• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah rasa tidak berdaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Latar Belakang. Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah rasa tidak berdaya"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang

Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah “rasa tidak berdaya secara individu maupun kelompok bila berhadapan dengan penyakit atau kematian, kebingungan dan ketidaktahuan pada saat orang terbata-bata dan meraba-raba untuk memahami perubahan, penyerahan nasib kepada manusia-manusia lain yang keputusannya menentukan apa yang bakal terjadi, ketidak-berdayaan menghadapi kelaparan dan bencana alam”. Goulet (Chamber 1987) mengemukakan kemiskinan kronis adalah neraka yang kejam, dan orang tidak dapat mengetahui betapa kejamnya neraka, semata-mata dengan menatap kemiskinan sebagai obyek belaka”. Keterbelakangan merupakan musuh seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dan harus diperangi dengan meningkatkan harkat sosial ekonomi dan kultur masyarakat.

Upaya pemerintah memerangi kemiskinan terus menerus dilakukan. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin sebesar 54,2 juta jiwa , atau 40,1 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Kemudian pada tahun 1981 angka tersebut turun menjadi 40,6 juta atau 26, 9 persen, pada tahun 1990 jumlah Penduduk miskin menurun menjadi 27 juta atau 15, 1 persen, dan terakhir pada tahun 1996 kembali mengalami penurunan menjadi 22,5 juta jiwa atau 11, 3 persen. Namun demikian pada tahun 1997 penduduk miskin mengalami kenaikan yang sangat luar biasa. Bappenas (2003) mencatat bahwa seiring dengan krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia 1997, jumlah penduduk miskin kembali meningkat. Pada rentang 1997 – 2002, jumlah penduduk miskin tertinggi terjadi pada tahun

(2)

1998, yakni 49,5 juta jiwa atau 24, 2 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Namun demikian, dengan kecenderungan semakin membaiknya perekonomian Indonesia, maka tingkat kemiskinan terus menerus mengalami penurunan secara bertahap. Bappenas (2005), menemukan bahwa pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin sekitar 36,1 juta jiwa atau 16, 6 persen dari total jumlah penduduk. Kemiskinan tersebut tersebar di perkotaan dan dengan rincian: (a) jumlah penduduk miskin di perkotaan 11,5 juta jiwa (12,6 persen) ; (b) jumlah penduduk miskin dipedesaan 24, 6 juta jiwa (19,5 persen).

Kemudian untuk memerangi kemiskinan, dibutuhkan suatu perubahan yang dilakukan secara terencana menuju suatu arah masyarakat yang tidak miskin. Upaya ke arah perubahan yang lebih baik tersebut disebut sebagai pembangunan. Menurut Todaro (1977) menyatakan bahwa pembangunan adalah proses multi dimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap rakyat dan lembaga nasional, dan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan (inequality), dan pemberantasan kemiskinan absolut. Sedangkan Bryant & White (1989) menyatakan bahwa Pembangunan sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya. Oleh karena itu, pembangunan dapat dipandang sebagai upaya pembebasan manusia dari segala bentuk keterbelakangan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan hidup, yang diawali dengan peningkatan kapasitas manusia dengan mendayagunakan seluruh potensi dan kemampuan sumber daya yang terbatas untuk membuat pilihan-pilihan masa depan yang lebih baik tanpa merusak lingkungan hidup.

(3)

Proses penyadaran masyarakat tentang betapa pentingnya pembangunan dalam menjaga proses kelangsungan hidup individu dan masyarakat itu sendiri perlu ditingkatkan. Kemudian siapa yang harus melakukan proses penyadaran masyarakat tersebut juga adalah masyarakat itu sendiri, yang telah memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam mendorong masyarakat lain yang buta pembangunan ke arah melek pembangunan “learning process”. Upaya tersebut dilakukan secara terus-menerus (berkesinambungan) agar tujuan pembangunan, sesuai dengan harapan masyarakat dapat diwujudkan.

