka dengan perkembangan dinamika diakar rumput, aksi ini sebenarnya sudah dapat diprediksi sejak lima hari sebelumnya. Pada hari Jum’at (20/1) 2012 masyarakat menggelar rapat akbar yang diikuti oleh masyarakat kecamatan Sape, Wera, Lambu, Wawo, Langgudu, Ambalawi dan Parado menyikapi pernyataan Bupati Bima yang bersikukuh untuk tidak mencabut izin tambang yang telah diberikannya kepada PT. Sumber Mineral Nusantara. Hasil dari Rapat akbar ini dikeluarkanya ultimatum yag ditujukan kepada bapak Bupati Bima yang juga diblow up oleh berbagai media. Masyarakat memberikan waktu selama 5 x 24 jam kepada Bupati Bima untuk mencabut SK 188.45/357/004/2010, jika tidak masyarakat akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran.

Selama tenggat waktu 5 x 24 jam tersebut masyarakat terus menjalankan aksi demonstrasi di simpang empat yang yang menghubungkan kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu dengan memblokir jalan utama menuju pelabuhan Sape sekitar 3 kali, sehingga pelabuhan Fery di sape kembali lumpuh dan tidak bisa melayani penumpang.

Selasa ( 24/1)2012: Bupati melakukan konsultasi dengan DPRD di ruang rapat utama. Dalam rapat tersebut Dewan meminta Bupati untuk mencabut SK terkait ijin eksplorasi 188, namun bupati tetap bersikukuh tidak akan mencabutnya SK tersebut. Padahal sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bima mengingatkan ekses negatif dari keputusanya tersebut. Demikian juga tokoh masyarakat dan tokoh agama telah berulangkali mengingatkan Bupati akan terjadi kemarahan warga dengan tidak dicabutnya SK tersebut. Apalagi karakter

masyarakat sape dan Lambu yang dikenal berkarakter keras dan temperamental. Ditambah telah jatuhnya korban jiwa dalam keluarga mereka.

Rabu 25 Januari 2012: DPRD Kabupaten Bima mengeluarkan rekomendasi supaya:

1. Mencabut SK ijin Tambang PT. SMN

2. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin PT. SMN agar terjustifikasikasi sesuai undang-undang yang berlaku.

Pada waktu yang bersamaan massa di kecamatan sape dan Kecamatan Lambu mendesak camat Lambu untuk menandatangani persetujuan keputusan bersama untuk mendesak Bupati Bima supaya mencabut SK Izin Eksplorasi PT Sumber Mineral Nusantara. Berada dibawah tekanan massa, camat akhirnya bersedia menandatangani persetujuan bersama tersebut.

Kamis 26 januari 2012: konsentrasi massa dari Sape menuju Kota Bima dengan konfoi kendaraan berbagai jenis diikuti lebih dari 5000 massa bergerak menuju pusat pemerintahan kabupaten Bima (kantor bupati bima) yang berjarak lebih dari 40 km itu sejak pagi jam 11.00 jam sepuluh mereka sudah berkumpul dan mengelilingi kantor bupati Bima. Pagar kawat berduri sudah dipasang sekeliling kantor bupati. Pengamanan diprediksi sekitar 300 personil polisi dan 200 personil Pol PP. Beberapa kali terdengar tembakan peringatan sampai akhirnya pembakaran itu terjadi dan menghanguskan seluruh bagian dari kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Bima. Setelah insiden pembakaran Kantor Pekmkab Bima barulah Bupati mencabut izin operasi PT Sumber Mineral Nusantara dengan mengeluarkan SK. Nomor 188.45/64/004/2012 tentang

penghentian secara tetap kegiatan usaha pertambangan eksplorasi PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima.

Gambar 6.2

Kantor Bupati Bima setelah dibakar massa

Kasus Lambu menunjukan sikap arogansi pemimpin daerah dalam hal ini Bupati, yang dengan sengaja melakukan pengabaian terhadap aspirasi dan tuntutan rakyat (public grievances). Pengabaian tersebut dibuktikan dengan sikap Bupati yang bersikukuh tetap mempertahankan kebijakan izin pertambangan yang diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara, meskipun pemerintah telah menghadapi gelombang perlawanan dari masyarakat seperti aksi masyarakat pada

tanggal 10 Februari 2011 yang berakhir dengan pembakaran kantor Camat Lambu, Kerusuhan di Pelabuhan Sape yang melibatkan masyarakat dengan aparat kepolisian, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa serta pembakaran seluruh instansi pemerintahan yang ada di kecamatan Lambu.

Sikap politik yang demikian, dalam literatur studi konflik disebut politik keras kepala (contentious politics), hal ini menyebabkan kondisi terdeprivasi secara kolektif di kalangan masyarakat. Yakni, situasi mengecewakan yang makin dalam dan mengakar dalam hati masyarakat akibat ekspektasi akan adanya perubahan sikap dan kebijakan satu pemerintah menemui kenyataan terbalik secara ekstrem.

