• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU KDRT JALAN PANJANG MENUJU KEHARMONI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BUKU KDRT JALAN PANJANG MENUJU KEHARMONI (1)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

m en u ju

JA L A N P A N JA N G

K E H A R M O N ISA N

R U M A H T A N G G A

R U M AH PER EM PU AN K U PAN G

(2)

D iterbitkan oleh :

R U M AH PER EM PU AN K U PAN G

Jln. Pegangsaan I, N o. 17, Kelapa Lim a,

Kota Kupang-N usa Tenggara Tim ur;

m en u ju

K E H A R M O N ISA N

(3)

Cetakan Pertam a, Februari 2011

Hak Cipta © Rum ah Perem puan Kupang

ISBN: 978-602-96517-1-3

vi + 70 Halam an; 14 x 21 cm

Penulis:

Libby SinlaEloE, Tri Soekirm an, Paul SinlaEloE

Editor:

Paul SinlaEloE

D esain Cover:

W esly Jacob

Lay O ut/Tata Letak:

W esly Jacob

D iterbitkan oleh:

Rum ah Perem puan Kupang

Jln. Pegangsaan I, No. 17, Kelapa Lim a, Kota Kupang-Nusa Tenggara Tim ur;

Telp/Fax. (0380)-823117; E-m ail: rm hperem puan@ yahoo.co.id

D idukung oleh:

Am erican Friends Service Com m ittee (AFSC)-Indonesia

Jln. Krasak Barat, Kota Baru, Yogyakarta; Telp/Fax. 0274-517062/0274-556610;

Em ail: ; W ebsite: w w w .bina-dam ai.net

(4)

SE K A P U R SIR IH

Salam D am ai U ntuk Perdam aian..!

m erican Friends Service Com m ittee (AFSC) Indonesia

m enyam paikan apresiasi yang tinggi dan selam at

atas terbitnya buku dengan judul “Jalan Panjang m enuju

Keharm onisan Rum ah Tangga” yang dirilis oleh LSM Rum ah

Perem puan. Karya kecil ini akan didedikasikan bagi

peningkatan m artabat kaum perem puan dan

sekaligus m em berikan ruang yang luas pada upaya

m enyentuh pelaku KD R T (baca: dom inan

laki-laki/suam i) dengan tetap m enjunjung harm onisasi

keluarga.

U paya R um ah Perem puan dan kom unitasnya m erupakan langkah

yang m em pertegas pengoptim alan m odal sosialseperti m ekanism e adat dan

p ara akto r terkait d i ko m u n itas d i d alam p en yelesaian K D R T.

M elalui buku ini, kita disadarkan kem bali bahw a potensi kebhinekaan

N usa Tenggara Tim ur (N TT) yang beragam adat-istiadat seperti adat Tim or,

Rote, dan Tim or-Tim ur sangat potensial m enyelesaikan kekerasan terhadap

perem puan. Ini m odal sosial yang perlu diberi ruang sebagaim ana yang

sering diutarakan oleh R um ah Perem puan sendiri agar kaum perem puan

kem b ali p ercaya d iri d an tid ak ten g g elam p ad a kep u tu sasaan .

Buku ini seyogyanya dipandang sebagai kum pulan huruf-huruf hidup

yang berbicara tentang keharm onisan rum ah tangga dan m asa depan

perem puan N TT. Karena itu, buku ini diharapkan m enjadi rujukan bagi sem ua

pem angku kepentingan yang peduli pada keharm onisan rum ah tangga,

khususnya nasib perem puan N TT.

Yogyakarta, 8 M aret 2011

Jiw ay Francis Thung

Country Representatif AFSC Indonesia

A

(5)

K A T A P E N G A N T A R

eutuhan dan kerukunan rum ah tangga dalam suasana yang bahagia, am an,

tentram dan dam ai adalah dam baan setiap orang dalam suatu rum ah

tangga. Itulah kalim at yang terdapat pada baris pertam a sekaligus Alinea

Pertam a dari Penjelasan U m um U ndang-U ndang N om or 23 Tahun 2004, tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rum ah Tangga. Kalim at ini juga, m erupakan

gam baran dari kondisi dan atau tujuan yang hendak diw ujudkan berkaitan

dengan m araknya kasus kekerasan dalam rum ah tangga. Perm asalahannya,

sejauh m ana hal ini teraplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam

m asyarakat sekitar kita?

Pengalam an R um ah Perem puan selam a 10 (sepuluh) tahun dalam

m elakukan kerja-kerja pendam pingan korban, m em buktikan bahw a m em elihara

keutuhan rum ah tangga yang harm onis dan sejahtera, m erupakan tantangan

yang harus ditem ukan solusinya, terutam a pasca terjadinya kekerasan dalam

rum ah tangga. Tantangan ini sem akin lebih berat lagi ketika terjadi kekerasan

dalam rum ah tangga, para pihak m encari keadilan m elalui sistem peradilan

form al.

Pengalam an Rum ah Perem puan juga m engajarkan bahw a pasca penarikan

kasus dari pihak kepolisian dan atau pasca vonis pengadilan, pihak korban

dalam hal ini istri atau anak m aupun anggota rum ah tangga lainnya akan

dipersalahkan oleh pihak keluarga dan atau tetangga. Akibatnya, para korban

akan m engalam i tekanan psikologis. Khusus bagi anak akan cenderung m encari

pelam piasan dengan cara m engikuti perilaku buruk dari pelaku. Sedangkan bagi

para istri, biasanya akan m em ilih jalan pintas yakni perceraian untuk m engakhiri

penderitaannya.

Berpijak pada realita persoalan di atas, Rum ah Perem puan yang m erupakan

lem baga non profit dan bekerja untuk isue-isue perem puan, kesetaraan gender

dan sangat konsern pada persoalan kekerasan dalam rum ah tangga, m enaw arkan

suatu m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga,

lew at buku yang berjudul “JA LA N PA N JA N G M E N U JU K E H A R M O N ISA N

R U M A H TA N G G A ”

.

Keberhasilan Rum ah Perem puan dalam m endesain m odel penyelesaian

alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga dan m em bukukannya, tidak

K

(6)

bisa dipisahkan dari dukungan dana A m erican Friends Service Com m ittee

(AFSC) dan partisipasi dari w arga, aparat desa dan para tokoh yang berada di

D esa N oelbaki dan D esa Tuapukan, yang m erupakan daerah tem pat dilakukannya

try out draft m odel Penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah

tangga. U ntuk itu, bagi AFSC, aparat desa, w arga desa dan para tokoh yang

berada di D esa N oelbaki dan D esa Tuapukan, patut m endapatkan ucapkan

terim a kasih.

U capan terim a kasih, juga pantas diberikan kepada Jhon N om e, SH .M hum

(D osen FH U N D AN A), D eddy Ch. M anafe, SH .M hum (D osen FH U N D AN A) dan

D rs.Ayub Titu Eki, Phd, (Bupati Kupang) yang telah m enyum bangkan pikiran

cerdasnya untuk m em perkaya m akna dari buku ini. Terim a kasih yang tulus,

tak lupa diberikan kepada: Pdt. D r. Eben N uban Tim o, M Th, Prof. M ia N oach,

M A.Phd, Ir. Sarah Lery M boeik, Ir. Farry D j. Francis, M M A, dr. Joyce Kansil,

O ctory G asperz, SE, D rg. Christina Titu Eki, M Ph, Esaf D aka Besi, Yacob Folle,

SE, Iin Luttu, Frederik M bura dan M uhazir H ornai Belo yang sudah m em berikan

pencerahan tentang m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah

tangga.

Khusus untuk tem an-tem an aktivis R um ah Perem puan: Im elda D aly,

Yulius Boni G eti, N oldy Taduhungu, W atty Bagang, Theresia Siti, H ofni Tefbana,

N urkasrih, Im elda Pong, juga layak m enerim a ucapan terim a kasih karena

kesetiaan dan kekom pakannya dalam m elakukan advokasi, m ediasi dan konseling

terh ad ap p ara ko rb an kasu s kekerasan d alam ru m ah tan g g a.

Sebagai penutup, buku ini diharapkan m enjadi m asukan yang berm anfaat

bagi para pihak yang berkeinginan untuk m elakukan reform asi sistem peradilan

di Indonesia. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat m enjadi bacaan alternatif

yang berm anfaat bagi setiap individu m aupun kelom pok yang peduli terhadap

persoalan kekerasan dalam rum ah tangga dan bertekad untuk m ew ujudkan

k

eutuhan dan kerukunan rum ah tangga dalam suasana yang bahagia, am an,

tentram dan dam ai sebagaim ana dam baan setiap orang dalam suatu rum ah

tangga.Terim a Kasih...!!!

Kupang, 8 M aret 2011

Libby R atuarat-SinlaEloE

Koordinator Rum ah Perem puan

(7)
(8)

B A B I

P E N D A H U LU A N

A. PEN G AN TAR

Pdt. D r. Eben N uban Tim o, M Th (K etua M ajelis Sinode G M IT,

Periode 2007-2011)

alam m enyelesaikan kasus KD RT m em ang sebaiknya jalur hukum

m enjadi pilihan terakhir. M isi yang dilakukan dalam penanganan dan

pencegahan KD R T seharusnya adalah m isi pem berdayaan sehingga

keharm onisan dapat terw ujud. U ntuk m encapai keharm onisan

keluarga, sangat penting dilakukan penguatan secara internal

terhadap setiap individu, sehingga m ereka bisa bertindak secara

positif dalam segala hal. D an nantinya, setiap individu

tersebut dapat bertum buh m enjadi m anusia yang kreatif

dan berm artabat. U ntuk m encapai m isi ini tentunya gereja

harus bekerja sam a dengan unsur lainnya yang ada di m asyarakat, terutam a

dalam m endiskusikan persoalan ketim pangan gender yang ada. D

iskusi-diskusi ini bisa dim asukan dalam bahan ajar katekasasi dan juga konseling

pra nikah.

(K upang, 17 Februari 2011).

D

Ir. Sarah Lery M boeik (A nggota D PD R I, Periode 2009-2014).

Penyelesaian kasus KD RT m elalui m ekanism e non form al

(M ekanism e Adat) sebenarnya sudah ada sejak dahulu.

