m en u ju
JA L A N P A N JA N G
K E H A R M O N ISA N
R U M A H T A N G G A
R U M AH PER EM PU AN K U PAN G
D iterbitkan oleh :
R U M AH PER EM PU AN K U PAN G
Jln. Pegangsaan I, N o. 17, Kelapa Lim a,Kota Kupang-N usa Tenggara Tim ur;
m en u ju
K E H A R M O N ISA N
Cetakan Pertam a, Februari 2011
Hak Cipta © Rum ah Perem puan Kupang
ISBN: 978-602-96517-1-3
vi + 70 Halam an; 14 x 21 cm
Penulis:
Libby SinlaEloE, Tri Soekirm an, Paul SinlaEloE
Editor:
Paul SinlaEloE
D esain Cover:
W esly JacobLay O ut/Tata Letak:
W esly Jacob
D iterbitkan oleh:
Rum ah Perem puan KupangJln. Pegangsaan I, No. 17, Kelapa Lim a, Kota Kupang-Nusa Tenggara Tim ur;
Telp/Fax. (0380)-823117; E-m ail: rm hperem puan@ yahoo.co.id
D idukung oleh:
Am erican Friends Service Com m ittee (AFSC)-Indonesia
Jln. Krasak Barat, Kota Baru, Yogyakarta; Telp/Fax. 0274-517062/0274-556610;
Em ail: ; W ebsite: w w w .bina-dam ai.net
SE K A P U R SIR IH
Salam D am ai U ntuk Perdam aian..!
m erican Friends Service Com m ittee (AFSC) Indonesia
m enyam paikan apresiasi yang tinggi dan selam at
atas terbitnya buku dengan judul “Jalan Panjang m enuju
Keharm onisan Rum ah Tangga” yang dirilis oleh LSM Rum ah
Perem puan. Karya kecil ini akan didedikasikan bagi
peningkatan m artabat kaum perem puan dan
sekaligus m em berikan ruang yang luas pada upaya
m enyentuh pelaku KD R T (baca: dom inan
laki-laki/suam i) dengan tetap m enjunjung harm onisasi
keluarga.
U paya R um ah Perem puan dan kom unitasnya m erupakan langkah
yang m em pertegas pengoptim alan m odal sosialseperti m ekanism e adat dan
p ara akto r terkait d i ko m u n itas d i d alam p en yelesaian K D R T.
M elalui buku ini, kita disadarkan kem bali bahw a potensi kebhinekaan
N usa Tenggara Tim ur (N TT) yang beragam adat-istiadat seperti adat Tim or,
Rote, dan Tim or-Tim ur sangat potensial m enyelesaikan kekerasan terhadap
perem puan. Ini m odal sosial yang perlu diberi ruang sebagaim ana yang
sering diutarakan oleh R um ah Perem puan sendiri agar kaum perem puan
kem b ali p ercaya d iri d an tid ak ten g g elam p ad a kep u tu sasaan .
Buku ini seyogyanya dipandang sebagai kum pulan huruf-huruf hidup
yang berbicara tentang keharm onisan rum ah tangga dan m asa depan
perem puan N TT. Karena itu, buku ini diharapkan m enjadi rujukan bagi sem ua
pem angku kepentingan yang peduli pada keharm onisan rum ah tangga,
khususnya nasib perem puan N TT.
Yogyakarta, 8 M aret 2011
Jiw ay Francis Thung
Country Representatif AFSC Indonesia
A
K A T A P E N G A N T A R
eutuhan dan kerukunan rum ah tangga dalam suasana yang bahagia, am an,
tentram dan dam ai adalah dam baan setiap orang dalam suatu rum ah
tangga. Itulah kalim at yang terdapat pada baris pertam a sekaligus Alinea
Pertam a dari Penjelasan U m um U ndang-U ndang N om or 23 Tahun 2004, tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rum ah Tangga. Kalim at ini juga, m erupakan
gam baran dari kondisi dan atau tujuan yang hendak diw ujudkan berkaitan
dengan m araknya kasus kekerasan dalam rum ah tangga. Perm asalahannya,
sejauh m ana hal ini teraplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam
m asyarakat sekitar kita?
Pengalam an R um ah Perem puan selam a 10 (sepuluh) tahun dalam
m elakukan kerja-kerja pendam pingan korban, m em buktikan bahw a m em elihara
keutuhan rum ah tangga yang harm onis dan sejahtera, m erupakan tantangan
yang harus ditem ukan solusinya, terutam a pasca terjadinya kekerasan dalam
rum ah tangga. Tantangan ini sem akin lebih berat lagi ketika terjadi kekerasan
dalam rum ah tangga, para pihak m encari keadilan m elalui sistem peradilan
form al.
Pengalam an Rum ah Perem puan juga m engajarkan bahw a pasca penarikan
kasus dari pihak kepolisian dan atau pasca vonis pengadilan, pihak korban
dalam hal ini istri atau anak m aupun anggota rum ah tangga lainnya akan
dipersalahkan oleh pihak keluarga dan atau tetangga. Akibatnya, para korban
akan m engalam i tekanan psikologis. Khusus bagi anak akan cenderung m encari
pelam piasan dengan cara m engikuti perilaku buruk dari pelaku. Sedangkan bagi
para istri, biasanya akan m em ilih jalan pintas yakni perceraian untuk m engakhiri
penderitaannya.
Berpijak pada realita persoalan di atas, Rum ah Perem puan yang m erupakan
lem baga non profit dan bekerja untuk isue-isue perem puan, kesetaraan gender
dan sangat konsern pada persoalan kekerasan dalam rum ah tangga, m enaw arkan
suatu m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga,
lew at buku yang berjudul “JA LA N PA N JA N G M E N U JU K E H A R M O N ISA N
R U M A H TA N G G A ”
.
Keberhasilan Rum ah Perem puan dalam m endesain m odel penyelesaian
alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga dan m em bukukannya, tidak
K
bisa dipisahkan dari dukungan dana A m erican Friends Service Com m ittee
(AFSC) dan partisipasi dari w arga, aparat desa dan para tokoh yang berada di
D esa N oelbaki dan D esa Tuapukan, yang m erupakan daerah tem pat dilakukannya
try out draft m odel Penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah
tangga. U ntuk itu, bagi AFSC, aparat desa, w arga desa dan para tokoh yang
berada di D esa N oelbaki dan D esa Tuapukan, patut m endapatkan ucapkan
terim a kasih.
U capan terim a kasih, juga pantas diberikan kepada Jhon N om e, SH .M hum
(D osen FH U N D AN A), D eddy Ch. M anafe, SH .M hum (D osen FH U N D AN A) dan
D rs.Ayub Titu Eki, Phd, (Bupati Kupang) yang telah m enyum bangkan pikiran
cerdasnya untuk m em perkaya m akna dari buku ini. Terim a kasih yang tulus,
tak lupa diberikan kepada: Pdt. D r. Eben N uban Tim o, M Th, Prof. M ia N oach,
M A.Phd, Ir. Sarah Lery M boeik, Ir. Farry D j. Francis, M M A, dr. Joyce Kansil,
O ctory G asperz, SE, D rg. Christina Titu Eki, M Ph, Esaf D aka Besi, Yacob Folle,
SE, Iin Luttu, Frederik M bura dan M uhazir H ornai Belo yang sudah m em berikan
pencerahan tentang m odel penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah
tangga.
Khusus untuk tem an-tem an aktivis R um ah Perem puan: Im elda D aly,
Yulius Boni G eti, N oldy Taduhungu, W atty Bagang, Theresia Siti, H ofni Tefbana,
N urkasrih, Im elda Pong, juga layak m enerim a ucapan terim a kasih karena
kesetiaan dan kekom pakannya dalam m elakukan advokasi, m ediasi dan konseling
terh ad ap p ara ko rb an kasu s kekerasan d alam ru m ah tan g g a.
Sebagai penutup, buku ini diharapkan m enjadi m asukan yang berm anfaat
bagi para pihak yang berkeinginan untuk m elakukan reform asi sistem peradilan
di Indonesia. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat m enjadi bacaan alternatif
yang berm anfaat bagi setiap individu m aupun kelom pok yang peduli terhadap
persoalan kekerasan dalam rum ah tangga dan bertekad untuk m ew ujudkan
k
eutuhan dan kerukunan rum ah tangga dalam suasana yang bahagia, am an,tentram dan dam ai sebagaim ana dam baan setiap orang dalam suatu rum ah
tangga.Terim a Kasih...!!!
Kupang, 8 M aret 2011
Libby R atuarat-SinlaEloE
Koordinator Rum ah Perem puanB A B I
P E N D A H U LU A N
A. PEN G AN TAR
Pdt. D r. Eben N uban Tim o, M Th (K etua M ajelis Sinode G M IT,
Periode 2007-2011)
alam m enyelesaikan kasus KD RT m em ang sebaiknya jalur hukum
m enjadi pilihan terakhir. M isi yang dilakukan dalam penanganan dan
pencegahan KD R T seharusnya adalah m isi pem berdayaan sehingga
keharm onisan dapat terw ujud. U ntuk m encapai keharm onisan
keluarga, sangat penting dilakukan penguatan secara internal
terhadap setiap individu, sehingga m ereka bisa bertindak secara
positif dalam segala hal. D an nantinya, setiap individu
tersebut dapat bertum buh m enjadi m anusia yang kreatif
dan berm artabat. U ntuk m encapai m isi ini tentunya gereja
harus bekerja sam a dengan unsur lainnya yang ada di m asyarakat, terutam a
dalam m endiskusikan persoalan ketim pangan gender yang ada. D
iskusi-diskusi ini bisa dim asukan dalam bahan ajar katekasasi dan juga konseling
pra nikah.
(K upang, 17 Februari 2011).
D
Ir. Sarah Lery M boeik (A nggota D PD R I, Periode 2009-2014).
