BAB II
KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM YANG MENYANGKUT JAMINAN FIDUSIA
Objek Fidusia
Lembaga jaminan fiducia memegang peranan yang penting, karena
selain sebagai jaminan tambahan apabila dianggap masih kurang mencukupi,
artinya, apabila jaminan dengan hak tanggungan sebagaimana diterangkan
dalam UU No. 4 Tahun 1996 kurang mencukupi, atau tidak jelas apakah benda
tersebut digolongkan kepada benda bergerak atau tidak bergerak, maka keadaan
demikian benda tersebut dijaminkan melalui fidusia, misalnya mesin-mesin
pabrik, ada kalanya melalui fidusia ia digolongkan kepada benda tidak
bergerak.
Pada mulanya ojek fidusia itu hanya ditujukan pada benda-benda bergerak saja, misalnya sepeda motor, mesin-mesin ringan atau perkakas rumah tangga dan lain-lainnya, kemudian perkembangan selanjutnya dalam praktek juga seperti bangunan-bangunan, misalnya rumah, toko, gedung di atas tanah orang lain, yaitu tanah sewa dan pakai , semua ini dapat difidusiakan, bahkan juga hak pakai atas tanah juga dapat difidusiakan.
Sri Soedewi Majhoen Sofwan, mengemukakan, mengenai pertumbuhan
fidusia di Indonesia mengalami perkembangan yang lain, perkembangan
menjurus kearah pertumbuhan yang semarak, subur dan meluas kearah jaminan
dengan benda tidak bergerak.17
17
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di Dalam Praktek dan pelaksanaannya di Indonesia, Fak. Hukum Gajah Mada, Yogyakarta, 1977, hal. 75.
Selanjutnya beliau mengatakan “Pada umumnya perkembangan fidusia
di Indonesia disebabkan rasa kebutuhan dari masyarakat sendiri, di samping
juga terpengaruh dengan berlakunya UUPA No. 5 tahun 1960 di Indonesia,
dirasakan sesuai dengan kebuthan masyarakat karena prosesnya lebih mudah,
lebih luwes biayanya murah, selesainya cepat dan meliputi benda-benda
bergerak ataupun benda tidak bergerak.
Sebagai mana kita ketahui objek dari hak tanggungan itu adalah benda
tidak bergerak seperti tanah dan bangunan yang ada di atasnya, akan tetapi di
dalam fidusia dimungkinkan jaminannya dengan benda tidak bergerak, yang
menjadi masalah apakah hak jaminan yang seharusnya dengan hak
tanggungan dapat difidusiakan.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka sebaliknya kita melihat dahulu
pendapat yang dikemukakan oleh Asser Scholten, mengemukakan apakah
benda tidak bergerak dapat difiduciakan atau tidak, secara dogmatis dikatakan
tidak mungkin, karena tidak ada publisitas dari penyerahan dan karena
Bierbroowerij Arrest memberi sanksi pada kebutuhan dan kebiasaan menjamin
benda bergerak saja.
Atas jawaban tersebut Pitlo mengemukakan dengan mengatakan “Bisa saja dan kiranya bila penyerahnnya secara yuridis juga telah terjaadi, artinya dengan Zakelijk Overeenkost, pendaftaran pada pejabat pendaftaran tanah disamping adanya perjanjian bahwa penyerahnannya ini hanya atas kepercayaan saja, bukanlah fiducia itu dalam sistematika B.W merupakan suatu perjanjian baru yang bernama. Hanya tentunya tidak banyak yang menggunaan karena sudah ada lembaga jaminan dengan hipotik yang untuk mendapatkan sertifikatnya lebih murah
biayanya. Sedangkan freferensi-freferensi dan klausule-klausulenya telah diatur rapi dalam undang-undang dan grossenya telah mempunyai titel executorial.18
Pendapat yang menerima pendapat Pitlo adalah A. Veenhoven, ia
menegaskan bahwa, semua benda baik bergerak maupun tetap yang dapat
diserahkan hak miliknya dapat pula diserahkan hak miliknya atas kepecayaan
(sebagai jaminan).19
Cara membedakan benda yang bergerak dan benda tidak bergerak itu Dari pendapat-pendapat di atas, dijelaskan bahwa lembaga jaminan cara
fidusia ini yang objeknya benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak
adalah wajib untuk dipertahanan dan disebarluaskan penggunaannya, karena
lembaga ini prosesnya tidak panjang, tidak berbelit-belit, jaminan dapat
dimamfaatkan terus oleh debitur, sehingga hal ini cocok di dalam pembangunan
nasional sekarang ini, dan lembaga ini sesuai dengan sikap dan keperibadian
bangsa Indonesia yang memegang teguh setiap janiji karena sangat menghargai
kehormatannya.