Banyak kajian sosiologi hukum yang m enceritakan

tentang m ekanism e non form al ini. D i N TT budaya

patriarki m asih cukup kuat dan ini sangat berkorelasi

dengan perspektif dari para tua-tua adat dalam

m enentukan sanksi dalam sebuah kasus KD RT. Jangan

sam pai, sanksi yang diberikan justru akan m elanggar

H AM dan m enindas kaum perem puan. U ntuk itu, m ekanism e penyelesaian

alternatif ini harus didesain secara baik. Artinya m ekanism e penyelesaian

(9)

form al dan m ekanism e non form al (M ekanism e Adat). Kalau tidak, m aka

m ekanism e alternatif ini justru akan kem bali m enguatkan sistem patriarki

yang ada dan posisi perem puan m enjadi sem akin lem ah. M odel penyelesaian

alternatif kasus KD RT ini, juga tidak boleh didesain untuk diterapkan secara

kaku dan diberlakukan secara general di tem pat lain karena tidak sem ua

m asyarakat m em iliki tipikal yang sam a. Satu hal yang tidak boleh dilupakan

bahw a penyelesaian kasus KD RT m elalui jalur hukum form al dan non form al

m aupun m em pergunakan m ekanism e alternatif m em punyai kelebihan dan

kelem ahannya sendiri-sendiri, sehingga tidak boleh ada dikotom i yang satu

lebih baik dan yang satunya tidak.

(Jakarta 5 Februari 2011).

Ir. Farry D j. Francis, M M A (A nggota D PR R I, Periode

2009-2014)

Persoalan kekerasan dalam rum ah tangga m erupakan m asalah yang sudah m endapat perhatian

serius dari berbagai pihak di seluruh belahan dunia.

Alternatif Penyelesaian Sengketa, m erupakan salah satu

cara yang lebih baik dalam m enyelesaikan konflik dari

pada diselesaikan di kepolisian. D i banyak w ilayah,

m asyarakat tertentu punya cara-cara sendiri untuk m enyelesaikan

kasus-kasus KD RT. M isalnya, lew at pendekatan kekeluargaan dan untuk itu, hal

tersebut perlu didorong. W alaupun dem ikian pendekatan alternatif dalam

penyelsaian kasus KD RT ini, harus di desain secara baik sehingga pada

tataran im plem entasinya tidak berdam pak buruk pada kaum perem puan.

(Jakarta, 19 February 2011)

dr. Joyce K ansil (K epala B adan Pem berdayaan Perem puan K ota

K upang)

Persoalan KD RT m erupakan suatu w ujud kejahatan

terhadap kem anusiaan yang harus dicarikan solusi

yang tepat. D alam m enyelesaiakan kasus KD RT, kita

harus m em pertim bangkan 2 (dua) hal yaitu:

Pertam a,

kasus yang bisa dim ediasi oleh tokoh m asyarakat dan

aparat pem erintah setem pat.

K edua,

Kasus yang

harus diangkat ke ranah hukum form al, yaitu kasus

(10)

A K P . Johanis K ristian Tanau (K asat R eskrim P olres K upang)

Salah satu sem angat UU PKD RT adalah pelibatan berbagai

elem en m asyarakat dalam upaya penyelesaian kasus

KD RT m enuju keharm onisan. O leh karena itu, dalam

m enangani kasus K D R T pihak kepolisian juga

m engharapkan ada partisipasi m asyarakat. D i w ilayah

kerja Polres Kupang, bentuk kasus K D R T yang

m endom inasi dalam beberapa tahun terakhir adalah

kasus penganiayaan. D alam penanganan kasus KD RT,

kam i m enjalankan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Apabila ada pihak

yang sudah m elaporkan ke kepolisian dan ingin berdam ai, m aka akan

dituangkan dalam surat perjanjian dam ai yang ditandatangani oleh korban

dan pelaku serta disaksikan oleh saksi-saksi dari kedua belah pihak. Pada

sisi lain, pihak kepolisian juga sangat dilem atis ketika m enangani kasus

KD RT. Contohnya, ketika pihak kepolisian dim inta oleh salah satu pihak baik

pelaku m aupun korban untuk m em fasilitasi agar terjadinya perdam aian

diantara m ereka, m aka oleh pihak yang lain sering m enuduh bahw a kepolisian

selalu m engham bat proses penegakan hukum dan berbelit-belit dalam

penanganan kasus. Bahkan ada juga yang m enuduh pihak kepolisian sudah

m enerim a uang sogokan dari pihak tertentu. Bertolak dari pengalam an yang

dem ikian, m aka kam i berharap pelaporkan kasus KD RT ke pihak kepolisian

adalah pilihan terkahir. Bagi pihak kepolisian, apalah artinya kasus KD RT di

proses sam pai ke pengadilan, nam un ini akan m em perburuk hubungan

kekeluargaan dalam lingkup rum ah tangga? apalah artinya kalau pelaku di

vonis bersalah dengan hukum an penjara atau denda sedangkan korban dan

pihak lain dalam lingkup rum ah tangga akan “terlantar”?

(Kupang, 1 M aret

2011).

m asyarakat, m em ang m erupakan m odel penyelesaian kasus yang lebih baik

karena m elibatkan berbagai unsur yang ada dalam m asyarakat. Penyelesaian

kasus KD RT juga diharapkan dapat diharm onisasikan dengan budaya yang

ada di N TT yang nota bene system kekeluargaannya m asih sangat tinggi.

Jika kasus bisa diselesaikan secara kekeluaragaan lebih baik, nam un untuk

kasus berulang dan m erm baw a dam pak yang fatal bagi korban tidak bisa

(11)

Prof. M ia N oach, M A .Phd (D ew an Penasehat LPA N TT, Periode

2011-2014)

KD RT dalam perspektif H ak Asasi M anusia (H AM ) m erupakan

suatu tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai

kem anusian. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rum ah

tangga m elalui penyelesaian alternatif pada dasarnya

dim aksudkan untuk m em perbaiki hubungan kekeluargaan.

Penyelesaian alternatif ini lebih m enyentuh hati dari para

pihak yang m engalam i persoalan kekerasan dalam rum ah tangga. Sedangkan,

apabila diselesaikan m elalui proses hukum form al, hasilnya kurang m aksim al.

Penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga ini dapat

m elibatkan banyak pihak term asuk para penegak hukum . Keterlibatan dari

para tokoh agam a sangat penting dalam penyelesaian ini, untuk itu peran

lem baga agam a seperti gereja sangat perlu ditingkatkan.

(K upang, 18

D esem ber 2011).

W inston R ondo, SPt (D irektur CIS Tim or)

D alam hal penyelesaian suatu kasus, bisanya terdapat 2 (dua) paradigm a

yang bisa saling m elengkapi:

Pertam a,

realiatas patriarki yang kuat yanag

m enjadi sukm a dari kasus KD RT.

K edua,

politik afirm asi yang m elahirkan

U U PKD RT. D engan m em baw a kasus ke proses hukum form al diharapkan

dapat m em berikan efek jera terhadap pelaku, tapi pada prakteknya justru

berdam pak pada pem isahan keluarga. Ini yang tidak kita

harapkan. Pada satu sisi kita harus m em astikan perlindungan

terhadap perem puan dan anak, nam un pada sisi lainnya

keluarga harus tetap utuh dan m enjadi sum ber teladan.

Pendekatan penyelesaian alternative kasus KD RT ini bisa

m endorong kesadaran bersam a tentang hak perem puan

dan pendekatan yang dirum uskan ini sangat sarat dengan

konteks lokal atau sesuai dengan budaya setem pat dan

juga agam a. Selam a ini orang m asih m engganggap

persoalan KD RT sebagai persoalan privat, nam un dengan pendekatan ini

(12)

B. K D R T D ALAM PER SPEK TIF YU R ID IS

O leh: Yorhan Yohanis N om e, SH .M H um - D osen FH U niv. N usa Cendana

Prolog

ekerasan dalam rum ah tangga (KD RT) m erupakan ujung dari relasi

dalam rum ah tangga yang kurang harm onis. Terutam a relasi suam

i-isteri yang selalu dalam keadaan kon flik. D alam perspektif teori sosial,

paling tidak terdapat 4 (em pat) pola relasi suam i-isteri yang

sedang berada dalam konflik. Stephen K. Sanderson (2003),

m engungkapkan pola interaksi suam i-isteri yang sedang

berada dalam keadaan konflik dalam em pat pola yakni: Pola

eskalasi, Pola invalidasi, Pola M enarik diri dan m enghindar,

serta pola Inteprestasi N egatif.

Indikasi berakhirnya relasi suam i-isteri, dalam perspektif teori sosial

dilihat dalam 4 (em pat) tahap. Keem pat tahap ini, sesungguhnya m erupakan

sebuah m odel pengakhiran relasi (relationship filtering), sebagaim ana

diidentifikasikan oleh Knapp dalam Alo Liliw eri (2001), yakni: Tahap diferensiasi

(deferentiating), Tahap tersendat-sendat (stagnasting), Tahap saling

m enjauh (avoiding) dan Tahap pengakhiran relasi (term inating)

D alam konteks sosial, KD RT terkonstruksi selain karena adanya

pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, nam un juga terkonstruksi

dari nilai-nilai yang dijadikan rujukan dalam suatu m asyarakat. D alam konteks

rujukan nilai inilah terbangun perspektif m asyarakat tentang hakikat dan

m artabat kem anusiaan atau yang dikenal sebagai hak asasi m anusia (H AM ).

K D R T: K onstruksi Perundang-undangan

Isu tentang KD RT m ulai m erebak di Indonesia seiring dengan

diratifikasinya Convention on the Elim ination of All Form s of Discrim ination

K

M ekanism e kom unal ini bukan saja m enyadarkan pelaku tetapi juga m em beri

perlindungan terhadap perem puan dan yang terpenting m em ber kesem patan

kedua bagi keluarga untuk m elakukan pem ulihan. M etode ini harus terus

dikem bangkan dan tentunya tidak dapat diberlakukan sam a pada konteks

(13)

Against W om en (CED AW ) dengan U ndang-undang N om or 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi M engenai Penghapusan Segala Bentuk

D iskrim inasi Terhadap Perem puan. CED AW , m engintrodusir adanya 5 (lim a)

bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender terhadap perem puan,

yakni:

(1)

. Adanya stereotype, pelabelan bahw a perem puan sebagai w arga

kelas dua;

(2)

.

