• Tidak ada hasil yang ditemukan

perbedaan stabilitas emosi pada perempua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "perbedaan stabilitas emosi pada perempua"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya Malang

rusliyani_irma90@yahoo.com

ABSTRACT

This study was aimed to determine the difference of emotional stability between married career-women and single career-women. This quantitative study was conducted with quesioner method. The subjects who participated on this study were 50 married career women anda 50 single career-women. The emotional stability scale from Chaturvedi and Chander was used for data collection on this study. The result was analysed by using independent-sample t-tes. The result showed that score t=1.776, p=0.79,p>0.05, which showing no significant difference exists between married career-women and single career-career-women. The extended analysis was conducted about ration among dimensions. It is found that there was significant ratio of tolerance between married career-women and single women-career t=2.272, p=0.025, <p=0.05. therefore, married career-women has higher tolerance than single career-women. There was no significant ratio among the rest dimensions.

Keyword : Emotional Stability, Career Women, Status Married and Single.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah perempuan karir yang sudah menikah sebnayak 50 orang dan yang belum menikah sebanyak 50 orang. Alat pengumpulan data berupa skala stabilitas emosi dari Chaturverdi dan Chander. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik uji beda atau independent –sample t-tes. Hasil analisi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan stabilitas emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah t=1.776, p=0.79, p<0.05. Peneliti melakukan analisis tambahan berupa perbandingan skor tiap dimensi stabilitas emosi ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi toleransi antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah t=2.272, p=0.025, p<0.05. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perempuan karir yang sudah menikah mempunyai sikap toleransi yang lebih tinggi dari sikap toleransi perempuan karir yang belum menikah. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi lainnya.

(2)

PENDAHULUAN

Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satunya adalah rentang hidup yang dijalani oleh setiap individu adalah pada masa dewasa. Menurut Hurlock (1999) masa dewasa merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam rentang kehidupan. Pada masa dewasa ini individu memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Menurut Papalia (2009) bahwa pada usia dewasa merupakan usia yang paling sulit untuk dilalui oleh individu karena usia ini ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam serta dituntut peran dan tanggung jawab sebagai orang yang menjalankan rumah tangga, departemen maupun perusahaan, merawat orang tua, membesarkan anak, dan mulai menata karir. Salah satu tuntutan dan tanggung jawab pada usia dewasa adalah pernikahan. Menurut Mulder (dalam Putri, 2010) setiap orang dihadapkan pada keharusan untuk menikah dan tekanan pada perempuan untuk menikah sangat tinggi. Pada usia dewasa ini pernikahan sangatlah penting dan menjadi salah satu harapan masyarakat yang harus di penuhi, namun tidak semua perempuan memenuhi harapan dari masyarakat dan masih hidup melajang walaupun batas usia untuk siap menikah sudah melebihi batas yang telah ditetapkan untuk menikah.

Menurut Hurlock (1999) pernikahan merupakan pola yang normal dalam kehidupan orang dewasa. Pada umumnya perempuan dewasa memiliki dua pilihan untuk meniti karir atau membina rumah tangga. Dengan berkembangnya era globalisasi mengakibatkan seseorang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan. Dunia kerja menuntut kualifikasi profesionalitas untuk meraih kesempatan kerja. Kaum perempuan mempunyai hak yang sama dengan pria dalam memasuki dunia kerja. Persamaan hak antara pria dan perempuan khususnya di Indonesia, belum semuanya terwujud (dalam Siwi, 2005). Menurut Indriana, Indrawati dan Ayuningsih (2007) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta gerakan emansipasi perempuan inilah yang diduga telah melahirkan perubahan peran perempuan. Perempuan sudah mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang setara dengan pria untuk berpartisipasi dalam segala bidang pembangunan, hal ini terlihat jelas pada peningkatan angka kerja kaum perempuan dari tahun ketahun. Menurut Kartono (2007) emansipasi berasal dari kata “emanci patio” yang artinya kebebasan. Emansipasi perempuan, kebanyakan kaum perempuan sekarang ini memilih untuk menghabiskan masa mudanya untuk menuntut ilmu, bekerja dan bersosialisasi, sehingga pada era global ini membuat kedudukan antara pria dan perempuan sama, perempuan pun dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri. Menurut Kaunang dan Lovihan (2010) perempuan yang sudah menikah adalah perempuan yang membina sebuah keluarga dan menjalankan salah satu dari tugas perkembangan pada usia yang sudah siap untuk menikah. Seiring dengan berjalannya waktu pada saat ini banyak perempuan yang menikah meniti karir atau memilih untuk peran ganda.

