• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keniscayaan Tata Pemerintahan Berbasis K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keniscayaan Tata Pemerintahan Berbasis K"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Keniscayaan 

Tata Pemerintahan Berbasis Keragaman: 

Tantangan bagi Ilmu Pemerintahan

1

 

 

 

 

Purwo Santoso

2

 

 

   

Sosok atau postur pemerintahan lokal di negeri ini sangatlah beragam,  meskipun  dibalik  itu  ada  sejumlah  kesamaan.  Dalam  keberagaman  itulah  daerah‐daerah di Indonesia bersatu dalam ikatan Negara Kesatuan Republik  Indonesia  (NKRI).  Di  balik  pernyataan  yang  terakhir—bersatu  dalam  ikatan  NKRI—ada  dua  konotasi  dari  kesatuan.  Lebih  dari  itu,  kegagalan  mebedakannya,  memiliki  implikasi  serius:  salah  urus  dalam  menyelenggarakan pemerintahan ataupun gagal dalam menjaga kesatuan itu  sendiri.  

Dalam  konotasi  pertama  (populer),  yang  menjadikan  daerah‐daerah   bersatu  adalah  kekuasaan  dan  institusi  negara,  lebih  khususnya  birokrasi  pemerintahan,  dan  lebih  khusus  lagi  pucuk  pimpinan  atau  komando  yang  terpusat  dari  Jakarta.  Dengan  begitu,  kesatuan  Indonesia  mengharuskan  bukan  hanya  peran  dominan  pemerintah  pusat  melainkan  juga  cara  kerja  yang terpusat (sentralistis). Pada titik ini perlu dicermati bahwa, urgensi bagi  sentralisasi  kekuasaan  itu  bersumber  pada  tradisi  berberfikir  birokratis,  tepatnya  tradisi  dalam  melihat  Indonesia  dari  puncak  birokrasi  pemerintahan.  Tradisi  ini,  diam‐diam  kita  rawat  dalam  kajian  ilmu  pemerintahan di negeri ini. 

Dalam  konotasi  yang  kedua,  kesatuan  itu  adalah  produk  dari  perjalanan  sejarah.  Kesatuan  itu  adalah  keniscayaan  sejarah,  dan  oleh  karenanya  cara  kita  merawatnyapun  niscaya  membenturkan  kita  pada  kesulitan  yang  mendalam,  kecuali  kita  dapat  “meraba”  keniscayaan  sejarah  itu  sendiri.  Point  ini  terkesan  meremehkan  arti  penting  para  pejuang  yang  kemudian  kita  sebut  sebagai  the founding  fathers,  namun  sebetulnya  justru  menjung tinggi pusaka yang diwariskan, yakni sesanti: Bhinneka Tunggal Ika.   Rasa hormat kita pada para pelaku sejarah justru harus kita tunjukkan pada        

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Desentralisasi Asimetris dan Masalahnya, yang

diselenggarakan melalui kerja sama Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dengan Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN), diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013 di Granada Ballroom, Gd. Menara 165, Jl. TB Simatupang Kav 1, Cilandak, Jakarta Selatan.

2 Guru besar Ilmu Pemerintahan, dan ketua Jurusan Politik & Pemerintahan pada Fakultas

(2)

keseriusan  kita  dalam  menjabawkan  warisan  itu  sendiri.  Sesanti bhinneka  tunggal  ika  itu  adalah  formula  yang  ditemukan  dari  pergulatan  dalam  lintasan sejarah itu sendiri. Ajaran yang dikristalkan dari perjalanan sejarah  itu adalah bahwa kesediaan untuk menyempurnakan diri dalam kolektivitas  yang beragam itulah yang menjadikan Indonesia akan tetap bersatu, bahkan  berjaya dalam kesatuannya. 

Dengan  mengkaji  konotasi  yang  kedua,  tulisan  ini  memperlakukan  Bhinneka  Tunggal  Ika  sebagai  kearifan,  kalau  bukan  proposisi,  teoritik.  Ajaran  yang  hendak  dipegang  teguh  di  sini  adalah  bahwa,  kunci  persatuan  Indonesia  adalah  kecanggihan  mengelola  keragaman.  Dengan  begitu,  ilmu  pemerintahan  perlu  menguji  dengan  sebanyak  mungkin  data  untuk  membuktikan  kebenarannya,  dan  dengan  begitu  niscaya  akan    menemukan  jalan  kalau  bukan  terobosan  dalam  galaunya  Indonesia  menata  pemerintahan  di  negerinya.  Dalam  kerangka  inilah  gagasan  ‘asimetri  desentralisasi’  digulirkan  sebagai  alternatif  pemikiran.  Gagasan  ini  masih  mengundang tanda tanya. Yang jelas, kalangan yang selama ini telah nyaman  bekiprah  dalam  konotasi  pertama  memiliki  sederetan  keberatan,  dan  siap  untuk menolak.  

Sehubungan dengan hal ini, tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan  untuk  menjawab  semua  potensi  pertanyaan.  Mengapa  ?  Gagasan  ‘asimetri  desentralisasi’  tidak  dimaksudkan  sebagai  obat  ‘siap  pakai’,  dan  juga  bukan  pula  obat  ‘serba  guna’  untuk  menjawab  setiap  masalah  penataan  pemerintahan  di  negeri  ini.  Asimetri  desentralisasi  di  sini  disodorkan  “sekedar”  sebagai  acuan  metodologis.  Acuan  ini  sangat  penting  untuk  kita  pegang  dan  kita  reproduksi  pada  saat  Indonesia  berada  dalam  puncak  kegaluan  massal.  Pada  saat  ini,  Indonesia  yang    saat  ini  sedang  ‘mabok  otonomi’  yang  tidak  lain  adalah  derivat  dari  liberalisasi  politik  yang  berlangsung besar‐besaran dan dalam kurun waktu yang sangat singkat. Ini  adalah pertanda dari berlangsungnya amnesia sejarah. Pada saat yang sama  kita merindukan peran sentral negara. Kita rindu akan hadirnya negara kuat  sebagai  pengawal  bangsa  ini  untuk  berkompetisi  di  aras  global.  Dalam  kerinduan akan negara kuat itu, tidak sedikit dari kita yang anti pati terhadap  sentralisme. 

