• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOnsep dan permasalahan tantangan Manaje

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOnsep dan permasalahan tantangan Manaje"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP, TEORI, PERMASALAHAN DAN TANTANGAN PENDIDIKAN

BERBASIS MULTIBUDAYA

A. Pendahuluan

Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.

Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

(2)

yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.

Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

Makna manajemen multi budaya (pluralisme budaya) ialah upaya mengelola budaya yang berbeda-beda, memberdayakannya sehingga dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Budaya dapat diartikan sebagai cipta, rasa, karsa/karya seseorang/kelompok, bangsa, organisasi, yang berarti ada keragaman nilai, baik secara individu, kelompok dalam organisasi bisnis maupun non profit.

Pemahaman manajemen multi budaya sangat penting, karena keragaman yang bersifat multi budaya dalam struktur dan komposisi angkatan kerja (personal), adanya perpaduan budaya organisasi yang berbeda (misalnya dalam kasus merger, kerja sama), kegiatan-kegiatan yang bersifat global, kegiatan-kegiatan dalam kawasan-kawasan baru yang terpadu, pluraslisme masyarakat dalam suatu negara, sehingga diperlukan suatu seni dan ilmu manajemen ke dalam konteks budaya. Keragaman budaya itu dapat saling mengenal, saling menghargai, sehingga tercapai kondisi simbiose metualistis alam keragaraman tersebut. Esensi dari manejemen multi budaya terletak pada komunikasi, baik melalui kata-kata, benda material, maupun perilaku didasarkan pada imformasi yang sebaik mungkin tentang keragaman budaya tersebut (Hall & Hall, 1987 dalam Elashmawi & Haris, 1999:4-27).

Berbicara tentang manajemen multi budaya, tidak terlepas dari kajian tentang budaya organisasi, yang memuat nilai-nilai atau kepercayaan yang dimiliki oleh individu dan organisasi. Dalam konteks persekolahan, nilai-nilai yang dimiliki dan dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…”

(3)

Persaingan

fenomenan sama. Artinya, Advaita Vedanta sangat menyadari akan adanya perbedaan dan pluralisme. Karena itu perlu adanya kemauan bersama sebagai bagian dari komunitas multi kultural untuk mengakutualisasikannya dalam bentuk praksis dan tindakan nyata.

Pentingnya peranan komunikasi dalam manajemen multi budaya, maka perlu direkayasa model-model komunikasi yang sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi. Di bawah ini adalah contoh model-model komunikasi multi budaya, seperti diragakan oleh gambar berikut:

Sumber : Elashmawi & Haris (1999:82-84) Gambar 1

Model Kepercayaan, Nilai dan Komunikasi Multi Budaya

Dari gambaran di atas tersirat pengertian bahwa perilaku seseorang (dalam bisnis, kehidupan sosial, pemerintahan dan lainnya) dipengaruhi sistem kepercayaan, juga oleh nilai-nilai yang dianutnya dan diberi ganjaran (imbalan). Jika seorang pemimpin (misalnya orang Jepang) bekerja di Amerika, memaksanakan nilai-nilai Jepang seperti keselarasan kelompok, senioritas, status, sebagai nilai di tengah orang-orang Amerika, tentulah menimbulkan kesulitan karena ia dipaksa melawan sistem kemandirian, keterbukaan, langsung dan ambil resiko, sebagai nilai-nilai yang berlaku di Amerika. Demikian halnya jika nilai-nilai Amerika ke sistem nilai yang berlaku di Jepang, akan terjadi hal yang serupa, nyaris gagal.

(4)

FASE I Mendengarkan

Mengamati Merasakan

NILAI KOMUNIKASI

Imbalan (ganjaran)

