Keniscayaan
Tata Pemerintahan Berbasis Keragaman:
Tantangan bagi Ilmu Pemerintahan
1Purwo Santoso
2
Sosok atau postur pemerintahan lokal di negeri ini sangatlah beragam, meskipun dibalik itu ada sejumlah kesamaan. Dalam keberagaman itulah daerah‐daerah di Indonesia bersatu dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di balik pernyataan yang terakhir—bersatu dalam ikatan NKRI—ada dua konotasi dari kesatuan. Lebih dari itu, kegagalan mebedakannya, memiliki implikasi serius: salah urus dalam menyelenggarakan pemerintahan ataupun gagal dalam menjaga kesatuan itu sendiri.
Dalam konotasi pertama (populer), yang menjadikan daerah‐daerah bersatu adalah kekuasaan dan institusi negara, lebih khususnya birokrasi pemerintahan, dan lebih khusus lagi pucuk pimpinan atau komando yang terpusat dari Jakarta. Dengan begitu, kesatuan Indonesia mengharuskan bukan hanya peran dominan pemerintah pusat melainkan juga cara kerja yang terpusat (sentralistis). Pada titik ini perlu dicermati bahwa, urgensi bagi sentralisasi kekuasaan itu bersumber pada tradisi berberfikir birokratis, tepatnya tradisi dalam melihat Indonesia dari puncak birokrasi pemerintahan. Tradisi ini, diam‐diam kita rawat dalam kajian ilmu pemerintahan di negeri ini.
Dalam konotasi yang kedua, kesatuan itu adalah produk dari perjalanan sejarah. Kesatuan itu adalah keniscayaan sejarah, dan oleh karenanya cara kita merawatnyapun niscaya membenturkan kita pada kesulitan yang mendalam, kecuali kita dapat “meraba” keniscayaan sejarah itu sendiri. Point ini terkesan meremehkan arti penting para pejuang yang kemudian kita sebut sebagai the founding fathers, namun sebetulnya justru menjung tinggi pusaka yang diwariskan, yakni sesanti: Bhinneka Tunggal Ika. Rasa hormat kita pada para pelaku sejarah justru harus kita tunjukkan pada
1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Desentralisasi Asimetris dan Masalahnya, yang
diselenggarakan melalui kerja sama Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dengan Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN), diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2013 di Granada Ballroom, Gd. Menara 165, Jl. TB Simatupang Kav 1, Cilandak, Jakarta Selatan.
2 Guru besar Ilmu Pemerintahan, dan ketua Jurusan Politik & Pemerintahan pada Fakultas
keseriusan kita dalam menjabawkan warisan itu sendiri. Sesanti bhinneka tunggal ika itu adalah formula yang ditemukan dari pergulatan dalam lintasan sejarah itu sendiri. Ajaran yang dikristalkan dari perjalanan sejarah itu adalah bahwa kesediaan untuk menyempurnakan diri dalam kolektivitas yang beragam itulah yang menjadikan Indonesia akan tetap bersatu, bahkan berjaya dalam kesatuannya.
Dengan mengkaji konotasi yang kedua, tulisan ini memperlakukan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kearifan, kalau bukan proposisi, teoritik. Ajaran yang hendak dipegang teguh di sini adalah bahwa, kunci persatuan Indonesia adalah kecanggihan mengelola keragaman. Dengan begitu, ilmu pemerintahan perlu menguji dengan sebanyak mungkin data untuk membuktikan kebenarannya, dan dengan begitu niscaya akan menemukan jalan kalau bukan terobosan dalam galaunya Indonesia menata pemerintahan di negerinya. Dalam kerangka inilah gagasan ‘asimetri desentralisasi’ digulirkan sebagai alternatif pemikiran. Gagasan ini masih mengundang tanda tanya. Yang jelas, kalangan yang selama ini telah nyaman bekiprah dalam konotasi pertama memiliki sederetan keberatan, dan siap untuk menolak.
Sehubungan dengan hal ini, tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menjawab semua potensi pertanyaan. Mengapa ? Gagasan ‘asimetri desentralisasi’ tidak dimaksudkan sebagai obat ‘siap pakai’, dan juga bukan pula obat ‘serba guna’ untuk menjawab setiap masalah penataan pemerintahan di negeri ini. Asimetri desentralisasi di sini disodorkan “sekedar” sebagai acuan metodologis. Acuan ini sangat penting untuk kita pegang dan kita reproduksi pada saat Indonesia berada dalam puncak kegaluan massal. Pada saat ini, Indonesia yang saat ini sedang ‘mabok otonomi’ yang tidak lain adalah derivat dari liberalisasi politik yang berlangsung besar‐besaran dan dalam kurun waktu yang sangat singkat. Ini adalah pertanda dari berlangsungnya amnesia sejarah. Pada saat yang sama kita merindukan peran sentral negara. Kita rindu akan hadirnya negara kuat sebagai pengawal bangsa ini untuk berkompetisi di aras global. Dalam kerinduan akan negara kuat itu, tidak sedikit dari kita yang anti pati terhadap sentralisme.
