• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS PENGANTAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIO (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS PENGANTAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIO (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS PENGANTAR ILMU HUBUNGAN

INTERNASIONAL

(IMPLEMENTASI DAN DAMPAK DARI PENERAPAN PERFEKTIF

UTAMA DALAM STUDY HUBUNGAN INTERNASIONAL)

DISUSUN OLEH

MAGHFIRA TRI MAULANI

1301113955

HUBUNGAN INTERNASIONAL

UNIVERSITAS RIAU

(2)

Kajian-kajian di dalam SHI

saling ketergantungan ekonomi (economic interdependence), hutang luar negeri Dunia Ketiga dan ketergantungan (dependence), perdagangan internasional, bentuk-bentuk baru identitas politik dan kewarganegaraan, rezim internasional, masyarakat internasional (international society), anarki internasional, asosiasi ekonomi regional, perimbangan kekuatan (balance of power), demokratisasi, keamanan pasca Perang Dingin, transnasionalisme, perang, konflik, kerjasama negara (nation states), perusahaan transnasional, pasar finansial, NGO, komunitas supra dan sub-nasional, pasukan penjaga perdamaian, kelompok pemberontak, gerakan-gerakan sosial baru (misalnya gerakan perempuan dan kelompok-kelompok pecinta lingkungan), organisasi internasional, pengungsi, kelompok teroris

distribusi kekuatan militer, arms control, globalisasi dan fragmentasi, kesenjangan global, hak asasi manusia, intervensi dan kedaulatan, bantuan luar negeri dan bantuan kemanusiaan, pengungsian, etnisitas, isu-isu perempuan, jender, isu-isu yang terkait dengan konservasi lingkungan, penyakit menular (seperti AIDS, flu burung), narkotika, kejahatan transnasional, kemiskinan, peace keeping & peace building, just war, baik atau tidaknya intervensi kemanusiaan, perdebatan tentang redistribusi kekuatan dan kekayaan, kewajiban terhadap alam, saling menghormati perbedaan kebudayaan, hak-hak perempuan dan anak-anak

Perkembangan Metodologi

Selain perdebatan mengenai isu-isu substantif, misalnya apa penyebab terjadinya perang atau apakah demokrasi akan mengekalkan perdamaian, perdebatan penting lainnya di dalam SHI adalah mengenai metodologi. Perdebatan metodologi biasanya membahas hal-hal filosofis tentang bagaimana penelitian baiknya dilakukan; apakah bisa menggunakan pendekatan saintifik, apakah asumsi realis bahwa sifat dasar manusia agresif atau asumsi liberalis bahwa manusia suka bekerja sama itu benar, dan lain sebagainya.31

30 Scott Burchill,

Ketika awal berdiri sebagai sebuah kajian, orang-orang liberalisme idealis yang meneliti tentang HI kebanyakan berasal dari kalangan non akademik. Perhatian terhadap

metodologi tidak terlalu banyak diperhatikan, karena fokus tulisan mereka bukan pada upaya menjelaskan, tapi lebih kepada hal-hal yang harusnya diterapkan di dunia agar terhindar dari perang. Reaksi kelompok realis (dalam debat pertama), tidak melihat kelemahan metodologi kelompok liberalisme idealis. Fokus kritikan kelompok realis ada pada kelemahan-kelemahan pandangan kelompok idealis tentang bagaimana sistem internasional seharusnya bekerja.32

Sumber: Scott Burchill, et al., Theories of International Relations, 3rd ed., New York: Palgrave Macmillan

et al., Theories of International Relations, 3rd ed., New York: Palgrave Macmillan, hal. 13 31 Jackson &

(3)

IMPLEMENTASI DAN DAMPAK DARI PENERAPAN

PERFEKTIF UTAMA DALAM STUDY HUBUNGAN

INTERNASIONAL

Perspektif dalam studi hubungan internasional merupakan suatu landasan atau sebagai dasar untuk menganalisa masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang terjadi di dalam perkembangan hubungan internasional. Melalui perspektif-perspektif inilah para ahli maupun para penstudi hubungan internasional dapat menjelaskan teori-teori mengenai permasalahan-permasalahan tersebut. Ada beberapa perspektif dalam hubungan internasional, diantaranya : realis, idealis, behavioralis dan strukturalis.

A.

Perspektif Realis (Realism)

Perpektif realis memandang negara sebagai aktor yang bersifat rasional dan monolith sehingga dapat memperhitungkan tindakan demi kepentingan keamanan nasional. Realis

menitik beratkan terhadap struggle of poweratau realpolitik. Menurut kaum realis ada

empat sifat dasar interaksi dalam hubungan internasional yakni : anarki, kompetitif, kerap kali konflik dan kerjasama dalam jangka pendek. Ketertiban dan stabilitas hanya dapat diperoleh melalui distribusi kekuasaan (power politics).