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Pitlo dan A. Veenhoven
dapatlah kita ketahui bahwa mereka tidak mempermasalahkan apakah fidusia
itu benda tetap atau tidak tetap, tetapi lebih jauh menekankan semua itu kepada
cara penyerahannya, jelaslah cara penyerahan atas jaminan itu secara yuridis
berdasarkan kepercayaan.
18
Roesnastiti Prayitno, “Suatu Tinjauan Mengenai Masalah Fiduciare Eigendoms Overdracht Sebagai Jaminan Hutang”, Majalah Hukum Universitas Indonesia, No. 3 Tahun ke-VI, Mei 1976, hal. 203.
19
adalah dengan sistem yang dianut oleh UUPA No. 5 tahun 1960.
Perihal apakah jaminan benda bergerak, tidak bergerak itu dapat jaminan
secara fiducia, Sumardi Mangun Kusumo mengemukakan :
Bila di Indonesia sekarang ini hak tanahpun dapat difidusiakan tanpa mempersoalkan pengertian “roerand” dan “onroerand”, apakah gerangan tidak dapat memfiduciakan suatu bagunan diatas tanah hak sewa yang tidak merupakan kesatuan hak dengan tanah, sungguhpun bangunan itu tertancap atau terpaku diatasnya”. Selanjutnya beliau mengemukakan : Bahwa dalam Hukum Adat yang telah disempurnakan dan yang disesuaikan dengan perkembangan suatu negara modern, maka soal pendaftaran dan registrasi menjadi unsur yuridis dari peristiwa hukum walaupun hukum Agraria kita tidak mengenl pengertian kebendaan dan
zakelijk overenkomst.20
Praktek perbankan di Indonesia telah sejak lama berpengalaman dengan pemasangan fidusia sebagai jaminan atas pemberian kreditnya, hal ini dilakukan baik oleh Bank-bank pemerintah maupun Bank-bank swasta, jaminan fidusia ini terutama tertuju kepada benda-benda bergerak yang berupa barang-barang invetaris, barang-barang dagangan, mesin-mesin maupun kenderaan bermotor dan lain-lain.
Di Indonesia penggunaan lembaga jaminan ini banyak dilakukan di
Bank-bank, menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, :
21
20
Ibid., hal. 19.
21
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Op.Cit., hal. 95.
Selanjutnya beliau mengemukakan lagi “Praktek lain yang terjadi pada
bank, yaitu disamping akta fidusia, Bank juga mengadakan perjanjian dengan
pemilik tanah, dimana dalam perjanjian itu pemilik tanah menyetujui bila bank
mengoper hak sewa atas tanah tersebut kepada pihak lainselama bank
mempunyai hak milik atas kepercayaan terhadap bangunan di atas tanah
tersebut, di samping itu juga menyetujui untuk meneruskan perjanjian sewa
Untuk kepastian hukum maka sebaliknya pemberian jaminan kredit secara fidusia ini dibuat dihadapan notaris karena perjanjian yang hanya diberikan dengan pengakuan atau dengan akta dibawah tangan akan banyak mendapat kesulitan apabila timbul perselisihan dikemudian hari.