Kalaulah ada gunanya, asimtri desentralisasi hanyalah rambu‐rambu pemikiran untuk, di satu fihak menjamin otonomi luas bagi daerah‐daerah yang bukan hanya banyak jumlahnya, namun sangat bergam coraknya; dan di fihak lain, ingin tetap committed menjaga kesatuan. Yang jelas, kalaulah NKRI kita pasang dengan harga mati, keseriusan kita menjaga kesatuan Indonesia
1. Keniscayaan Asimetrisme:
Taking history seriously.
mengasah kepiawaian dalam mengelola keragaman; dan pada saat yang sama menyadari (2) betapa mudah kita terlena darinya. Misalnya, ketika kita mengumandangkan jargon ‘NKRI harga mati’, yang terbesit di benak kita adalah konotasi pertama. Diam‐diam, kita meneguhkan asumsi bahwa kesatuan Indonesia mensyaratkan sentralisme. Perlu dijelaskan di sini bahwa, ketika pekik ‘NKRI harga mati’ berkumandang, terungkitlah serangkaian doktrin, kalau bukan proposisi teoritik, tentang bagaimana negara harus dikelola.3 Di sinilah ilmu pemerintahan berperan: menyediakan
supply pemahaman dan penjelasan. Di situlah ilmu pemerintahan selama ini gagap dan perlu mengambil pelajaran dari ilmu lain, yakni sejarah. Dalam ilmu sejarah tidak hanya dibahas data dan fakta sejarah, melainkan juga menuturan sejaran atau historiografi. Diakui atau tidak, historiografi bergulir seiring dengan penyelenggaraan dan penataan pemerintahan, disadari atau tidak, diakui atau tidak.
Sejauh ini, ilmu pemerintahan lebih terasah untuk membaca persoalan dari kacamata pemerintah dari pada kacamata rakyat. Ini berarti ilmu pemerintahan ikut memutar historiografi versi tertentu. Kalau kita bedah, dengan mudak kita melihat betapa Ilmu Pemerintahan, hadir berkembang sebagai ilmunya penguasa menguasai rakyatnya. Kalim yang sebaliknya tidak mudah dibela, ketika ilmu pemerintahan secara diam‐diam berkembang sebagai ilmu untuk memastikan pemerintah bekerja sesuai dengan amanatnya. Gagasan‐gagasan besar seperti kerakyatan, demokrasi dan sejenisnya lebih hadir sebagai asumsi dan atas dasar asumsi itulah keputusan atau produk hukum dari pemerintah selalu dijadikan rujukan.4
Cara kita mengusung gagasan NKRI harga mati, dalam ilustrasi di atas menunjukkan hal itu.
Ilmu pemerintahan menyajikan justifikasi bahwa kebenaran yang disuguhkan konsisten dengan kaidah positifisme. Yang menjadi basis keberanannya adalah hukum positif. Atas dasar narasi normatif hukum positif itulah ilmu pemerintahan berpretensi netral, namun sebetulnya berpihak pada obyek kajian yang dipilihnya: pemerintah (bukan rakyat). Oleh karena itu, agar ilmu pemerintahan lebih bermanfaat bagi peningkatan kualitas pemerintahan (dalam hal ini kualitas tata pemerintahan), maka ilmu pemerintahan tidak perlu berpretensi netral. Kalaulah tidak banting stir 180o
fokus kajiannya bisa digeser pada koeksistensi dan interelasi negara‐rakyat. Agar bermanfaat bagi pengembangan kualitas pemerintahan itu sendiri, ilmu pemerintahan tidak harus netral dan tidak terjebak dalam legalisme dan jerat formalitas administrasi.5 Ketidaknetralan ilmu pemerintahan, dalam hal ini
3 Di sini perlu ditegaskan bahwa penulis sangat setuju dengan ide atau nilai kesatuan itu
sendiri, namun menolak untuk mengunci mati cara menyatukan atau menjaga kesatuannya.