FASE II Menanggapi Ambil bagian

Tumbuh

FASE III Menyesuaikan

Berbagi Mengalami

FASE IV Menikmati

Sumber : Elashmawi & Haris (1999:85-86) Gambar 2

Model Kesenangan/Kepuasan

Dalam model ini harus disadari perbedaan nilai-nilai budaya yang ada dan saling berinteraksi. Berkomunikasi dengan orang Jepang misalnya, Fase I sangat dihargai, biasanya memakanya waktu lama, karena orang Jepang akan mendengarkan, melihat, merasakan pikiran-pikiran mitra asing meraka, lebih dari sekedar hanya menjawab langsung, meraka sangat antusias. Barulah mereka ambil bagian pada Fase II, sedangkan Fase III sudah tinggal meluruskan apa yang disepakati pada Fase II, sehingga Fase IV tinggal dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang Amerika, senderung kurang suka berlama-lama pada Fase I, tapi langsung ke Fase II dan seterusnya. Kalau ke dua nilai budaya itu tidak saling menghargai, biasanya yang terjadi adalah kegagalan, karena kekurangmampuan membangunan kepekaan budaya.

B. Tujuan Pendidikan Multikultural

(5)

organisasi belajar. Belajar kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil, di mana pemelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami materi pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota kelompoknya.

Karakteristik pembelajaraan kooperatif Tujuan kelompok (group Goals), adalah menghargai anggota kelompok dari kemampuan yang tidak sama untuk bekerja sama dan membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tanggungjawab individual (individual accountability), mempunyai pengertian bahwa setiap anggota kelompok memberikan respon untuk menguasai materi, dan kesempatan yang sama untuk sukses (equal opportunity for success), bahwa setiap anggota kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan penghargaan dari kemampuan yang dicapainya, dan keberhasilan kelompok adalah keberhasilan setiap anggota kelompoknya. Dengan demikian, pendidikan multikultural berimplikasi pada terpencarnya, divergent, konsep pendidikan bermutu dan terpusatnya, convergent, nilai-nilai kooperatif secara menyeluruh dalam upaya membuka kemampuan manusia, unlocking human capacity, menuju keistimewaan dalam membangun spirit of innovation, semangat pembaharuan.

Semangat pembaharuan seperti yang dibangun oleh Vigotsky dalam perkembangan kognitif merupakan pemahaman kognisi makhluk susila dalam konteks sosial sebagai bagian dari masyarakat. Hal inilah yang dimaksud dengan dimensi sosial kultural pembelajaran/pendidikan yang melibatkan hadirnya suatu kompetensi lintas budaya, cross cultural. Oleh karena itu, multikultural education adalah proses pengembangan kompetensi dalam sistem standar jamak yang merujuk pada persepsi, evaluasi, yakini plus tindaki, peningkatan kompetensi lintas budaya kepada semua mahasiswa tak peduli etnis, latar belakang ras, perempuan laki-laki. Selanjutnya, pendidikan multikultural menuntut setiap orang termasuk private culture, harus memiliki wawasan tentang kebudayaan masyarakatnya sendiri ditambah kebudayaan individu lain ia punya persepsi tentang kebudayaan orang lain.

(6)

menyentuh dan diharapkan pendidikan multikultur berpihak pada aku dan kamu. Menurut Martin Buber Gabriel Marcel bahwa pendidikan multikultur yang diwaujudkan melaslui pembelajaran terjadi hubungan manusia dengan masyarakat (Ich und du) di mana manusia sebagai makluk sosial dan dengan terjadinya hubungan dengan masyarakat yang tanpa pamrih akan terwuju harapan kita sebagai hamba Allah (Ich und Du) sehingga terjalin hubungan dengan sang pencipta. Kebutuhan individu yang berbeda satu sama lain dan kebutuhan masyarakat pada umumnya berbeda maka dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya memberlakukan berbagai metode di mana kemampuan peserta didik satu dengan lainnya berbeda baik tingkat intelektual, kecepatan belajar, sifat maupun sikap, sehingga dapat menggali kemampuan peserta didik tiada batas berkembang secara optimal.

Selajutnya, dalam pendidikan multikultur seharusnya dapat memberikan perubahan secara bertahap dan berkelanjutan sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai di mana belajar merupakan aktivitas individu bersama orang lain dan tujuan belajar adalah penetapan harapan ke depan tentang kompetensi atau penguasaan yang dipelajari, dan struktur di dalam menentukan saling ketergantungan antar pembelajar saat mereka berusaha untuk mencapai tujuan belajarnya. Guru hendaknya bukan sekedar memindahkan pengetahuan ke pemelajar, tetapi membantu pemelajar membangun pengetahuannya. Oleh karena itu, peran guru lebih merupakan mediator dan fasilitator yang membantu pemelajar untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan secara cepat dan efektif. Dengan demikian, seorang guru perlu mempunyai pandangan, pengetahuan yang luas sehingga memahami berbagai cara, dan strategi dan tidak terpokus pada satu model mengajar saja, sehingga dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki peserta didik menjadi kemampuan yang akan dimilikinya.