(3)

Konsekuensinya, jika perempuan kehabisan energi maka keseimbangan mentalnya terganggu sehingga dapat menimbulkan stres. Menurut Pardani (2010) mengungkapkan bahwa para perempuan yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal itu dapat disebabkan karena perempuan bekerja menghadapi konflik peran sebagai perempuan karir sekaligus ibu rumah tangga. Stres yang dimaksud disini adalah stres yang menyebabkan ketegangan/penderitaan psikis sehingga menimbulkan kecemasan. Tuntutan pada perempuan karir yang sudah menikah pada umumnya adalah bagaimana membagi antara pekerjaan dan rumah tangga (peran ganda). Perempuan karir yang sudah menikah harus memiliki kemampuan untuk mengontrol emosinya dengan baik ketika ia mengalami masalah di tempat kerjanya maka dia harus bersifat professional atau tidak membawa masalah di pekerjaan ke rumah. Hurlock (1999) perempuan yang memiliki peran ganda harus pandai menyesuaikan diri antara pekerjaan dan mengurus rumah tangga. Dari tuntutan peran ganda ini akan menimbulkan konflik dalam kehidupannya.

Perempuan dewasa belum menikah adalah perempuan yang belum menjalani kehidupan rumah tangga. Pada umumnya perempuan dewasa yang belum menikah yang bekerja banyak yang masih melajang. Alasannya adalah karena masih melajang atau belum menikah. Alasan perempuan dewasa yang belum menikah salah satunya adalah karir atau belum mendapatkan pasangan. Menurut Dariyo (dalam Indriana, Indrawati & Ayuningsih, 2007) alasan yang menyebabkan perempuan yang belum menikah salah satunya adalah sudah terlanjur meniti karir, ingin menjalani hidup secara bebas, selain itu perempuan yang belum menikah atau melajang, dengan jenjang karir dan gaji yang tinggi akan menentukan kriteria yang tinggi untuk pria yang akan menjadi pasangan hidupnya dan akan menolak lawan jenisnya

Perempuan karir yang belum menikah memiliki tuntutan dalam masyarakat yaitu untuk menikah (dalam Hurlock, 1999). Perempuan karir yang belum menikah dalam penelitian ini termasuk dalam katagori dewasa dini, dimana pertikahan termasuk dalam salah satu tugas perkembangan. Sebagai upaya pemenuhan tugas –tugas perkembangan tersebut dilakukan oleh perempuan karir salah satunya melalui menjalin hubungan dengan laki-laki atau perempuan (pacaran). Selain itu tuntutan atau tanggunga jawab ini untuk memenuhi tugas perkembangan pada usia dewasa dini. Menurut Lakoy (2009) perempuan bekerja yang belum menikah pada usia rata-rata usia 20 sampai dengan 34 tahun, memiliki tuntutan yang harus di penuhi yaitu, tuntutan untuk menikah. Hal ini sesuai dengan teori Mangkuprawira (dalam Yuniati, 2013) berbagai tuntutan mendorong mereka untuk berkarir, terutama bagi perempuan yang telah menginjak usia dewasa dini. Sesuai dengan usia perkembangannya, mereka memiliki tugas yang harus diselesaikan yaitu mulai bekerja dan menikah

Berdasarkan dari tuntutan ini, apakah akan mempengaruhi stabilitas emosi pada perempuan karir yang belum menikah. Perempuan karir yang belum menikah kebanyakan memilih meniti karir terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriana, Indrawati dan Ayuningsih (2010) perempuan karir yang belum menikah dan terlanjur meniti karir di pekerjaan ingin menjalani kehidupan bebas. Statusnyan tidak menikah ini akan berpengaruh pada Stabilitas emosi ketika individu menghadapi cemooh dari teman-temannya (dalam Hurlock, 1999).

(4)

belum menikah. Stabilitas emosi menurut penulis sangat menarik terutama bagi perempuan karir karena perempuan karir tidak hanya memiliki peran sebagai perempuan bekerja dan ibu rumah tangga. Masing- masing peran tersebut memiliki tanggung jawab dan tuntutan sendiri, untuk membagi peran antara karir dan keluarga, sedangkan perempuan karir yang belum menikah memiliki tuntutan dalam masyarakat yaitu untuk menikah dan tuntutan untuk memenuhi dalam salah satu tugas perkembangannya. Berdasarkan tuntutan yang harus mereka penuhi ini apakah akan mempengaruhi stabilitas emosinya.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

A. Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

B. Tujuan penelitian

Mengetahui perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

C. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan yang berarti bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya pada dibidang psikologi terutama berkenaan dengan perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti

Memperoleh pengetahuan tentang perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

b. Bagi Akademik

Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi landasan atau sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

c. Bagi Instansi

Memberikan informasi mengenai perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

KAJIAN PUSTAKA 1. a. Pernikahan

(5)

ketuhanan yang maha esa. Menurut Dariyo (2005) perkawinan merupakan ikatan yang syah antara laki-laki dengan perempuan dewasa untuk menjalani kehidupan rumah tangga bersama, setelah individu melalui proses pacaran atau tunangan, masing-masing individu telah sepakat untuk meninggalkan kedua orangtuanya dan menjadi satu dengan pasangan hidupnya untuk jangka waktu selama-lamanya.

b. Perubahan terjadi setelah pernikahan

Beberapa perubahan yang mungkin terjadi setelah pernikahan yaitu : 1. Status sosial

Menurut Hurlock (1999) status sosial yang terjadi setelah pernikahan adalah dewasa yang sudah berumah tangga, bekerja dan memiliki anak, hubungan dengan teman-temannya akan menjadi renggang. Perempuan yang sudah berkeluarga akan lebih mencurahkan waktunya dengan keluarga.