4 Kekita gagasa besar seperti ‘demokrasi’ diperlakukan sebagai asumsi, seakan-akan
Indonesia sudah demokratis. Atas dasar asumsi bahwa Indonesia adalah negara demokratis, maka produk hukum dari negara demokrasi itulah yang dijadikan acuan.
5 Point ini disampaikan penulis pada saat pidato pengukuhan sebagai guru besar di Balai
Senat Universitas Gadjah Mada. Naskah tersedia di:
justru diperlukan, tepatnya untuk melakukan reteorisasi tentang negara dan pemerintahan, dengan memperkaya sudut pandang. Yang dikembangkan bukan hanya pandangan pejabat pemerintah melainkan pandangan rakyat. Pandangan ini tersirat dari berbagai wacana yang bergulir di dalam masyarakat, termasuk juga dalam narasi oral yang tidak tereproduksi melalui saluran resmi seperti pidato pejabat dan kurikulum pemerintah.
Mari sejenak kembali ke penarasian ‘NKRI harga mati’. Dalam mainstream kajian ilmu pemerintahan saat ini ada kekakuan, kalau bukan penguncimatian, teorisasi pemerintahan, dan ironisnya, justru karena kekakuan itu sendiri lalu menghadapi kesulitan mendudukkan persoalan. Karena cara pandang pemerintah kita perlakukan sebagai hal yang given, para ilmuwan pemerintahan justru menghadapi kesulitan dalam mengemban amanat konstitusi pasca amandemen, bahwa tegaknya NKRI harus dirawat dengan luasnya otonomi pemerintahan daerah. Dalam hegemoni pemikiran yang meniscayakan sentralisme ini, urgensi untuk secara serius mengelola keragaman tidak pernah mengemuka. Bahkan lensa yuridis‐administratif yang kita pakai dalam membaca persoalan justru membuat kita semakin yakin bahwa, luasnya otonomi paralel dengan dekatnya ambang perpecahan. Hal ini terjadi, sekali lagi, karena dalam benak kita tidak terlintas konotasi kedua, bahwa kesatuan dan keunggulan Indonesia bisa dan perlu dirawat dengan kebijaksanaan dalam mensinergikan keragaman.
Di negeri pewaris keragaman yang luas biasa dahsyat ini, otonomi yang luas hadir lebih sebagai ancaman daripada solusi kesatuan Indonesia. Dalam konteks inilah muncul tawaran pemikiran baru, bahwa kunci penyatuannya bukan pada kesatuan komando melainkan pada kesatuan imajinasi penyandang identitas yang beragam. Tawaran alternatif ini belakangan ini dikenal dengan istilah ‘asimetri tata pemerintahan’ atau ‘desentralisasi asimetris’. Yang hendak diperlihatkan disini hanyalah keniscayaan asimetrisme tatanan yang ada, mengingat sejalah yang dilalui bangsa ini. Tantangannya, dalam bahasa Parakritri Simbolon, kita dapat keluar dari asumsi‐asumsi kosong (delusion over delusion).6
Jelasnya, dari telaah kesejarahan kita tahu bahwa dari masa ke masa ada “proyek politik” untuk menyatukan negeri ini. Kuncinya adalah penempaan nasionalisme. Dalam perjalanan sejarah, nasionalisme telah menjadi energi pembangkit energi kolektif manaka kekuatan eksternal menindas bangsa ini, dan nasionalisme yang dilahirkan dari tekanan eksternal itu kehilangan relevansi manaka tekanan eksternal ini tidak mudah dirasakan. Kemiskinan refleksi historis dalam kajian pemerintahan selama ini menjadikan kita alpha bahwa nasionalisme yang berkembang di negeri ini pada dasarnya adalah reaksi terhadap pengaruh asing, yakni kolonialisme
http://www.academia.edu/1686103/Ilmu_Sosial_Transformatif.