Kalaulah  ada  gunanya,  asimtri  desentralisasi  hanyalah  rambu‐rambu  pemikiran  untuk,  di  satu  fihak  menjamin  otonomi  luas  bagi  daerah‐daerah  yang bukan hanya banyak jumlahnya, namun sangat bergam coraknya; dan di  fihak lain, ingin tetap committed menjaga kesatuan. Yang jelas, kalaulah NKRI  kita pasang dengan harga mati, keseriusan kita menjaga kesatuan Indonesia    

1. Keniscayaan Asimetrisme: 

Taking history seriously

(3)

mengasah kepiawaian dalam mengelola keragaman; dan pada saat yang sama  menyadari  (2)  betapa  mudah  kita  terlena  darinya.  Misalnya,  ketika  kita  mengumandangkan  jargon  ‘NKRI  harga  mati’,  yang  terbesit  di  benak  kita  adalah  konotasi  pertama.  Diam‐diam,  kita  meneguhkan  asumsi  bahwa  kesatuan  Indonesia  mensyaratkan  sentralisme.  Perlu  dijelaskan  di  sini  bahwa,  ketika  pekik  ‘NKRI  harga  mati’  berkumandang,  terungkitlah  serangkaian  doktrin,  kalau  bukan  proposisi  teoritik,  tentang  bagaimana  negara harus dikelola.3 Di sinilah ilmu pemerintahan berperan: menyediakan 

supply pemahaman dan penjelasan. Di situlah ilmu pemerintahan selama ini  gagap  dan  perlu  mengambil  pelajaran  dari  ilmu  lain,  yakni  sejarah.  Dalam  ilmu  sejarah  tidak  hanya  dibahas  data  dan  fakta  sejarah,  melainkan  juga  menuturan sejaran atau historiografi. Diakui atau tidak, historiografi bergulir  seiring  dengan  penyelenggaraan  dan  penataan  pemerintahan,  disadari  atau  tidak, diakui atau tidak. 

Sejauh  ini,  ilmu  pemerintahan  lebih  terasah  untuk  membaca  persoalan  dari  kacamata  pemerintah  dari  pada  kacamata  rakyat.  Ini  berarti  ilmu  pemerintahan  ikut  memutar  historiografi  versi  tertentu.  Kalau  kita  bedah,  dengan  mudak  kita  melihat  betapa  Ilmu  Pemerintahan,  hadir  berkembang  sebagai  ilmunya  penguasa  menguasai  rakyatnya.  Kalim  yang  sebaliknya tidak mudah dibela, ketika ilmu pemerintahan secara diam‐diam  berkembang  sebagai  ilmu  untuk  memastikan  pemerintah  bekerja  sesuai  dengan  amanatnya.  Gagasan‐gagasan  besar  seperti  kerakyatan,  demokrasi  dan  sejenisnya  lebih  hadir  sebagai  asumsi  dan  atas  dasar  asumsi  itulah  keputusan  atau  produk  hukum  dari  pemerintah  selalu  dijadikan  rujukan.4 

Cara  kita  mengusung  gagasan  NKRI  harga  mati,  dalam  ilustrasi  di  atas  menunjukkan hal itu.  

Ilmu  pemerintahan  menyajikan  justifikasi  bahwa  kebenaran  yang  disuguhkan  konsisten  dengan  kaidah  positifisme.  Yang  menjadi  basis  keberanannya  adalah  hukum  positif.  Atas  dasar  narasi  normatif  hukum  positif  itulah  ilmu  pemerintahan  berpretensi  netral,  namun  sebetulnya  berpihak  pada  obyek  kajian  yang  dipilihnya:  pemerintah  (bukan  rakyat).  Oleh karena itu, agar ilmu pemerintahan lebih bermanfaat bagi peningkatan  kualitas pemerintahan (dalam hal ini kualitas tata pemerintahan), maka ilmu  pemerintahan tidak perlu berpretensi netral. Kalaulah tidak banting stir 180o 

fokus kajiannya bisa digeser pada koeksistensi dan interelasi negara‐rakyat.  Agar bermanfaat bagi pengembangan kualitas pemerintahan itu sendiri, ilmu  pemerintahan tidak harus netral dan tidak terjebak dalam legalisme dan jerat  formalitas  administrasi.5 Ketidaknetralan  ilmu  pemerintahan,  dalam  hal  ini 

      

3 Di sini perlu ditegaskan bahwa penulis sangat setuju dengan ide atau nilai kesatuan itu

sendiri, namun menolak untuk mengunci mati cara menyatukan atau menjaga kesatuannya.

4 Kekita gagasa besar seperti ‘demokrasi’ diperlakukan sebagai asumsi, seakan-akan

Indonesia sudah demokratis. Atas dasar asumsi bahwa Indonesia adalah negara demokratis, maka produk hukum dari negara demokrasi itulah yang dijadikan acuan.