Penyelesaian kasus KD RT m elalui m ekanism e non form al(M ekanism e Adat) sebenarnya sudah ada sejak dahulu.
Banyak kajian sosiologi hukum yang m enceritakan
tentang m ekanism e non form al ini. D i N TT budaya
patriarki m asih cukup kuat dan ini sangat berkorelasi
dengan perspektif dari para tua-tua adat dalam
m enentukan sanksi dalam sebuah kasus KD RT. Jangan
sam pai, sanksi yang diberikan justru akan m elanggar
H AM dan m enindas kaum perem puan. U ntuk itu, m ekanism e penyelesaian
alternatif ini harus didesain secara baik. Artinya m ekanism e penyelesaian
form al dan m ekanism e non form al (M ekanism e Adat). Kalau tidak, m aka
m ekanism e alternatif ini justru akan kem bali m enguatkan sistem patriarki
yang ada dan posisi perem puan m enjadi sem akin lem ah. M odel penyelesaian
alternatif kasus KD RT ini, juga tidak boleh didesain untuk diterapkan secara
kaku dan diberlakukan secara general di tem pat lain karena tidak sem ua
m asyarakat m em iliki tipikal yang sam a. Satu hal yang tidak boleh dilupakan
bahw a penyelesaian kasus KD RT m elalui jalur hukum form al dan non form al
m aupun m em pergunakan m ekanism e alternatif m em punyai kelebihan dan
kelem ahannya sendiri-sendiri, sehingga tidak boleh ada dikotom i yang satu
lebih baik dan yang satunya tidak.
(Jakarta 5 Februari 2011).
Ir. Farry D j. Francis, M M A (A nggota D PR R I, Periode
2009-2014)
Persoalan kekerasan dalam rum ah tangga m erupakan m asalah yang sudah m endapat perhatianserius dari berbagai pihak di seluruh belahan dunia.
Alternatif Penyelesaian Sengketa, m erupakan salah satu
cara yang lebih baik dalam m enyelesaikan konflik dari
pada diselesaikan di kepolisian. D i banyak w ilayah,
m asyarakat tertentu punya cara-cara sendiri untuk m enyelesaikan
kasus-kasus KD RT. M isalnya, lew at pendekatan kekeluargaan dan untuk itu, hal
tersebut perlu didorong. W alaupun dem ikian pendekatan alternatif dalam
penyelsaian kasus KD RT ini, harus di desain secara baik sehingga pada
tataran im plem entasinya tidak berdam pak buruk pada kaum perem puan.
(Jakarta, 19 February 2011)
dr. Joyce K ansil (K epala B adan Pem berdayaan Perem puan K ota
K upang)
Persoalan KD RT m erupakan suatu w ujud kejahatan
terhadap kem anusiaan yang harus dicarikan solusi
yang tepat. D alam m enyelesaiakan kasus KD RT, kita
harus m em pertim bangkan 2 (dua) hal yaitu:
Pertam a,
kasus yang bisa dim ediasi oleh tokoh m asyarakat dan
aparat pem erintah setem pat.
K edua,
Kasus yangharus diangkat ke ranah hukum form al, yaitu kasus
A K P . Johanis K ristian Tanau (K asat R eskrim P olres K upang)
Salah satu sem angat UU PKD RT adalah pelibatan berbagaielem en m asyarakat dalam upaya penyelesaian kasus
KD RT m enuju keharm onisan. O leh karena itu, dalam
m enangani kasus K D R T pihak kepolisian juga
m engharapkan ada partisipasi m asyarakat. D i w ilayah
kerja Polres Kupang, bentuk kasus K D R T yang
m endom inasi dalam beberapa tahun terakhir adalah
kasus penganiayaan. D alam penanganan kasus KD RT,
kam i m enjalankan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Apabila ada pihak
yang sudah m elaporkan ke kepolisian dan ingin berdam ai, m aka akan
dituangkan dalam surat perjanjian dam ai yang ditandatangani oleh korban
dan pelaku serta disaksikan oleh saksi-saksi dari kedua belah pihak. Pada
sisi lain, pihak kepolisian juga sangat dilem atis ketika m enangani kasus
KD RT. Contohnya, ketika pihak kepolisian dim inta oleh salah satu pihak baik
pelaku m aupun korban untuk m em fasilitasi agar terjadinya perdam aian
diantara m ereka, m aka oleh pihak yang lain sering m enuduh bahw a kepolisian
selalu m engham bat proses penegakan hukum dan berbelit-belit dalam
penanganan kasus. Bahkan ada juga yang m enuduh pihak kepolisian sudah
m enerim a uang sogokan dari pihak tertentu. Bertolak dari pengalam an yang
dem ikian, m aka kam i berharap pelaporkan kasus KD RT ke pihak kepolisian
adalah pilihan terkahir. Bagi pihak kepolisian, apalah artinya kasus KD RT di
proses sam pai ke pengadilan, nam un ini akan m em perburuk hubungan
kekeluargaan dalam lingkup rum ah tangga? apalah artinya kalau pelaku di
vonis bersalah dengan hukum an penjara atau denda sedangkan korban dan
pihak lain dalam lingkup rum ah tangga akan “terlantar”?
(Kupang, 1 M aret
2011).
m asyarakat, m em ang m erupakan m odel penyelesaian kasus yang lebih baik
karena m elibatkan berbagai unsur yang ada dalam m asyarakat. Penyelesaian
kasus KD RT juga diharapkan dapat diharm onisasikan dengan budaya yang
ada di N TT yang nota bene system kekeluargaannya m asih sangat tinggi.
Jika kasus bisa diselesaikan secara kekeluaragaan lebih baik, nam un untuk
kasus berulang dan m erm baw a dam pak yang fatal bagi korban tidak bisa
Prof. M ia N oach, M A .Phd (D ew an Penasehat LPA N TT, Periode
2011-2014)
KD RT dalam perspektif H ak Asasi M anusia (H AM ) m erupakan
suatu tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai
kem anusian. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rum ah
tangga m elalui penyelesaian alternatif pada dasarnya
dim aksudkan untuk m em perbaiki hubungan kekeluargaan.
Penyelesaian alternatif ini lebih m enyentuh hati dari para
pihak yang m engalam i persoalan kekerasan dalam rum ah tangga. Sedangkan,
apabila diselesaikan m elalui proses hukum form al, hasilnya kurang m aksim al.
Penyelesaian alternatif kasus kekerasan dalam rum ah tangga ini dapat
m elibatkan banyak pihak term asuk para penegak hukum . Keterlibatan dari
para tokoh agam a sangat penting dalam penyelesaian ini, untuk itu peran
lem baga agam a seperti gereja sangat perlu ditingkatkan.
(K upang, 18
D esem ber 2011).
W inston R ondo, SPt (D irektur CIS Tim or)
D alam hal penyelesaian suatu kasus, bisanya terdapat 2 (dua) paradigm a
yang bisa saling m elengkapi:
Pertam a,
realiatas patriarki yang kuat yanagm enjadi sukm a dari kasus KD RT.
K edua,
politik afirm asi yang m elahirkanU U PKD RT. D engan m em baw a kasus ke proses hukum form al diharapkan
dapat m em berikan efek jera terhadap pelaku, tapi pada prakteknya justru
berdam pak pada pem isahan keluarga. Ini yang tidak kita
harapkan. Pada satu sisi kita harus m em astikan perlindungan
terhadap perem puan dan anak, nam un pada sisi lainnya
keluarga harus tetap utuh dan m enjadi sum ber teladan.
Pendekatan penyelesaian alternative kasus KD RT ini bisa
m endorong kesadaran bersam a tentang hak perem puan
dan pendekatan yang dirum uskan ini sangat sarat dengan
konteks lokal atau sesuai dengan budaya setem pat dan
juga agam a. Selam a ini orang m asih m engganggap
persoalan KD RT sebagai persoalan privat, nam un dengan pendekatan ini
B. K D R T D ALAM PER SPEK TIF YU R ID IS
O leh: Yorhan Yohanis N om e, SH .M H um - D osen FH U niv. N usa Cendana
Prolog
ekerasan dalam rum ah tangga (KD RT) m erupakan ujung dari relasi
dalam rum ah tangga yang kurang harm onis. Terutam a relasi suam
i-isteri yang selalu dalam keadaan kon flik. D alam perspektif teori sosial,
paling tidak terdapat 4 (em pat) pola relasi suam i-isteri yang
sedang berada dalam konflik. Stephen K. Sanderson (2003),
m engungkapkan pola interaksi suam i-isteri yang sedang
berada dalam keadaan konflik dalam em pat pola yakni: Pola
eskalasi, Pola invalidasi, Pola M enarik diri dan m enghindar,
serta pola Inteprestasi N egatif.
Indikasi berakhirnya relasi suam i-isteri, dalam perspektif teori sosial
dilihat dalam 4 (em pat) tahap. Keem pat tahap ini, sesungguhnya m erupakan
sebuah m odel pengakhiran relasi (relationship filtering), sebagaim ana
diidentifikasikan oleh Knapp dalam Alo Liliw eri (2001), yakni: Tahap diferensiasi
(deferentiating), Tahap tersendat-sendat (stagnasting), Tahap saling
m enjauh (avoiding) dan Tahap pengakhiran relasi (term inating)
D alam konteks sosial, KD RT terkonstruksi selain karena adanya
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, nam un juga terkonstruksi
dari nilai-nilai yang dijadikan rujukan dalam suatu m asyarakat. D alam konteks
rujukan nilai inilah terbangun perspektif m asyarakat tentang hakikat dan
m artabat kem anusiaan atau yang dikenal sebagai hak asasi m anusia (H AM ).