6 Parakitri T. Simbolon; “Indonesia Memasuki Millenium Ketiga”, dalam J.B. Kristanto;
atau perluasan teritori negara‐negara Eropa. Oleh karena itu, kalaulah kita merdeka, sebetulnya kita baru ‘merdeka dari’, dan belum ‘merdeka untuk’.7
Hadirnya nasionalisme sebagai reaksi ini, menjadikan kita gegabah dalam merawat proyek politik tersebut. Dalam istilah Romo Sindhunata, persatuan Indonesia tidak cukup kita rawat dengan sakralisasi, dan kita perlu mengembangkan kemerdekaan yang mempersatukan.8
Hadirnya Indonesia sebagai sebuah nation‐state dengan gegabah kita asumsikan telah final atau matangnya nasionalisme itu sendiri. Karena Sumpah Pemuda sudah kita terima sebagai sejarah yang mengantarkan bangsa ini pada kemerdekaannya, maka kita take for granted (tepatnya tidak lagi berikhtiar sekuat tenaga) bahwa Indonesia berbangsa satu, bertanah‐air satu, berbahasa satu: Indonesia. Dalam konteks ini, sejarahwan legendaris Alm. Prof Sartono Kartodirdjo mengingatkan kita:
Being a new nation, the need was keedly felt to have a national identity by constructing a national history. Being fully aware of the fact that sharing a common experience in the past as citizen of a nation state, national history can be regarded as a symbol of naitional identity.
View in this perspective, national history functions as a fundamental basis of national education, being a source of aspiration and inspiration as well. At this time, when the nation is facing crisis, a dangerous process of desintegration, more than ever before, the spirit of nationalism is very much needed to solidify the unity of the nation. For this purpose, national history has to be revitalized and national consciousness be awakened. … On the one hand, objectivity in constructing national history must be observed. On the other hand, historical criticism must be included.9
Pesan penting dari kutipan di atas adalah bahwa, dalam ketidakmenentuan situasi seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, yang justru penting untuk digeluti adalah pesoalan nationalisme. Untuk itu itu keperluan untuk obyektif tidak membatalkan keharusan untuk kritis.
Narasi yang bergulir saat dalam kajian tata pemerintahan ini mengisyaratkan bahwa proyek penyatuan itu kita anggap sudah selesai. Yang direformasi hanyalah birokrasi dan kelembagaan pemerintahan, bukan cara memahami realita pemerintahan itu sendiri. Dan atas dasar anggapan over‐ optimistik itu, kehirauan kajian ilmu pemerintahan cukup pada persoalan bekerjanya negara modern bernama Indonesia ini. Nasionalisme sebagai fondasi negara modern ini kita anggap sudah settle, yang difikirkan dalam
7
Sindhunata, “Demitologisasi Persatuan Nasional”, dalam J.B. Kristanto (ed.); 100 Tahun Nusantara, Kompas, 2000.
8Ibid. 9
kajian ilmu pemerintahan tidallah menyelenggarakan kekuasaan organisasi pemerintahan atas nama negara. Kajian sederhana ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa proyek penyatuan ini masih jauh dari selesai. Telaah yang diinspirasi kesadaran hitoriografi berikut ini diharapkan membukakan mata kita bahwa kesulitan menata pemerintahan ini bersifat metodologis, dan kesediaan kita untuk mengakui ikut bermainnya historiografi dalam pemerintahan, justu akan membuka ruang bagi reteorisasi tata pemerintahan.
Sub bab berikut ini memberikan contoh lain. Bahwa ketidaksadaran akan hitoriografi yang selama ini bergulir dibalik praktek dan tata pemerintahan yang state‐centric menjadikan kita tidak sadar akan state‐ centrism itu sendiri. Teori pemerintahan dibangun diatas statehood yang rapuh dukungan nationhood‐nya.