2. Finansial

Menurut Simon (dalam Alteza & Hidayati, 2010) perempuan yang sudah menikah akan tanggung jawab pada tugas rumah tangga, dan memikirkan mencari materi untuk kebutuhan keluargannya. Menurut White dan Rogers (2000) perempuan yang telah bekerja sebelum menikah biasanya akan terus bekerja, karena konstribusi perempuan dalam hal pendapatan keluarga menjadi hal penting yang dapat meningkatkan keutuhan rumah tangga.

3. Tanggung jawab / peran

Perempuan yang sudah menikah memiliki tanggung jawab kepada keluarga dan anak-anaknya. Menurut Mauthner (dalam Chandara, 2011) bahwa, pria maupun perempuan telah meningkatkan komitmennya terhadap pekerjaan atau perawatan terhadap anak, situasi pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan keluarganya.

4. Biologis

Menurut Papalia (2009) setelah menikah kebutuhan biologis sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. Menurut Walgito (2000) faktor-faktor biologis pada perkawinan, yaitu :

1. Kesehatan

Keadaan kesehatan seseorang adalah salah satu faktor penting dalam

perkawinan dan merupakan faktor esensial dalam perkawinan. 2. Keturunan

Keturunan merupakan persoalan yang sangat penting dalam pernikahan, karena dalam pernikahan pasangan suami istri menginginkan keturunan yang baik, oleh karena itu keturunan merupakan faktor yang sangat penting dalam pernikahan.

3. Sexsual Fitnes

Berkaitan dengan apakah individu dapat memlakukan hubungan seksual secara wajar atau tidak.

(6)

Emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam tubuh sebagai respon terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar. Menurut Tavris dan Wade (2007) emosi adalah situasi stimulus seseorang yang melibatkan perubahan pada tubuh, wajah, aktivitas pada otak, penilaian kognitif, perasaan subjektif dan kecenderungan melakukan tindakan yang dibentuk oleh peraturan-peraturan yang terdapat di suatu kebudayaan. Menurut Feldman (2012) fungsi-fungsi yang penting dari emosi :

a) Mempersiapkan kita untuk bertindak.

Emosi bertindak merupakan runtutan antara kejadian yang terjadi di lingkungan dan bagaimana respon yang keluar dari dalam diri kita. b) Membentuk perilaku di masa depan.

Emosi adalah pembelajaran yang menfasilitasi diri kita dan membantu kita dalam membuat respons yang sesuai di masa depan.

c) Membantu kita berinteraksi secara efektif dengan orang lain.

Emosi yang dapat dirasakan untuk berkomunikasi melalui perilaku verbal dan non-verbal, sehingga emosi kita dapat dilihat oleh orang lain. Perilaku tersebuat bisa menjadi pertanda bagi orang lain, sehingga mereka mengerti apa yang sedang dialami individu dan membantu mereka memprediksikan perilaku individu tersebut di masa depan.

3. Teori-teori Emosi

Menurut Sobur (2003) teori-teori emosi menurut para ahli psikologi, yaitu:

a. Menurut Schachter dan Singer.

Emosi merupakan fungsi dari reaksi didalam tubuh tertentu, dalam teori ini menyatakan bahwa tiap emosi yang dirasakan individu dapat dirasakan dari kondisi dalam tubuhnya dan individu akan memberikan interprestasinya.

b. Menurut James-Lange.

Emosi merupakan akibat dari persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi didalam tubuh sebagai respons terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar, misalnya jika seseorang melihat harimau maka denyut jantungnya berdebar dengan kencang, respons-respon dalam tubuh ini kemudian akan dipersepsikan dan menimbulkan rasa takut.

c. Menurut Cannon-Bard.

Emosi akan timbul bersama-sama dengan reaksi fisiologi (hati berdebar, tekanan darah naik, nafas semakin cepat) tetapi emosi akan timbul tergantung pada aktivitas otak atau aktivitas sentral dalam tubuh.