K D R T: K onstruksi Perundang-undangan
Isu tentang KD RT m ulai m erebak di Indonesia seiring dengan
diratifikasinya Convention on the Elim ination of All Form s of Discrim ination
K
M ekanism e kom unal ini bukan saja m enyadarkan pelaku tetapi juga m em beri
perlindungan terhadap perem puan dan yang terpenting m em ber kesem patan
kedua bagi keluarga untuk m elakukan pem ulihan. M etode ini harus terus
dikem bangkan dan tentunya tidak dapat diberlakukan sam a pada konteks
Against W om en (CED AW ) dengan U ndang-undang N om or 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi M engenai Penghapusan Segala Bentuk
D iskrim inasi Terhadap Perem puan. CED AW , m engintrodusir adanya 5 (lim a)
bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender terhadap perem puan,
yakni:
(1)
. Adanya stereotype, pelabelan bahw a perem puan sebagai w argakelas dua;
(2)
.M arjinalisasi
, pem inggiran terhadap perem puan dalampengam bilan keputusan;
(3)
.Subor dinasi
, perem puan ditem patkan padaperan yang tidak penting;
(4)
. Doble burden, adanya beban ganda padaperem puan dalam peran publik sekaligus peran dom estik; dan
(5)
. Adanyakekerasan dalam rum ah tangga.
Sebagai sebuah konvensi, CED AW hanya m em punyai daya ikat secara
m oral dan tidak m em punyai daya paksa secara norm atif. O leh karena itu,
kem udian dikeluarkanlah U U PKD RT. M elalui U U PKD RT, kelim a bentuk
ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dapat diberi kekuatan hukum
yang m engikat sekaligus m em punyai daya paksa secara norm atif.
U U PKD RT, m enem patkan perem puan sebagai kelom pok rentan yang
paling banyak m engalam i KD RT. U ntuk itu, U U PKD RT hadir dalam kerangka
m em berikan perlindungan secara khusus bagi kaum perem puan. D alam
konteks ini, bukan berarti kelom pok laki-laki dan anak-anak tidak m endapat
perhatian secara serius. U U PKD RT tetap m enem patkan kedua kelom pok
dim aksud juga sebagai pihak yang m ungkin saja m enjadi korban KD RT,
nam un dari fenom ena yang ada kelom pok perem puan yang paling banyak
m enderita sebagai korban KD RT.
D icantum kannya ketentuan Pasal 1 Angka 2 U U PKD RT m erupakan
w ujud tanggung jaw ab negara dalam m elaksanakan am anat Alinea IV
Pem bukaan U U D 1945. Secara sederhana, Alinea IV Pem bukaan U U D 1945
m em berikan 4 (em pat) kata kunci yang harus m enjadi fungsi negara, yakni:
(1).
M elindungi,(2)
. M ensejahterahkan,(3).
M encerdaskan, dan(4).
M endam aikan kehidupan rakyat. Keem pat kata kunci ini lebih dikenal sebagaiam anat penderitaan rakyat (Am pera).
D alam konteks sub kalim at, “…jam inan negara…,” m aka yang dim aksud
di sini adalah jam inan dari Pem erintah sebagai penerim a m andat Am pera,
PKD RT disebut sebagai partisipan. D engan kata lain, U U PKD RT m enghendaki
adanya jam inan baik dari Pem erintah m aupun rakyat agar:
(1).
KD RTdicegah,
(2).
pelaku KD RT ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku,dan
(3).
korban KD RT terlindungi.Berangkat dari pem ikiran tentang KD RT sebagai salah satu kejahatan
terhadap harkat dan m artabat kem anusiaan, m aka Pasal 3 U U PKD RT
m enggariskan bahw a penghapusan KD RT dilaksanakan berasaskan:
(1).
penghorm atan H AM ,
(2).
keadilan dan kesetaraan gender,(3).
nondiskrim inasi, dan
(4).
perlindungan korban. H adirnya U U PKD RT, tidak sajam elihat rum ah tangga sebagai relasi suam i-isteri sem ata, nam un m em perluas
relasi tersebut.
U U PKD RT pertam a-tam a m em berikan batasan lingkup rum ah tangga
pada konsep keluarga inti atau keluarga batih (nuclear fam ily). Artinya,
sebuah rum ah tangga terbentuk dari suam i, isteri, dan anak. U ntuk konteks
keluarga inti, pendekatan dom isili tidak berlaku. Kalaupun m ereka tidak
m enetap dalam satu rum ah, nam un m asih terikat dalam perkaw inan yang
sah, m aka konsep rum ah tangga m encakup m ereka.
Selanjut U U PKD RT m em perluas lingkup rum ah tangga m enjadi
keluarga luas (extended fam ily
)
. Artinya, sebuah rum ah tangga tidak saja m eliputi keluarga inti saja, tapi juga m eliputi orang-orang yang m em punyaihubungan keluarga dengan keluarga batih karena:
(1).
H ubungan D arah,(2)
. Perkaw inan,(3).
Persusuan,(4).
Pengasuhan, dan(5).
Perw alian. U ntuk kelim a kategori ini, pendekatan dom isili digunakan. M ereka baru bisatercakup dalam konsep rum ah tangga, kalau m enetap dalam satu rum ah.
U U PKD RT, dengan m enggunakan pendekatan dom isili, kem udian m em asukan
pem batu rum ah tangga ke dalam lingkup rum ah tangga. Syaratnya adalah:
(1).
pem batu rum ah tangga tersebut tinggal m enetap dalam rum ah, dan(2).
sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga.D alam konteks kekerasan, beberapa pasal m endefinisikan kekerasan
sebagai berikut: Pasal 6 U U PKD RT, m em beri penjelasan bahw a kekerasan
fisik adalah perbuatan yang m engakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat. Berkaitan dengan ketentuan ini, terlihat perbedaan m endasar dengan
yang diatur oleh Kitab U ndang-U ndang H ukum Pidana (KU H P). U U PKD RT
U U PKD RT, dan 7 (tujuh) Pasal dalam KU H P ke dalam Pasal 44 ayat (1),
dan ayat (2) U U PKD RT.
Pasal 7 U U PKD RT m enjelaskan bahw a kekerasan psikis adalah
perbuatan yang m engakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kem am puan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.Pasal 8 U U PKD RT m enjelaskan
bahw a kekerasan seksual m eliputi:
(a).
pem aksaan hubungan seksual yangdilakukan terhadap orang yang m enetap dalam lingkup rum ah tangga
tersebut, dan
(b).
pem aksaan hubungan seksual terhadap salah seorangdalam lingkup rum ah tangganya dengan orang lain untuk tujuan kom ersial
dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9 U U PKD RT m em beri kriteria penelantaran rum ah tangga,
yaitu:
(1).
m enelantarkan orang yang m enurut hukum yang berlaku baginyaatau karena persetujuan atau perjanjian ia w ajib m em berikan kehidupan,
peraw atan, atau pem eliharaan, dan
(2).
m engakibatkan ketergantunganekonom i dengan cara m em batasi dan/atau m elarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rum ah.
K D R T: Perspektif H AM
Indonesia sesungguhnya sem enjak berdiri, telah secara serius
m enetapkan H AM sebagai bagian dari kontrak sosial secara konstitusional.
Paling tidak Alinea I Pem bukaan U U D 1945, diaw ali dengan kalim at deklaratif,
“Bahw a sesungguhnya kem erdekaan itu ialah hak segala bangsa, … ” Artinya,
N egara Indonesia di dirikan atas kesadaran akan pentingnya H AM . Bahkan
pada Am andem en II U U D 1945, ditam bahkan satu bab dengan sepuluh
pasal yang berisi sepuluh kelom pok hak dasar yang m erupakan perum punan
yang dikenal dalam H AM .
Perspektif H am yang dikem bangkan di Indonesia, secara operasional
telah diatur dalam U ndang-U ndang N om or 39 Tahun 1999 tentang H ak Asasi
M anusia (U U H AM ). U U H AM m engelom pokkan perangkat hak dim aksud
atas 10 (sepuluh) hak dasar, yakni:
(1).
hak untuk hidup,(2)
. hak untukberkeluarga dan m elanjutkan keturunan,
(3).
hak m engem bangkan diri,pem erintahan,
(9)
. hak w anita, dan(10)
hak anak.Kesepuluh kelom pok hak dasar tersebut, m elekat pada hakikat dan
keberadaan m anusia sebagai m ahluk Tuhan Yang M aha Esa dan m erupakan
anugerah-N ya. Artinya, tidak diberikan, diw ariskan, atau tidak dapat dicabut
oleh siapapun. D alam konteks ini, hak untuk berkeluarga dan m elanjutkan
keturunan, m erupakan hak yang m elekat pada setiap m anusia dan m erupakan
karunia dari Sang Pencipta. O leh karena itu, H AM w ajib dihorm ati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum , pem erintah, dan setiap orang.
D engan m enyebut urut-urutan negara, hukum , pem erintah, dan
setiap orang, m enunjukkan bahw a U U H AM m enem patkannya sesuai dengan
siklus tanggung jaw ab dalam kehidupan bernegara. Tanggung jaw ab utam a
dan pertam a ada pada negara. Bentuk tanggung jaw ab tersebut diw ujudkan
dalam pengaturan hukum . Kem udian hukum dijalankan oleh pem erintah
dan setiap orang.
Pem erintah sebagai aktor yang m engoperasikan kebijakan negara
dalam bentuk pengaturan hukum , telah banyak m elakukan upaya ke arah
pengakuan, penghorm atan, pem enuhan, penyebarluasan, dan penegakan
(P5) H AM . D alam konteks penghapusan KD RT, ada sejum lah kebijakan yang
telah dilakukan, yakni:
Pertam a,
M eratifikasi berbagai instrum en H AMInternasional, seperti: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk D iskrim inasi
Terhadap Perem puan dengan U ndang-U ndang N om or 7 Tahun 1984;
Rekom endasi U m um N om or 19 tentang Kekerasan Terhadap Perem puan
Sidang Ke-11 Tahun 1992 Kom ite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk
D iskrim inasi Terhadap Perem puan; D eklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perem puan tanggal 20 D esem ber 1993.