2. Statehood dalam rapuhnya Nationhood.
Melalui telaah historis dan kaitannya dengan gejala‐gejala kontemporer, terlihat jelas bahwa asumsi yang berlaku dibalik teori pemerintahan, utamanya teori desentralisasi, perlu dirumuskan ulang secara lebih seksama. Efektifitas pemerintahan yang menjadi obsesi kajian pemerintahan belakangan ini tidak akan terwujud jika nationhood yang secara diam‐diam menjalankan fungsi sebagai penyangga statehood, kita salah fahami. Sebagai contoh, kita sudah terlalu terbiasa menggunakan istilah kategoris: ‘pemerintah pusat’ vs ‘pemerintah daerah’. Kategorisasi ini, meskipun sudah diterima dalam praktek, tidak bisa menafikan warisan sejarah bahwa, dibalik nasionalisme yang berwajah nasional (melekat dalam gagasan nation state Indonesia) ada juga nasionalisme sub‐nasional, baik dalam sosok etho‐nationalism, religio‐nationalism. Masalahnya begini: Kategori pusat‐daerah tidak mudah dipakai manakala yang eksponen dilabeli ‘lokal’ sebetulnya adalah yang lebih otentik. Pemerintah pusat yang diasumsikan sebagai eksponen yang diasumsikan penyelenggara supremasi negara, ketika dilacak akar kesejarahannya, ternyata hadir sekedar sebagai pengikat, dan sama sekali bukan sebagai sumber, ketertiban tatanan yang ada. Sebagai ilustrasi, gerakan kebangkitan nasional bergerak dari level mikro‐lokal menuju level makro‐nasional.10
Issue sentralnya di sini adalah bagaimana mengelola kesatuan dalam keberagaman (bhinneka tunggal ika). Di masa lalu, ketika penataan pemerintahan terobsesi dengan kesatuan (tunggal ika) maka dikembangkananlah pendekatan yang merelakan penyama‐rataan (hantam kromo) demi mudahnya kekuasaan birokrasi pemerintahan yang terpusat menjadi penyatu. Pada saat yang sama, praktek tersebut dikawal oleh pola fikir yang teknokratis dan legalistik untuk menjustifikasi, seolah‐olah teknokrasi dan tatanan legal yang diberlakukan tidak menderita defisit
10 Manuel Kasiepo, “Wahidin Soedirohudsodo dan Soetomo: Dari “kebangkitan Jawa” ke
legitimasi. Dalam ketidakpopuleran sentralisme ini, muncul keinginan untuk menyatukan Indonesia dengan cara baru. Disamping mencoba menemukan commonalitas daerah‐daerah di negeri ini, pemerintah nasional justru didorong untuk lebih cerdik dalam mengelola keragaman. Dengan demikian, tata dan penataan pemerintahan di negeri ini berwatak asimetris.
Yang jelas, ketika kesatuan Indonesia diperlakukan sebagai harga mati, harus terus‐menerus difikirkan cara baru, kalaulah tidak revolusioner, untuk merawat dinamika Indonesia. Kesadaran akan keniscayaan asimetrisme ini penting untuk bangkitkan, bukan untuk mengoyahkan kesatuan, melainkan justru untuk menjamin kesatuan. Lebih baik kajian ilmu pemerintahan mengalami gegar kajian, dari pada praktek pemerintahan yang berlangsung berantakan justru karena kebekuan metodologi keilmuan yang dipakai.
Dalam era liberalisasi saat ini, dimana otonomi dan mobilisasi identitas lokal menjadi keniscayaan, sistem administrasi pemerintahan dan kerangka yuridis‐admintratif yang berlaku semakin tidak dapat diandalkan. Kasus pemekaran wilayah (pembentukan Daerah Otonom Baru) dapat dijadikan ilustrasi. Telaah secara seksama tentang bagaimana proses pembentukan DOB mengantarkan kita pada mementahkan asumsi lama, bahwa pilar peyangga tata pemerintahan adalah birokrasi pemerintahan. Birokrasi yang selama ini kita asumsikan sebagai instrumen untuk mengendalikan misi pemerintahan, justru beranak‐pinak untuk mengakomodir kepentingan‐kepentingan politik yang bergejolak di tingkat lokal. Birokrasi yang biasanya berposisi menjadi instrumen untuk melakukan penataan, dalam prakteknya justru menjadi fihak yang harus berubah. Artinya, sangatlah riskan sekiranya telaah dan petataan pemerintahan di negeri ini terbelenggu oleh peran birokrasi dan pemikiran yang birokratis. Untuk menjelaskan point ini, mari kita cermati elaborasi berikut.
Dalam kerangka fikir birokratis yang masih menjadi mainstream saat ini, desentralisasi dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat (puncak hierarkhi birokrasi) ke level yang lebih rendah (bawahan). Telaah politis tentang proses pembentukan DOB, sebetulnya secara diam‐diam membantah claim yuridis‐administratif, bahwa otonomi daerah adalah pemberian (tepatnya pelimpahan kewenangan dari) pemberian pemerintah nasional. Dalam prakteknya, daerah yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan, dan pemerintah nasional tidak kuasa membendung permintaan. Pemberian otonomi khusus untuk Papua, sama sekali tidak terjelaskan oleh premis yuridis‐administratif. Proses pembentukan DOB pada umumnya lebih menjelaskan watak asertif daerah, dari pada watak delegatifnya pemerintah nasional. Maraknya kasus yang “aneh” ini memberi isyarat bahwa kerangka fikir normatif yang mendasari claim yuridis‐administratif ini tidak memadai.
dalam time frame yang lebih panjang. Untuk itu, tulisan sederhana ini bermaksud untuk mengajak melakukan refleksi kesejarahan, dimana berbagai hal dicoba ditelaah tali temalinya dalam bentangan waktu yang relatif panjang.11
Dalam kesempatan ini, penulis tidak bermaksud membentangkan perjalanan sejaran tata pemerintahan di negeri ini melainkan sekedar merunut akar historis dari tatanan yang ada, dan atas dasar telaah ini bisa diproyeksikan keniscayaan penataan ke depan. Untuk itu, tonggak sejarah yang penting penting untuk ditelaah adalah jati diri Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation‐state). Studi desentralisasi pada umumnya beranjak dari konseptualisasi negara, dan lebih dari itu, negara dibayangkan sebagai ekspresi kedaulatan rakyat. Mengapa demikian ?