M arjinalisasi

, pem inggiran terhadap perem puan dalam

pengam bilan keputusan;

(3)

.

Subor dinasi

, perem puan ditem patkan pada

peran yang tidak penting;

(4)

. Doble burden, adanya beban ganda pada

perem puan dalam peran publik sekaligus peran dom estik; dan

(5)

. Adanya

kekerasan dalam rum ah tangga.

Sebagai sebuah konvensi, CED AW hanya m em punyai daya ikat secara

m oral dan tidak m em punyai daya paksa secara norm atif. O leh karena itu,

kem udian dikeluarkanlah U U PKD RT. M elalui U U PKD RT, kelim a bentuk

ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dapat diberi kekuatan hukum

yang m engikat sekaligus m em punyai daya paksa secara norm atif.

U U PKD RT, m enem patkan perem puan sebagai kelom pok rentan yang

paling banyak m engalam i KD RT. U ntuk itu, U U PKD RT hadir dalam kerangka

m em berikan perlindungan secara khusus bagi kaum perem puan. D alam

konteks ini, bukan berarti kelom pok laki-laki dan anak-anak tidak m endapat

perhatian secara serius. U U PKD RT tetap m enem patkan kedua kelom pok

dim aksud juga sebagai pihak yang m ungkin saja m enjadi korban KD RT,

nam un dari fenom ena yang ada kelom pok perem puan yang paling banyak

m enderita sebagai korban KD RT.

D icantum kannya ketentuan Pasal 1 Angka 2 U U PKD RT m erupakan

w ujud tanggung jaw ab negara dalam m elaksanakan am anat Alinea IV

Pem bukaan U U D 1945. Secara sederhana, Alinea IV Pem bukaan U U D 1945

m em berikan 4 (em pat) kata kunci yang harus m enjadi fungsi negara, yakni:

(1).

M elindungi,

(2)

. M ensejahterahkan,

(3).

M encerdaskan, dan

(4).

M endam aikan kehidupan rakyat. Keem pat kata kunci ini lebih dikenal sebagai

am anat penderitaan rakyat (Am pera).

D alam konteks sub kalim at, “…jam inan negara…,” m aka yang dim aksud

di sini adalah jam inan dari Pem erintah sebagai penerim a m andat Am pera,

(14)

PKD RT disebut sebagai partisipan. D engan kata lain, U U PKD RT m enghendaki

adanya jam inan baik dari Pem erintah m aupun rakyat agar:

(1).

KD RT

dicegah,

(2).

pelaku KD RT ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku,

dan

(3).

korban KD RT terlindungi.

Berangkat dari pem ikiran tentang KD RT sebagai salah satu kejahatan

terhadap harkat dan m artabat kem anusiaan, m aka Pasal 3 U U PKD RT

m enggariskan bahw a penghapusan KD RT dilaksanakan berasaskan:

(1).

penghorm atan H AM ,

(2).

keadilan dan kesetaraan gender,

(3).

non

diskrim inasi, dan

(4).

perlindungan korban. H adirnya U U PKD RT, tidak saja

m elihat rum ah tangga sebagai relasi suam i-isteri sem ata, nam un m em perluas

relasi tersebut.

U U PKD RT pertam a-tam a m em berikan batasan lingkup rum ah tangga

pada konsep keluarga inti atau keluarga batih (nuclear fam ily). Artinya,

sebuah rum ah tangga terbentuk dari suam i, isteri, dan anak. U ntuk konteks

keluarga inti, pendekatan dom isili tidak berlaku. Kalaupun m ereka tidak

m enetap dalam satu rum ah, nam un m asih terikat dalam perkaw inan yang

sah, m aka konsep rum ah tangga m encakup m ereka.

Selanjut U U PKD RT m em perluas lingkup rum ah tangga m enjadi

keluarga luas (extended fam ily

)

. Artinya, sebuah rum ah tangga tidak saja m eliputi keluarga inti saja, tapi juga m eliputi orang-orang yang m em punyai

hubungan keluarga dengan keluarga batih karena:

(1).

H ubungan D arah,

(2)

. Perkaw inan,

(3).

Persusuan,

(4).

Pengasuhan, dan

(5).

Perw alian. U ntuk kelim a kategori ini, pendekatan dom isili digunakan. M ereka baru bisa

tercakup dalam konsep rum ah tangga, kalau m enetap dalam satu rum ah.

U U PKD RT, dengan m enggunakan pendekatan dom isili, kem udian m em asukan

pem batu rum ah tangga ke dalam lingkup rum ah tangga. Syaratnya adalah:

(1).

pem batu rum ah tangga tersebut tinggal m enetap dalam rum ah, dan

(2).

sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga.

D alam konteks kekerasan, beberapa pasal m endefinisikan kekerasan

sebagai berikut: Pasal 6 U U PKD RT, m em beri penjelasan bahw a kekerasan

fisik adalah perbuatan yang m engakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka

berat. Berkaitan dengan ketentuan ini, terlihat perbedaan m endasar dengan

yang diatur oleh Kitab U ndang-U ndang H ukum Pidana (KU H P). U U PKD RT

(15)

U U PKD RT, dan 7 (tujuh) Pasal dalam KU H P ke dalam Pasal 44 ayat (1),

dan ayat (2) U U PKD RT.

Pasal 7 U U PKD RT m enjelaskan bahw a kekerasan psikis adalah

perbuatan yang m engakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,

hilangnya kem am puan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau

penderitaan psikis berat pada seseorang.Pasal 8 U U PKD RT m enjelaskan

bahw a kekerasan seksual m eliputi:

(a).

pem aksaan hubungan seksual yang

dilakukan terhadap orang yang m enetap dalam lingkup rum ah tangga

tersebut, dan

(b).

pem aksaan hubungan seksual terhadap salah seorang

dalam lingkup rum ah tangganya dengan orang lain untuk tujuan kom ersial

dan/atau tujuan tertentu.

Pasal 9 U U PKD RT m em beri kriteria penelantaran rum ah tangga,

yaitu:

(1).

m enelantarkan orang yang m enurut hukum yang berlaku baginya

atau karena persetujuan atau perjanjian ia w ajib m em berikan kehidupan,

peraw atan, atau pem eliharaan, dan

(2).

m engakibatkan ketergantungan

ekonom i dengan cara m em batasi dan/atau m elarang untuk bekerja yang

layak di dalam atau di luar rum ah.

K D R T: Perspektif H AM

Indonesia sesungguhnya sem enjak berdiri, telah secara serius

m enetapkan H AM sebagai bagian dari kontrak sosial secara konstitusional.

Paling tidak Alinea I Pem bukaan U U D 1945, diaw ali dengan kalim at deklaratif,

“Bahw a sesungguhnya kem erdekaan itu ialah hak segala bangsa, … ” Artinya,

N egara Indonesia di dirikan atas kesadaran akan pentingnya H AM . Bahkan

pada Am andem en II U U D 1945, ditam bahkan satu bab dengan sepuluh

pasal yang berisi sepuluh kelom pok hak dasar yang m erupakan perum punan

yang dikenal dalam H AM .

Perspektif H am yang dikem bangkan di Indonesia, secara operasional

telah diatur dalam U ndang-U ndang N om or 39 Tahun 1999 tentang H ak Asasi

M anusia (U U H AM ). U U H AM m engelom pokkan perangkat hak dim aksud

atas 10 (sepuluh) hak dasar, yakni:

(1).

hak untuk hidup,

(2)

. hak untuk

berkeluarga dan m elanjutkan keturunan,

(3).

hak m engem bangkan diri,

(16)

pem erintahan,

(9)

. hak w anita, dan

(10)

hak anak.

Kesepuluh kelom pok hak dasar tersebut, m elekat pada hakikat dan

keberadaan m anusia sebagai m ahluk Tuhan Yang M aha Esa dan m erupakan

anugerah-N ya. Artinya, tidak diberikan, diw ariskan, atau tidak dapat dicabut

oleh siapapun. D alam konteks ini, hak untuk berkeluarga dan m elanjutkan

keturunan, m erupakan hak yang m elekat pada setiap m anusia dan m erupakan

karunia dari Sang Pencipta. O leh karena itu, H AM w ajib dihorm ati, dijunjung

tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum , pem erintah, dan setiap orang.

D engan m enyebut urut-urutan negara, hukum , pem erintah, dan

setiap orang, m enunjukkan bahw a U U H AM m enem patkannya sesuai dengan

siklus tanggung jaw ab dalam kehidupan bernegara. Tanggung jaw ab utam a

dan pertam a ada pada negara. Bentuk tanggung jaw ab tersebut diw ujudkan

dalam pengaturan hukum . Kem udian hukum dijalankan oleh pem erintah

dan setiap orang.

Pem erintah sebagai aktor yang m engoperasikan kebijakan negara

dalam bentuk pengaturan hukum , telah banyak m elakukan upaya ke arah

pengakuan, penghorm atan, pem enuhan, penyebarluasan, dan penegakan

(P5) H AM . D alam konteks penghapusan KD RT, ada sejum lah kebijakan yang

telah dilakukan, yakni:

Pertam a,

M eratifikasi berbagai instrum en H AM

Internasional, seperti: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk D iskrim inasi

Terhadap Perem puan dengan U ndang-U ndang N om or 7 Tahun 1984;

Rekom endasi U m um N om or 19 tentang Kekerasan Terhadap Perem puan

Sidang Ke-11 Tahun 1992 Kom ite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk

D iskrim inasi Terhadap Perem puan; D eklarasi Penghapusan Kekerasan

Terhadap Perem puan tanggal 20 D esem ber 1993.

K edua,

M engeluarkan sejum lah instrum en H AM nasional, seperti: U U H AM ; U U PKD RT; Peraturan Pem erintah N om or 4 Tahun 2006 tentang

Penyelenggaraan dan Kerjasam a Pem ulihan Korban Kekerasan D alam Rum ah

Tangga; Instruksi Presiden N om or 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutam aan

G ender dalam Pem bangunan N asional.