Pencapaian tujuan pembangunan sebagai harapan kolektif masyarakat, membutuhkan kerja sama produktif antar individu dalam menggerakkan aktivitas sosial, ekonomi di kota dan desa yang lahir dan berkembang melalui proses prakarsa yang ada di lingkungan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, peran individu sebagai mahluk sosial dibutuhkan proses saling interaksi dalam upaya untuk menggerakkan dinamika kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Upaya menggerakkan aktivitas dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik membutuhkan proses penyadaran untuk melakukan perubahan terencana terhadap masyarakat. Proses penyadaran tersebut tentunya tidak dapat dilakukan secara invidu, melainkan secara kolektif masyarakat dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya yang tersedia untuk digunakan yang juga demi kepentingan kolektif. Upaya kolektif tersebut dilakukan agar lebih efisien dan efektif dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Mengantisipasi proses penyadaran secara cepat dan tepat, maka dibutuhkan organisasi untuk berkumpul dalam membangun kebersamaan dalam melakukan perubahan. Dalam konteks ini, untuk melakukan perubahan di

(4)

lingkungan di butuhkan organisasi lokal yang lahir dan berkembang di lingkungan itu sendiri. Organisasi lokal di maksudkan disini selain organisasi pemerintah, dalam hal ini pemerintah desa, juga organisai non pemerintah yang lahir dan tumbuh di lingkungan. Organisasi lokal ini daharapkan mampu menjadi penyuluh, dalam memfasilitasi dan menggerakkan masyarakat. Di samping itu organisasi lokal tersebut, diharapkan mampu membangun pemahaman akan betapa pentingnya suatu pembangunan, dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan, khususnya masalah kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat di desa.

Sebagai langkah awal, organisasi lokal perlu merumuskan secara tepat mengenai rencana pembangunan yang bagaimana agar dapat mendorong proses pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk merumuskan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat diperlukan sumber daya manusia yang memiliki perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) pembangunan.

Dalam upaya merumuskan rencana pembangunan pedesaan, maka setidak-tidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu: Pertama, siapa yang menjadi kelompok-kelompok sasaran (golongan miskin di desa, atau petani kecil, nelayan, buruh tani tidak bertanah, berkebun, dan sebagainya). Kedua, harus mampu memperkirakan besarnya kebutuhan masyarakat menurut batasan masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, sarana dan prasarana harus dirumuskan sedemikian rupa, untuk mendapatkan gambaran kebutuhan pokok minimum.

Sehubungan dengan hal tersebut, keberadaan organisasi lokal ini diharapkan dapat mendorong proses perubahan ke arah yang lebih baik yaitu perubahan dari perilaku masyarakat tradisional menjadi masyarakat

(5)

pembangunan, di lingkungan. Proses perubahan tersebut dilakukan dengan melalui pemberdayaan masyarakat.

Perubahan perilaku masyarakat pedesaan dapat dilakukan melalui proses pemberdayaan, sangat erat kaitannya dengan sejauh mana peran kelembagaan lokal di itu sendiri dalam mendorong proses pembangunan. Demikian pula kelembagaan lokal di pedesaan dapat memberikan fasilitas agar perilaku pembangunan di lingkungan masyarakat miskin dapat tumbuh dan berkembang.

Fasilitas yang dimaksud untuk memberdayakan kegiatan produktif masyarakat miskin dan meningkatkan posisi bargaining mereka terhadap semua bentuk eksploitasi dan superordinasi adalah kemudahan ekonomi (economic facilities) yang benar-benar nyata dan peluang-peluang sosial (social opportinies) yang memihak kepada masyarakat miskin (Bagong, 2003).

Upaya-upaya mendapatkan kemudahan tersebut, yang dilakukan oleh masyarakat miskin seringkali mengalami kegagalan. Salah satu hal yang menjadi faktor kegagalan lebih disebabkan mental dan kinerja birokrasi yang kurang maksimal dalam mendorong proses pemberdayaan masyarakat.

Terdapat fakta dalam menjalani kehidupan sehari-hari. kelompok miskin disinyalir tidak banyak memiliki keterkaitan, atau tidak terjadi proses interaksi dengan organisasi sosial yang ada di lingkungan masyarakat itu sendiri. Akibatnya seluruh akses dan kontrol atas seluruh potensi sumber daya yang mestinya menjadi hak mereka sering kali tidak tersampaikan. Beberapa indikator mengenai hal tersebut antara lain; Pertama, fasilitas kemudahan bagi petani miskin dari pemerintah seperti kredit, bantuan, ternyata cenderung lebih banyak dinikmati oleh mereka dengan penguasaan tanah yang luas. Oleh karena itu,

(6)

masyarakat miskin lebih banyak terjebak oleh usaha-usaha komersial baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, maupun para lintah darat untuk mendapatkan kredit dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, baik untuk kebutuhan produksi maupun konsumsi.