5 Point ini disampaikan penulis pada saat pidato pengukuhan sebagai guru besar di Balai

Senat Universitas Gadjah Mada. Naskah tersedia di:

(4)

justru diperlukan, tepatnya untuk melakukan reteorisasi tentang negara dan  pemerintahan,  dengan  memperkaya  sudut  pandang.  Yang  dikembangkan  bukan  hanya  pandangan  pejabat  pemerintah  melainkan  pandangan  rakyat.  Pandangan  ini  tersirat  dari  berbagai  wacana  yang  bergulir  di  dalam  masyarakat, termasuk juga dalam narasi oral yang tidak tereproduksi melalui  saluran resmi seperti pidato pejabat dan kurikulum pemerintah. 

Mari  sejenak  kembali  ke  penarasian  ‘NKRI  harga  mati’.  Dalam  mainstream  kajian  ilmu  pemerintahan  saat  ini  ada  kekakuan,  kalau  bukan  penguncimatian,  teorisasi  pemerintahan,  dan  ironisnya,  justru  karena  kekakuan  itu  sendiri  lalu  menghadapi  kesulitan  mendudukkan  persoalan.  Karena  cara  pandang  pemerintah  kita  perlakukan  sebagai  hal  yang given,  para ilmuwan pemerintahan justru menghadapi kesulitan dalam mengemban  amanat  konstitusi  pasca  amandemen,  bahwa  tegaknya  NKRI  harus  dirawat  dengan  luasnya  otonomi  pemerintahan  daerah.  Dalam  hegemoni  pemikiran  yang  meniscayakan  sentralisme  ini,  urgensi  untuk  secara  serius  mengelola  keragaman  tidak  pernah  mengemuka.  Bahkan  lensa  yuridis‐administratif  yang  kita  pakai  dalam  membaca  persoalan  justru  membuat  kita  semakin  yakin bahwa, luasnya otonomi paralel dengan dekatnya ambang perpecahan.  Hal  ini  terjadi,  sekali  lagi,  karena  dalam  benak  kita  tidak  terlintas  konotasi  kedua,  bahwa  kesatuan  dan  keunggulan  Indonesia  bisa  dan  perlu  dirawat  dengan kebijaksanaan dalam mensinergikan keragaman.  

Di  negeri  pewaris  keragaman  yang  luas  biasa  dahsyat  ini,  otonomi  yang  luas  hadir  lebih  sebagai  ancaman  daripada  solusi  kesatuan  Indonesia.  Dalam  konteks  inilah  muncul  tawaran  pemikiran  baru,  bahwa  kunci  penyatuannya  bukan  pada  kesatuan  komando  melainkan  pada  kesatuan  imajinasi  penyandang  identitas  yang  beragam.  Tawaran  alternatif  ini  belakangan  ini  dikenal  dengan  istilah  ‘asimetri  tata  pemerintahan’  atau  ‘desentralisasi  asimetris’.  Yang  hendak  diperlihatkan  disini  hanyalah  keniscayaan  asimetrisme  tatanan  yang  ada,  mengingat  sejalah  yang  dilalui  bangsa  ini.  Tantangannya,  dalam  bahasa  Parakritri  Simbolon,  kita  dapat  keluar dari asumsi‐asumsi kosong (delusion over delusion).6 

Jelasnya,  dari telaah kesejarahan kita tahu bahwa dari masa ke masa  ada  “proyek  politik”  untuk  menyatukan  negeri  ini.  Kuncinya  adalah  penempaan  nasionalisme.  Dalam  perjalanan  sejarah,  nasionalisme  telah  menjadi  energi  pembangkit  energi  kolektif  manaka  kekuatan  eksternal  menindas  bangsa  ini,  dan  nasionalisme  yang  dilahirkan  dari  tekanan  eksternal itu kehilangan relevansi manaka tekanan eksternal ini tidak mudah  dirasakan.  Kemiskinan  refleksi  historis  dalam  kajian  pemerintahan  selama  ini menjadikan kita alpha bahwa nasionalisme yang berkembang di negeri ini  pada  dasarnya  adalah  reaksi  terhadap  pengaruh  asing,  yakni  kolonialisme        

http://www.academia.edu/1686103/Ilmu_Sosial_Transformatif.

6 Parakitri T. Simbolon; “Indonesia Memasuki Millenium Ketiga”, dalam J.B. Kristanto;

(5)

atau  perluasan  teritori  negara‐negara  Eropa.  Oleh  karena  itu,  kalaulah  kita  merdeka,  sebetulnya  kita  baru  ‘merdeka  dari’,  dan  belum  ‘merdeka  untuk’.7 

Hadirnya  nasionalisme  sebagai  reaksi  ini,  menjadikan  kita  gegabah  dalam  merawat proyek politik tersebut. Dalam istilah Romo Sindhunata, persatuan  Indonesia  tidak  cukup  kita  rawat  dengan  sakralisasi,  dan  kita  perlu  mengembangkan kemerdekaan yang mempersatukan.8  

Hadirnya Indonesia sebagai sebuah nation‐state dengan gegabah kita  asumsikan  telah  final  atau  matangnya  nasionalisme  itu  sendiri.  Karena  Sumpah  Pemuda  sudah  kita  terima  sebagai  sejarah  yang  mengantarkan  bangsa ini pada kemerdekaannya, maka kita take for granted (tepatnya tidak  lagi berikhtiar sekuat tenaga) bahwa Indonesia berbangsa satu, bertanah‐air  satu,  berbahasa  satu:  Indonesia.  Dalam  konteks  ini,  sejarahwan  legendaris  Alm. Prof Sartono Kartodirdjo mengingatkan kita: 

Being  a  new  nation,  the  need  was  keedly  felt  to  have  a  national identity by constructing a national history. Being fully  aware of the fact that sharing a common experience in the past  as citizen of a nation state, national history can be regarded as  a symbol of naitional identity. 