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sri SoedowiMasjhoen Sofwan,
dalam kertas kerjanya pada Seminar Hipotik dan Lembaga-Lembaga Jaminan
Lainnya, tanggal 28 sampai 30 Juli 1977 yang diadakan di Yogyakarta, beliau
berkesimpulan. “Fidusia hendaknya dapat diadakan atas rumah atau bangunan
di atas tanah orang lain, tanah-tanah hak sewa, hak pakai, hak pengelolaan dan
demi kepastian hukum mengenai fidusia di atas tanah orang lain hendaknya
dicatat pada sertifikat tanahnya pada Kantor Seksi Pendaftaran Tanah.
Di lingkungan perbankan Medan hal mengenai hak mendirikan dan
memiliki bangunan di atas tanah orang lain dapat diterima sebagai jaminan
kredit dengan fidusia.
Keberadaan Lembaga Fidusia Dalam Hukum Jaminan
Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang
antara debitur dan kreditur. Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada
kreditur untuk menjamin pelunasan hutangnya. Jaminan Fidusia diatur dalam
Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia
terhadap kreditor lainnya.22
Ketentuan Pasal 10 dihubungkan dengan Pasal 16 UUJF, kita bisa Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan
dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak
kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk
fidusia.
Ruang lingkup jaminan fidusia diatur dalam Pasal 2 UUJF yang
berbunyi: Undang-Undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan
untuk membebani benda dengan jaminan fidusia dan Pasal 10 UUJF yaitu:
Kecuali diperjanjikan lain :
1. Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan
fidusia.
2. Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi
objek fidusia diasuransikan.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, Jaminan Fidusia sudah dengan
sendirinya mencakup pula hasil dari benda jaminan fidusia.
a. Penafsiran luas
Penjelasan atas Pasal 10 sub 1, yang mengartikannya sebagai segala sesuatu yang diperoleh dan benda yang dibebani jaminan fidusia, memberi petunjuk kepada kita, bahwa kata hasil ditafsirkan luas, meliputi, baik hasil alamiah maupun hasil perdata. Hasil alamiah misalnya adalah anak dan sapi induk yang dijaminkan, sedang hasil perdata adalah bunga dan tagihan atau uang sewa dan benda yang dijaminkan. Demikian juga dengan deviden suatu saham.
b. Tidak berlaku asas asesi.
22
menyimpulkan, bahwa jaminan fidusia tidak otomatis meliputi perbaikan
dan penambahan-penambahannya di kemudian hari atau dengan perkataan
lain lebih luas di sini tidak berlaku asas asesi.
Pada hubungan fiduciare, pemilik-asal sebagai orang yang tetap
menguasai benda jaminan fidusia sadar, benda tersebut sekarang paling tidak
sementara dijaminkan sudah bukan miliknya dan kalau ia tetap melaksanakan
perbaikan dan penambahan-penambahan atas benda fidusia, maka
kedudukannya dapat kita samakan dengan bezitter dengan itikad buruk. Pada
saat kreditur penerima-fidusia akan melaksanakan eksekusi, maka terhadapnya
kiranya bisa diberlakukan ketentuan Pasal 581 KUH Perdata yaitu ia hanya bisa
mengambil kembali apa yang telah ditambahkan pada benda jaminan, dengan
syarat pengambilan kembali itu tidak merusak benda jaminan. Kalau
penambahan itu berupa suatu bangunan, maka berlakulah Pasal 603
KUHPerdata dan dalam peristiwa seperti itu, pemilik bisa menyuruh bongkar
tambahan bangunan yang bersangkutan.
Sekalipun ada perlindungan bagi kreditor penerima fidusia dalam
ketentuan pasal-pasal tersebut, kiranya adalah lebih aman bagi kreditor untuk
memperjanjikan bahwa semua perbaikan dan penambahan atas benda jaminan
fidusia, yang menyatu dengannya, termasuk dalam lingkup jaminan fidusia
yang mereka tutup.
Yang demikian ini memang dimungkinkan oleh Pasal 10 tersebut di
atas, sebagai yang tampak dan kata-kata “kecuali ditentukan lain”, yang Diakses tanggal 12 Juni 2012.
memberikan petunjuk kepada kita, bahwa pasal tersebut merupakan ketentuan
hukum yang bersifat menambah.