4. Stabilitas emosi

1. Pengertian Stabilitas Emosi

Menurut Hurlock (1999) stabilitas emosi memiliki beberapa kriteria yaitu emosi yang dapat diterima di dalam lingkungan sosial, emosi terhadap pemahaman diri dan emosi dalam penggunaan kecerdasan mental seseorang, yaitu:

(7)

Individu yang dapat mengontrol ekspresi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang dimiliki di dalam dirinya yang dapat diterima di lingkungan sosial.

b. Emosi terhadap pemahaman diri.

Individu yang emosinya stabil mampu belajar dan mengontrol emosi sesuai dengan kebutuhan serta menyesuaian diri di lingkungan sosial.

c. Emosi dalam penggunaan kecerdasan mental.

Individu yang emosinya stabil mampu menilai situasi secara cermat sebelum memberikan respon secara emosional di lingkungannya.

Menurut Thorndike dan Hagen (dalam Chaturvedi & Chander, 2010) stabilitas emosi adalah karakteristik individu yang mencerminkan tentang keadaan suasanan hati, niat, minat, optimis, keceriaan, ketenangan, perasaan keadaan yang baik, tidak merasa bersalah, khawatir atau kesepian, bebas dari rasa bersedih. Sedangkan menurut Simon stabilitas emosi adalah proses kepribadian seseorang untuk menunjukkan rasa emosional yang baik antara psikis maupun pribadi, bagaimana seseorang dapat mengembangkan dan memahami setiap masalah-masalah dalam kehidupan, mengembangkan pemikiran yang berorientasi pada realitas yang membantu dalam memahami realitas kehidupan.

2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Stabilitas Emosi

Menurut Hurlock (1999) faktor yang mempengaruhi stabilitas emosi adalah: a. Fisik

Seseorang dalam kondisi sehat secara jasmani cenderung untuk tidak mudah marah dan cepat tersinggung. Individu akan merasa nyaman dan tentram dalam kondisi jasmaniahnya yang sehat, tapi individu menjadi cepat marah dan cepat tersinggung apabila ada salah satu anggota kondisi kurang sehat secara medis. Hal ini yang dapat menimbulkan individu cepat marah karena merasa ada sesuatu yang membuat dirinya tidak nyaman.

b. Kondisi lingkungan.

Kondisi lingkungan tempat individu yang dapat menerima di lingkungan tersebut akan membuat individu mengalami stabilan dalam emosi, namun apabila lingkungan tidak dapat menerima kehadiran individu maka individu merasa tidak dianggap oleh lingkungan dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berhargai.

c. Faktor pengalaman.

(8)

dilingkungan tempat tinggal individu. Individu mampu mempelajari kondisi lingkungan di tempat tinggal, antar satu daerah dengan daerah yang lain.

3. Stabilitas Emosi pada Pernikahan dan Pekerjaan

Perempuan karir yang sudah menikah terutama pada perempuan yang memiliki peran ganda harus dapat menontrol emosinya dengan baik. Menurut Tanganing dan Hapsariyanti (2009) pada perkawinan, peran emosi sangatlah penting, karena jika dapat mengontrol emosi dengan baik, maka pasangan akan dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan pasangannya. Perempuan yang sudah menikah di dalam pekerjaannya, perempuan professional diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat berkomitmen dalam pekerjaan, sedangkan di rumah, perempuan sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi, dan menjaga suami dan anaknya (dalam Alteza & Hidayati, 2010).

Menurut Miler (dalam Lovihan & Kaunang) perempuan yang menikah memiliki peran ganda antara pekerjaan dan mengurus keluarga. Stabilitas emosi dalam pekerjaan adalah bagaimana individu mengontrol emosinya ketika ditempat kerjanya dan bagaimana pada saat mendapatkan konflik, agar tidak membawa permasalahan kedalam pekerjaan, selain itu individu harus memiliki kecerdasan emosional berarti kemampuan seseorang mendeteksi atau mengontrol emosi dengan baik ditempat kerjanya (dalam Chandra, 2011).

Perempuan karir yang belum menikah juga harus dapat mengontrol emosinya dengan baik. Menurut Putri (2010) perempuan karir yang single atau belum menikah harus dapat mengontrol emosi dengan baik terhadap kehidupan lingungan sosialnya, seperti masyarakat yang memandang lain tentang statusnya yang belum menikah dan mengontrol emosi ketika menghadapi permasalahan dilingkungan sosial terutama ketika dicemooh atau di pandang lain oleh masyarakat terkait dengan statusnya. Hal ini sependapat dengan Halim dkk (2011) perempuan karir harus dapat mengontrol emosi dangan baik ketika dihadapi permasalahan di lingkungan sosial dan ditempat kerjanya terkait dengan statusnya.

4. Ciri-ciri Stabilitas Emosi

Menurut Wahlroos (dalam Andriani, 2007) ciri-ciri stabilitas emosi adalah :

a. Tidak melukai diri sendiri atau orang lain dengan tindakan atau perkataan baik sadar atau tidak sadar, sebaliknya akan membantu orang lain atau dirinya sendiri dengan perkatanya.

b. Individu yang memiliki emosi yang baik mempunyai kebiasan untuk memilih.

c. Orang yang memiliki emosional yang sehat mempunyai konsep diri yang positif.

d. Dapat menunda pemenuhan kebutuhan.