Paham realis jika dilihat dari sudut pandang pelaksanaan politik luar negeri suatu negara bersifat unilateralis (unilateralism), nasionalis (nationalism), dengan strategi penangkalan (deterrence), perimbangan kekuatan (ballance of powerI dan aliansi-aliansi pertahanan (deffence alliances).

B.

Perspektif Idealis (Idealism)

Dalam paham idealis, negara-negara saling bekerjasama dalam berbagai organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuan global dan kemanusian. Paham idealis bersifat normatif, artinya semua yang terjadi itu sudah seharusnya, prinsip-prinsip, hukum, organisasi dan pengaruh opini publik merupakan hal yang sangat penting

(4)

C. Perspektif Behavioralisme (Behavioralism)

Menurut pandangan kaum behavioralis, hubungan internasional merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial secara umum. Perspektif behavioralis atau aliran prilaku banyak mempengaruhi pendekatan-pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian. Behavioralis sering disebut sebagai pendekatan ilmiah, ia sering menantang model-model yang ada dalam mempelajari tingkah laku manusia dan basis-basis teori tradisionalisme.

Behavioralis dalam penelitiannya condong kepada analisa komparatif lintas nasional yang tidak hanya membahas mengenai studi kasus negara tertentu dalam waktu tertentu. Perspektif ini menekankan perlunya metode pengumpulan data mengenai ciri khas suatu negara dan hubungan-hubungannya dengan negara lain. Dan juga, aliran prilaku ini banyak diwarnai oleh studi kuantitatif hubungan internasional.

D. Perspektif Struturalisme (Structuralism)

Strukturalisme muncul di Prancis tahun 1960. Perspektif strukturalisme merupakan perspektif ilmu hubungan internasional yang dipengaruhi oleh paham marxisme. Strukturalis memandang bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem antarnegara yang berhubungan. Ciri fundamental tata dunia adalah ketidaksamaan dalam eksploitasi kapitalis. Dalam strukturalis, kelas merupakan aktor yang paling dominan dalam hubungan internasional, dan negara sebagai perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional kemudian membantu melegitimasi dan memelihara struktur yang ada.

(5)

Kajian Ekonomi Politik Internasional muncul akibat semakin berkembangnya isu-isu yang ada karena meningkatnya kompleksitas dari hubungan antar aktor internasional, terutama dalam hal ekonomi politik internasional. Kajian ini menggeser isu politik tradisional seperti isu perang kepada isu sosial ekonomi, yang utamanya berbicara mengenai isu kekayaan dan kemiskinan dalam dunia internasional. Lebih jauh, kajian ini membahas tentang siapa yang mendapatkan apa dan bagaimana dalam interaksi ekonomi internasional.

Secara umum terdapat tiga pendekatan utama yang mampu menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional pada saat ini. Ekonomi Politik Internasional mengemukakan bahwa terdapat tiga teori utama EPI, antara lain merkantilisme, liberalisasi ekonomi, dan marxisme. Ketiganya memiliki cara yang berbeda satu sama lain untuk menjelaskan fenomena ekonomi politik internasional, disebabkan ketiganya muncul atas latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, fenomena ekonomi politik internasional tersebut dapat dijelaskan melalui beberapa sudut pandang.1 Pendekatan yang pertama adalah Merkantilisme. Teori ini muncul sekitar abad

ke 16 dengan memandang pentingnya negara berdaulat sebagai elit politik yang utama. Sehingga aktivitas ekonomi seharusnya tunduk pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat, yang dengan kata lain, ekonomi merupakan alat politik dan dasar bagi kekuasaan politik2 . Ketika kepentingan beberapa negara ini bertemu dalam arena

internasional, akan timbul konflik kepentingan nasional yang saling bertentangan dan bertabrakan, dan berujung pada sistem zero-sum di mana yang kuat lah yang akan mendominasi. Pandangan ini agaknya mirip dengan pandangan neorealis mengenai persaingan antarnegara dalam dunia yang anarki. Penerapan perspektif ini dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif. Dampak yang positif adalah ketika kepentingan ekonomi nasional dipandang penting sebagai bagian dari mempertahankan keamanan nasional. Tetapi dampak yang negatif muncul ketika dalam penerapannya, negara melakukan eksploitasi atau perilaku lain yang dapat merugikan negara lain demi kepentingan ekonomi nasionalnya sendiri. Contohnya adalah pada praktik imperialisme dan kolonialisme oleh negara-negara Eropa kepada wilayah-wilayah di Afrika dan Asia sejak abad ke-16.