Pertama, dimensi kebangsaan (nationhood) selama ini tidak mengemuka, karena diasumsikan sosok dan postur Indonesia sebagai sebuah nation, dianggap sudah settle atau final. Negara diasumsikan berdiri tegak diatas kokohnya nationhood Indonesia yang, terhendi pengembangannya di era Presiden Sukarno. Dengan pelacakan tetang proses pengembangan nationhood di negeri ini, kiranya kita bisa mengerti lebih baik mengapa ada tuntutan pembentukan DOB yang tidak terbendung. Lebih dari itu, mengembalikan dan dimensi nationhood dan mengkaitkan hal itu dengan statehood Indonesia, niscaya terbuka rute baru penataan pemerintahan di negeri ini.
Kedua, kita buru‐buru membuat loncatan asumsi bahwa nation yang menjadi penyangga tatanan politik modern, adalah sebuah entitas yang tunggal. Asumsinya, yang kita miliki adalah one nation within one state ! Kalau kita telaah secara historis, asumsi ini ternyata tidak akurat. Kelahiran Indonesia sebagai sosok negara modern—sejak masa penjajahan Hindia Belanda hingga sekarang—tidak dengan serta merta disertai oleh peleburan berbagai sosok nationhood yang sudah ada sebelumnya. Yang diwariskan adalah sesanti bhinneka tunggal ika.
Dalam konteks ini, kita berurusan dengan dua entitas: ‘negeri’ dan ‘negara’. Kajian pemerintahan menyisakan problematika yang pelik ketika yang kita hiraukan hanyalah ‘negara’, dan pada saat, abai tentang negeri. Diasumsikan bahwa negara memiliki legitimasi sempurnya untuk memerintah orang di seluruh negeri, dan yang namanya tata pemerintahan hanyalah tatanan yang diketahui dalam teori (doktrin) administrasi dan tata negara. Tatanan sosial setempat tereksklusi oleh kajian tata pemerintahan, dan ironisnya, akibat dari eksklusi ini, negara yang diasumsikan bersifat supreme ini ternyata hanya terapung‐apung (tidak mengakar pada) di atas tatanan sosial setempat. Di setiap negeri ada tatanan sosial yang meregulasi perilaku politik lokal, dan tatanan ini secara diam‐diam membajak institusi negara yang kita asumsikan berwatak supreme tadi. Hal ini semakin jelas
11 Karena penulis bukan sejarahwan, yang hendak ditelaah di sini bukanlah fakta sejarah
tergambar dengan teori shadow state. Yang dianggap tidak ada tadi ternyata sanggup mengendalikan sosok yang legal, yang diasumsikan tidak ada duanya.
3. Asimetrisme:
Ungkapan Kesadaran akan Nationhood Indonesia.
Dengan wilayah yang terdiri hamparan beribu‐ribu pulau yang dalam perjalanan sejarah menjadi daya tarik orang‐oorang dari negeri dengan peradaban yang tinggi, Indonesia adalah lokus bertemunya berbagai pengaruh dunia. Negeri ini sangat terbuka dengan pengaruh luas, dan pada saat yang sama tidak pernah melakukan penggalangan kekuatan untuk ekspansi ke luar. Ada kecenderungan isoteris dan inward looking dan pemikirannya. Pada saat yang sama, entitas kolektif yang terbentuk niscaya sangat beragam.