Disisi lain, sikap politik yang demikian tanpa disadari membangkitkan emosi masyarakat secara massal. Tidak dipungkiri dalam setiap tindakan agresi tidak satupun kejadian baik yang bersifat personal maupun yang melibatkan massa terjadi jika tidak dibangkitkan emosinya terlebih dahulu. Terbangkitnya kemarahan masyarakat Lambu dikarenakan perasaan kecewa, frustrasi, merasa semua upaya damai yang dilakukan sia-sia.

BAB VII PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian yang telah dijabarkan dalam bab terdahulu, maka peneliti memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, perlawanan masyarakat Lambu didasari oleh tidak adanya inisiatif politik dari pemerintah dan korporasi untuk membangun komunikasi dengan masyarakat setempat, baik dalam proses awal terbitnya SK tentang izin usaha pertambangan yang diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara sampai terjadinya reaksi protes masyarakat. Hal lain yang menjadi faktor perlawanan rakyat Lambu adalah kondisi deprivasi relatif yang dialami rakyat yang disebabkan oleh sikap arogansi kepala daerah yang kemudian berubah menjadi deprivasi kolektif hal ini menjadi kimia sosial sehingga mereduksi tindakan masyarakat Lambu untuk memobilisasi tuntutan melalui ekspresi kekerasan. Sedangkan, peristiwa kekerasan yang terjadi merupakan naluri kolektif yang muncul ketika perjuangan rakyat mengalami kebuntuan. Selain itu, ada pula tindakan kekerasan yang lahir dari pilihan strategis yang diambil secara sadar dalam usaha mereka memperjuangkan hak-haknya dan mempublis perjuangannya sehingga mendapat perhatian khalayak luas.

Kedua, aksi perlawanan masyarakat lambu memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kehidupan sosial - politik di Kabupaten Bima. Secara politik perlawanan rakyat lambu menyisakan trauma yang luar biasa dikalangan pemerintah Kabupaten Bima, menyisakan perasaan sakit hati diantara kedua belah

pihak yang berkonflik (Pemerintah Kabupaten Bima dan Masyarakat). Meskipun perlawanan tersebut mampu menuai hasil yang ditargetkan sebagian besar rakyat Lambu yaitu perubahan kebijakan pemerintah (pencabutan SK 188 tentang izin pertambangan) di tanah Lambu namun tetap saja menyisakan perasaan luka yang mendalam di hati masyarakat sebaliknya pemerintah pun demikian, konflik ini membawa kerugian besar terhadap pemerintah Kabupaten Bima terlebih peristiwa pembakaran Kantor Bupati Bima.

Selanjutnya, dari sisi sosial masyarakat perlawanan rakyat lambu memberi dampak terhadap lahirnya gerakan-gerakan lain ditanah Bima terutama kecamatan-kecamatan berada disekitar kecamatan Lambu yang memiliki potensi sumber daya alam antara lain Kecamatan Wera, Langgudu, Wawo dan Parado. Khusus di kecamatan Parado, peristiwa Lambu membawa efek terhadap hidup kembalinya gerakan penolakan rakyat parado terhadap pertambangan yang sejak lama mati.

Ketiga, gerakan perlawanan rakyat Lambu dimotori oleh aktifis mahasiswa yang berbasiskan kedaerahan yaitu Kerukunan Mahasiswa Lambu Bima (KMLB). Ketika gelombang gerakan ini mulai besar dibentuklah FRAT (Front Rakyat Anti Tambang) front ini dibentuk dengan tujuan untuk menyatukan semua elemen yang terlibat dalam gerakan, mempermudah konsolidasi massa serta meniadakan simbol lain diluar simbol besar ―rakyat anti tambang‖. Temuan lain adalah masing-mang aktor pemimpin gerakan memberi pengaruh terhadap corak dan wajah gerakan. Pada kasus Lambu menunjukan bagaimana pemimpin gerakan memiliki pengaruh besar terhadap wajah gerakan, masuknya Hasanudin

dan mengambil alih kepemimpinan gerakan yang sebelumnya diperankan oleh Ansari dan Adi Supriadi yang merupakan aktifis mahasiswa membawa perubahan terhadap wajah gerakan yang sebelumnya hanya sebatas gerakan protes menjadi gerakan perlawanan.

2. Saran

Oleh karena persoalan gerakan perlawanan rakyat Lambu begitu kompleks dan luas, penelitian ini belum mampu mengakomodir berbagai substansi persoalan yang lain. Oleh sebab itu, kiranya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang :

a. Proses pembentukan jaringan gerakan ke kecamatan-kecamatan lain sehingga terkonsolidasi tujuh kecamatan.

b. Proses rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah daerah pasca konflik.

c. Tujuan dan motivasi para aktor gerakan tampil dalam dunia politik seperti menjadi kepala desa dan menjadi calon anggota legislatif pada Pileg 2014.

Dokumen terkait