K edua,
M engeluarkan sejum lah instrum en H AM nasional, seperti: U U H AM ; U U PKD RT; Peraturan Pem erintah N om or 4 Tahun 2006 tentangPenyelenggaraan dan Kerjasam a Pem ulihan Korban Kekerasan D alam Rum ah
Tangga; Instruksi Presiden N om or 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutam aan
G ender dalam Pem bangunan N asional.
Berkaitan dengan KD RT sebagai tindak pidana, diatur dalam Pasal
44-53 U U PKD RT. Ketentuan pidana dalam U U PKD RT m em perlihatkan
sejum lah aspek yang m enarik, yakni:
Pertam a, D ari segi cara penjatuhan
D engan adanya stelsel alternatif penjara atau denda sebagai pidana pokok,
m aka penuntut um um w ajib m enuntut secara alternatif, dem ikian juga hakim
dalam m enjatuhkan pidana kepada pelaku w ajib m enjatuhkannya secara
alternatif pula. Penuntut um um tidak boleh hanya m enuntut dengan pidana
tunggal, hakim juga tidak boleh m enjatuhkan pidana tunggal. Kalau dalam
kenyataannya penerapan hanya m enggunakan pidana tunggal, m aka jelas
penegak hukum telah salah m enerapkan hukum . D engan kata lain, penegakan
hukum yang dilakukan dengan cara yang m elanggar hukum . D engan adanya
stelsel pidana alternatif ini, sejalan dengan tujuan utam a dari U U PKD RT,
yakni tetap m enjaga keharm onisan rum ah tangga.
Selain itu, dalam bilangan teori hukum pidana, nam paknya pem bentuk
U U PKD RT m enganut aliran abolisionism. Aliran yang m enem patkan pidana
penjara sebagai ultim um rem idium atau penghukum an paling akhir yang
digunakan. Paling tidak selam a lem baga pem asyarakatan belum m am pu
m em ainkan fungsinya sebagai pelem bagaan nilai-nilai kem anusiaan (H AM ),
m aka tidak ada dasar pem benaran pelaku tindak pidana dipidana dengan
pidana penjara. O leh karena sebagaim ana adagium um um dalam pem ikiran
pem idanaan, yakni negara tidak berhak untuk m em buat seseorang lebih
buruk kondisinya, jika dibandingkan dengan sebelum m enjalani pidana
penjara.
K edua, D ari segi bobot ancam an pidana (
strafm aat),
m enggunakan stelsel ancam an m inim um um um dan ancam an m aksim umkhusus
.
D alam bilangan hukum pidana, ancam an pidana m inim um um umuntuk pidana penjara adalah 1 (satu) hari, dan ancam an m inim um um um
untuk pidana denda adalah Rp.1,- (satu rupiah). D alam artian, ketika pasal
pidana yang ada hanya m enyebut ancam an m inim um saja, m aka harus
dibaca bahw a ancam an m inim um nya dalam bobot seperti ini. U ntuk itu,
ketika penjatuhan pidananya dilakukan antara ancam an m inim um um um
dan ancam an m aksim um um um , m aka harus dilakukan secara paralel antara
pidana penjara atau pidana denda.
U ntuk ancam an pidana m aksim um , m asing-m asing pasal dalam U U
PKD RT m engaturnya secara khusus. Artinya, selain yang sudah ditetapkan,
penegak hukum tidak boleh m enerapkan yang lain. Penegak hukum hanya
ancam an m aksim um khusus pada pasal-per pasal.
Ketiga, D ari segi jenis pidana
(
strafsoort),
m enggunakan stelsel pidana pokok dan pidana tam bahan. U U PKD RT juga m em berikan ruangbagi penegak hukum untuk m enerapkan pidana tam bahan. Pasal 50 U U
PKD RT, m em beri kew enangan kepada hakim untuk m enjatuhkan pidana
tam bahan berupa:
(a)
. pem batasan gerak pelaku baik yang bertujuan untukm enjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan w aktu tertentu dari perlau,
dan
(b)
. penetapan pelaku m engikuti program konseling di baw ah pengaw asanlem baga tertentu.
N am paknya pem bentuk U U PKD RT m elihat bahw a hanya dengan
pidana pokok, perm asalahan KD RT tidak dapat tertanggulangi. U ntuk pidana
tam bahan pem batasan ruang gerak pelaku, m enjadi sangat penting ketika
pelaku m enjalani pidana alternatifnya dengan pidana denda. Artinya, ketika
dijatuhkan pidana alternatif penjara atau denda, kem udian terpidana (palaku)
m em ilih untuk m enjalani pidana denda. Pem batasan ruang gerak pelaku
dalam jarak dan w aktu tertentu m enjadi aspek yang sangat penting untuk
m elindungi korban.Selam a proses pem batasan ruang gerak pelaku, sem estinya
upaya m ediasi atau rekonsiliasi dapat dilakukan. D apat juga pada m asa ini,
pelaku ditetapkan untuk m enjalani pidana tam bahan berupa m engikuti
konseling. D engan begitu akar perm asalahan KD RT berupa kom unikasi relasi
suam i-isteri (terutam a) dapat ditanggulangi.
KD RT sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap H AM harus
terus diupayakan untuk dihapus. Kontruksi penghapusan KD RT dilaksanakan
dengan P5 H AM . U ntuk aspek pengakuan, secara eksplisit telah diatur
dalam konstitusi dan berbagai instrum en operasional. Aspek yang berm asalah
atau yang m asih harus dicerm ati adalah aspek penghorm atan, pem enuhan,
penyebarluasan, dan penegakan H AM . Keem pat aspek ini berkaitan dengan
im plem entasi dari H AM dalam rum ah tangga.
Khusus berkaitan dengan penegakan H AM dalam rum ah tangga,
m aka berkaitan langsung dengan U U PKD RT. U ntuk operasionalnya penegakan
H AM yang diatur dalam U U PKD RT, secara teknis m em butuhkan dukungan
dari 3 (tiga) kom ponen, yakni:
(1)
. kom ponen intrum en pelaksanaan,(2)
.kom ponen kelem bagaan, dan
(3)
. kom ponen sosial. U ntuk kom penenN om or 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasam a Pem ulihan
Korban Kekerasan D alam Rum ah Tangga (PP N o. 4/2006).PP N o.4/2006,
m enjabarkan secara teknis sinergisitas lintas sektor ketika m enangani korban
KD RT. D alam PP N o.4/2006, juga m engatur tentang kom ponen kedua, yakni
dukungan kelem bagaan dalam penegakan U U PKD RT. Ada 3 (tiga) lem baga
yang w ajib dibentuk dalam kerangka ini, yakni:
Pertam a, Pusat Pelayanan
Terpadu (PPT).
Lem baga ini dapat dibentuk oleh pem erintah m aupun oleh pihak non pem erintah. PPT, m enjalankan fungsi m enerim a, danm enyelenggarakan penanganan korban KD RT pada saat krisis.Penanganan
dilaksanakan terutam a penangan kesehatan (fisik, seksual, dan psikologis).
Proses penanganan krisis terhadap korban KD RT diselenggarakan selam a
7 hari.
K edua, R uang Pelayanan K husus (R PK ).
Lem baga ini w ajib dibentuk pada unit kepolisan setem pat. RPK, kini bernam a U nit PelayananPerem puan dan Anak (U PPA), dibentuk khusus untuk m enangani pelaku
dan korban KD RT perem puan dan anak. U PPA, terdiri dari tenaga polisi
w anita terlatih dengan perspektif H AM .
K etiga, R um ah Perlindungan
Sosial (R PS).
Lem baga ini dapat dibentuk oleh pem erintah m aupun oleh pihak non pem erintah. R PS, m enjalankan fungsi pendam pingan sosial,pem ulihan, pem berdayaan, pem ulangan, dan reintegrasi sosial korban KD RT.
Penyelenggaraan kegiatan pada RPS selam a 90 (Sem bilan puluh) hari. D alam
tenggang w aktu tersebut, diharapkan korban telah pulih dan siap untuk
dikem balikan ke dalam rum ah tangganya serta m enjalankan perannya seperti
sem ula.
D alam perspektif H AM , satu terobosan yang dilakukan oleh U U PKD RT,
yakn i m elalu i keten tu an Pasal 55 U U PK D R T yan g berbu nyi:
“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan sorang saksi korban saja sudah cukup untuk m eem buktikan bahw a terdakw a bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.
Berkaitan dengan alat bukti yang sah, Pasal Pasal 184 KU H AP, yakni:
(5)
. Keterangan terdakw a. D alam hal ini, untuk kasus KD RT, salah satu alat bukti yang sah adalah kererangan saksi korban, yang digolongkan sebagaialat bukti yang sah pertam a. Alat bukti yang lain dapat digunakan untuk
m endukung alat bukti pertam a tersebut. N am un untuk teknis perkara,
sebaiknya alat bukti pertam a didukung oleh alat bukti keterangan ahli atau
alat bukti surat. D engan begitu, kekuatan pem buktian dapat dikatakan
sem purna untuk m enyatakan secara sah dan m eyakinkan terdakw a bersalah
dalam proses pengadilan.