Pendidikan multikultur harus diarahkan pada kegiatan mengembangkan kesadaran dan kebanggaan menjadi bangsanya sendiri, di mana sebagai suatu bangsa yang memiliki beraneka ragam budaya dan memliki sistem yang beragam dan dalam pelaksanaan pembelajaran tidak membedakan peserta didik satu dengan lainnya dan semua peserta didik dapat terlayani dengan baik karena mempunyai hak yang sama. Memiliki kesempatan yang sama berarti terlibat dalam proses pembelajaran yang tepat. Tuntutan dan tantangan kehidupan yang meningkat seiring dengan era globalisasi, begitu pula dengan dunia pendidikan yang juga memasuki perkembangan baru, sekarang sekolah-sekolah sudah mulai mencapai standar nasional maupun internasional sehingga para peserta didik dapat beradaptasi pada sistem tersebut. Namun reformasi dunia pendidikan berjalan lambat karena adanya sistem sentralisasi sementara proses globalisasi terus berjalan. Nilai-nilai meritrokrasi bukan hanya dilihat secara kualitatif, melainkan juga secara kualitatif. Meritrokasi yang bersifat kuantitatif merujuk pada penghargaan perolehan nilai dan hasil pengukuran pengetahuan, yang berwujud skor, sedang meritokrasi yang bersifat kualitatif harus dapat mengungkap sikap, perilaku, dan etika sebagai implementasi pengetahuan yang dimiliki.

(7)

kompetitif terjadi bila penghargaan itu diperoleh sebagai upaya individu melalui persaingan dengan orang lain. Sedangkan penghargaan kooperatif diperoleh dari keberhasilan bersama anggota kelompok yang lain. Jadi, prinsip-prinsip meritokrasi seharusnya menjadi landasan utama dalam pembangunan kehidupan bangsa. Sayangnya, penyelenggara pendidikan di Indonesia selama ini cenderung mengabaikan prinsip tersebut dan para pengambil kebijakanpun kurang menyadari pentingnya menegakan prinsip penghargaan terhadap prestasi.

Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

(8)

prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.

Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

(9)

 Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.

 Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.

 Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.

 Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

C. Permasalahan dan Tantangan Manajeman Pendidikan Multibudaya

Pembangunan pendidikan di daerah menurut UU.No.32/2004 bukan lagi suatu konsep tetapi mulai diimplementasikan pada semua tingkatan manajemen, tidak terkecuali pada tatanan kelembagaan SKPD (Dinas Pendidikan) maupun pada satuan pendidikan di jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Implementasi pada tatanan kelembagaan pendidikan sungguh sangat berarti, karena fungsi dan peranan kelembagaan tersebut sangat strategis dalam pembangunan peradaban masyarakat.

Tiga persoalan mendasar yang patut diantisipasi dalam otonomi pengelolaan pendidikan, yaitu: Apakah pemberian otonomi pengelolaan pendidikan akan menjamin setiap anggota masyarakat memperoleh haknya dalam pendidikan? Apakah dengan pemberian kewenangan pengelolaan pendidikan kepada lembaga satuan pendidikan dapat menjamin peran serta masyarakat akan meningkat? Apakah pengelolaan pendidikan yang dilakukan di setiap lembaga satuan pendidikan dapat mencapai hasil-hasil pendidikan yang bermutu?