Kedua, aspek distribusi informasi bila dilihat dalam konteks kemiskinan struktural ini bahwa bimbingan dan informasi yang relevan hanya berhenti sampai kepada kalangan terbatas. Sebagaimana diungkapkan Sumardjo (1999), selama ini pendekatan program lebih bersifat “Top Down” sehingga seluruh program beserta dengan perangkatnya telah disediakan dari atas. Gejala demikian berdampak pada tingkat partisipasi yang rendah. Demikian kompleksnya sebab kemiskinan, baik kemiskinan alamiah, kemiskinan kultural, maupun struktural, menjadikan kelompok miskin tak berdaya dalam mengatasi kondisi yang dihadapi.

Bebagai latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka penting dan perlu untuk dipikirkan suatu upaya memampukan (empowering) kelompok miskin yang ada di dalam lingkungan masyarakat dengan melakukan upaya-upaya mengintegrasikan ke dalam organsiasi lokal yang memiliki misi dan visi perubahan melalui pemberdayaan masyarakat. Upaya berkelompok pada satuan individu miskin diduga lebih mengutamakan bagaimana hanya bisa bertahan untuk hidup tanpa memikirkan masa depannya. Oleh karena itu, perlu ada kearifan yang dapat melihat potensi serta faktor-faktor yang berpengaruh, mampu mendorong, memfasilitasi kesadaran (awareness) dan memunculkan kekuatan dirinya sendiri, untuk mengatasi ketidakberdayaan.

(7)

Masalah Penelitian

Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki permasalahan dengan penduduk miskin yang tinggal di wilayah. 10 persen dari total 186.211 penduduk miskin di provinsi Sulawesi Selatan berada pada wilayah Kabupaten Bone, tepatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bone adalah 92.360 jiwa. Hal ini mendudukkan Kabupaten Bone pada peringkat teratas dalam jumlah penduduk miskinnya setelah Kabupaten Tana Toraja. (Depsos, 2007). Pemerintah Kabupaten Bone memerlukan usaha keras untuk memberdayakan masyarakat miskin agar terlepas dari jerat kemiskinan.

Kemiskinan dan batasan kemiskinan menyangkut indikator fisik dan nonfisik yang sudah berkembang harus dipahami dalam kerangka operasionalisasi identifikasi kemiskinan baik terhadap kelompok (menyangkut siapa?) maupun identifikasi terhadap tipologi (menyangkut daerah mana?). Dalam konteks kemiskinan kelompok masyarakat di tempat penelitian ini dilakukan, maka operasionalisasi batasan kemiskinan menyangkut identifikasi kelompok (menjawab siapa?). Dengan demikian batasan fisik dan nonfisik kemiskinan menyangkut ukuran terhadap pemakaian garis kemiskinan (poverty line), sedangkan yang kedua menyangkut kemampuan buruh tani untuk akses dan kontrol terhadap sumber daya. Spektrum ukuran yang kedua (non fisik) lebih luas karena menyangkut antara lain tingkat integrasi dalam sistem sosial, keterdedahan terhadap program oleh pemerintah, motivasi dan tingkat kepercayaan diri, interaksi sosial yang terwujud dalam tingkat pengaruh kelembagaan formal maupun informal di mana buruh tani berada.

(8)

Selanjutnya batasan kemiskinan normatif maupun absolut yang dibawa individu dari luar kelompok miskin dan lingkungannya, harus dan senantiasa dikomparasikan dengan batasan kemiskinan menurut kelompok miskin dan masyarakat dimana kelompok ini berada. Karena bisa jadi kategori kemiskinan absolut menurut orang luar, bukan merupakan bentuk kemiskinan menurut masyarakat setempat. Dalam hal ini maka penetapan batasan absolut kemiskinan harus dipadukan dengan batasan pengertian kemiskinan menurut masyarakat. Dengan demikian pengertian kemiskinan bergerak dari cerita penderitaan masyarakat masa lalu ke pengertian kondisi kekinian yang dihadapi oleh sebagian masyarakat yang hidup dalam keadaan miskin.

Kemiskinan seharusnya didefinisikan sendiri oleh masyarakat. Pendefinisian dan pembatasan kemiskinan oleh masyarakat sangat penting artinya untuk membangun suatu kerangka solusi upaya memampukan (empowering) kelompok tidak berdaya. Dengan demikian untuk mengubah kondisi masyarakat miskin di Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan dari ketidakberdayaan menjadi berdaya, maka penelitian ini penting dan perlu menjawab beberapa rumusan permasalahan berikut ini:

1. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan?