Dalam narasi sejarah, Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, digambarkan sebagai wilayah dari kerajaan‐kerajaan Pulau, yang di satu sisi terlibat dalam kerjasama dan konflik degan sesamanya, dan pada saat yang sama mendapat terpaan pengaruh besar dari bangsa‐bangsa lain di Asia yakni India dan Cina.12 Denys Lombard menggunakan istilah ‘persilangan
budaya’ untuk menjelaskan hal itu.13 Tentu saja, kawasan ini merupakan
wilayah pengaruh kekuasaan kolonial Eropa. Catatan penting yang bisa kita petik dari literatur sejarah adalah bahwa nasionalisme yang berkembang adalah kemasan reaksi terhadap bekerjanya kolonialisme ataupun ekspansi teritorial bangsa‐bangsa Eropa.14 Oleh Ricklefs, perjalanan sejarah Indonesia
dalam periode 1630‐1800 disebut sebagai era perjuangan merebut hegemoni, yang justru diikuti dengan pembentukan negara Jajahan pada periode 1800‐1910. Baru setelah berlangsungnya dialektika dari kedua hal itulah bergulir konsepsi ke‐Indonesia‐an. 15
Telaah Denys Lombard, dengan rujukan empiris di Jawa memberikan petunjuk penting, bahwa negeri ini mewarisi tatanan konsentris dari kerajaan‐kerajaan di masa lalu. Konsentrasi kekuasaan, yang ditandai dengan kota sebagai pusat kekuasan, adalah keniscayaan sejarah karena telah terpatri sebagai kerangka budaya.16 Jika diasumsikan bahwa hal yang sama
berlangsung di setiap lokalitas di Indonesia, maka entitas sub‐national yang ada bertahan hingga sekarang tetaplah mendambakan konsentrasi kekuasaan di sana.
12 D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh Drs. I.P. Soewarsha dan
disunting penerjemahanya oleh Drs. M. Habib Mustopo; Penerbit Usaha Nasional Surabaya.
13 Denys Lombard; Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia, 1990. 14
Hall, op.cit. Perhatikan juga alur kajian Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2006.
15 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Serambi, 2001. 16
Yang penting untuk kita catat dari kajian yang dilakukan Ricklefs adalah bahwa, gagasan tentang Indonesia hadir dan menyejarah hadir dalam periode yang relatif singkat, yakni antara 1900‐1942, meskipun jauh‐jaruh haru sebelum itu kawasan nusantara waktu itu sudah terajut oleh jejaring dan solidaritas muslim. Point pentingnya bukan hanya imajinasi tentang Indonesia sebagai suatu nation‐state, namun juga hadirnya imajinasi ini tidak dengan serta merta menghapuskan nationhood yang asli.17 Di sini kita tahu
bahwa, kita memiliki kebangsaan yang berlapis‐lapis (multiple nationhood). Ke‐Indonesia‐an seseorang tidak akan menghilangkan ke‐Islaman kalangan muslm, dan kedaerahan seseorang.
Sadar akan keragaman kondisi negara jajahannya, pemerintah Hindia Belanda membuat ketentuan yang berbeda antara Jawa dan sekitarnya yang relatif “matang” terpapar oleh pengaruh international dengan daerah lain. Ada IGO untuk Jawa dan IGOB untuk luar Jawa. Anehnya, justru pada saat Indonesia merdeka, pembedaan itu tidak lagi dilakukan. Alasannya kira‐kira, state formation lebih mendesak untuk dilakukan.
Sungguh terasa janggal ketika narasi besar (grand narative) yang bergulir hingga saat ini adalah bahwa Indonesia lahir pada taggal 17 Agustus 1945, ditandai dengan dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan. Alternatifnya, Indonesia lahir pada hari berikutnya, ketika telah memiliki konstitusi. Yang menjadi kepedulian studi ini bukanlah akurasi tanggal itu yang dijustifikasi sebagai tonggal yang menandai kelairan Indonesia. Reproduksi narasi sejarah bahwa Indonesia pada pertengahan bulan Agustus tahun 1945 ini sedikit banyak mengecoh, Indonesia hanya difahami eksistensi dan kehadirannya sebagai entitas yuridis adimistratif. Kalaulah narasi tersebut memiliki kebenaran, maka jangkauannya hanya di dalam domain yuridis‐administratif. Secara sosiologis, apalagi secara kultural, Indonesia telah menyejarah pada saat itu. Bergulirnya grand naratif di dalam kajian ilmu pemerintahan di Indonensia ini seakan menutup mata terhadap kenyataan bahwa yang jejaring dan interaksi antar muslim yang berlangsung justru memiliki peran vital dalam menyatukan negeri ini.18
Yang hendak disampaikan disini adalah bahwa tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 memang bersifat nonumental dalam perjalanan sejarah negeri ini. Ada banyak perubahan politik penting yang menyertai hal itu. Hanya saja, yang hidup sebelum itu, dan juga pada saat‐saat sesudahnya, kurang lebih sama. Lebih jelasnya, mereka adalah warga dari negeri yang bersuku‐suku. Disamping ikut mereproduksi narasi sejarah sebagaimana tersebut di atas, mereka juga mereproduksi sejarah lokal masing‐masing.