Berkaitan dengan KD RT sebagai tindak pidana, diatur dalam Pasal

44-53 U U PKD RT. Ketentuan pidana dalam U U PKD RT m em perlihatkan

sejum lah aspek yang m enarik, yakni:

Pertam a, D ari segi cara penjatuhan

(17)

D engan adanya stelsel alternatif penjara atau denda sebagai pidana pokok,

m aka penuntut um um w ajib m enuntut secara alternatif, dem ikian juga hakim

dalam m enjatuhkan pidana kepada pelaku w ajib m enjatuhkannya secara

alternatif pula. Penuntut um um tidak boleh hanya m enuntut dengan pidana

tunggal, hakim juga tidak boleh m enjatuhkan pidana tunggal. Kalau dalam

kenyataannya penerapan hanya m enggunakan pidana tunggal, m aka jelas

penegak hukum telah salah m enerapkan hukum . D engan kata lain, penegakan

hukum yang dilakukan dengan cara yang m elanggar hukum . D engan adanya

stelsel pidana alternatif ini, sejalan dengan tujuan utam a dari U U PKD RT,

yakni tetap m enjaga keharm onisan rum ah tangga.

Selain itu, dalam bilangan teori hukum pidana, nam paknya pem bentuk

U U PKD RT m enganut aliran abolisionism. Aliran yang m enem patkan pidana

penjara sebagai ultim um rem idium atau penghukum an paling akhir yang

digunakan. Paling tidak selam a lem baga pem asyarakatan belum m am pu

m em ainkan fungsinya sebagai pelem bagaan nilai-nilai kem anusiaan (H AM ),

m aka tidak ada dasar pem benaran pelaku tindak pidana dipidana dengan

pidana penjara. O leh karena sebagaim ana adagium um um dalam pem ikiran

pem idanaan, yakni negara tidak berhak untuk m em buat seseorang lebih

buruk kondisinya, jika dibandingkan dengan sebelum m enjalani pidana

penjara.

K edua, D ari segi bobot ancam an pidana (

strafm aat

),

m enggunakan stelsel ancam an m inim um um um dan ancam an m aksim um

khusus

.

D alam bilangan hukum pidana, ancam an pidana m inim um um um

untuk pidana penjara adalah 1 (satu) hari, dan ancam an m inim um um um

untuk pidana denda adalah Rp.1,- (satu rupiah). D alam artian, ketika pasal

pidana yang ada hanya m enyebut ancam an m inim um saja, m aka harus

dibaca bahw a ancam an m inim um nya dalam bobot seperti ini. U ntuk itu,

ketika penjatuhan pidananya dilakukan antara ancam an m inim um um um

dan ancam an m aksim um um um , m aka harus dilakukan secara paralel antara

pidana penjara atau pidana denda.

U ntuk ancam an pidana m aksim um , m asing-m asing pasal dalam U U

PKD RT m engaturnya secara khusus. Artinya, selain yang sudah ditetapkan,

penegak hukum tidak boleh m enerapkan yang lain. Penegak hukum hanya

(18)

ancam an m aksim um khusus pada pasal-per pasal.

Ketiga, D ari segi jenis pidana

(

strafsoort

),

m enggunakan stelsel pidana pokok dan pidana tam bahan. U U PKD RT juga m em berikan ruang

bagi penegak hukum untuk m enerapkan pidana tam bahan. Pasal 50 U U

PKD RT, m em beri kew enangan kepada hakim untuk m enjatuhkan pidana

tam bahan berupa:

(a)

. pem batasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk

m enjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan w aktu tertentu dari perlau,

dan

(b)

. penetapan pelaku m engikuti program konseling di baw ah pengaw asan

lem baga tertentu.

N am paknya pem bentuk U U PKD RT m elihat bahw a hanya dengan

pidana pokok, perm asalahan KD RT tidak dapat tertanggulangi. U ntuk pidana

tam bahan pem batasan ruang gerak pelaku, m enjadi sangat penting ketika

pelaku m enjalani pidana alternatifnya dengan pidana denda. Artinya, ketika

dijatuhkan pidana alternatif penjara atau denda, kem udian terpidana (palaku)

m em ilih untuk m enjalani pidana denda. Pem batasan ruang gerak pelaku

dalam jarak dan w aktu tertentu m enjadi aspek yang sangat penting untuk

m elindungi korban.Selam a proses pem batasan ruang gerak pelaku, sem estinya

upaya m ediasi atau rekonsiliasi dapat dilakukan. D apat juga pada m asa ini,

pelaku ditetapkan untuk m enjalani pidana tam bahan berupa m engikuti

konseling. D engan begitu akar perm asalahan KD RT berupa kom unikasi relasi

suam i-isteri (terutam a) dapat ditanggulangi.

KD RT sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap H AM harus

terus diupayakan untuk dihapus. Kontruksi penghapusan KD RT dilaksanakan

dengan P5 H AM . U ntuk aspek pengakuan, secara eksplisit telah diatur

dalam konstitusi dan berbagai instrum en operasional. Aspek yang berm asalah

atau yang m asih harus dicerm ati adalah aspek penghorm atan, pem enuhan,

penyebarluasan, dan penegakan H AM . Keem pat aspek ini berkaitan dengan

im plem entasi dari H AM dalam rum ah tangga.

Khusus berkaitan dengan penegakan H AM dalam rum ah tangga,

m aka berkaitan langsung dengan U U PKD RT. U ntuk operasionalnya penegakan

H AM yang diatur dalam U U PKD RT, secara teknis m em butuhkan dukungan

dari 3 (tiga) kom ponen, yakni:

(1)

. kom ponen intrum en pelaksanaan,

(2)

.

kom ponen kelem bagaan, dan

(3)

. kom ponen sosial. U ntuk kom penen

(19)

N om or 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasam a Pem ulihan

Korban Kekerasan D alam Rum ah Tangga (PP N o. 4/2006).PP N o.4/2006,

m enjabarkan secara teknis sinergisitas lintas sektor ketika m enangani korban

KD RT. D alam PP N o.4/2006, juga m engatur tentang kom ponen kedua, yakni

dukungan kelem bagaan dalam penegakan U U PKD RT. Ada 3 (tiga) lem baga

yang w ajib dibentuk dalam kerangka ini, yakni:

Pertam a, Pusat Pelayanan

Terpadu (PPT).

Lem baga ini dapat dibentuk oleh pem erintah m aupun oleh pihak non pem erintah. PPT, m enjalankan fungsi m enerim a, dan

m enyelenggarakan penanganan korban KD RT pada saat krisis.Penanganan

dilaksanakan terutam a penangan kesehatan (fisik, seksual, dan psikologis).

Proses penanganan krisis terhadap korban KD RT diselenggarakan selam a

7 hari.

K edua, R uang Pelayanan K husus (R PK ).

Lem baga ini w ajib dibentuk pada unit kepolisan setem pat. RPK, kini bernam a U nit Pelayanan

Perem puan dan Anak (U PPA), dibentuk khusus untuk m enangani pelaku

dan korban KD RT perem puan dan anak. U PPA, terdiri dari tenaga polisi

w anita terlatih dengan perspektif H AM .

K etiga, R um ah Perlindungan

Sosial (R PS).

Lem baga ini dapat dibentuk oleh pem erintah m aupun oleh pihak non pem erintah. R PS, m enjalankan fungsi pendam pingan sosial,

pem ulihan, pem berdayaan, pem ulangan, dan reintegrasi sosial korban KD RT.

Penyelenggaraan kegiatan pada RPS selam a 90 (Sem bilan puluh) hari. D alam

tenggang w aktu tersebut, diharapkan korban telah pulih dan siap untuk

dikem balikan ke dalam rum ah tangganya serta m enjalankan perannya seperti

sem ula.

D alam perspektif H AM , satu terobosan yang dilakukan oleh U U PKD RT,

yakn i m elalu i keten tu an Pasal 55 U U PK D R T yan g berbu nyi:

“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan sorang saksi korban saja sudah cukup untuk m eem buktikan bahw a terdakw a bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.

Berkaitan dengan alat bukti yang sah, Pasal Pasal 184 KU H AP, yakni:

(20)

(5)

. Keterangan terdakw a. D alam hal ini, untuk kasus KD RT, salah satu alat bukti yang sah adalah kererangan saksi korban, yang digolongkan sebagai

alat bukti yang sah pertam a. Alat bukti yang lain dapat digunakan untuk

m endukung alat bukti pertam a tersebut. N am un untuk teknis perkara,

sebaiknya alat bukti pertam a didukung oleh alat bukti keterangan ahli atau

alat bukti surat. D engan begitu, kekuatan pem buktian dapat dikatakan

sem purna untuk m enyatakan secara sah dan m eyakinkan terdakw a bersalah

dalam proses pengadilan.

Epilog

U U PKD RT hadir untuk m em beri P5 H AM bagi korban KD RT terutam a

perem puan. D engan dem ikian, jelas bahw a U U PKD RT m em punyai perspketif

H AM . Akan tetapi, ada sejum lah perm asalahan teknis hukum yang harus

direnungkan, yakni:

Pertam a,

D engan m erelatifkan (m enyatukan) sejum lah

bentuk tindak pidana dalam KU H P m enjadi kelom pok kekerasan dalam U U

PKD RT, m em baw a konsekuensi yuridis pada hilangnya spesifikasi tindak

pidana tersebut. Sem akin relatif suatu tindak pidana, m aka m akin luas dan

m akin m em buka ruang bagi penegak hukum untuk m elakukan penafsiran

terhadap tindak pidana tersebut. Sebaliknya, sem akin spesifik suatu tindak

pidana, m aka m akin m em perm udah penerapan tindak pidana tersebut pada

kasus nyata. M isalnya, untuk kasus kekerasan seksual, KU H P m em bedakan

pada 3 (tiga) rum pun besar, yakni:

(1)

. perkosaan,

(2)

. percabulan, dan

(3)

. perzinahan. U ntuk perkosaan dan percabulan, KU H P m asih m em bagi lagi dalam sejum lah spesifikasi lagi. Ssem entara U U PKD RT m enyatukan

sem uanya dalam bentuk kekerasan seksual.