(10)

pendidikan. Secara teknis, pengelolaan pendidikan tingkat kabupaten/kota eksistensinya tidak terlepas dari rekomendasi kebutuhan pada tingkat satuan pendidikan. Artinya, bidang garapan, proses, dan konteks pengelolaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan tidak mutlak sama, baik dengan daerah lainnya yang sederajat maupun dengan antar daerah kabupaten/kota. Secara teoritis, keragaman itu akan memunculkan sinergisme yang didukung oleh keunggulan komparatif dan kompetitif masing-masing daerah dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Dengan demikian, bahwa besar dan luasnya kewenangan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan akan tergantung kepada sistem politik dalam memberikan keleluasaan tersebut. Akan tetapi, sekalipun keleluasaan itu diberikan tidak dapat diartikan sebagai pemberian kebebasan mutlak tanpa mempertimbangkan kepentingan pemerintah daerah, sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara pengelola pendidikan pada tingkat kabupaten dengan pengelola pendidikan di tingkat kelembagaan satuan pendidikan. Sesungguhnya konflik kepentingan tersebut tidak perlu terjadi apabila para pengelola tingkat kabupaten memahami hakekat dan urgensi perlunya otonomi dalam pengelolaan pendidikan. Walaupun terjadi tarik menarik kepentingan, harus berdasarkan pada prinsip saling ketergantungan untuk menghasilkan sinergitas bagi tujuan-tujuan pembangunan pendidikan yang lebih luas.

Dalam konsepnya, otonomi mengandung dua makna, yaitu makna politik (otonomi politik) dan makna administratif (otonomi administrasi). Membedakan kedua istilah ini sangat penting dalam praktek pengelolaan pendidikan, karena pelayanan pemerintah kepada masyarakat dalam bidang pendidikan secara politik harus dapat menjamin hak dan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, dan pelaksanaannya menyangkut banyak pihak yang berkepentingan, sehingga memerlukan kesepakatan-kesepakatan politik. Sedangkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dalam bidang garapan, proses, dan konteks penyelenggaraan pendidikan secara administrasi dan manajerial tidak memerlukan konsensus dengan pihak-pihak di luar kelembagaan pendidikan, karena otonomi administrasi merupakan bagian dari strategi manajemen yang memungkinkan sangat variatif sesuai karakteristik jalur, jenjang dan jenis kelembagaan satuan pendidikan di masing-masing daerah.

Otonomi pengelolaan pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit tingkat atas terhadap persoalan-persoalan manajemen pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah, sehingga diharapkan terjadi pemberdayaan peran unit di tingkat bawah. Akan tetapi, walaupun begitu luasnya otonomi dalam pengelolaan pendidikan yang diberikan kepada lembaga satuan pendidikan, tetap harus konsisten dengan sistem konstitusi.

D. Referensi

Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.

(11)

Elashmawi, Farid dan R. PhilipHarris (1999). Manajemen Multi Budaya. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Iim Wasliman, 2007. TINJAUAN KONSEP MANAJEMEN MULTI BUDAYA DI SEKOLAH, Makalah. James D.Adam, 2007. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL& PAKET MULTIKULTURAL, Makalah Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.

Gambar

Gambar 1
Gambar 2Model Kesenangan/Kepuasan

Referensi

Dokumen terkait

kekuasaan Allah swt lewat keberadaan alam semesta ini. Tujuan penafsiran ayat- ayat kawniyyah adalah untuk mengenal Allah swt dengan sebenar-benarnya lewat keberadaan makhluk-Nya

Secara singkat, penyusunan Renstra berdasarkan perencanaan berbasis hak meliputi beberap point yang termasuk: di mana kita sekarang, bagaimana kita mencapainya, apakah hambatan

Dapat dilihat dari tabel anava nilai signifikansi 0,042<0,05 artinya signifikan pengaruhnya terhadap konsumsi bahan

bahwa produk biogas yang dihasilkan melalui proses purifikasi menggunakan membran nilon, sudah dapat dikatakan memiliki kualitas yang cukup baik karena semakin

Laru Larutan tan yan yang g tela telah h diekstrak akan terbagi dua bagian, lapisan yang paling atas merupakan larutan eteral diekstrak akan terbagi dua bagian, lapisan yang

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti di Sekolah Dasar Negeri se Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau ditemukan beberapa permasalahan

Subjek diharapkan untuk meng- aplikasikan hasil dari proses pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari agar man- faat yang diperoleh lebih terasa dan diharapkan dapat

Pertama-tama, atas nama Keluarga Besar Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) mengucapkan Selamat Datang kepada seluruh undangan baik kepada Bapak Menteri