View in this perspective, national history functions as a  fundamental  basis  of  national  education,  being  a  source  of  aspiration and inspiration as well. At this time, when the nation  is  facing  crisis,  a  dangerous  process  of  desintegration,  more  than ever before, the spirit of nationalism is very much needed  to  solidify  the  unity  of  the  nation.  For  this  purpose,  national  history  has  to  be  revitalized  and  national  consciousness  be  awakened.  …  On  the  one  hand,  objectivity  in  constructing  national  history  must  be  observed.  On  the  other  hand,  historical criticism must be included.9 

Pesan  penting  dari  kutipan  di  atas  adalah  bahwa,  dalam  ketidakmenentuan  situasi  seperti  yang  terjadi  di  Indonesia  saat  ini,  yang  justru  penting  untuk  digeluti adalah pesoalan nationalisme. Untuk itu itu keperluan untuk obyektif  tidak membatalkan keharusan untuk kritis. 

Narasi  yang  bergulir  saat  dalam  kajian  tata  pemerintahan  ini  mengisyaratkan bahwa proyek penyatuan itu kita anggap sudah selesai. Yang  direformasi  hanyalah  birokrasi  dan  kelembagaan  pemerintahan,  bukan  cara  memahami  realita  pemerintahan  itu  sendiri.  Dan  atas  dasar  anggapan  over‐ optimistik  itu,  kehirauan  kajian  ilmu  pemerintahan  cukup  pada  persoalan  bekerjanya  negara  modern  bernama  Indonesia  ini.  Nasionalisme  sebagai  fondasi  negara  modern  ini  kita  anggap  sudah settle,  yang  difikirkan  dalam        

7

Sindhunata, “Demitologisasi Persatuan Nasional”, dalam J.B. Kristanto (ed.); 100 Tahun Nusantara, Kompas, 2000.

8Ibid. 9

(6)

kajian  ilmu  pemerintahan  tidallah  menyelenggarakan  kekuasaan  organisasi  pemerintahan  atas  nama  negara.  Kajian  sederhana  ini  bermaksud  untuk  menunjukkan  bahwa  proyek  penyatuan  ini  masih  jauh  dari  selesai.  Telaah  yang diinspirasi kesadaran hitoriografi berikut ini diharapkan membukakan  mata  kita  bahwa  kesulitan  menata  pemerintahan  ini  bersifat  metodologis,  dan  kesediaan  kita  untuk  mengakui  ikut  bermainnya  historiografi  dalam  pemerintahan,  justu  akan  membuka  ruang  bagi  reteorisasi  tata  pemerintahan.  

Sub  bab  berikut  ini  memberikan  contoh  lain.  Bahwa  ketidaksadaran  akan  hitoriografi  yang  selama  ini  bergulir  dibalik  praktek  dan  tata  pemerintahan  yang state‐centric  menjadikan  kita    tidak  sadar  akan state‐ centrism  itu  sendiri.  Teori  pemerintahan  dibangun  diatas statehood  yang  rapuh dukungan nationhood‐nya. 

 

2. Statehood dalam rapuhnya Nationhood

Melalui  telaah  historis  dan  kaitannya  dengan  gejala‐gejala  kontemporer,  terlihat  jelas  bahwa  asumsi  yang  berlaku  dibalik  teori  pemerintahan, utamanya teori desentralisasi, perlu dirumuskan ulang secara  lebih  seksama.  Efektifitas  pemerintahan  yang  menjadi  obsesi  kajian  pemerintahan  belakangan  ini  tidak  akan  terwujud  jika  nationhood  yang  secara  diam‐diam  menjalankan  fungsi  sebagai  penyangga  statehood,  kita  salah fahami. Sebagai contoh, kita sudah terlalu terbiasa menggunakan istilah  kategoris:  ‘pemerintah  pusat’  vs  ‘pemerintah  daerah’.  Kategorisasi  ini,  meskipun  sudah  diterima  dalam  praktek,  tidak  bisa  menafikan  warisan  sejarah bahwa, dibalik nasionalisme yang berwajah nasional (melekat dalam  gagasan nation  state  Indonesia)  ada  juga  nasionalisme  sub‐nasional,  baik  dalam  sosok  etho‐nationalism,  religio‐nationalism.  Masalahnya  begini:  Kategori pusat‐daerah tidak mudah dipakai manakala yang eksponen dilabeli  ‘lokal’  sebetulnya  adalah  yang  lebih  otentik.  Pemerintah  pusat  yang  diasumsikan  sebagai  eksponen  yang  diasumsikan  penyelenggara supremasi  negara,  ketika  dilacak  akar  kesejarahannya,  ternyata  hadir  sekedar  sebagai  pengikat,  dan    sama  sekali  bukan  sebagai  sumber,  ketertiban  tatanan  yang  ada.  Sebagai  ilustrasi,  gerakan  kebangkitan  nasional  bergerak  dari  level  mikro‐lokal menuju level makro‐nasional.10 

Issue  sentralnya  di  sini  adalah  bagaimana  mengelola  kesatuan  dalam  keberagaman  (bhinneka  tunggal  ika).  Di  masa  lalu,  ketika  penataan  pemerintahan  terobsesi  dengan  kesatuan  (tunggal  ika)  maka  dikembangkananlah  pendekatan  yang  merelakan  penyama‐rataan  (hantam  kromo)  demi  mudahnya  kekuasaan  birokrasi  pemerintahan  yang  terpusat  menjadi  penyatu.  Pada  saat    yang  sama,  praktek  tersebut  dikawal  oleh  pola  fikir  yang  teknokratis  dan  legalistik  untuk  menjustifikasi,  seolah‐olah  teknokrasi  dan  tatanan  legal  yang  diberlakukan  tidak  menderita  defisit        