(9)

f. Dapat menjalin hubungan emosional yang mendalam dan tahan lama.

g. Fleksibel dan luas dan mau belajara dari pengalaman.

h. Memiliki antusiasme dan memiliki minat pada aspek kehidupan yang konstruktif dan menantang

i. Menerima dengan sesama dan mengidentifikasikan diri dengan semua umat manusia.

j. Terikat pada dirinya sendiri. 5. Pengertian Perempuan Karir

Menurut Rissdy (dalam Kaunang & Lovihan, 2010) perempuan karir adalah mereka yang bekerja, tetapi ia juga mengejar atau mempertahankan suatu posisi dan sosial (akualitas diri), dan cenderung menomerduakan keluarga.

Menurut Martlin (2003) perempuan karir dibedakan menjadi dua katagori yaitu:

1. Employed women (perempuan karir) seseorang perempuan yang berkarir untuk mendapatkan bayaran, baik mendapat gaji dari orang lain atau berkakir untuk dirinya sendiri.

2. Nonemployed (Perempuan non karir) seseorang perempuan yang bekerja tidak untuk mendapatkan bayaran, seperti bekerja untuk keluarganya sendiri atau menjadi sukarelawan pada suatu organisasi. Individu dalam hal ini, tidak menerima gaji dari jasa yang telah diberikan.

6. Pengertian Perempuan Karir yang Belum Menikah

Menurut Jayantini (dalam Lovihan & Kaunang, 2010) ciri-ciri perempuan karir menurut seseorang penulis inggris adalah mereka tidak suka berumah tangga, tidak suka berfungsi sebagai ibu, emosinya berbeda dengan perempuan non karir dan biasanya menjadi perempuan yang melankolis.

7. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Perempuan Karir belum menikah

Menurut Hurlock (1999) faktor-faktor yang penyebab perempuan karir belum menikah, yaitu:

a. Rasa takut untuk menikah (membentuk suatu hubungan keluarga baru)

Karena menyadari bahwa usianya yang telah setengah baya. Hurlock menyatakan bahwa semakin mendekati usia, periode usia madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia.

b. Usia dewasa madya merupakan usia yang berbahaya

Masa dewasa madya merupakan masa yang sulit bagi seseorang dan mengalami kesusahan fisik akibat bekerja yang berlebihan sehingga kurang memperhatikan pernikahan di usia yang sudah masuk usia madya.

(10)

Masa dimana seseorang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja tanpa memperhatikan hal lain yaitu seperti pernikahan. d. Masa berprestasi dalam pekerjaan atau sukses.

Hal yang menyebabkan perempuan karir tidak memikirkan penikahan salah satunya apabila perempuan tersebut merupakan perempuan yang berhasil dalam hal pekerjaan, maka perempuan tersebut akan berambisi lebih maju lagi dalam pekerjaan, sehingga melupakan pernikahan.

e. Pernikahan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan. Hal lain yang menyebabkan perempuan karir belum menikah mendengar dari temanya tentang penceraian, sehingga mereka takut untuk menikah.

8. Perempuan Karir Yang Sudah Menikah

Menurut Djuniarti dan Imanoviani (dalam Sulastrie & Abas, 2012) status pernikahan adalah keadaan suatu kondisi yang menjelaskan apakah seseorang individu telah bersatu dalam membangun sistem keluarga secara keseluruhan yang disebut dengan menikah, sedangkan belum menikah adalah belum bersatu dalam membangun sistem keluarga disebut sebagai single.

9. Perbedaan Stabilitas Emosi Pada Perempuan Karir yang Sudah menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

Perempuan karir yang sudah menikah adalah perempuan yang bekerja dan sudah menjalin suatu pernikahan. Perempuan yang memiliki peran ganda seringkali dihadapai dengan konfik. Seperti pendapat teori Santrock (2002) Perempuan dengan peran ganda dapat memiliki keuntungan dan kerugian bagi individu, perempuan dengan peran ganda dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri dan meningkatkan rasa harga diri bagi perempuan. Di antara kerugian yang mungkin terjadi pada perempuan dengan peran ganda adalah tuntutan adanya waktu dan tenaga tambahan, konflik antara peran pekerjaan dan peran keluarga, persaingan kompetitif antara suami dan istri, serta tentang pemenuhan kebutuhan anak. Perempuan karir yang sudah menikah harus memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi dengan professional agar tidak membawa permasalahan di pekerjaan ke dalam kehidupan rumah tangganya dan dukungan dari keluarga sangat penting bagi perempuan karir yang sudah menikah yang memiliki tuntutan peran ganda.