K edua,

Adanya standar penanganan tindak pidana secara berbeda antara U U PKD RT dengan KU H P m eskipun terhadap tindak pidana yang

bersesuaian atau bersebanding, hanya karena kualifikasi lingkup rum ah

tangga. U ntuk korban yang tidak tergolong dalam lingkup rum ah tangga,

m aka U U PKD RT tidak dapat diberlakukan. Artinya, KU H P diberlakukan.

Sem entara jelas logika antara U U PKD RT dengan KU H P sangat berbeda.

M isalnya, dalam kekerasan seksual, U U PKD RT m em atok logika perlindungan

harkat dan m artabat korban sebagai m anusia. Sem entara KU H P dengan

(21)

C. A LTER N A TIF P EN Y ELESA IA N SEN G K ETA : K em balinya “A nak

Terhilang”..!!

O leh: D eddy R . Ch. M anafe, SH .M H um – D osen FH U niv. N usa Cendana

Prolog

lternatif penyelesaian sengketa (APS), m erupakan

istilah yang diperkenalkan oleh U ndang-U ndang

N om or 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (U U N o.30/1999). Pasal 1 angka

10 U U N o.30/1999 m enyatakan bahw a, “A lternatif

Penyelesaian Sengketa adalah lem baga penyelesaian

sengketa atau beda pendapat m elalui prosedur yang

disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

konsultasi, negosiasi, m ediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”

D ari pengertian dim aksud, ada sejum lah aspek yang perlu

digarisbaw ahi, yakni:

(1).

APS berfungsi sebagai lem baga penyelesaian

sengketa atau beda pendapat,

(2).

APS diaw ali oleh kesepakatan para pihak

m enyangkut prosedur penyelesaiannya,

(3).

penyelesaian itu di lakukan di

luar pengadilan, dan

(4).

cara yang digunakan berupa konsultasi, negosiasi,

m ediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. D engan dem ikian, APS hadir sebagai

pilihan forum penyelesaian bagi para pihak yang bersengketa atau berbeda

pendapat, selain forum pengadilan.

Selanjutnya, Alinea IX Penjelasan U m um U U N o.30/1999 m enulis

bahw a APS m erupakan terjem ahan dari alternative dispute resolution

(AD R). D ari sinilah, kem udian ketika m enyebut APS, seolah-olah m erupakan

suatu lem baga asing yang diintrodusir ke dalam sistem hukum Indonesia.

Apalagi, lim a cara kerja APS (konsultasi, negosiasi, m ediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli) disebut secara eksplisit dalam pengertian APS, sehingga

A

percabulan, dan perzinahan lebih pada upaya perlindungan hak reproduksi

seorang perem puan secara sehat. Belum lagi sistem pem buktian yang

digunakan oleh U U PKD RT dan KU H P yang m erujuk pada KU H AP jelas

berbeda. Bagi U U PKD RT cukup dengan keterangan saksi korban ditam bah

satu alat bukti yang sah lainnya terdakw a dapat dipersalahkan. Sem entara

KU H P dan KU H AP m ensyaratkan dua alat bukti yang sah di luar keterangan

(22)

secara praktis kem udian m uncul pula anggapan bahw a dalam APS hanya

m engenal kelim a cara tersebut.

APS sebagai suatu lem baga hukum secara form il pada m ulanya

berkem bang di kalangan pelaku bisnis di Am erika Serikat (sem enjak Tahun

1960-an). Lahirnya forum alternatif selain pengadilan ini, disebabkan oleh

ketidakm am puan lem baga pengadilan untuk m enjaw ab perasaan keadilan

yang hidup di kalangan pelaku bisnis tersebut. Kekakuan prosedural, tidak

tuntasnya perm asalahan, lam anya w aktu penyelesaian, serta m ahalnya biaya

pengadilan m enjadi alasan m endasar sehingga para pelaku bisnis m enciptakan

forum alternatif selain pengadilan dengan fungsi pengadilan.

Pada konteks Indonesia APS bukanlah m erupakan hal yang baru,

hal ini dapat dilihat dalam catatan sejarah yang berkaitan dengan hukum

dan pengadilan. M enurut W . E. Sutterheim , Pada jam an M ajapahit, m isalnya,

ketika H ayam W uruk dan M aha Patih G ajah M ada berkuasa, telah diketem ukan

istilah dhyaksa dan adhyaksa untuk m enyebut pejabat-pejabat di pengadilan.

D hyaksa m erupakan pejabat yang bertugas untuk m em eriksa, m engadili,

dan m em utus setiap perkara yang diajukan ke pengadilan. Sem entara

Adhyaksa m erupakan pejabat yang bertugas untuk m enyerahkan suatu

perkara ke pengadilan.

M enurut M uham m ad Yam in, hal yang sam a juga ditem ukan di

kerajaan Singosari. D alam hal ini, seorang Prabu selalu didam pingi oleh

sebuah dew an yang bernam a D harm adhyaksa. D ew an D harm adhyaksa ini

pada intinya bertugas untuk:

(1).

m elakukan pengaw asan tertinggi terhadap

kekayaan suci,

(2).

m elakukan pengaw asan tertinggi terhadap urusan

pengadilan, dan

(3).

sebagai ketua pengadilan. D alam hal ini, D harm adhyaksa

selain m elaksanakan fungsi keagam aan (H indu dan Budha), nam un juga

m elaksanakan fungsi pengadilan. Kondisi yang sam a m asih berlanjut sam pai

m unculnya kesultanan-kesultanan Islam di Jaw a. Secara substansi

m enggunakan hukum syariah, nam un secara struktur m asih m enggunakan

struktur peninggalan kerajaan H indu dan Budha. (Kusum adi Poedjosew ojo,

(23)

APS dan K eadilan: Aspek N ilai

Sengketa dalam literatur sosiologi, dikenal dengan istilah konflik

adalah sesuatu yang alam i dan tak terhindarkan. Sengketa m erupakan

konsekuensi logis dari m anusia sebagai m ahluk individu dan m ahluk sosial

yang m em iliki perbedaan perspektif tentang hidup dan perm asalahannya

baik karena sejarah dan karakter yang unik, perbedaan gender, pengalam an

dan pandangan serta nilai yang m em andu pikiran, perilaku dan m otivasi

dalam m engam bil tindakan. Karenanya, sengketa akan ada selam a m anusia

ada. Selain dam pak negatif yang ditim bulkan oleh kebanyakan sengketa

yang terjadi, sebenarnya sengketa m em berikan m anfaat positif bagi m anusia,

antara lain:

(1).

m em bantu m enyadarkan m anusia bahw a ada m asalah,

(2).

m endorong m anusia ke arah perubahan yang diperlukan,

(3)

m em bangun kepribadian,

(4).

m enam bah kepedulian, dan

(5).

m endorong

kedew asaan psikologis.

D alam kerangka sebuah intervensi, Fisher, dkk (2001),

m engidentifikasikan 4 (em pat) tipe konflik yang dilihat dari perilaku dan

sasaran. Secara sederhana, identifikasi dim aksud dapat dilihat pada

Tabel 1. terjadi jika setiap kelom pok atau individu yang hidup dam ai harus m am pu m em anfaatkan konflik perilaku dan tujuan (kepentingan) dan m engelolanya secara kreatif.

2. KO N FLIK LATEN : sifatnya tersem bunyi, perlu diangkat ke perm ukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

3. KO N FLIK D I PERM U KAAN : m em iliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan m uncul hanya karena kesalahpaham an m engenai sasaran yang dapat diatasi dengan m eningkatkan kom unikasi.

4. KO N FLIK TERBU KA: adalah yang berakar dalam dan sangat nyata, kom pleks dan m em erlukan berbagai tindakan untuk m engatasi akar penyebab dan dam paknya.

(24)

D ari pem etaan konflik atau sengketa tersebut, terlihat kalau setiap

sengketa yang terjadi dalam m asyarakat sesungguhnya m em punyai nilai

positif. Paling tidak, m asyarakat kem udian dapat m elakukan:

(1).

reproduksi

nilai kehidupan sosial,

(2).

pem ulihan relasi sosial dari para pihak yang

bersengketa,

(3).

m edia belajar dan penguatan norm a, serta

(4).

pengukuhan

otoritas struktur sosial.

Untuk aspek pertam a, ketika forum APS beroperasi dalam penanganan

kasus nyata, m aka pada saat itu upaya untuk m enggali dan m entransform asi

nilai-nilai sosial terjadi. N ilai sosial yang digali adalah nilai yang diturunkan

dari para leluhur dan ditafsirkan secara kontekstual atau diterjem ahkan

dalam kebutuhan kekinian.

U ntuk aspek kedua, m erujuk pada hasil akhir dari cara kerja APS,

yakni adanya kesepakatan para pihak. Cara kerja APS, harus diaw ali dengan

kesepakatan para pihak m engenai cara penyelesaian sengketa, dan diakhiri

dengan kesepakatan tentang bentuk penyelesaian sengketa tersebut. D alam

hal ini, kesepakatan para pihak m erupakan m ekanism e pem ulihan relasi

sosial di antara keduanya. U ntuk itu, APS hadir sebagai forum guna pem ulihan

relasi sosial dim aksud. Intinya ialah dalam forum APS tidak dikenal upaya

m enem ukan kebenaran dan kesalahan guna penghukum an, seperti yang

diterapkan dalam forum pengadilan negara.

U ntuk aspek ketiga, setiap kali forum APS dioperasikan untuk

m enangani kasus nyata, m aka itu m enjadi m om entum bagi m asyarakat

untuk belajar dan penguatan terhadap norm a yang m ereka rujuk. D alam

konteks ini, jika H ukum Adat dijadikan rujukan, m aka jelas bahw a forum

APS m enjadi m edia yang efektif untuk belajar tentang H ukum Adat serta

m asyarakat m engukuhkan kem bali aturan tersebut m asih berlaku dan

m enjaw ab perasaan keadilan m ereka.