2. Bagaimana peran kelembagaan lokal, khususnya pada organisasi kemasyarakatan dan pemerintah lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin? 3. Bagaimana tingkat aktualisasi tanggung jawab masyarakat dalam membantu

keluarga atau kelompok miskin?

4. Bagaimana hubungan karakteristik responden, persepsi terhadap peran kelembagaan lokal, dan pemahaman kemiskinan dengan tingkat aktualisasi

(9)

perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat miskin?

5. Apa potensi-potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin?

6. Bagaimana tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin?

7. Bagaimana model alternatif pemberdayaan keluarga miskin di pedesaan?

Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan.

2. Mengkaji peran kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin. 3. Menguraikan tingkat aktualisasi tanggung jawab sosial masyarakat dalam

membantu keluarga atau kelompok miskin.

4. Menganalisis hubungan karakteristik responden, peran kelembagaan lokal, dan pemahaman kemiskinan dengan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat miskin. 5. Mengidentifikasi potensi-potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih

lanjut dalam upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin. 6. Menjelaskan tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin.

(10)

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang penyuluhan dan manfaat praktis dalam mengembangkan alternatif upaya-upaya menyelesaikan masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan digunakan:

(1) Secara akademik memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu penyuluhan yang berkaitan dengan mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi masyarakat iuntuk menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan.

(2) Sebagai dasar bagi peneliti atau kelembagaan yang berminat untuk mengembangkan potensi masyarakat terkait peran kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin di.

Definisi Istilah

Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Kabupaten Bone dengan penekanan pada potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam upaya pemberdayaan terhadap keluarga miskin. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan defenisi istilah yang digunakan dalam penelitian untuk menghindari pemahaman yang berbeda dan dijelaskan sebagai berikut:

(1) Potensi adalah kemampuan yang meliputi kekuatan, kesanggupan, dan daya seseorang maupun kelompok yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan lebih baik.

(11)

(2) Masyarakat adalah kelompok manusia yang lebih besar yang tinggal disatu wlayah mempunyai kebiasaan, tradisi, perilaku di bawah suatu seperangkat kepercayaan, ideal dan tujuan yang kemudian disatukan dalam suatu rangkaian kehidupan bersama.

(3) Kelembagaan Lokal adalah kelompok ataupun organisasi pada level pedesaan yang memiliki doktrin, tata nilai, norma, aturan yang mengikat setiap individu dalam organisasi atau kelompok tersebut, meliputi organisasi atau kelompok kemasyarakatan dan organisasi pemerintahan pada desa setempat.

(4) Pemberdayaan adalah pemberian kemudahan akses yang meliputi pemahaman akan masalah serta kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk mendayagunakan sumber daya yang dimilki terarah untuk pebaikan nasib. (5) Keluarga miskin adalah unit terkecil dari kelompok sosial yang terdiri dari

ayah, ibu dan anak yang tinggal dan hidup bersama dalam kondisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum hidup yang meliputi: (a) sandang-pangan, (b) layanan kesehatan, (c) layanan pendidikan, (d) perumahan, (e) air bersih, aman, dan sanitasi yang baik.

Referensi

Dokumen terkait

 Penyuluhan kesehatan di dalam gedung adalah pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang dilakukan di dalam

Berdasarkan kuadran manajemen risiko inflasi pada bulan Oktober kurun waktu 2015-2019, diperoleh informasi bahwa komoditas volatile foods yang menjadi prioritas untuk

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER.05/ MEN/1996, SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan,

Total beban pendinginan hasil perhitungan ditambahkan 10% sebagai safety factor sehingga total beban pendinginan sensibel pada cold storage adalah sebesar 29,66 kW Beban

tertentu semakin lama waktu pengadukan berat pupuk yang dihasilkan semakin besar dan cendrung konstan pada waktu yang terlalu lama, hal ini disebabkan semakin

Modifikasi algoritma bertujuan untuk mengakomodasi waktu produksi 3 shift perhari dengan 6 hari perminggu, di mana tenaga kerja bekerja 5 hari perminggu dengan pergantian 3

Sosial budaya masyarakat Bolango pada masa kerajaan terutama pra-Islam, terbagi ke dalam golongan stratifikasi sosial yakni Olongia (Raja-raja dan keturunannya),

pada bagian ini hanya terdiri dari beberapa elemen multimedia yang digabungkan menjadi suatu aplikasi multimedia yang sudah diolah menggunakan software Macromedia Director MX, Adobe