1

(6)

2

Jackson & Sorensen, 2009:231

Beberapa tokoh merkantilisme ini antara lain Alexander Hamilton, salah satufounding fathers Amerika Serikat; dan Friedrich List, seorang ekonom yang berasal dari Jerman. Singkatnya, merkantilisme memandang bahwa kepentingan negara merupakan hal terpenting, sehingga segala aktivitas ekonomi berada dibawah kendali kepentingan politik, yang dalam konteks negara adalah pemerintah. Sebab negara bertanggung jawab atas atas tercapainya kepentingan nasional. Untuk menjaga supaya kepentingan tersebut tidak terpecah antara kepentingan keamanan dan kepentingan ekonomi, maka sebisa mungkin negara menghindari ketergantungan kepada negara lain (Jackson & Sorensen, 2009:234).

Pendekatan yang kedua adalah Liberalisme. Teori ini muncul sebagai kritik atas merkantilisme, yang dianggapnya akan menghalangi tercapainya kesejahteraan masyarakat negara (Jackson & Sorensen, 2009:235). Pemikiran liberalisme ekonomi berasal dari Adam Smith melalui bukunyaWealth of Nations (1776), yang meyakini bahwa untuk mencapai efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah tidak seharusnya ikut campur dan justru membiarkan pasar berjalan pada mekanismenya sendiri. Kemudian pendapat ini dikuatkan dengan konsep keunggulan komparatif milik David Ricardo, di mana proses produksi ekonomi akan lebih efisien ketika setiap aktor mengkhususkan produksinya yang menghasilkan keuntungan terbesar. Dengan demikian dalam aktivitas perdagangan bebas yang lintas batas, setiap negara akan memperoleh keuntungan yang maksimal melalui efisiensi, dan kesejahteraan global akan meningkat (Jackson & Sorensen, 2009:235). Dan oleh karena perspektif dasarnya yang liberal, maka ia mengedepankan kebebasan individu untuk mengeksplor lebih jauh kesempatan untuk turut terlibat dalam pasar. Sehingga dalam perspektif liberalisme ini setiap individu akan memperoleh keuntungan ketika ia terlibat dalam pasar, dan kesejahteraan individu akan lebih terjamin. Dengan demikian, perekonomian internasional seharusnya didasarkan pada perdagangan bebas (Jackson & Sorensen, 2009:234).

(7)

Sorensen, 2009:239). Dalam praktisnya kelas borjuis yang menguasai faktor produksi akan mendominasi perekonomian kapitalis yang dengan demikian juga akan mendominasi perpolitikan. Pandangan marxisme ini jika diaplikasikan dalam kerangka studi Ekonomi Politik Internasional, dapat dianalisis bahwa (1) negara tidak otonom, ia digerakkan oleh kelas borjuisnya dalam menerapkan kepentingan ekonominya; (2) sifat ekonomi kapitalisme yang ekspansif akan cenderung mencari pasar baru yang lebih menguntungkan, sehingga gelombang kapitalisme akan meluas ke seluruh dunia (Jackson & Sorensen, 2009:240). Dalam prakteknya, perluasan pasar yang ekspansif dan eksploitatif berada pada bentuk imperialisme yang pada masa kolonialisme berada pada formasi yang lebih tradisional dibandingkan sekarang, yaitu bentuk globalisasi ekonomi yang didominasi oleh perusahaan multinasional raksasa yang mendominasi perekonomian internasional.

Bentuk pembagian kelas dalam konsep marxisme yang dapat dilihat pada dunia internasional adalah adanya bentuk-bentuk tingkatan negara berdasarkan tingkat kesejahteraan dan kemajuannya, yaitu negara dunia pertama (core), adalah negara kaya-maju seeperti Amerika Serikat dan negara di Eropa Barat; dunia kedua (semi periphery), adalah negara sedang seperti Jepang; dan dunia ketiga (periphery), adalah negara miskin-berkembang seperti negara di Afrika dan Asia. Adanya bentuk kelas ini menunjukkan adanya ketergantungan mereka yang berada pada wiayahperiphery terhadap mereka yang core. Jackson & Sorensen (2009:75) juga menyebutkan adanya paham Neo-Marxis, yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Keduanya berpendapat bahwa negara kaya menggunakan sistem perekonomian yang kapitalis global untuk memiskinkan negara miskin di dunia, dengan menekankan konsep ketergantungan. Agar dapat ikut serta dalam perekonomian kapitalis global, negara miskin tersebut harus menjual bahan mentah pada tingkat harga murah dan membelinya dalam bentuk barang jadi dengan harga yang mahal (Jackson & Sorensen, 2009:75).