Eksekusi Jaminan Fidusia
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia secara efektif Kantor Pendaftaran Fidusia yang telah terbentuk
pada tanggal 30 September 2000 mulai menerima pendaftaran barang-barang
dan Akta Pembebanan Fidusia pada tanggal 30 September 2000, maka jaminan
yang bersifat kebendaan dan eksekusinya yang diatur dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, di Indonesia telah dikenal lembaga Fidusia yang bersumber
dari Yurisprudensi yaitu Arrest H.G.H. (Hogerechts Hof) tanggal 18 Agustus
1932 dalam perkara BPM – CLYGNETT dan di negara Belanda Arrest Hoge
Raad tanggal 25 Januari 1929 yang terkenal dengan nama Bierbrouwry Arrest.
Bahwa Jaminan Fidusia yang bersumber pada yurisprudensi dan lahir untuk
menyimpangi syarat mutlak jaminan gadai bahwa barang yang digadaikan
harus dikuasai oleh penerima gadai atau kreditur atau pihak ketiga dengan
persetujuan penerima gadai merupakan hak pribadi atau persoonlijk recht yang
bersumber pada perjanjian, dan eksekusi tentu berbeda dengan eksekusi
Jaminan Fidusia yang bersifat kebendaan.
a. Eksekusi objek jaminan fidusia sebelum berlakunya Undang-Undang
Lembaga Jaminan Fidusia yang bersumber pada Yurisprudensi merupakan
hak perorangan maka dalam hal debitur pemberi Fidusia cidera janji, tidak
memenuhi kewajibannya (membayar utang) yang dijamin dengan fidusia,
maka upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mendapatkan pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan gugatan perdata terhadap debitur pemberi
fidusia dengan memohon sita jaminan terhadap barang yang difidusiakan
dan mohon putusan serta merta dalam perkara tersebut dengan mendasarkan
pada bukti otentik atau dibawah tangan (yang tidak disangkal
debitur/Tergugat sesuai Pasal 180 HIR). Dalam hal barang yang difidusiakan
sudah tidak ada karena telah dijual oleh pihak ketiga atau karena alasan lain
atau kredit penggugat memperkirakan bahwa hasil penjualan barang yang
difidusiakan tidak cukup untuk melunasi piutangnya maka
kreditur/penggugat dapat minta agar barangbarang milik debitur/tergugat
yang lain/yang tidak difidusiakan disita jaminan. Sedangkan terhadap
debitur/tergugat yang telah menjual objek jaminan dapat dikenakan tindak
pidana penggelapan.
b. Eksekusi objek jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999
Eksekusi jaminan fidusia sebagaimana yang diatur dalam BAB V
Undang Nomor 42 Tahun 1999 sebagaimana bunyi Pasal 29
Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan, ”dalam hal debitur Pemberi Fidusia
mempunyai/memegang Sertifikat Fidusia dapat/berhak untuk menjual objek
Jaminan Fidusia dengan cara :
1. Mohon eksekusi sertifikat yang berjudul Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud Pasal 15 (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.
2. Menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil
penjualan (Pasal 15 ayat 3).
2. Menjual objek jaminan fidusia dibawah tangan yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara
ini akan diperoleh harga yang tertinggi sehingga menguntungka para
pihak. Penjualan bawah tangan ini dilakukan setelah lewat waktu 1
(satu) bulan sejak diterbitkannya secara tertulis oleh pemberi dan atau
penerima fidusia kepada piha-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah
yang bersangkutan.
1. Pelaksanaan Titel Eksekusi
Dalam sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran
Fidusia dicantumkan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sertifikat jaminan fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah langsung
mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Ada 2 (dua) syarat utama dalam pelaksanaan titel eksekusi (alas hak
eksekusi) oleh penerima fidusia, yakni :
a. Debitur atau pemberi fidusia cidera janji;
b. Ada sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan irah-irah Demi Keadilan
Berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Pada pelaksanaan titel eksekusi tidak dijelaskan atau dicantumkan
apakah pelaksanaan eksekusi tersebut dengan lelang atau dibawah tangan,
namun mengingat sifat eksekusi dan mengingat penjualan secara di bawah
tangan telah diberi persyaratan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima
fidusia, maka pelaksanaan titel eksekusi haruslah dengan cara lelang.