U ntuk aspek terakhir, berkaitan dengan legitim asi sosiologis dari

struktur sosial dalam suatu m asyarakat. H al yang lum rah bahw a dalam

kesatuan m asyarakat, terdapat struktur yang m engoperasikannya. D alam

bahasa sehari-hari, struktur sosial terbaca sebagai orang-orang yang

dianggap m am pu atau cakap atau dituakan untuk m engoperasikan norm a

yang m enjadi rujukan bagi perilaku hidup sehari-hari. O leh karena itu, ketika

(25)

ditangani para tetua tersebut, m aka itu m erupakan pengakuan sekaligus

pen gu ku h an terh adap otoritas dari stu rktu r sosial yan g ada.

D ari gam baran di atas, terlihat jelas bahw a forum APS, m erupakan

cerm inan dari pem aham an para aktor yang terlibat akan hak dan kew ajibannya.

D alam konteks ini, para aktor m em aham i perannya dalam kehidupan

berm asyarakat ketika m enghadapi sengketa. Pem aham an akan hak dan

kew ajiban yang m enggiring pada kesadaran akan peran dalam kehidupan

berm asyarakat, m enunjukkan bahw a para aktor tetap m em egang teguh

nilai keadilan. Apalagi, ketika keadilan dim aknai sebagai keseim bangan

antara hak dan kew ajiban.

N apaktilas APS: Aspek N orm a

APS sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan

m endapat bentuk form ilnya, pertam a kali oleh U ndang-U ndang N om or 22

Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (U U N o.22/1957,

kini sudah m engalam i perubahan beberapa kali). D alam U U N o.22/1957,

diatur 3 (tiga) bentuk APS, yakni:

(1).

m ediasi,

(2)

. konsiliasi, dan

(3).

arbitrase. D engan dem ikian, dari segi um ur, forum APS di Indonesia bahkan

lebih tua dari di Am erika Serikat dan Singapura. Akan tetapi, forum APS ini

hanya berlaku di kalangan perburuhan.

Forum APS yang lebih luas dan kom prehensif m enyelesaikan sengketa

dalam kehidupan m asyarakat adalah H PD . Pasal 88 UU N o.5/1974 m enyatakan

bahw a, “Pengaturan tentang Pem erintahan D esa ditetapkan dengan U

ndang-undang.” Atas perintah inilah kem udian keluar U U N o.5/1979. Khusus

m enyangkut H PD , diatur dalam Pasal 10 ayat (1) U U N o.5/1979 yang

berbunyi :

Kepala Desa m enjalankan hak, w ew enang, dan kew ajiban

(26)

Kem udian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) U U N o.5/1979 m enegaskan

bahw a :

“Dalam rangka m enum buhkan dan m engem bangkan jiw a gotong royong m asyarakat Desa, Kepala Desa antara lain m elakukan usaha pem antapan koordinasi m elalui Lem baga Sosial Desa, Rukun Tetangga, Rukun W arga, dan Lem baga-lem baga kem asyarakatan lainnya yang ada di Desa. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya Kepala D esa di bidang ketentram an dan ketertiban dapat m endam aikan p erselisih an -p erselisih an yan g terjad i d i D esa. P e rta n g g u n g ja w a b a n K e p a la D e sa k e p a d a Bupati/W alikotam adya Kepala Daerah Tingkat II m eliputi pelaksanaan urusan-urusan pem erintahan dan urusan pem bantuan m aupun urusan-urusan rum ah tangga Desa. Setelah Kepala D esa m em berikan pertanggungjaw aban kepada Bupati/W alikotam adya Kepala Daerah Tingkat II, selanjutnya m enyam paikan keterangan pertanggungjaw aban kepada Lem baga M usyaw arah Desa.”

D ari ketentuan tersebut, eksplisit ditulis bahw a :

Dalam rangka pelaksanaan tugasnya Kepala Desa di bidang

ketentram an dan ketertiban dapat m endam aikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di D esa.”

Pengaturan seperti ini kem udian m em unculkan istilah H akim

Perdam aian D esa (H PD ) sebagai salah satu fungsi yang m elekat pada Kepala

D esa. D alam konteks ini, forum H PD jelas m erupakan fungsi APS yang

secara form il dijalankan oleh Kepala D esa. Forum H PD dibangun dari logika

perdam aian. Logika ini m erupakan penguatan dari logika penyelesaian

sengketa dalam H ukum Adat, yakni pem ulihan relasi sosial dengan hukum

adat sebagai substansi atau rujukannya.

H PD sebagai forum penyelesaian sengketa non pengadilan, telah

m engakar dalam praktek kehidupan berm asyarakat di tingkat D esa. Paling

tidak, kurang lebih 20 (dua puluh) tahun forum ini dipraktekkan. D i era

reform asi keluarlah U U N o.22/1999, ternyata forum H PD dihilangkan dalam

fungsi Kepala D esa dan forum H PD bersalin nam a m enjadi forum APS dalam

U U N o.30/1999. Proses ini ternyata relatif tidak tersosialisasikan dengan

(27)

yang m engoperasikan forum H PD ala U U N o.5/1979 telah dihilangkan.

Padahal kalau didalam i, m aka U U N o.30/1999, justru m akin m em perluas

fungsi H PD yang tak hanya m elekat pada Kepala D esa saja, nam un juga

m eliputi berbagai aspek kehidupan berm asyarakat.

Secara garis besar, Pasal 6 U U N o.30/1999 m engatur m ekanism e

teknis APS sebagai berikut:

(1).

penyelesaian sengketa m elalui forum APS

didasarkan pada itikad baik untuk m engenyam pingkan m ekanism e

penyelesaian m elalui pengadilan,

(2).

w aktu penyelesaian sengketa m elalui

forum APS paling lam a 14 (em pat belas) hari, dan hasilnya dituangkan dalam

berita acara,

(3).

forum APS dapat m enggunakan jasa penasehat ahli,

(4)

.

forum APS dapat m enunjuk m ediator lain untuk ikut m enyelesaikan sengketa

yang ditangani,

(5).

setelah penunjukan m ediator, m aka dalam w aktu 7

(tujuh) hari proses penyelesaian sengketa dim ulai,

(6).

forum APS m enjam in

kerahasiaan aspek pribadi para pihak, dan dalam w aktu 30 (tiga) puluh hari

berita acara penyelesaian sudah harus ditandatangani para pihak,

(7).

berita

acara penyelesaian sengketa w ajib didaftarkan ke pengadilan negeri setem pat

paling lam bat 30 (tiga puluh) hari setelah penandatanganan, dan

(8).

kesepakatan yang ada dalam berita acara penyelesaian w ajib dilaksanakan

paling lam bat 30 (tiga puluh) hari setelah pendaftaran.

Ketika U ndang-U ndang N om or 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan D alam R um ah Tangga (U U N o.23/2004) diberlakukan, m aka

peran forum APS m enjadi kian penting. Pasal 4 U U N o.23/2004 m enyatakan

bahw a :

“Penghapusan kekerasan dalam rum ah tangga bertujuan: Pertam a, m encegah segala bentuk kekerasan dalam rum ah tangga; Kedua, m elindungi korban kekerasan dalam rum ah tangga; Ketiga, m enindak pelaku kekerasan dalam rum ah tangga; dan Keem pat, m em elihara keutuhan rum ah tangga yang harm onis dan sejahtera.”

D ari pengaturan tersebut, terlihat bahw a U U N o.23/2004 hadir

bukan untuk m enghukum pelaku kekerasan dalam rum ah tangga (terutam a

dalam relasi suam i-isteri), nam un dalam kerangka m em elihara keutuhan

rum ah tangga yang harm onis dan sejahtera. O leh karena itu, penyelesaian

(28)

Tabel 2. Cara Kerja APS

Sum ber

: D iolah dari Bahan Pustaka Para Pihak

(kecuali seksual fisik, penganiayaan berat, dan pem bunuhan/jiw a), justru

lebih efektif ketim bang pelaku dikirim ke pengadilan dan m enerim a pidana

penjara.

Bentuk-Bentuk APS: Aspek Perilaku

Sebagaim ana yang tertera pada Pasal 1 angka 10 U U N o.30/1999

m engatur 5 (lim a) cara atau bentuk APS, yakni:

(1).

konsultasi,

(2).

negosiasi,

(3).

m ediasi,

(4).

konsiliasi, atau

(5).

penilaian ahli. D engan

dem ikian, secara form il kelim a cara inilah yang dikenal dalam APS. Sayangnya,

U U N o.30/1999 tidak m erinci m ekanism e operasional dari kelim a bentuk

APS tersebut. Selain itu pula, tidak dijelaskan tentang keterkaitan dari kelim a

bentuk APS ini. M inim al harus dijelaskan bentuk-bentuk APS dapat atau

tidak disandingkan satu dengan yang lainnya atau hanya dilaksanakan secara

m andiri ketika m enghadapi sengketa.

D engan tidak diaturnya aspek-aspek tersebut, m aka pada hakikatnya

tidak ada larangan untuk:

(1).

m enerapkan secara m andiri bentuk-bentuk

APS,

(2)

. m enerapkan secara saling m elengkapi bentuk-bentuk APS, dan

(3)

. adanya kebebasan bagi para pihak yang bersengketa m aupun pihak

ketiga dalam m em ilih bentuk APS yang digunakan guna penyelesaian

sengketa yang dihadapi. Secara sederhana, m asing-m asing bentuk APS dan

(29)

APS: Jaw aban K etidakm am puan Pengadilan?

Pasal 4 ayat (2) U ndang-U ndang N om or 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakim an (U U N o. 4/2004) m enyatakan bahw a, “Peradilan

dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Ketentuan ini

dengan jelas m enegaskan kalau proses pengadilan (salah satu sub sistem

dalam sistem peradilan), w ajib diselenggarakan dengan sederhana, cepat,

dan biaya ringan. D alam penjelasannya, dinyatakan bahw a ketentuan ini

dim aksudkan untuk m em enuhi harapan para pencari keadilan. Selanjutnya

dijelaskan pula bahw a yang dim aksud dengan sederhana, adalah pem eriksaan

dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif.

Kem udian untuk aspek biaya ringan, dijelaskan m engandung pengertian

biaya yang dapat dipikul oleh rakyat.