10 Manuel Kasiepo, “Wahidin Soedirohudsodo dan Soetomo: Dari “kebangkitan Jawa” ke

(7)

legitimasi. Dalam ketidakpopuleran sentralisme ini, muncul keinginan untuk  menyatukan  Indonesia  dengan  cara  baru.  Disamping  mencoba  menemukan  commonalitas  daerah‐daerah  di  negeri  ini,  pemerintah  nasional  justru  didorong untuk lebih cerdik dalam mengelola keragaman. Dengan demikian,  tata dan penataan pemerintahan di negeri ini berwatak asimetris. 

Yang  jelas,  ketika  kesatuan  Indonesia  diperlakukan  sebagai  harga  mati, harus terus‐menerus difikirkan cara baru, kalaulah tidak revolusioner,  untuk  merawat  dinamika  Indonesia.  Kesadaran  akan  keniscayaan  asimetrisme  ini  penting  untuk  bangkitkan,  bukan  untuk  mengoyahkan  kesatuan, melainkan justru untuk menjamin kesatuan. Lebih baik kajian ilmu  pemerintahan mengalami gegar kajian, dari pada praktek pemerintahan yang  berlangsung  berantakan  justru  karena  kebekuan  metodologi  keilmuan  yang  dipakai. 

Dalam  era  liberalisasi  saat  ini,  dimana  otonomi  dan  mobilisasi  identitas  lokal  menjadi  keniscayaan,  sistem  administrasi  pemerintahan  dan  kerangka  yuridis‐admintratif  yang  berlaku  semakin  tidak  dapat  diandalkan.  Kasus  pemekaran  wilayah  (pembentukan  Daerah  Otonom  Baru)  dapat  dijadikan  ilustrasi.  Telaah  secara  seksama  tentang  bagaimana  proses  pembentukan  DOB  mengantarkan  kita  pada  mementahkan  asumsi  lama,  bahwa  pilar  peyangga  tata  pemerintahan  adalah  birokrasi  pemerintahan.  Birokrasi  yang  selama  ini  kita  asumsikan  sebagai  instrumen  untuk  mengendalikan  misi  pemerintahan,  justru  beranak‐pinak  untuk  mengakomodir  kepentingan‐kepentingan  politik  yang  bergejolak  di  tingkat  lokal. Birokrasi yang biasanya berposisi menjadi instrumen untuk melakukan  penataan,  dalam  prakteknya  justru  menjadi  fihak  yang  harus  berubah.  Artinya,  sangatlah  riskan  sekiranya  telaah  dan  petataan  pemerintahan  di  negeri  ini  terbelenggu  oleh  peran  birokrasi  dan  pemikiran  yang  birokratis.  Untuk menjelaskan point ini, mari kita cermati elaborasi berikut. 

Dalam kerangka fikir birokratis yang masih menjadi mainstream saat  ini,  desentralisasi  dimaknai  sebagai  pelimpahan  kewenangan  dari  pemerintah  pusat  (puncak  hierarkhi  birokrasi)  ke  level  yang  lebih  rendah  (bawahan).  Telaah  politis  tentang  proses  pembentukan  DOB,  sebetulnya  secara  diam‐diam  membantah claim  yuridis‐administratif,  bahwa  otonomi  daerah  adalah  pemberian  (tepatnya  pelimpahan  kewenangan  dari)  pemberian  pemerintah  nasional.  Dalam  prakteknya,  daerah  yang  berjuang  untuk  mendapatkan  pengakuan,  dan  pemerintah  nasional  tidak  kuasa  membendung  permintaan.  Pemberian  otonomi  khusus  untuk  Papua,  sama  sekali  tidak  terjelaskan  oleh  premis  yuridis‐administratif.  Proses  pembentukan  DOB  pada  umumnya  lebih  menjelaskan  watak asertif  daerah,  dari  pada  watak  delegatifnya  pemerintah  nasional.  Maraknya  kasus  yang  “aneh”  ini  memberi  isyarat  bahwa  kerangka  fikir  normatif  yang  mendasari  claim yuridis‐administratif ini tidak memadai.  

(8)

dalam  time  frame  yang  lebih  panjang.  Untuk  itu,  tulisan  sederhana  ini  bermaksud  untuk  mengajak  melakukan  refleksi  kesejarahan,  dimana  berbagai  hal  dicoba  ditelaah  tali  temalinya  dalam  bentangan  waktu  yang  relatif panjang.11 

Dalam  kesempatan  ini,  penulis  tidak  bermaksud  membentangkan  perjalanan  sejaran  tata  pemerintahan  di  negeri  ini  melainkan  sekedar  merunut  akar  historis  dari  tatanan  yang  ada,  dan  atas  dasar  telaah  ini  bisa  diproyeksikan  keniscayaan  penataan  ke  depan.  Untuk  itu,  tonggak  sejarah  yang penting penting untuk ditelaah adalah jati diri Indonesia sebagai sebuah  negara  bangsa  (nation‐state).  Studi  desentralisasi  pada  umumnya  beranjak  dari  konseptualisasi  negara,  dan  lebih  dari  itu,  negara  dibayangkan  sebagai  ekspresi kedaulatan rakyat. Mengapa demikian ? 