(11)

penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia tidak bisa mengatasinya, maka akan menimbulkan masalah.

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Metode kuantitatif adalah data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan

statistik (dalam Sugiyono, 2011). Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelirian

ini bersifat komparatif (perbandingan). Populasi dalam penelitian ini adalah perempuan karir yang belum menikah dan perempuan karir yang sudah menikah. Jumlah sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 untuk Try Out dan 100 untuk penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik jenis penarikan sampel, purposive sampling, dikarenakan penentuan sampel dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria dalam menentukan sampel ini yaitu: a.Perempuan yang bekerja: Jenis pekerjaan : karyawan, pengajar/dosen dan manajer. b.Perempuan karir pada masa / tahap perkembangan dewasa awal dan madya usia 20 sampai dengan 45 tahun dan c. berdomisili di wilayah kota Malang. Instrumens dalam penelitian ini menggunakan 1 skala yaitu skala Chaturvedi dan Chader (2010) : 1. Pesimis VS Optimis, 2. Apatis VS Empati, 3. Dependence VS Autonom, 4. Anxiety VS Calm, 5. Agresi VS Toleransi. Tersusun dalam 35 butir soal dengan bentuk skala Likert dan diperoleh nilai Cronbach Alpha sebesar 0.904.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan uji asumsi dan uji hipotesis. Uji asumsi terdiri dari: uji normalitas dan uji homogenitas kemudian uji hipotesis mengunakan independent- sample t-test.

Hasil

Berdasarkan perrhitungan yang dilakukan menggunakan SPSS 17.0 for windows, Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perbedaan stabilitas emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, nilai (p=0.79, p>0,05). Berdasarkan hasil uji normalitas, diperoleh Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa skor stabilitas emosi, baik pada kelompok subjek perempuan karir yang sudah menikah (p=0.2, p>0.05) dan perempuan karir yang belum menikah (p= 0.2, p>0.05) terdistribusi secara normal. dari hasil uji Homogenitas Hasil uji homogenitas terhadap skor stabilitas emosi pada dua kelompok subjek menggunakan Levene’s test menunjukkan bahwa varians skor stabilitas emosi pada dua kelompok subjek bersifat setara (F=0.575, p=0.450, p> 0.05). hasil dari penelitian tambahan berupa perbandingan skor toleransi pada perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, terdapat perbedaan skor toleransi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan yang belum menikah. (p=0.025, p<0.05). Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi lainnya.

DISKUSI

(12)

seseorang ditandai oleh suasanan hati yang tidak buruk, niat, minat, optimis, keceriaan, ketenangan, perasaan keadaan yang baik, bebas dari rasa bersalah, khawatir atau kesepian, bebas dari khayalan dan suasana hati. Sedangkan menurut Simon stabilitas emosi adalah sebuah proses di mana kepribadian seseorang untuk menunjukkan rasa emosional yang baik antara psikis maupun pribadi, bagaimana seseorang dapat mengembangkan dan memahami setiap masalah-masalah dalam kehidupan, mengembangkan pemikiran yang berorientasi pada realitas yang membantu dalam memahami realitas kehidupan (dalam Chaturvedi & Chander, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perbedaan stabilitas emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, nilai (p=0.79, p>0,05). tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perempuan karir yang sudah dan belum menikah memiliki tuntutan peran yang berbeda-beda. Tuntutan pada perempuan karir yang sudah menikah adalah tuntutan memiliki peran ganda, yaitu harus mampu membagi peran antara keluarga dan pekerjaan. Menurut Lakoy (2009) perempuan yang bekerja dengan status menikah, dihadapkan pada tuntutan multi peran (sebagai isteri, ibu dan sebagai pekerja) dimana masing-masing peran memerlukan waktu dan tenaga ekstra. Perempuan karir yang sudah menikah yang memiki peran ganda hasus pintar dalam mengelola emosi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kartini (1994) perempuan yang memiliki peran ganda atau perempuan dalam dua karir, yaitu perempuan yang harus pintar dalam mengatur tugas pekerjaannya dengan rumah tangganya.

Sedangkan tuntutan pada perempuan karir yang belum menikah yaitu tuntutan untuk menikah. Perempuan karir yang belum menikah, memiliki tuntutan-tuntutan yang harus di penuhi yaitu tuntutan untuk menikah dan membina keluarga. Perempuan karir yang belum menikah pada usia 20 sampai dengan 34 memiliki tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu tuntutan untuk menikah. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lakoy (2009) perempuan bekerja yang belum menikah pada usia rata-rata 25 sampai dengan 40 tahun selalu dihadapkan pada tuntutan akan tugas perkembangan dan juga tuntutan masyarakat yang sepatutnya dipenuhi oleh setiap perempuan usia dewasa yaitu tuntutan untuk menikah. Oleh karena itu dapat disimpulkan berdasarkan dari hasil penelitian stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah memiliki stabilitas emosi yang sama karena hal ini sebabkan mereka merupakan usia mereka berada pada usia dewasa. Hal ini sesuai dengan teori Yanti (2010) ketika sudah berumur 30-an, seseorang akan cenderung stabil dan tenang dalam emosi.