Im pian U U N o. 4/2004 tersebut, dalam kenyataannya hanya tinggal

harapan yang sulit untuk diterapkan. Betapa tidak untuk hukum pidana saja,

terdapat sejum lah keterbatasan kem am puan hukum pidana dalam

m enanggulangi kejahatan. Barda N aw aw i Arief (1994), m enyebutkan bahw a

paling tidak ada 7 (tujuh) sebab sehingga hukum pidana tidak dapat

diandalkan untuk m enanggulangi kejahatan, yaitu:

(1).

sebab-sebab

kejahatan yang dem ikian kom pleks berada di luar jangkauan hukum pidana,

(2).

hukum pidana hanya m erupakan bagian kecil (sub sistem ) dari sarana

kontrol sosial yang tidak m ungkin m engatasi m asalah kejahatan sebagai

m asalah kem anusiaan dan kem asyarakatan yang sangat kom pleks (sebagai

m asalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonom i, sosio-kultural, dan

sebagainya),

(3).

penggunaan hukum pidana dalam m enanggulangi kejahatan

hanya m erupakan kurieren am sym ptom, oleh karena itu hukum pidana

hanya m erupakan pengobatan sim ptom atik dan bukan pengobatan kausatif,

(4).

sanksi hukum pidana m erupakan rem edium yang m engandung sifat kontradiktif/paradoksal dan m engandung unsur-unsur serta efek sam ping

yang negatif,

(5 ).

sistem pem idanaan bersifat fragm entair dan

individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional,

(6)

. keterbatasan

jenis sanksi pidana dan sistem perum usan sanksi pidana yang bersifat kaku

dan im peratif, dan

(7).

bekerjanya/berfungsinya hukum pidana m em erlukan

sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih m enuntut biaya tinggi.

(30)

penyebab. M isalnya, I. S. Susanto (1998), m enjelaskan bahw a jika dilihat

dari aspek dim ensinya, terdapat 2 (dua) tipe kejahatan, yakni:

(1).

kejahatan

berdim ensi kepapaan, dan

(2).

kejahatan berdim ensi keserakahan. Pada

um um nya tipe pertam a terjadi pada level akar rum put, sedangkan tipe

kedua terjadi pada level elit. D alam konteks cakupan kerja G ugus Tugas

Anti Trafiking D esa, m aka jelas kejahatan tipe pertam a yang ditangani.

O rang ketika m elakukan kejahatan karena lapar. O leh karena itu, adalah

tidak tepat kalau orang lapar tersebut dikirim ke penjara berdasarkan proses

pengadilan pidana. Adalah lebih tepat, m elalui forum APS dicari jalan keluar

untuk m engatasi penyebab orang itu lapar, sehingga m elakukan kejahatan.

Pernyataan bahw a hukum pidana hanya m erupakan bagian kecil

dari sarana kontrol sosial, m akin m em perjelas kalau forum APS juga

m erupakan bagian dari sarana kontrol sosial yang fungsinya tidak kalah

penting. Apalagi, ketika dilihat bahw a kejahatan tidak sem ata-m ata sebagai

tindakan m elanggar hukum pidana sem ata, nam un juga dapat dibaca sebagai

tindakan yang m engganggu relasi sosial para pihak dan juga relasi sosial

kem asyarakatan. U ntuk itu, hanya m elalui forum APS, relasi kem anusiaan

tersebut dapat dipulihkan

H ukum pidana sebagai bagian dari hukum positif, lebih m enonjolkan

sisi norm atif sem ata. Artinya, aspek yang m engem uka adalah m engatur

dan m em aksa. D alam hal ini, yang dilihat adalah gejala atau dam paknya

sem ata, tidak dilihat aspek penyebabnya. Sem entara, dalam forum APS,

justru aspek penyebab dan akibat m enjadi poin yang dilihat secara berim bang.

Aspek akibat tidak dapat dipisahkan dari penyebab. Jadi m enyelesaikan

m asalah, harus dari hulu hingga hilirnya.

Berkaitan dengan jenis pidana (hukum an) yang diancam kan dalam

hukum pidana, ternyata berdam pak sangat luas. Paling tidak, ketika pelaku

dikirim ke penjara, m isalnya, m aka dam paknya:

(1).

pelaku terputus

kew ajibannya terhadap keluarga,

(2).

keluarga kehilangan penopang ekonom i

keluarga, jika terpidana adalah kepala keluarga,

(3).

cap sebagai penjahat

akan terbaw a hingga ajal, dan

(4).

hukum an penjara tidak m em ulihkan

relasi kem anusiaan. O leh karena, m elalui forum pengadilan, m aka yang

dicari adalah kesalahan dari pelaku dan kebenaran perkara. D engan kata

(31)

m elalui forum APS, tidak ada logika salah-benar, nam un yang dikem bangkan

adalah logika perdam aian.

H ukum pidana m engandalkan bentuk ancam an pidana sebagaim ana

diatur dalam Pasal 10 KU H P, yakni pidana pokok berupa:

(1).

hukum an

m ati,

(2).

hukum an penjara,

(3).

hukum an kurungan,

(4).

hukum an

tutupan,

(5).

hukum an denda, dan

(6).

hukum an bersyarat. Selain itu,

terdapat juga pidana tam bahan berupa:

(1).

pengum um an putusan hakim ,

(2).

peram pasan barang-barang tertentu, dan

(3).

pencabutan hak-hak

tertentu. Kem udian U U N o.23/2002 m enam bahkan bentuk tindakan berupa:

(1).

pengem balian anak pada orang tua,

(2).

penem patan anak pada D inas

Sosial, dan

(3).

penem patan anak m enjadi anak binaan negara. Terakhir,

U U N o.23/2003, m enam bahkan lagi bentuk tindakan yang dapat dijatuhkan

hakim pada pelaku kekerasan dalam rum ah tangga, berupa:

(1).

pem batasan

ruang gerak dalam radius dan jangka w aktu tertentu, dan

(2).

m ew ajibkan

pelaku m engikuti konseling. Kalau dilihat dari berbagai jenis pidana pokok,

pidana tam bahan, dan tindakan dalam hukum pidana, ternyata hanya

berorientasi pada pelaku sem ata. Sem entara justru dalam forum APS, relasi

sosial (pelaku-korban, dan m asyarakat).

U ntuk bidang hukum perdata, fakta m em buktikan bahw a suatu

perkara ketika ditangani, paling tidak m elalui 4 (tahap), yakni:

(1).

tahap

pengadilan pertam a,

(2).

tahap pengadilan banding,

(3).

tahap pengadilan

kasasi, dan

(4).

tahap peninjauan kem bali. D ari pentahapan tersebut, adalah

tidak m ungkin kalau suatu perkara dapat diselesaikan secara sederhana,

cepat, dan biaya ringan. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari sengketa

pidana m aupun perdata selalu terjadi. Untuk itu, adalah tidak m enggantungkan

harapan penyelesaian sengketa sem ata-m ata pada kedua forum pengadilan

tersebut.

D alam penghujung Tahun 2008, Kepolisian Republik Indonesia

(Polri), m eluncurkan konsep perpolisian m asyarakat (Polm as) di N TT. Polm as,

m erupakan salah satu strategi kerja Polri untuk m enjaw ab kebutuhan

m asyarakat akan keadilan. Polri m enyadari bahw a dengan m engirim setiap

perkara ke tingkat penuntutan dan pengadilan, ternyata tidak m enyelesaikan

m asalah itu sendiri. M asalah m em ang tertangani dan pelaku dihukum ,

(32)

juga bahw a hukum pidana dalam berbagai produk perundang-undangan

ternyata tidak m enghendaki agar setiap tindak pidana harus diselesaikan

m elalui forum pengadilan. Selalu ada ruang untuk diselesaikan di luar

pengadilan. Sem entara pada sisi yang lain, kalau forum A PS tidak

dilem bagakan, m aka dapat saja terjadi tudingan m iring kepada Polri, ketika

suatu perkara tidak dilanjutkan.

Pada level akar rum put (D esa) kini telah dibentuk forum kem itraan

antara polisi dan m asyarakat. M elalui forum ini, polisi bersam a m asyarakat

m enyelesaikan berbagai sengketa dengan logika perdam aian. Apabila, suatu

kasus telah ditangani m elalui Polm as, m aka kasus tersebut tidak lagi akan

ditangani oleh pihak reserse krim inal. Pada titik ini, logika yang dikem bangkan

oleh forum Polm as dengan forum APS yang dijalankan oleh G ugus Tugas

Anti Trafiking D esa indentik. D engan kata lain, kedua forum ini dapat saling

m elengkapi dalam operasionalnya. Katakanlah, kalau dalam U U N o.30/1999

m ew ajibkan berita acara penyelesaian sengketa oleh forum APS w ajib

didaftarkan ke pengadilan negeri setem pat, m aka m elalui kerjasam a dengan

forum Polm as, berita acara tersebut cukup ikut ditandatangani saja oleh

forum Polm as. D engan begitu, tidak perlu lagi didaftarkan ke pengadilan

negeri, toh kalau kasus tersebut m au ditindaklanjuti, harus pula m elalui

pihak Polri.

Bentuk kerjasam a yang lebih konkrit, yakni:

(1).

G ugus Tugas Anti

Trafiking D esa dapat m engadopsi m odel pencatatan kasus dan m odel berita

acara penyelesaian sengketa pada Polm as, dan

(2).

Polm as dapat m engadopsi

bentuk-bentuk penyelesaian APS pada G ugus Tugas Anti Trafiking D esa.

D engan bentuk kerjasam a seperti ini, m aka kedua forum APS ini ke depan

diharapkan dapat lebih m am pu m enjaw ab perasaan keadilan m asyarakat

ketika bersengketa.

Epilog

Kehadiran G ugus Tugas Anti Trafiking D esa yang m enyelenggarakan

forum APS, sesungguhnya ibarat kem balinya ‘si anak terhilang.’ Betapa

tidak, sem enjak U U N o.22/1999 m eniadakan forum H PD dan diganti dengan

forum APS oleh U U N o.30/1999, m asyarakat desa m elihat kalau tidak ada

(33)

tidak m em adainya sosialisasi dari forum APS sebagai nam a lain dari forum

H PD dengan pengayaan bentuk penyelesaian sengketa.

K ini pada level D esa, terdapat 2 (dua) lem baga yang

m enyelenggarakan forum APS, yakni:

(1).