Pertama,  dimensi  kebangsaan  (nationhood)  selama  ini  tidak  mengemuka, karena diasumsikan sosok dan postur Indonesia sebagai sebuah  nation,  dianggap  sudah settle  atau  final.  Negara  diasumsikan  berdiri  tegak  diatas  kokohnya nationhood  Indonesia  yang,  terhendi  pengembangannya  di  era  Presiden  Sukarno.  Dengan  pelacakan  tetang  proses  pengembangan  nationhood  di  negeri  ini,  kiranya  kita  bisa  mengerti  lebih  baik  mengapa  ada  tuntutan  pembentukan  DOB  yang  tidak  terbendung.  Lebih  dari  itu,  mengembalikan  dan  dimensi nationhood  dan  mengkaitkan  hal  itu  dengan  statehood  Indonesia,  niscaya  terbuka  rute  baru  penataan  pemerintahan  di  negeri ini.  

Kedua,  kita  buru‐buru  membuat  loncatan  asumsi  bahwa nation  yang  menjadi  penyangga  tatanan  politik  modern,  adalah  sebuah  entitas  yang  tunggal.  Asumsinya,  yang  kita  miliki  adalah one  nation  within  one  state  !  Kalau kita telaah secara historis, asumsi ini ternyata tidak akurat. Kelahiran  Indonesia  sebagai  sosok  negara  modern—sejak  masa  penjajahan  Hindia  Belanda hingga sekarang—tidak dengan serta merta disertai oleh peleburan  berbagai  sosok nationhood  yang  sudah  ada  sebelumnya.  Yang  diwariskan  adalah sesanti bhinneka tunggal ika.  

Dalam  konteks  ini,  kita  berurusan  dengan  dua  entitas:  ‘negeri’  dan  ‘negara’.  Kajian  pemerintahan  menyisakan  problematika  yang  pelik  ketika  yang  kita  hiraukan  hanyalah  ‘negara’,  dan  pada  saat,  abai  tentang  negeri.  Diasumsikan  bahwa  negara  memiliki  legitimasi  sempurnya  untuk  memerintah  orang  di  seluruh  negeri,  dan  yang  namanya  tata  pemerintahan  hanyalah tatanan yang diketahui dalam teori (doktrin) administrasi dan tata  negara.  Tatanan  sosial  setempat  tereksklusi  oleh  kajian  tata  pemerintahan,  dan  ironisnya,  akibat  dari  eksklusi  ini,  negara  yang  diasumsikan  bersifat  supreme  ini  ternyata  hanya  terapung‐apung  (tidak  mengakar  pada)  di  atas  tatanan sosial setempat. Di setiap negeri ada tatanan sosial yang meregulasi  perilaku  politik  lokal,  dan  tatanan  ini  secara  diam‐diam  membajak  institusi  negara  yang  kita  asumsikan  berwatak supreme  tadi.  Hal  ini  semakin  jelas        

11 Karena penulis bukan sejarahwan, yang hendak ditelaah di sini bukanlah fakta sejarah

(9)

tergambar dengan teori shadow state. Yang dianggap tidak ada tadi ternyata  sanggup  mengendalikan  sosok  yang  legal,  yang  diasumsikan  tidak  ada  duanya.  

 

3. Asimetrisme: 

Ungkapan Kesadaran akan Nationhood Indonesia.  

Dengan wilayah yang terdiri hamparan beribu‐ribu pulau yang dalam  perjalanan  sejarah  menjadi  daya  tarik  orang‐oorang  dari  negeri  dengan  peradaban  yang  tinggi,  Indonesia  adalah  lokus  bertemunya  berbagai  pengaruh  dunia.  Negeri  ini  sangat  terbuka  dengan  pengaruh  luas,  dan  pada  saat  yang  sama  tidak  pernah  melakukan  penggalangan  kekuatan  untuk  ekspansi  ke  luar.  Ada  kecenderungan  isoteris  dan  inward  looking  dan  pemikirannya.  Pada  saat  yang  sama,  entitas  kolektif  yang  terbentuk  niscaya  sangat beragam. 

Dalam  narasi  sejarah,  Indonesia  dan  bahkan  Asia  Tenggara,  digambarkan sebagai wilayah dari kerajaan‐kerajaan Pulau, yang di satu sisi  terlibat  dalam  kerjasama  dan  konflik  degan  sesamanya,  dan  pada  saat  yang  sama  mendapat  terpaan  pengaruh  besar  dari  bangsa‐bangsa  lain  di  Asia  yakni  India  dan  Cina.12 Denys  Lombard  menggunakan  istilah  ‘persilangan 

budaya’  untuk  menjelaskan  hal  itu.13 Tentu  saja,  kawasan  ini  merupakan 

wilayah  pengaruh  kekuasaan  kolonial  Eropa.  Catatan  penting  yang  bisa  kita  petik  dari  literatur  sejarah  adalah  bahwa  nasionalisme  yang  berkembang  adalah  kemasan  reaksi  terhadap  bekerjanya  kolonialisme  ataupun  ekspansi  teritorial bangsa‐bangsa Eropa.14 Oleh Ricklefs, perjalanan sejarah Indonesia 

dalam  periode  1630‐1800  disebut  sebagai  era  perjuangan  merebut  hegemoni,  yang  justru  diikuti  dengan  pembentukan  negara  Jajahan  pada  periode  1800‐1910.  Baru  setelah  berlangsungnya  dialektika  dari  kedua  hal  itulah bergulir konsepsi ke‐Indonesia‐an. 15 

Telaah Denys Lombard, dengan rujukan empiris di Jawa memberikan  petunjuk  penting,  bahwa  negeri  ini  mewarisi  tatanan  konsentris  dari  kerajaan‐kerajaan di masa lalu. Konsentrasi kekuasaan, yang ditandai dengan  kota  sebagai  pusat  kekuasan,  adalah  keniscayaan  sejarah  karena  telah  terpatri  sebagai  kerangka  budaya.16 Jika  diasumsikan  bahwa  hal  yang  sama 

berlangsung di setiap lokalitas di Indonesia, maka entitas sub‐national yang  ada  bertahan  hingga  sekarang  tetaplah  mendambakan  konsentrasi  kekuasaan di sana. 