Epilog
U U PKD RT hadir untuk m em beri P5 H AM bagi korban KD RT terutam a
perem puan. D engan dem ikian, jelas bahw a U U PKD RT m em punyai perspketif
H AM . Akan tetapi, ada sejum lah perm asalahan teknis hukum yang harus
direnungkan, yakni:
Pertam a,
D engan m erelatifkan (m enyatukan) sejum lahbentuk tindak pidana dalam KU H P m enjadi kelom pok kekerasan dalam U U
PKD RT, m em baw a konsekuensi yuridis pada hilangnya spesifikasi tindak
pidana tersebut. Sem akin relatif suatu tindak pidana, m aka m akin luas dan
m akin m em buka ruang bagi penegak hukum untuk m elakukan penafsiran
terhadap tindak pidana tersebut. Sebaliknya, sem akin spesifik suatu tindak
pidana, m aka m akin m em perm udah penerapan tindak pidana tersebut pada
kasus nyata. M isalnya, untuk kasus kekerasan seksual, KU H P m em bedakan
pada 3 (tiga) rum pun besar, yakni:
(1)
. perkosaan,(2)
. percabulan, dan(3)
. perzinahan. U ntuk perkosaan dan percabulan, KU H P m asih m em bagi lagi dalam sejum lah spesifikasi lagi. Ssem entara U U PKD RT m enyatukansem uanya dalam bentuk kekerasan seksual.
K edua,
Adanya standar penanganan tindak pidana secara berbeda antara U U PKD RT dengan KU H P m eskipun terhadap tindak pidana yangbersesuaian atau bersebanding, hanya karena kualifikasi lingkup rum ah
tangga. U ntuk korban yang tidak tergolong dalam lingkup rum ah tangga,
m aka U U PKD RT tidak dapat diberlakukan. Artinya, KU H P diberlakukan.
Sem entara jelas logika antara U U PKD RT dengan KU H P sangat berbeda.
M isalnya, dalam kekerasan seksual, U U PKD RT m em atok logika perlindungan
harkat dan m artabat korban sebagai m anusia. Sem entara KU H P dengan
C. A LTER N A TIF P EN Y ELESA IA N SEN G K ETA : K em balinya “A nak
Terhilang”..!!
O leh: D eddy R . Ch. M anafe, SH .M H um – D osen FH U niv. N usa Cendana
Prolog
lternatif penyelesaian sengketa (APS), m erupakan
istilah yang diperkenalkan oleh U ndang-U ndang
N om or 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (U U N o.30/1999). Pasal 1 angka
10 U U N o.30/1999 m enyatakan bahw a, “A lternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lem baga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat m elalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, m ediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
D ari pengertian dim aksud, ada sejum lah aspek yang perlu
digarisbaw ahi, yakni:
(1).
APS berfungsi sebagai lem baga penyelesaiansengketa atau beda pendapat,
(2).
APS diaw ali oleh kesepakatan para pihakm enyangkut prosedur penyelesaiannya,
(3).
penyelesaian itu di lakukan diluar pengadilan, dan
(4).
cara yang digunakan berupa konsultasi, negosiasi,m ediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. D engan dem ikian, APS hadir sebagai
pilihan forum penyelesaian bagi para pihak yang bersengketa atau berbeda
pendapat, selain forum pengadilan.
Selanjutnya, Alinea IX Penjelasan U m um U U N o.30/1999 m enulis
bahw a APS m erupakan terjem ahan dari alternative dispute resolution
(AD R). D ari sinilah, kem udian ketika m enyebut APS, seolah-olah m erupakan
suatu lem baga asing yang diintrodusir ke dalam sistem hukum Indonesia.
Apalagi, lim a cara kerja APS (konsultasi, negosiasi, m ediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli) disebut secara eksplisit dalam pengertian APS, sehingga
A
percabulan, dan perzinahan lebih pada upaya perlindungan hak reproduksi
seorang perem puan secara sehat. Belum lagi sistem pem buktian yang
digunakan oleh U U PKD RT dan KU H P yang m erujuk pada KU H AP jelas
berbeda. Bagi U U PKD RT cukup dengan keterangan saksi korban ditam bah
satu alat bukti yang sah lainnya terdakw a dapat dipersalahkan. Sem entara
KU H P dan KU H AP m ensyaratkan dua alat bukti yang sah di luar keterangan
secara praktis kem udian m uncul pula anggapan bahw a dalam APS hanya
m engenal kelim a cara tersebut.
APS sebagai suatu lem baga hukum secara form il pada m ulanya
berkem bang di kalangan pelaku bisnis di Am erika Serikat (sem enjak Tahun
1960-an). Lahirnya forum alternatif selain pengadilan ini, disebabkan oleh
ketidakm am puan lem baga pengadilan untuk m enjaw ab perasaan keadilan
yang hidup di kalangan pelaku bisnis tersebut. Kekakuan prosedural, tidak
tuntasnya perm asalahan, lam anya w aktu penyelesaian, serta m ahalnya biaya
pengadilan m enjadi alasan m endasar sehingga para pelaku bisnis m enciptakan
forum alternatif selain pengadilan dengan fungsi pengadilan.
Pada konteks Indonesia APS bukanlah m erupakan hal yang baru,
hal ini dapat dilihat dalam catatan sejarah yang berkaitan dengan hukum
dan pengadilan. M enurut W . E. Sutterheim , Pada jam an M ajapahit, m isalnya,
ketika H ayam W uruk dan M aha Patih G ajah M ada berkuasa, telah diketem ukan
istilah dhyaksa dan adhyaksa untuk m enyebut pejabat-pejabat di pengadilan.
D hyaksa m erupakan pejabat yang bertugas untuk m em eriksa, m engadili,
dan m em utus setiap perkara yang diajukan ke pengadilan. Sem entara
Adhyaksa m erupakan pejabat yang bertugas untuk m enyerahkan suatu
perkara ke pengadilan.
M enurut M uham m ad Yam in, hal yang sam a juga ditem ukan di
kerajaan Singosari. D alam hal ini, seorang Prabu selalu didam pingi oleh
sebuah dew an yang bernam a D harm adhyaksa. D ew an D harm adhyaksa ini
pada intinya bertugas untuk:
(1).
m elakukan pengaw asan tertinggi terhadapkekayaan suci,
(2).
m elakukan pengaw asan tertinggi terhadap urusanpengadilan, dan
(3).
sebagai ketua pengadilan. D alam hal ini, D harm adhyaksaselain m elaksanakan fungsi keagam aan (H indu dan Budha), nam un juga
m elaksanakan fungsi pengadilan. Kondisi yang sam a m asih berlanjut sam pai
m unculnya kesultanan-kesultanan Islam di Jaw a. Secara substansi
m enggunakan hukum syariah, nam un secara struktur m asih m enggunakan
struktur peninggalan kerajaan H indu dan Budha. (Kusum adi Poedjosew ojo,
APS dan K eadilan: Aspek N ilai
Sengketa dalam literatur sosiologi, dikenal dengan istilah konflik
adalah sesuatu yang alam i dan tak terhindarkan. Sengketa m erupakan
konsekuensi logis dari m anusia sebagai m ahluk individu dan m ahluk sosial
yang m em iliki perbedaan perspektif tentang hidup dan perm asalahannya
baik karena sejarah dan karakter yang unik, perbedaan gender, pengalam an
dan pandangan serta nilai yang m em andu pikiran, perilaku dan m otivasi
dalam m engam bil tindakan. Karenanya, sengketa akan ada selam a m anusia
ada. Selain dam pak negatif yang ditim bulkan oleh kebanyakan sengketa
yang terjadi, sebenarnya sengketa m em berikan m anfaat positif bagi m anusia,
antara lain:
(1).
m em bantu m enyadarkan m anusia bahw a ada m asalah,(2).
m endorong m anusia ke arah perubahan yang diperlukan,(3)
m em bangun kepribadian,
(4).
m enam bah kepedulian, dan(5).
m endorongkedew asaan psikologis.
D alam kerangka sebuah intervensi, Fisher, dkk (2001),
m engidentifikasikan 4 (em pat) tipe konflik yang dilihat dari perilaku dan
sasaran. Secara sederhana, identifikasi dim aksud dapat dilihat pada
Tabel 1. terjadi jika setiap kelom pok atau individu yang hidup dam ai harus m am pu m em anfaatkan konflik perilaku dan tujuan (kepentingan) dan m engelolanya secara kreatif.
2. KO N FLIK LATEN : sifatnya tersem bunyi, perlu diangkat ke perm ukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
3. KO N FLIK D I PERM U KAAN : m em iliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan m uncul hanya karena kesalahpaham an m engenai sasaran yang dapat diatasi dengan m eningkatkan kom unikasi.
4. KO N FLIK TERBU KA: adalah yang berakar dalam dan sangat nyata, kom pleks dan m em erlukan berbagai tindakan untuk m engatasi akar penyebab dan dam paknya.
D ari pem etaan konflik atau sengketa tersebut, terlihat kalau setiap
sengketa yang terjadi dalam m asyarakat sesungguhnya m em punyai nilai
positif. Paling tidak, m asyarakat kem udian dapat m elakukan:
(1).
reproduksinilai kehidupan sosial,
(2).
pem ulihan relasi sosial dari para pihak yangbersengketa,
(3).
m edia belajar dan penguatan norm a, serta(4).
pengukuhanotoritas struktur sosial.
Untuk aspek pertam a, ketika forum APS beroperasi dalam penanganan
kasus nyata, m aka pada saat itu upaya untuk m enggali dan m entransform asi
nilai-nilai sosial terjadi. N ilai sosial yang digali adalah nilai yang diturunkan
dari para leluhur dan ditafsirkan secara kontekstual atau diterjem ahkan
dalam kebutuhan kekinian.
U ntuk aspek kedua, m erujuk pada hasil akhir dari cara kerja APS,
yakni adanya kesepakatan para pihak. Cara kerja APS, harus diaw ali dengan
kesepakatan para pihak m engenai cara penyelesaian sengketa, dan diakhiri
dengan kesepakatan tentang bentuk penyelesaian sengketa tersebut. D alam
hal ini, kesepakatan para pihak m erupakan m ekanism e pem ulihan relasi
sosial di antara keduanya. U ntuk itu, APS hadir sebagai forum guna pem ulihan
relasi sosial dim aksud. Intinya ialah dalam forum APS tidak dikenal upaya
m enem ukan kebenaran dan kesalahan guna penghukum an, seperti yang
diterapkan dalam forum pengadilan negara.