Kalaulah ada yang sharing memori kolektif (ke‐Indonesiaan) melalui reproduksi narasi kepahlawanan, narasi sumpah pemuda dan sejenisnya,
17
Kita diingatkan oleh Benedict Anderson bahwa nasionalisme adalah imajinasi kolektif. Baca Benedict Anderson, Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme, diterbitkan atas kerja sama Pustaka Pelajar dan Insiste Press, 1999.
18
tidak bisa diingkari bahwa mereka juga mereproduksi ingatan kolektif dalam lingkup yang lebih sempit dari Indonesia. Pada saat itu, mereka terus merawat berbagai bentuk tatanan sosial yang ada, sebagaimana mereka merawatnya dimasa‐masa sebelumnya. Sejalan dengan hal itu, mereka juga merawat berbagai bentul loyalitas dan solidaritas sosial; baik dalam ikatan adat, agama maupun ikatan kedaerahan.
4. Penutup.
Perjalanan sejarah, jelas ikut membentuk kekhasan masing‐masing lokalitas. Jelasnya, meskipun melintasi masa yang sama, mereka terpapar oleh pengalaman sejarah yang berbeda‐beda, dan dapat berperan optimal dalam bingkai ke‐Indonesia‐an secara berbeda‐beda pula. Dalam konteks inilah hadir Indonesia. Sebagai sebuah institusi pemerintahan, Indonesia jelas lahir belakangan, dan kehadirannya adalah sebagai pembingkai atau penguntai berbagai entitas yang telah ada sebelumnya.
Yang hendak dikedepankan di sini adalah bahwa abainya kajian ilmu pemerintahan terhadap kenyataan‐kenyataan yang telah menyejarah ini menjadikan kerangka penataan pemerintahan yang dihasilkan tidak hanya distortif, namun juga tidak dapat diandalkan. Akibat dari kealphaan metodologis tadi, entitas lokal di negeri ini—apapun namanya—dalam banyak kasus disalahfahami seakan‐akan bisa disedernakan sebagai lokus berkuasanya organisasi modern yang kita sepakati sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam mainstream kajian ilmu pemerintahan di negeri ini, tersirat asumsi bahwa kekuasaan pemerintahan melekat pada pejabat dan lembaga birokrasi. Di berbagai lokalitas berlangsung reproduksi memori kolektif, yang sugguhpun informal wataknya, mampu menyediakan rujukan bersama di setiap lokalitas. Kita patut bersyukur atas munculnya kesadaran baru bahwa domain informal ini semakin luas dan mendalam kita kaji. Koreksi metodologis ini menghasilkan thesis bahwa yang berlangsung di Indonesia adalah gejala shadow state. Bahwa sosok dan praktek informal, dalam banyak kasus berhasil tidak hanya membayang‐bayangi sosok formal melainkan juga mendektekan kepentingan dan kehendaknya.
Negara dalam sosok birokratik dan teknoratiknya, datang belakangan, mendahului entitas yang telah lama ada, belakangan kita labeli ‘lokal’. Proses pembingkaian berbagai ‘entitas lokal’ dalam ikatan yang kita sebut Indonesia ini, berimpitan dengan terpaan kolonialisme di negeri ini. Lahirnya nasionalisme Indonesia, yang belakangan dikemas secara ketatanegaraan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah respon tehadap kolonialisme itu sendiri. Catatan penting yang perlu disematkan di sini
Tata pemerintahan biasaya kita bayangkan sebagai produk dari kebijakan yang dirancang secara sadar dan seksama oleh pemerintah, dan diberi “baju” hukum untuk mengukuhkannya. Kalaulah tata pemerintahan adalah suatu produk politik, kita juga taken for granted bahwa tatanan itu produk dari pemerintah nasional atau pemerintah pusat. Ketika membahas tata pemerintahan lokal, yang selalu mengedepan dalam bayangan kita adalah keputusan perundang‐undangan yang berlakukan pemerintah nasional pada eksponen lokal. Keberadaan eksponen pemerintahan daerah tergantung pada pretensi dan legalitas yang ditetapkan atas nama, bukan oleh pemangku kepentingan nasional yang bertebaran disetiap lokalitas. Kerangka fikir yuridis dan pelembagaan birokrasi modern, tidak dapat dipungkiri, memiliki andil besar dalam mengantarkan tumbuh berkembangnya Indonesia sebagai suatu nation‐state modern.