      

12 D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh Drs. I.P. Soewarsha dan

disunting penerjemahanya oleh Drs. M. Habib Mustopo; Penerbit Usaha Nasional Surabaya.

13 Denys Lombard; Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia, 1990. 14

Hall, op.cit. Perhatikan juga alur kajian Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2006.

15 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Serambi, 2001. 16

(10)

Yang  penting  untuk  kita  catat  dari  kajian  yang  dilakukan  Ricklefs  adalah bahwa, gagasan tentang Indonesia hadir dan menyejarah hadir dalam  periode  yang  relatif  singkat,  yakni  antara  1900‐1942,  meskipun  jauh‐jaruh  haru  sebelum  itu  kawasan  nusantara  waktu  itu  sudah  terajut  oleh  jejaring  dan  solidaritas  muslim.  Point  pentingnya  bukan  hanya  imajinasi  tentang  Indonesia sebagai suatu nation‐state, namun juga hadirnya imajinasi ini tidak  dengan  serta  merta  menghapuskan  nationhood  yang  asli.17 Di  sini  kita  tahu 

bahwa,  kita  memiliki  kebangsaan  yang  berlapis‐lapis  (multiple  nationhood).  Ke‐Indonesia‐an  seseorang  tidak  akan  menghilangkan  ke‐Islaman  kalangan  muslm, dan kedaerahan seseorang. 

Sadar akan keragaman kondisi negara jajahannya, pemerintah Hindia  Belanda membuat ketentuan yang berbeda antara Jawa dan sekitarnya yang  relatif  “matang”  terpapar  oleh  pengaruh  international  dengan  daerah  lain.  Ada  IGO  untuk  Jawa  dan  IGOB  untuk  luar  Jawa.  Anehnya,  justru  pada  saat  Indonesia merdeka, pembedaan itu tidak lagi dilakukan. Alasannya kira‐kira,  state formation lebih mendesak untuk dilakukan. 

Sungguh  terasa  janggal  ketika  narasi  besar  (grand  narative)  yang  bergulir hingga saat ini adalah bahwa Indonesia lahir pada taggal 17 Agustus  1945,  ditandai  dengan  dikumandangkannya  proklamasi  kemerdekaan.  Alternatifnya,  Indonesia  lahir  pada  hari  berikutnya,  ketika  telah  memiliki  konstitusi.  Yang  menjadi  kepedulian  studi  ini  bukanlah  akurasi  tanggal  itu  yang  dijustifikasi  sebagai  tonggal  yang  menandai  kelairan  Indonesia.  Reproduksi narasi sejarah bahwa Indonesia pada pertengahan bulan Agustus  tahun  1945  ini  sedikit  banyak  mengecoh,  Indonesia  hanya  difahami  eksistensi  dan  kehadirannya  sebagai  entitas  yuridis  adimistratif.  Kalaulah  narasi  tersebut  memiliki  kebenaran,  maka  jangkauannya  hanya  di  dalam  domain  yuridis‐administratif.  Secara  sosiologis,  apalagi  secara  kultural,  Indonesia telah menyejarah pada saat itu. Bergulirnya grand naratif di dalam  kajian  ilmu  pemerintahan  di  Indonensia  ini  seakan  menutup  mata  terhadap  kenyataan bahwa yang jejaring dan interaksi antar muslim yang berlangsung  justru memiliki peran vital dalam menyatukan negeri ini.18 

Yang  hendak  disampaikan  disini  adalah  bahwa  tanggal  17  dan  18  Agustus 1945 memang bersifat nonumental dalam perjalanan sejarah negeri  ini. Ada banyak perubahan politik penting yang menyertai hal itu. Hanya saja,  yang  hidup  sebelum  itu,  dan  juga  pada  saat‐saat  sesudahnya,  kurang  lebih  sama.  Lebih  jelasnya,  mereka  adalah  warga  dari  negeri  yang  bersuku‐suku.  Disamping  ikut  mereproduksi  narasi  sejarah  sebagaimana  tersebut  di  atas,  mereka juga mereproduksi sejarah lokal masing‐masing.  

Kalaulah  ada  yang sharing  memori  kolektif  (ke‐Indonesiaan)  melalui  reproduksi  narasi  kepahlawanan,  narasi  sumpah  pemuda  dan  sejenisnya,        

17

Kita diingatkan oleh Benedict Anderson bahwa nasionalisme adalah imajinasi kolektif. Baca Benedict Anderson, Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme, diterbitkan atas kerja sama Pustaka Pelajar dan Insiste Press, 1999.

18

(11)

tidak bisa diingkari bahwa mereka juga mereproduksi ingatan kolektif dalam  lingkup  yang  lebih  sempit  dari  Indonesia.  Pada  saat  itu,  mereka  terus  merawat  berbagai  bentuk  tatanan  sosial  yang  ada,  sebagaimana  mereka  merawatnya  dimasa‐masa  sebelumnya.  Sejalan  dengan  hal  itu,  mereka  juga  merawat  berbagai  bentul  loyalitas  dan  solidaritas  sosial;  baik  dalam  ikatan  adat, agama maupun ikatan kedaerahan. 