U ntuk aspek ketiga, setiap kali forum APS dioperasikan untuk
m enangani kasus nyata, m aka itu m enjadi m om entum bagi m asyarakat
untuk belajar dan penguatan terhadap norm a yang m ereka rujuk. D alam
konteks ini, jika H ukum Adat dijadikan rujukan, m aka jelas bahw a forum
APS m enjadi m edia yang efektif untuk belajar tentang H ukum Adat serta
m asyarakat m engukuhkan kem bali aturan tersebut m asih berlaku dan
m enjaw ab perasaan keadilan m ereka.
U ntuk aspek terakhir, berkaitan dengan legitim asi sosiologis dari
struktur sosial dalam suatu m asyarakat. H al yang lum rah bahw a dalam
kesatuan m asyarakat, terdapat struktur yang m engoperasikannya. D alam
bahasa sehari-hari, struktur sosial terbaca sebagai orang-orang yang
dianggap m am pu atau cakap atau dituakan untuk m engoperasikan norm a
yang m enjadi rujukan bagi perilaku hidup sehari-hari. O leh karena itu, ketika
ditangani para tetua tersebut, m aka itu m erupakan pengakuan sekaligus
pen gu ku h an terh adap otoritas dari stu rktu r sosial yan g ada.
D ari gam baran di atas, terlihat jelas bahw a forum APS, m erupakan
cerm inan dari pem aham an para aktor yang terlibat akan hak dan kew ajibannya.
D alam konteks ini, para aktor m em aham i perannya dalam kehidupan
berm asyarakat ketika m enghadapi sengketa. Pem aham an akan hak dan
kew ajiban yang m enggiring pada kesadaran akan peran dalam kehidupan
berm asyarakat, m enunjukkan bahw a para aktor tetap m em egang teguh
nilai keadilan. Apalagi, ketika keadilan dim aknai sebagai keseim bangan
antara hak dan kew ajiban.
N apaktilas APS: Aspek N orm a
APS sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan
m endapat bentuk form ilnya, pertam a kali oleh U ndang-U ndang N om or 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (U U N o.22/1957,
kini sudah m engalam i perubahan beberapa kali). D alam U U N o.22/1957,
diatur 3 (tiga) bentuk APS, yakni:
(1).
m ediasi,(2)
. konsiliasi, dan(3).
arbitrase. D engan dem ikian, dari segi um ur, forum APS di Indonesia bahkan
lebih tua dari di Am erika Serikat dan Singapura. Akan tetapi, forum APS ini
hanya berlaku di kalangan perburuhan.
Forum APS yang lebih luas dan kom prehensif m enyelesaikan sengketa
dalam kehidupan m asyarakat adalah H PD . Pasal 88 UU N o.5/1974 m enyatakan
bahw a, “Pengaturan tentang Pem erintahan D esa ditetapkan dengan U
ndang-undang.” Atas perintah inilah kem udian keluar U U N o.5/1979. Khusus
m enyangkut H PD , diatur dalam Pasal 10 ayat (1) U U N o.5/1979 yang
berbunyi :
“Kepala Desa m enjalankan hak, w ew enang, dan kew ajiban
Kem udian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) U U N o.5/1979 m enegaskan
bahw a :
“Dalam rangka m enum buhkan dan m engem bangkan jiw a gotong royong m asyarakat Desa, Kepala Desa antara lain m elakukan usaha pem antapan koordinasi m elalui Lem baga Sosial Desa, Rukun Tetangga, Rukun W arga, dan Lem baga-lem baga kem asyarakatan lainnya yang ada di Desa. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya Kepala D esa di bidang ketentram an dan ketertiban dapat m endam aikan p erselisih an -p erselisih an yan g terjad i d i D esa. P e rta n g g u n g ja w a b a n K e p a la D e sa k e p a d a Bupati/W alikotam adya Kepala Daerah Tingkat II m eliputi pelaksanaan urusan-urusan pem erintahan dan urusan pem bantuan m aupun urusan-urusan rum ah tangga Desa. Setelah Kepala D esa m em berikan pertanggungjaw aban kepada Bupati/W alikotam adya Kepala Daerah Tingkat II, selanjutnya m enyam paikan keterangan pertanggungjaw aban kepada Lem baga M usyaw arah Desa.”
D ari ketentuan tersebut, eksplisit ditulis bahw a :
“Dalam rangka pelaksanaan tugasnya Kepala Desa di bidang
ketentram an dan ketertiban dapat m endam aikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di D esa.”
Pengaturan seperti ini kem udian m em unculkan istilah H akim
Perdam aian D esa (H PD ) sebagai salah satu fungsi yang m elekat pada Kepala
D esa. D alam konteks ini, forum H PD jelas m erupakan fungsi APS yang
secara form il dijalankan oleh Kepala D esa. Forum H PD dibangun dari logika
perdam aian. Logika ini m erupakan penguatan dari logika penyelesaian
sengketa dalam H ukum Adat, yakni pem ulihan relasi sosial dengan hukum
adat sebagai substansi atau rujukannya.
H PD sebagai forum penyelesaian sengketa non pengadilan, telah
m engakar dalam praktek kehidupan berm asyarakat di tingkat D esa. Paling
tidak, kurang lebih 20 (dua puluh) tahun forum ini dipraktekkan. D i era
reform asi keluarlah U U N o.22/1999, ternyata forum H PD dihilangkan dalam
fungsi Kepala D esa dan forum H PD bersalin nam a m enjadi forum APS dalam
U U N o.30/1999. Proses ini ternyata relatif tidak tersosialisasikan dengan
yang m engoperasikan forum H PD ala U U N o.5/1979 telah dihilangkan.
Padahal kalau didalam i, m aka U U N o.30/1999, justru m akin m em perluas
fungsi H PD yang tak hanya m elekat pada Kepala D esa saja, nam un juga
m eliputi berbagai aspek kehidupan berm asyarakat.
Secara garis besar, Pasal 6 U U N o.30/1999 m engatur m ekanism e
teknis APS sebagai berikut:
(1).
penyelesaian sengketa m elalui forum APSdidasarkan pada itikad baik untuk m engenyam pingkan m ekanism e
penyelesaian m elalui pengadilan,
(2).
w aktu penyelesaian sengketa m elaluiforum APS paling lam a 14 (em pat belas) hari, dan hasilnya dituangkan dalam
berita acara,
(3).
forum APS dapat m enggunakan jasa penasehat ahli,(4)
.forum APS dapat m enunjuk m ediator lain untuk ikut m enyelesaikan sengketa
yang ditangani,
(5).
setelah penunjukan m ediator, m aka dalam w aktu 7(tujuh) hari proses penyelesaian sengketa dim ulai,
(6).
forum APS m enjam inkerahasiaan aspek pribadi para pihak, dan dalam w aktu 30 (tiga) puluh hari
berita acara penyelesaian sudah harus ditandatangani para pihak,
(7).
beritaacara penyelesaian sengketa w ajib didaftarkan ke pengadilan negeri setem pat
paling lam bat 30 (tiga puluh) hari setelah penandatanganan, dan
(8).
kesepakatan yang ada dalam berita acara penyelesaian w ajib dilaksanakan
paling lam bat 30 (tiga puluh) hari setelah pendaftaran.
Ketika U ndang-U ndang N om or 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan D alam R um ah Tangga (U U N o.23/2004) diberlakukan, m aka
peran forum APS m enjadi kian penting. Pasal 4 U U N o.23/2004 m enyatakan
bahw a :
“Penghapusan kekerasan dalam rum ah tangga bertujuan: Pertam a, m encegah segala bentuk kekerasan dalam rum ah tangga; Kedua, m elindungi korban kekerasan dalam rum ah tangga; Ketiga, m enindak pelaku kekerasan dalam rum ah tangga; dan Keem pat, m em elihara keutuhan rum ah tangga yang harm onis dan sejahtera.”
D ari pengaturan tersebut, terlihat bahw a U U N o.23/2004 hadir
bukan untuk m enghukum pelaku kekerasan dalam rum ah tangga (terutam a
dalam relasi suam i-isteri), nam un dalam kerangka m em elihara keutuhan
rum ah tangga yang harm onis dan sejahtera. O leh karena itu, penyelesaian
Tabel 2. Cara Kerja APS
Sum ber
: D iolah dari Bahan Pustaka Para Pihak(kecuali seksual fisik, penganiayaan berat, dan pem bunuhan/jiw a), justru
lebih efektif ketim bang pelaku dikirim ke pengadilan dan m enerim a pidana
penjara.
Bentuk-Bentuk APS: Aspek Perilaku
Sebagaim ana yang tertera pada Pasal 1 angka 10 U U N o.30/1999
m engatur 5 (lim a) cara atau bentuk APS, yakni:
(1).
konsultasi,(2).
negosiasi,
(3).
m ediasi,(4).
konsiliasi, atau(5).
penilaian ahli. D engandem ikian, secara form il kelim a cara inilah yang dikenal dalam APS. Sayangnya,
U U N o.30/1999 tidak m erinci m ekanism e operasional dari kelim a bentuk
APS tersebut. Selain itu pula, tidak dijelaskan tentang keterkaitan dari kelim a
bentuk APS ini. M inim al harus dijelaskan bentuk-bentuk APS dapat atau
tidak disandingkan satu dengan yang lainnya atau hanya dilaksanakan secara
m andiri ketika m enghadapi sengketa.
D engan tidak diaturnya aspek-aspek tersebut, m aka pada hakikatnya
tidak ada larangan untuk:
(1).
m enerapkan secara m andiri bentuk-bentukAPS,
(2)
. m enerapkan secara saling m elengkapi bentuk-bentuk APS, dan(3)
. adanya kebebasan bagi para pihak yang bersengketa m aupun pihakketiga dalam m em ilih bentuk APS yang digunakan guna penyelesaian
sengketa yang dihadapi. Secara sederhana, m asing-m asing bentuk APS dan
APS: Jaw aban K etidakm am puan Pengadilan?