(13)

emosi diantara kedua status tersebut juga pasti berbeda (dalam Kamasanthi, 2008).

Menurut Papalia et.al., (1995) sejak usia 20 tahun (dewasa awal) individu memiliki kepribadian dan gaya hidup yang relatif stabil dan mulai mengambil peran baru sebagai pekerja. Selain itu muncul pula keinginan untuk membina hubungan intim yang mengarah pada pernikahan sehingga pada umumnya di usia ini individu menikah dan menjadi orang tua. Tahap perkembangan dalam penelitian ini terdapat dua tahap perkembanga yaitu pada masa dewasa awal(20 sampai dengan 40) dan dewasa madya (35 tahun keatas). Tugas perkembanga pada dewasa awal menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) memiliki calon suami, belajar menjadi suami dan istri, mulai berumah tangga,belajar mengurus anak, mulai bekerja dan bertanggung jawab. Menurut Santrock (2007) orang dewasa muda termasuk dalam masa transisi, baik transisi secara fisik (physically role trantition), transisi secara intelektual (cognitive transtition), serta transisi peran sosial (social role transtition).

(14)

keadaan dan juga pada lingkungannya. Jika sudah demikian maka karyawati akan memiliki komitmen yang rendah terhadap perusahaan.

Berikut ini adalah hasil diskusi berdasarkan analisis tambahan berupa perbandingan dimensi yang diketahui bahwa terdapat perbedaan pada aspek toleransi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, dimana perempuan karir yang sudah menikah memiliki sikap toleransi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan karir yang belum menikah. Perempuan karir yang sudah menikah memiliki peran ganda, yang mana mereka dituntut untuk memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi, karena kematangan emosi yang baik akan menunjukkan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Marlina (2013) bahwa perempuan yang sudah menikah harus dapat mengontrol emosinya dengan baik, secara psikologis individu yang memiliki kematangan emosi yang stabil membuat individu dapat berpikir secara matang kemudian menimbulkan sikap toleransi yang tinggi. Perempuan karir yang sudah menikah memiliki tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu tuntutan untuk mampu membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik. Menurut Rahmatika (2012) berpendapat bahwa, pasangan yang sama-sama bekerja harus saling belajar untuk saling bertoleransi dan memahami sehingga pasangan semakin menyayangi dan merasakan kepuasan dalam hubungan, rasa puas ini adalah hal yang sangat penting dalam perkawinan pada perempuan karir yang bekerja agar dalam perkawinannya tidak terjadi konfik.

(15)

adanya dan dapat berbaur dengan lebih baik dengan lingkungan sosialnya. Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, penuh penerimaan, penuh pengertian dan lingkungan yang mampu membantu proses penyesuaian diri dan bertanggung jawab serta otoritas. Dampak positif dari penerimaan lingkungan yang baik bagi perempuan karir yang belum menikah adala munculnya pikiran positif, rasa empati dan bersikap toleransi terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya (dalam Santianawati, 2007).

Perempuan karir yang belum menikah pada masa dewasa awal jika merasa terisolasi di lingkungan sosialnya maka sikap toleransi terhadap lingkungan sosial rendah. Hal ini sependapat dengan teori Menurut Heralita (2009) Sementara itu, dipihak lain jika perempuan dewasa yang belum menikah pada usia dewasa awal yang belum menikah merasa terisolasi karena mereka cenderung takut untuk terlibat dalam keintiman dengan pasangan, karena mereka tidak percaya diri akbibatnya mereka akan menghindar dan menutup diri dari pergaulan. Hal ini akan membuat sikap toleransi pada perempuan karir yang belum menikah rendah. Menurut Yanti(2010) permpuan karir yang belum menikah merupakan masa keterasingan sosial dimana mereka mengalami “Krisis Isolasi” mereka merasa tersinggir dari kelompok sosial.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dimensi dan indikator milik Chturvedi dan Chader (2010). Skala stabilitas emosi memiliki 5 dimensi, yaitu 1. Pesimis vs Optimis, 2. Apatis vs Empati, 3. Dependence vs Autonomy, 4. Anxiety vs Calm dan 5. Agresi vs Toleransi.

Daftar Pustaka

Chaturvedi, M., & Chander, R. (2010). Development Of Emotional Stability Scale. Journal

Industrial Psychiatry of India, Vol 19 No 1, 37-40. Sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

Diunduh Pada Tanggal 20 Febuari 2013.