2. Penjualan atas kekuasaan penerima fidusia
Dalam hal debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk
menjual benda objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Penjualan
dengan cara ini dikenal dengan lembaga parate eksekusi dan diharuskan
dilakukan penjualan di muka umum (lelang). Dengan demikian Parate Eksekusi
kurang lebih adalah kewenangan yang diberikan (oleh undang-undang atau
putusan pengadilan) kepada salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri secara
paksa isi perjanjian dalam hal pihak yang lainnya (debitur) ingkar janji
(wanprestasi).
Kekuasaan untuk pelaksanaan ini harus dibuktikan dengan sertifikat
eksekusi) ini mengandung persyaratan yang sama dengan eksekusi atas alas hak
eksekusi (titel eksekusi).
3. Penjualan di bawah tangan
Pelaksanaan eksekusi jaminan dengan cara penjualan di bawah tangan
merupakan suatu perkembangan dalam sistem eksekusi yang sebelumnya juga
telah dianut dalam eksekusi Hak Tanggungan atas Tanah (UU No. 4 Tahun
1996). Seperti halnya dalam Undang Hak Tanggungan maka
Undang-Undang Fidusia ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung
beberapa persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan. Ada 3 (tiga)
persyaratan untuk dapat melakukan penjualan di bawah tangan :
• Kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. Syarat ini diperkirakan akan berpusat pada soal harga dan biaya yang menguntungkan para pihak.
• Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh
pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan.
• Diumumkan sedikitnya 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
menguntungkan.
Melihat beratnya persyaratan tersebut di atas maka besar kemungkinan
(seperti halnya selama ini Hak Tanggungan Hak Atas Tanah) penjualan dengan
cara di bawah tangan ini tidak akan popular. Diperkirakan kalau cara ini
ditempuh hanya akan terbatas pada kredit berskala besar.
Besar kemungkinan cara yang selama ini berlangsung akan lebih
disenangi oleh para pihak dibandingkan dengan cara yang baru dalam
persetujuan debitur akan menebus atau melunasi beban (nilai pengikatan)
barang yang menjadi objek fidusia. Mungkin uang penebusan adalah berasal
dari calon pembeli setelah itu atau pada saat yang sama pemilik melakukan jual
beli dengan pembeli secara di bawah tangan (ditanda tangani oleh pemilik
barang).
Dengan melihat topik dan alasan dari penjualan di bawah tangan ini
adalah untuk memperoleh harga tertinggi lalu dilakukan jual beli dengan
sukarela maka penjualan lelang melalui Balai Lelang kiranya juga dapat
digunakan pada kesempatan ini. Khusus dalam hal benda yang menjadi objek
jamina fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat
diperjualbelikan di pasar atau di bursa. Undang-Undang Fidusia mengatur
bahwa penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi efek yang terdaftar di bursa di Indonesia berlaku peraturan
perundangan-undangan di bidang Pasar Modal. Pengaturan serupa dapat
ditemukan pula dalam hal lembaga gadai sebagaimana hal itu diatur dalam
Pasal 1155 KUH Perdata.
Ketentuan-ketentuan tentang cara eksekusi Jaminan Fidusia
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan 31 Undang-Undang Jaminan Fidusia
bersifat mengikat (dwinged recht) yang tidak dapat dikesampingkan atas
kemauan para pihak. Penyimpangan dari ketentuan-ketentuan tersebut berakibat
batal demi hukum. Mengingat bahwa jaminan fidusia adalah lembaga jaminan
dimaksudkan untuk semata-mata memberi agunan dengan hak yang
didahulukan kepada penerima fidusia, maka setiap janji yang memberi
kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki objek jaminan fidusia
adalah batal demi hukum. Ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi pemberi
fidusia dan teristimewa dalam hal nilai objek jaminan fidusia melebihi besarnya
utang yang dijaminkan. Ketentuan serupa dapat kita jumpai pula dalam Pasal
1154 KUH Perdata tentang lembaga gadai. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Pasal 1178 ayat (1) KUH Perdata