 

4. Penutup. 

Perjalanan  sejarah,  jelas  ikut  membentuk  kekhasan  masing‐masing  lokalitas.  Jelasnya,  meskipun  melintasi  masa  yang  sama,  mereka  terpapar  oleh  pengalaman  sejarah  yang  berbeda‐beda,  dan  dapat  berperan  optimal  dalam  bingkai  ke‐Indonesia‐an  secara  berbeda‐beda  pula.  Dalam  konteks  inilah  hadir  Indonesia.  Sebagai  sebuah  institusi  pemerintahan,  Indonesia  jelas  lahir  belakangan,  dan  kehadirannya  adalah  sebagai  pembingkai  atau  penguntai berbagai entitas yang telah ada sebelumnya.  

Yang hendak dikedepankan di sini adalah bahwa abainya kajian ilmu  pemerintahan  terhadap  kenyataan‐kenyataan  yang  telah  menyejarah  ini  menjadikan  kerangka  penataan  pemerintahan  yang  dihasilkan  tidak  hanya  distortif,  namun  juga  tidak  dapat  diandalkan.  Akibat  dari  kealphaan  metodologis  tadi,  entitas  lokal  di  negeri  ini—apapun  namanya—dalam  banyak  kasus  disalahfahami  seakan‐akan  bisa  disedernakan  sebagai  lokus  berkuasanya organisasi modern yang kita sepakati sebagai Negara Kesatuan  Republik  Indonesia  (NKRI).  Dalam mainstream  kajian  ilmu  pemerintahan  di  negeri  ini,  tersirat  asumsi  bahwa  kekuasaan  pemerintahan  melekat  pada  pejabat dan lembaga birokrasi. Di berbagai lokalitas berlangsung reproduksi  memori  kolektif,  yang  sugguhpun  informal  wataknya,  mampu  menyediakan  rujukan  bersama  di  setiap  lokalitas.  Kita  patut  bersyukur  atas  munculnya  kesadaran baru bahwa domain informal ini semakin luas dan mendalam kita  kaji. Koreksi metodologis ini menghasilkan thesis bahwa yang berlangsung di  Indonesia  adalah  gejala shadow  state.  Bahwa  sosok  dan  praktek  informal,  dalam banyak kasus berhasil tidak hanya membayang‐bayangi sosok formal  melainkan juga mendektekan kepentingan dan kehendaknya. 

(12)

 

Negara dalam sosok birokratik dan teknoratiknya, datang belakangan,  mendahului entitas yang telah lama ada, belakangan kita labeli ‘lokal’. Proses  pembingkaian berbagai ‘entitas lokal’ dalam ikatan yang kita sebut Indonesia  ini,  berimpitan  dengan  terpaan  kolonialisme  di  negeri  ini.  Lahirnya  nasionalisme  Indonesia,  yang  belakangan  dikemas  secara  ketatanegaraan  menjadi  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia,  adalah  respon  tehadap  kolonialisme itu sendiri. Catatan penting yang perlu disematkan di sini  

Tata  pemerintahan  biasaya  kita  bayangkan  sebagai  produk  dari  kebijakan  yang  dirancang  secara  sadar  dan  seksama  oleh  pemerintah,  dan  diberi  “baju”  hukum  untuk  mengukuhkannya.  Kalaulah  tata  pemerintahan  adalah  suatu  produk  politik,  kita  juga taken  for  granted  bahwa  tatanan  itu  produk  dari  pemerintah  nasional  atau  pemerintah  pusat.  Ketika  membahas  tata  pemerintahan  lokal,  yang  selalu  mengedepan  dalam  bayangan  kita  adalah  keputusan  perundang‐undangan  yang  berlakukan  pemerintah  nasional  pada  eksponen  lokal.  Keberadaan  eksponen  pemerintahan  daerah  tergantung  pada  pretensi  dan  legalitas  yang  ditetapkan  atas  nama,  bukan  oleh  pemangku  kepentingan  nasional  yang  bertebaran  disetiap  lokalitas.  Kerangka  fikir  yuridis  dan  pelembagaan  birokrasi  modern,  tidak  dapat  dipungkiri,  memiliki  andil  besar  dalam  mengantarkan  tumbuh  berkembangnya Indonesia sebagai suatu nation‐state modern. 

Referensi

Dokumen terkait

Rencana tindakan untuk peningkatan aspek kelembagaan juga dapat dilakukan dengan program pelatihan yang dilakukan oleh unit kerja Bidang Cipta Karya, untuk

Melalui kegiatan membuat bentuk bebek dari plastisin, anak dapat merevisi hasil karya teman. Disediakan gambar dan krayon, anak dapat menciptakan hasil karya mewarnai

Urutan faksi minyak yang dihasilkan dari penyulingan minyak mentah dari yang ringan ke yang berat adalah … A.A.

Penelitian ini menghasilkan prototype rancangan sistem informasi Koperasi berbasis web pada Koperasi Unit Desa Pandan Jaya Geragai yang dapat diimplementasikan sesuai

Anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik adalah anak-anak yang mengalami hambatan satu/beberapa proses psikologis dasar, seperti: koordinasi motorik,

Lampiran 13 Estimasi Parameter Distribusi Pareto Terampat ( Generalized Pareto Distribution (GPD)) Nilai Ekstrim Return Saham Kimia Farma Pusat Periode Oktober 2009 -

Penelitian oleh Rizky Suci Febriyanti dan Aniek Wahyuati, 2016, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) dengan judul Pengaruh Celebrity Endorser dan Brand Image

 Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dan belajar dari aneka sumber.. Melihat ulang