G ugus Tugas Anti Trafiking D esa,

dan

(2).

Polm as. Kedua lem baga ini, terbangun dari logika yang sam a yakni

hendak m enyelenggarakan forum APS dengan logika perdam aian. U ntuk

(34)

B A B II

K E K E R A SA N D A L A M R U M A H T A N G G A

D I N U SA T E N G G A R A T IM U R

A. PEN G AN TAR

asa am an dan bebas dari segala bentuk kekerasan adalah hak w arga

N egara. D em ikianlah am anat yang tertera dalam Pasal 28G ayat (1)

U ndang-U ndang D asar 1945 (U U D 1945). O leh karenanya, segala bentuk

kekerasan harus dihapuskan. Itu berarti, Kekerasan D alam Rum ah Tangga

(KD RT) juga harus dihapuskan. Penghapusan KD RT ini, m enurut Pasal 1

angka 2 U ndang-U ndang N om or 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan

Kekerasan D alam Rum ah Tangga (U U PKD RT), m erupakan jam inan yang

diberikan oleh negara untuk m encegah terjadinya KD RT, m enindak pelaku

KD RT, dan m elindungi korban KD RT.

Ironinya, perkem bangan dew asa ini m enunjukkan KD RT yang dalam

pasal 1 angka 1 U U PKD RT disebut sebagai setiap perbuatan terhadap

seseorang terutam a perem puan, yang berakibat tim bulnya kesengsaraan

atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran

rum ah tangga term asuk ancam an untuk m elakukan perbuatan, pem aksaan,

atau peram pasan kem erdekaan secara m elaw an hukum dalam lingkup

rum ah tangga, setiap harinya m asih terus terjadi dan sem akin m enjadi-jadi.

Bahkan, m edia m assa cetak m aupun elektronik setiap harinya

m enyuguhkan berita tentang berbagai kasus KD RT. M araknya kasus KD RT

ini m enegaskan bahw a Penghapusan tindak KD RT, tidak m ungkin dapat

terw ujud jika hanya dilakukan dengan pendekatan peradilan form al sem ata.

D alam perspektif sosiologis, penghapusan tindak KD RT dapat dim ulai

dengan m enghilangkan sebab-sebab dan unsur-unsur pem icunya dengan

cara m engenali latar belakang sosial pelaku dan korban, adat dan budaya

yang berlaku, serta struktur sosial di w ilayah setem pat, akan m em udahkan

siapa pun dalam m enaw arkan alternatif solusi yang lebih m em enuhi rasa

(35)

D ari 433 (em pat ratus tiga puluh tiga) kasus KD RT yang didam pingi

oleh rum ah perem puan pada 5 (lim a) tahun terakhir, 52% kasusnya

disebabkan oleh Faktor ekonom i, 24% kasus dipicu oleh kom unikasi yang

m inim antar pasangan, 18% kasus dipengaruhi pihak ketiga (keluarga dan

atau W IL), dan terdapat 6% Kasus lainnya disebabkan oleh antara lain

B. FEN O M EN A K D R T D I N TT

Salah satu jenis kekerasan yang selalu m ew arnai ruang publik di

N usa Tenggara Tim ur (N TT) adalah KD RT. Catatan pendam pingan Rum ah

Perem puan 5 (lim a) tahun terakhir, m enunjukan bahw a kasus KD RT selalu

m enem pati ranking teratas dari berbagai jenis kasus kekerasan lain yang

dialam i oleh Perem puan dan Anak. (Lihat Tabel 3).

Tabel 3. Kasus yang di Advokasi oleh Rumah Perempuan Jenis Kasus TAHUN

KDRT KESEK TRAFIKING

KDP / IJM LAIN-LAIN

2010 2009 2008 2007 2006 JUMLAH

JUMLAH

Sum ber: D iolah dari Catatan A khir Tahun R um ah Perem puan

67 100 73 95 98 30 32 35 40 56 18 10 9 11 10 15 23 18 15 25 37 26 17 17 26 167 191 167 178 215

433 193 58

(36)

Bentuk KD RT yang dialam i oleh korban berdasarkan 433 (em pat

ratus tiga puluh tiga) kasus KD RT yang di advokasi oleh Rum ah Perem puan

selam a sejak tahun 2006 sam pai dengan tahun 2010 adalah Kekerasan

Psikis, Kekerasan Fisik, Kekerasan Seksual dan Penelantaran.

(lihat diagram ).

D ata dalam diagram m enunjukkan bahw a sem ua korban kasus

KD RT m engalam i kekerasan berganda. Bagi korban yang m engalam i salah

satu bentuk kekerasan baik itu Kekerasan Fisik, Kekerasan Seksual m aupun

Penelantaran selalu m engalam i Kekerasan Psikis. Selain itu, data pada

diagram juga m enjelaskan bahw a korban yang m engalam i Kekerasan Seksual

selalu berbarengan dengan Kekerasan Fisik.

Kekerasan Fisik

yang dialam i

korban diantaranya ditam par, ditendang, pelaku m em benturkan kepala

korban ke tem bok dan lantai, ram but korban dijam bak, korban dipukul pendidikan anak, pem bagian pekerjaan yang tidak jelas dan lain sebagainya.

Keseluruhan penyebab kasus KD RT di atas sebenarnya di pelopori oleh

budaya patriakhi yang m asih kental dalam kehidupan berm asyarakat di N TT.

Buktinya

, Pertam a,

m asyarakat m em besarkan anak laki-laki dengan

m enum buhkan keyakinan bahw a anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak

toleran.

K edua,

laki-laki dan perem puan tidak diposisikan setara dalam

m engenai kekerasan yang terjadi dalam rum ah tangga harus ditutup karena

m erupakan m asalah keluarga dan bukan m asalah sosial.

K etiga

, tradisi

bahw a istri harus bergantung pada suam i, khususnya ekonom i.

K eem pat

,

tradisi m alechauvinistic, dim ana laki-laki m asih m enganggap diri dan

dianggap sebagai m akhluk yang kuat dan superior.

K ekerasan Psikis 433 kasus (49% ) K ekerasan

Seksual 5 kasus (2% )

K ekerasan Fisik 275 kasus (32% )

(37)

dengan gagang sapu, dipukul dengan batako, dilem par dengan batu dan

lain-lain.

K ekerasan Psikis

yang dilakukan pelaku terhadap korban antara lain dim aki, dituduh m elakukan sesuatu yang tidak dilakukannya, diancam

akan diceraikan, dihina/diludahi oleh pelaku didepan anak-anak dan diusir

dari rum ah. W ujud

Penelantaran

yang dilakukan pelaku pada korban

adalah pelaku tidak m em berikan nafkah bathin, pelaku tidak m em berikan

uang belanja dan keperluan lainnya kepada korban, pem batasan nafkah.

M odel

kekerasan seksual

yang dilakukan pelaku seperti: M em aksakan

istri berhubungan dengan gaya yang tidak lazim , m em aksa H uS (H ubungan

Seksual) disaat istri sedang sakit, m elakukan penganiayaan sebelum

m elakukan H uS, dan m em aksakan anak dibaw ah um ur untuk berhubungan

seks.

Catatan Rum ah Perem puan berkaitan dengan dam pak yang dialam i

korban dalam 433 (em pat ratus tiga puluh tiga) kasus KD RT kasus KD RT

adalah

Pertam a, D am pak Fisik:

Lebam , lecet, patah tulang, kepala bocor,

pusing dan ada pula korban yang m engalam i cacat perm anen.

K edua,

D am pak Psikis:

Korban takut berhubungan seks, hilangnya keinginan

untuk berhubungan seks, traum a, gangguan kejiw aan. Sem ua korban KD RT

juga m engalam i gangguan psikis seperti cem as, gelisah, m alu, rendah diri,

keinginan untuk bercerai, gangguan ingatan.

K etiga, D am pak Terhadap

K esehatan K orban:

Terganggunya organ reproduksi, korban m engalam i

perdarahan, terjadi keham ilan yang tidak diinginkan (N B: Khususnya Kasus

Incest).

K eem pat, D am pak Ekonom i:

Korban dililit utang, karena harus

m em injam uang ke orang lain untuk m em biayai hidup.

K elim a, D am pak

Sosial:

Korban akan m enarik diri dari pergaulan dan keluarga, tetangga,

bahkan untuk sem entara w aktu ada juga korban yang berhenti m elakukan

akstivitas sosial m aupun ritual keagam aan.

C. PO TR ET K D R T D I N O ELBAK I D AN TU APU K AN

Persoalan KD RT juga terjadi di desa N oelbaki dan desa Tuapukan

yang m erupakan w ilayah dam pingan dari Rum ah Perem puan. D alam

kerja-kerja pendam pingan untuk persoalan KD RT di ke-2 (dua) D esa ini, Rum ah

Gambar

Tabel 2. Cara Kerja APS
Tabel 3. Kasus yang di Advokasi oleh Rumah Perempuan
Tabel 4. Penyelesaian Kasus.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul “Sintesis Katalis Asam Co/TiO 2 untuk Aplikasi Fotokatalis Zat Warna Methanil Yellow ” untuk mengetahui hasil

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan informasi kualitatif sehingga lebih menekankan pada masalah proses dan makna

[r]

and Picture menggunakan media animasi terhadap keaktifan dan prestasi belajar peserta didik kelas VIII MTs Darul Amin Palangkaraya pada materi sistem pencernaan. Penelitian

Sistem fonologi dalam pembahasan ini mencakup identifikasi fonem segmental dan pembuktian fonem, distribusi fonem, vokal rangkap, gugus konsonan, dan pola persukuan.Masalah

Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan beberapa jenis beras terhadap serangan kumbang bubuk beras ( Sitophilus oryzae) dan pengaruhnya terhadap

Membaca Relaas Pemberitahuan dan Membaca berkas kepada para Terbanding / para Penggugat I s/d Penggugat IX tanggal 18 April 2012 dalam tenggang waktu 14 (empat belas)

a.) Bagi pihak TRANS 7 dalam acara komedi Indonesia Lawak Klub, bisa menjadi masukan dalam hal isiatau lainnya agar acara tersebut dapat menjadi lebih baik ke depannya.