Dariyo, A. (2005). Memahami Bimbingan, Konseling dan Terapi Perkawinan untuk

Pemecahan Masalah Perkawinan. Jurnal Psikologi, Vol 03 No 2. 70-78

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Papalia, D. E. (2009). Perkembangan Manusia (Hutman Development). Buku kedua. Jakarta:Salemba Humanika.

Putri, O.S. (2010). Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja. Fakultas

(16)

Siwi, T. (2005). Pengaruh Komitmen Profesi, Partisipasi Anggaran, Dan Self-Efficacy Terhadap Konflik Peran(Studi Empiris Pada Wanita Karir Di Yogjakarta). Skripsi : Tidak Diterbitkan

Santrock, J.W. (2002). Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Jilid II. Edisi

kelima. Jakarta : Erlangga.

Kartini. (1994). Pemimpin & Kepemimpinan : apakah Pemimpin Abnormal itu?. Edisi ke 2.

Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Pardani, N . (2010). Analisis Tingkat Stress wanita Karir Dalam Peran Gandanya Dengan

Regresi Logistik Ordinal (Studi Kasus Pada Tenaga Kerja Wanita di Rs. Mardi Rahayu

Kudus). Skripsi Tidak Diterbitkan.

Yanti. (2010). Perkembangan Sosial-Emosional Pada Masa Dewasa. Artikel.

Feldman, R.S. (2012). Pengantar Psikologi. Buku II. Edisi kesepuluh. Penerbit Jakarta :

Salemba Humanika

Faizah (2012). Nikah Siri dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan. Journal ilmu hukum, vol 02 No 02, 1-12.

Herlita. (2009). Teori Ericson- Keintiman vs Isolasi. Artikel

Harahap. (2010). Pengaruh Kinerja Karyawan yang Belum Menikah dan yang Sudah Menikah. Universitas Sumatra Utara. Skripsi : tidak diterbitkan

Halim W.F, Zainal A, Khairudin, Shahrazad W., Nasir & Fatimah. (2011). Emotional Stability And Conscientiousness As Predictors Towards Job Performance. Jurnal School

Of Psychology and Human Development,Faculty Of social Sciences And Humanities, Vol

(17)

Ivancevich, M.J., Konopaske R., & Matteson T.M. (2006). Perilaku dan Manajmen Organisasi. Edisi ketujuh. Jakarta: Erlangga.

Santianawati, G.(2007). Penyesuaian diri Wanita Bekerja Yang Belum Menikah Ditinjau

Dari Persepsi Terhadap Perrimaan sosial. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Skripsi : Tidak diterbitkan

Septianingsih, L. 2011. Analisis perbandingan kemampuan entrepreneurship antara pengusaha wanita dan pria pada usaha kecil dan menengah di Kecamatan Kota Kudus.

Skripsi: Tidak diterbitkan

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: AlfaBeta.

Marlina, N. (2013) Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orangtua Dan Kematangan Emosi

Dengan Kecenderungan Menikah Dini. Jurnal Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Vol

- No -. 01-16. Sumber : uad-journal.com. Diunduh pada Tanggal 08 April 2014.

Kaunang, W.O.R., & Lovihan K.A.M. (2010). Perbedaan Perilaku Asertif pada Wanita Karier yang Sudah Menikah Dengan yang Belum Menikah Di Minahasa. Jurnal Psikologi

Universitas Negri Manado dan Universitas Negri Gorontalo, Vol 7 No 4. 1693-9034.

Kamasanthi, T. (2008). Hubungan Locus of Contrl Dengan Komitmen Organisasi Pada Karyawati yang Belum Berumah Tangga Di PT X Tanggerang. Jurnal psikologi.

Referensi

Dokumen terkait

Desain Didaktis Konsep Faktorisasi Aljabar Pada Pembelajaran Matematika Smp Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu.. v

Pada grafik pada gambar 5 dapat disimpulkan skenario II memberikan penambahan kumulatif tertinggi mencapai 800 MSTB, skenario dengan rate injeksi sebesar 3000 BWPD

Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan konstanta laju reaksi dan energi aktivasi beberapa sistem vulkanisasi belerang berdasarkan karakteristik vulkanisasi

tentang suatu obyek apakah disukai atau tidak, dan sikap konsumen juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari obyek

The results indicate that the majority of the parents highly expect that early English instruction will widen the children’s cultural perspectives of using more than

Kangkung Darat (Ipomoea Reptans Poir.) Yang Diberikan Nutrisi Dari Azolla Pinnata Dan Kulit Pisang Dengan Sistem Akuaponik. Klorofil merupakan sebagian besar pigmen

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keanekaragaman, persebaran, dan dominasi spesies parasitoid telur penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker pada

Jika penulis terdiri dari dua orang, dalam teks nama keluarga/akhir kedua penulis ditulis dipisahkan oleh “dan” (jika naskah ditulis dalam bahasa Indonesia) atau “and”