Pasal 4 ayat (2) U ndang-U ndang N om or 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakim an (U U N o. 4/2004) m enyatakan bahw a, “Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Ketentuan ini
dengan jelas m enegaskan kalau proses pengadilan (salah satu sub sistem
dalam sistem peradilan), w ajib diselenggarakan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan. D alam penjelasannya, dinyatakan bahw a ketentuan ini
dim aksudkan untuk m em enuhi harapan para pencari keadilan. Selanjutnya
dijelaskan pula bahw a yang dim aksud dengan sederhana, adalah pem eriksaan
dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif.
Kem udian untuk aspek biaya ringan, dijelaskan m engandung pengertian
biaya yang dapat dipikul oleh rakyat.
Im pian U U N o. 4/2004 tersebut, dalam kenyataannya hanya tinggal
harapan yang sulit untuk diterapkan. Betapa tidak untuk hukum pidana saja,
terdapat sejum lah keterbatasan kem am puan hukum pidana dalam
m enanggulangi kejahatan. Barda N aw aw i Arief (1994), m enyebutkan bahw a
paling tidak ada 7 (tujuh) sebab sehingga hukum pidana tidak dapat
diandalkan untuk m enanggulangi kejahatan, yaitu:
(1).
sebab-sebabkejahatan yang dem ikian kom pleks berada di luar jangkauan hukum pidana,
(2).
hukum pidana hanya m erupakan bagian kecil (sub sistem ) dari saranakontrol sosial yang tidak m ungkin m engatasi m asalah kejahatan sebagai
m asalah kem anusiaan dan kem asyarakatan yang sangat kom pleks (sebagai
m asalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonom i, sosio-kultural, dan
sebagainya),
(3).
penggunaan hukum pidana dalam m enanggulangi kejahatanhanya m erupakan kurieren am sym ptom, oleh karena itu hukum pidana
hanya m erupakan pengobatan sim ptom atik dan bukan pengobatan kausatif,
(4).
sanksi hukum pidana m erupakan rem edium yang m engandung sifat kontradiktif/paradoksal dan m engandung unsur-unsur serta efek sam pingyang negatif,
(5 ).
sistem pem idanaan bersifat fragm entair danindividual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional,
(6)
. keterbatasanjenis sanksi pidana dan sistem perum usan sanksi pidana yang bersifat kaku
dan im peratif, dan
(7).
bekerjanya/berfungsinya hukum pidana m em erlukansarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih m enuntut biaya tinggi.
penyebab. M isalnya, I. S. Susanto (1998), m enjelaskan bahw a jika dilihat
dari aspek dim ensinya, terdapat 2 (dua) tipe kejahatan, yakni:
(1).
kejahatanberdim ensi kepapaan, dan
(2).
kejahatan berdim ensi keserakahan. Padaum um nya tipe pertam a terjadi pada level akar rum put, sedangkan tipe
kedua terjadi pada level elit. D alam konteks cakupan kerja G ugus Tugas
Anti Trafiking D esa, m aka jelas kejahatan tipe pertam a yang ditangani.
O rang ketika m elakukan kejahatan karena lapar. O leh karena itu, adalah
tidak tepat kalau orang lapar tersebut dikirim ke penjara berdasarkan proses
pengadilan pidana. Adalah lebih tepat, m elalui forum APS dicari jalan keluar
untuk m engatasi penyebab orang itu lapar, sehingga m elakukan kejahatan.
Pernyataan bahw a hukum pidana hanya m erupakan bagian kecil
dari sarana kontrol sosial, m akin m em perjelas kalau forum APS juga
m erupakan bagian dari sarana kontrol sosial yang fungsinya tidak kalah
penting. Apalagi, ketika dilihat bahw a kejahatan tidak sem ata-m ata sebagai
tindakan m elanggar hukum pidana sem ata, nam un juga dapat dibaca sebagai
tindakan yang m engganggu relasi sosial para pihak dan juga relasi sosial
kem asyarakatan. U ntuk itu, hanya m elalui forum APS, relasi kem anusiaan
tersebut dapat dipulihkan
H ukum pidana sebagai bagian dari hukum positif, lebih m enonjolkan
sisi norm atif sem ata. Artinya, aspek yang m engem uka adalah m engatur
dan m em aksa. D alam hal ini, yang dilihat adalah gejala atau dam paknya
sem ata, tidak dilihat aspek penyebabnya. Sem entara, dalam forum APS,
justru aspek penyebab dan akibat m enjadi poin yang dilihat secara berim bang.
Aspek akibat tidak dapat dipisahkan dari penyebab. Jadi m enyelesaikan
m asalah, harus dari hulu hingga hilirnya.
Berkaitan dengan jenis pidana (hukum an) yang diancam kan dalam
hukum pidana, ternyata berdam pak sangat luas. Paling tidak, ketika pelaku
dikirim ke penjara, m isalnya, m aka dam paknya:
(1).
pelaku terputuskew ajibannya terhadap keluarga,
(2).
keluarga kehilangan penopang ekonom ikeluarga, jika terpidana adalah kepala keluarga,
(3).
cap sebagai penjahatakan terbaw a hingga ajal, dan
(4).
hukum an penjara tidak m em ulihkanrelasi kem anusiaan. O leh karena, m elalui forum pengadilan, m aka yang
dicari adalah kesalahan dari pelaku dan kebenaran perkara. D engan kata
m elalui forum APS, tidak ada logika salah-benar, nam un yang dikem bangkan
adalah logika perdam aian.
H ukum pidana m engandalkan bentuk ancam an pidana sebagaim ana
diatur dalam Pasal 10 KU H P, yakni pidana pokok berupa:
(1).
hukum anm ati,
(2).
hukum an penjara,(3).
hukum an kurungan,(4).
hukum antutupan,
(5).
hukum an denda, dan(6).
hukum an bersyarat. Selain itu,terdapat juga pidana tam bahan berupa:
(1).
pengum um an putusan hakim ,(2).
peram pasan barang-barang tertentu, dan(3).
pencabutan hak-haktertentu. Kem udian U U N o.23/2002 m enam bahkan bentuk tindakan berupa:
(1).
pengem balian anak pada orang tua,(2).
penem patan anak pada D inasSosial, dan
(3).
penem patan anak m enjadi anak binaan negara. Terakhir,U U N o.23/2003, m enam bahkan lagi bentuk tindakan yang dapat dijatuhkan
hakim pada pelaku kekerasan dalam rum ah tangga, berupa:
(1).
pem batasanruang gerak dalam radius dan jangka w aktu tertentu, dan
(2).
m ew ajibkanpelaku m engikuti konseling. Kalau dilihat dari berbagai jenis pidana pokok,
pidana tam bahan, dan tindakan dalam hukum pidana, ternyata hanya
berorientasi pada pelaku sem ata. Sem entara justru dalam forum APS, relasi
sosial (pelaku-korban, dan m asyarakat).
U ntuk bidang hukum perdata, fakta m em buktikan bahw a suatu
perkara ketika ditangani, paling tidak m elalui 4 (tahap), yakni:
(1).
tahappengadilan pertam a,
(2).
tahap pengadilan banding,(3).
tahap pengadilankasasi, dan
(4).
tahap peninjauan kem bali. D ari pentahapan tersebut, adalahtidak m ungkin kalau suatu perkara dapat diselesaikan secara sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari sengketa
pidana m aupun perdata selalu terjadi. Untuk itu, adalah tidak m enggantungkan
harapan penyelesaian sengketa sem ata-m ata pada kedua forum pengadilan
tersebut.
D alam penghujung Tahun 2008, Kepolisian Republik Indonesia
(Polri), m eluncurkan konsep perpolisian m asyarakat (Polm as) di N TT. Polm as,
m erupakan salah satu strategi kerja Polri untuk m enjaw ab kebutuhan
m asyarakat akan keadilan. Polri m enyadari bahw a dengan m engirim setiap
perkara ke tingkat penuntutan dan pengadilan, ternyata tidak m enyelesaikan
m asalah itu sendiri. M asalah m em ang tertangani dan pelaku dihukum ,
juga bahw a hukum pidana dalam berbagai produk perundang-undangan
ternyata tidak m enghendaki agar setiap tindak pidana harus diselesaikan
m elalui forum pengadilan. Selalu ada ruang untuk diselesaikan di luar
pengadilan. Sem entara pada sisi yang lain, kalau forum A PS tidak
dilem bagakan, m aka dapat saja terjadi tudingan m iring kepada Polri, ketika
suatu perkara tidak dilanjutkan.
Pada level akar rum put (D esa) kini telah dibentuk forum kem itraan
antara polisi dan m asyarakat. M elalui forum ini, polisi bersam a m asyarakat
m enyelesaikan berbagai sengketa dengan logika perdam aian. Apabila, suatu
kasus telah ditangani m elalui Polm as, m aka kasus tersebut tidak lagi akan
ditangani oleh pihak reserse krim inal. Pada titik ini, logika yang dikem bangkan
oleh forum Polm as dengan forum APS yang dijalankan oleh G ugus Tugas
Anti Trafiking D esa indentik. D engan kata lain, kedua forum ini dapat saling
m elengkapi dalam operasionalnya. Katakanlah, kalau dalam U U N o.30/1999
m ew ajibkan berita acara penyelesaian sengketa oleh forum APS w ajib
didaftarkan ke pengadilan negeri setem pat, m aka m elalui kerjasam a dengan
forum Polm as, berita acara tersebut cukup ikut ditandatangani saja oleh
forum Polm as. D engan begitu, tidak perlu lagi didaftarkan ke pengadilan
negeri, toh kalau kasus tersebut m au ditindaklanjuti, harus pula m elalui
pihak Polri.
Bentuk kerjasam a yang lebih konkrit, yakni:
(1).
G ugus Tugas AntiTrafiking D esa dapat m engadopsi m odel pencatatan kasus dan m odel berita
acara penyelesaian sengketa pada Polm as, dan
(2).
Polm as dapat m engadopsibentuk-bentuk penyelesaian APS pada G ugus Tugas Anti Trafiking D esa.
D engan bentuk kerjasam a seperti ini, m aka kedua forum APS ini ke depan
diharapkan dapat lebih m am pu m enjaw ab perasaan keadilan m asyarakat
ketika bersengketa.
Epilog
Kehadiran G ugus Tugas Anti Trafiking D esa yang m enyelenggarakan
forum APS, sesungguhnya ibarat kem balinya ‘si anak terhilang.’ Betapa
tidak, sem enjak U U N o.22/1999 m eniadakan forum H PD dan diganti dengan
forum APS oleh U U N o.30/1999, m asyarakat desa m elihat kalau tidak ada
tidak m em adainya sosialisasi dari forum APS sebagai nam a lain dari forum
H PD dengan pengayaan bentuk penyelesaian sengketa.
K ini pada level D esa, terdapat 2 (dua) lem baga yang
m enyelenggarakan forum APS, yakni:
(1).
G ugus Tugas Anti Trafiking D esa,dan
(2).
Polm as. Kedua lem baga ini, terbangun dari logika yang sam a yaknihendak m enyelenggarakan forum APS dengan logika perdam aian. U ntuk
B A B II
K E K E R A SA N D A L A M R U M A H T A N G G A
D I N U SA T E N G G A R A T IM U R
A. PEN G AN TAR
asa am an dan bebas dari segala bentuk kekerasan adalah hak w arga
N egara. D em ikianlah am anat yang tertera dalam Pasal 28G ayat (1)
U ndang-U ndang D asar 1945 (U U D 1945). O leh karenanya, segala bentuk
kekerasan harus dihapuskan. Itu berarti, Kekerasan D alam Rum ah Tangga
(KD RT) juga harus dihapuskan. Penghapusan KD RT ini, m enurut Pasal 1
angka 2 U ndang-U ndang N om or 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan
Kekerasan D alam Rum ah Tangga (U U PKD RT), m erupakan jam inan yang
diberikan oleh negara untuk m encegah terjadinya KD RT, m enindak pelaku
KD RT, dan m elindungi korban KD RT.
Ironinya, perkem bangan dew asa ini m enunjukkan KD RT yang dalam
pasal 1 angka 1 U U PKD RT disebut sebagai setiap perbuatan terhadap
seseorang terutam a perem puan, yang berakibat tim bulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rum ah tangga term asuk ancam an untuk m elakukan perbuatan, pem aksaan,
atau peram pasan kem erdekaan secara m elaw an hukum dalam lingkup
rum ah tangga, setiap harinya m asih terus terjadi dan sem akin m enjadi-jadi.
Bahkan, m edia m assa cetak m aupun elektronik setiap harinya
m enyuguhkan berita tentang berbagai kasus KD RT. M araknya kasus KD RT
ini m enegaskan bahw a Penghapusan tindak KD RT, tidak m ungkin dapat
terw ujud jika hanya dilakukan dengan pendekatan peradilan form al sem ata.
D alam perspektif sosiologis, penghapusan tindak KD RT dapat dim ulai
dengan m enghilangkan sebab-sebab dan unsur-unsur pem icunya dengan
cara m engenali latar belakang sosial pelaku dan korban, adat dan budaya
yang berlaku, serta struktur sosial di w ilayah setem pat, akan m em udahkan
siapa pun dalam m enaw arkan alternatif solusi yang lebih m em enuhi rasa
D ari 433 (em pat ratus tiga puluh tiga) kasus KD RT yang didam pingi
oleh rum ah perem puan pada 5 (lim a) tahun terakhir, 52% kasusnya
disebabkan oleh Faktor ekonom i, 24% kasus dipicu oleh kom unikasi yang
m inim antar pasangan, 18% kasus dipengaruhi pihak ketiga (keluarga dan
atau W IL), dan terdapat 6% Kasus lainnya disebabkan oleh antara lain
B. FEN O M EN A K D R T D I N TT
Salah satu jenis kekerasan yang selalu m ew arnai ruang publik di
N usa Tenggara Tim ur (N TT) adalah KD RT. Catatan pendam pingan Rum ah
Perem puan 5 (lim a) tahun terakhir, m enunjukan bahw a kasus KD RT selalu
m enem pati ranking teratas dari berbagai jenis kasus kekerasan lain yang
dialam i oleh Perem puan dan Anak. (Lihat Tabel 3).
Tabel 3. Kasus yang di Advokasi oleh Rumah Perempuan Jenis Kasus TAHUN
KDRT KESEK TRAFIKING
KDP / IJM LAIN-LAIN
2010 2009 2008 2007 2006 JUMLAH
JUMLAH
Sum ber: D iolah dari Catatan A khir Tahun R um ah Perem puan
67 100 73 95 98 30 32 35 40 56 18 10 9 11 10 15 23 18 15 25 37 26 17 17 26 167 191 167 178 215
433 193 58
Bentuk KD RT yang dialam i oleh korban berdasarkan 433 (em pat
ratus tiga puluh tiga) kasus KD RT yang di advokasi oleh Rum ah Perem puan
selam a sejak tahun 2006 sam pai dengan tahun 2010 adalah Kekerasan
Psikis, Kekerasan Fisik, Kekerasan Seksual dan Penelantaran.
(lihat diagram ).
D ata dalam diagram m enunjukkan bahw a sem ua korban kasus
KD RT m engalam i kekerasan berganda. Bagi korban yang m engalam i salah
satu bentuk kekerasan baik itu Kekerasan Fisik, Kekerasan Seksual m aupun
Penelantaran selalu m engalam i Kekerasan Psikis. Selain itu, data pada
diagram juga m enjelaskan bahw a korban yang m engalam i Kekerasan Seksual
selalu berbarengan dengan Kekerasan Fisik.
Kekerasan Fisik
yang dialam ikorban diantaranya ditam par, ditendang, pelaku m em benturkan kepala
korban ke tem bok dan lantai, ram but korban dijam bak, korban dipukul pendidikan anak, pem bagian pekerjaan yang tidak jelas dan lain sebagainya.
Keseluruhan penyebab kasus KD RT di atas sebenarnya di pelopori oleh
budaya patriakhi yang m asih kental dalam kehidupan berm asyarakat di N TT.
Buktinya
, Pertam a,
m asyarakat m em besarkan anak laki-laki denganm enum buhkan keyakinan bahw a anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak
toleran.
K edua,
laki-laki dan perem puan tidak diposisikan setara dalamm engenai kekerasan yang terjadi dalam rum ah tangga harus ditutup karena
m erupakan m asalah keluarga dan bukan m asalah sosial.
K etiga
, tradisibahw a istri harus bergantung pada suam i, khususnya ekonom i.
K eem pat
,tradisi m alechauvinistic, dim ana laki-laki m asih m enganggap diri dan
dianggap sebagai m akhluk yang kuat dan superior.
K ekerasan Psikis 433 kasus (49% ) K ekerasan
Seksual 5 kasus (2% )
K ekerasan Fisik 275 kasus (32% )
dengan gagang sapu, dipukul dengan batako, dilem par dengan batu dan
lain-lain.
K ekerasan Psikis
yang dilakukan pelaku terhadap korban antara lain dim aki, dituduh m elakukan sesuatu yang tidak dilakukannya, diancamakan diceraikan, dihina/diludahi oleh pelaku didepan anak-anak dan diusir
dari rum ah. W ujud
Penelantaran
yang dilakukan pelaku pada korbanadalah pelaku tidak m em berikan nafkah bathin, pelaku tidak m em berikan
uang belanja dan keperluan lainnya kepada korban, pem batasan nafkah.
M odel
kekerasan seksual
yang dilakukan pelaku seperti: M em aksakanistri berhubungan dengan gaya yang tidak lazim , m em aksa H uS (H ubungan
Seksual) disaat istri sedang sakit, m elakukan penganiayaan sebelum
m elakukan H uS, dan m em aksakan anak dibaw ah um ur untuk berhubungan
seks.
Catatan Rum ah Perem puan berkaitan dengan dam pak yang dialam i
korban dalam 433 (em pat ratus tiga puluh tiga) kasus KD RT kasus KD RT
adalah
Pertam a, D am pak Fisik:
Lebam , lecet, patah tulang, kepala bocor,pusing dan ada pula korban yang m engalam i cacat perm anen.
K edua,
D am pak Psikis:
Korban takut berhubungan seks, hilangnya keinginanuntuk berhubungan seks, traum a, gangguan kejiw aan. Sem ua korban KD RT
juga m engalam i gangguan psikis seperti cem as, gelisah, m alu, rendah diri,
keinginan untuk bercerai, gangguan ingatan.
K etiga, D am pak Terhadap
K esehatan K orban:
Terganggunya organ reproduksi, korban m engalam iperdarahan, terjadi keham ilan yang tidak diinginkan (N B: Khususnya Kasus
Incest).
K eem pat, D am pak Ekonom i:
Korban dililit utang, karena harusm em injam uang ke orang lain untuk m em biayai hidup.
K elim a, D am pak
Sosial:
Korban akan m enarik diri dari pergaulan dan keluarga, tetangga,bahkan untuk sem entara w aktu ada juga korban yang berhenti m elakukan
akstivitas sosial m aupun ritual keagam aan.
C. PO TR ET K D R T D I N O ELBAK I D AN TU APU K AN
Persoalan KD RT juga terjadi di desa N oelbaki dan desa Tuapukan
yang m erupakan w ilayah dam pingan dari Rum ah Perem puan. D alam
kerja-kerja pendam pingan untuk persoalan KD RT di ke-2 (dua) D esa ini, Rum ah