(8)

privat/swasta, dan menurut marxisme adalah kelas-kelas. Dalam hal sifat hubungan ekonomi, merkantilisme dan marxisme sama-sama menganggap kondisi yang ada konfliktual dan berujung pada zero sum game, sementara liberalisme menganggap kondisi yang ada koopeatif dan berujung pada positive sum game. Terakhir, dalam hal tujuan ekonomis, pandangan merkantilisme adalah demi tercapainya kekuatan negara, pandangan liberalisme adalah kesejahteraan maksimal individu dan sosial, dan pandangan marxisme adalah kepentingan masing-masing kelas.

Salah satu perspektif dalam ilmu Hubungan Internasional yang mengalami banyak perkembangan adalah Realisme. Perspektif realis banyak membahas tentang perang dan keamanan yang berkaitan dengan militer dan power. Realisme berkembang dan mendasar pada pemikiran bahwa man is evil. Aktor dalam perspektif realisme adalah negara, sebagai satu individual yang tidak akan bekerjasama dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu (self-interested) dan akan selalu berusaha untuk memperkuat dirinya sendiri. Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara lain

(1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat, berambisi untuk berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama;

(2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik;

(3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya bisa diselesaikan dengan jalan perang;

(9)

Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics. Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang termasuk ke dalam kategori low politics. Realisme juga memfokuskan analisisnya pada power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting. Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak menolak prinsip-prinsip moral, Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual dikalahkan oleh kepentingan akan kelangsungan hidup negara dan penduduknya dan tentu saja kepentingan nasional itu sendiri Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara berkewajiban mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik internasional. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal dan rasional. Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil maksimal. Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh karena itu, power adalah konsep kunci dalam hal ini. Dasar Normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara: ini merupakan nilai-nilai yang menggerakkan doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis.

(10)

berperikemanusiaan, dan singkat. dengan demikian negara dipandang sebagai pelindung wilayahnya, penduduknya, dan cara hidupnya yang khas dan berharga. Kepentingan nasional adalah wasit terakhir dalam menentukan kebijakan luar negeri. Masyarakat dan moralitas manusia dibatasi pada Negara dan tidak meluas pada hubungan internasional yang merupakan arena politik dari kekacauan yang besar, perselisihan, konflik antar Negara-negara yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.

(11)

Pengklasifikaiannnya bisa berdasarkan pada tahun kemunculannya, yaitu klasik (hingga abad 20) dengan Hobbes, Kaum realis klasik hidup dalam banyak periode sejarah yang berbeda; dari Yunani kuno sampai saat ini. Key Thinkerspada jaman itupun sudah banyak mengungkapkan teori tentang realisme politik yang menjadi haluan bagi pemikir-pemikir kunci realisme pada masa sekarang. pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman Thucydides (The Melian Dialogue 460-406BC), Nicollo Machiavelli (1496-1527), Thomas. Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism. Realisme klasik menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih untuk melindungi negaranya (Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike Amerika Serikat pada masapostcontaintment Perang Dingin). Machiavelli dan Thucydides sebagai tokohnya yang setuju bahwa kondisi manusia tidak aman dan penuh konflik, adanya kumpulan pengetahuan politik/ kebijaksanaan untuk menghadapi masalah keamanan, dan tidak ada solusi permanen atau akhir dari masalah politik.

(12)

Doktrin ini pada awalnya berawal dan meluas di Amerika (meskipun tidak secara khusus). memfokuskan analisisnya pada pengejaran terhadap power dan otonomi dalam interaksi internasional dan tidak adanya keharmonisan interest diantara negara-negara sehingga konsep self help menjadi penting dan kemampuan yang paling relevan adalah kemampuan dibidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral, hanya saja dalam prakteknya moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.

Neo-realisme mengasumsikan sistem internasional yang anarki memberikan pengaruh terhadap perilaku Negara. Neo-realisme (1979-sampai sekarang) yang merupakan karya Kenneh Waltz. Perbedaannya dengan realis adalah tidak menyetujui penjelasan perilaku dalam hubungan internasional,dan tentu saja berusaha ilmiah dan lebih positivis karena neo-realis ingin mensistemasikan realisme politik ke dalam teori sistem yang kuat dan deduktif dari politik internasional. Neo-Realisme (Disebut juga sebagai Structural Realism)

(13)

Dari sini neo-realisme berpandangan bahwa dimungkinkan adanya kerjasama didalam sistem yang anarki namun relative gain adalah tujuan dari negara-negara yang terlibat di dalamnya bukan absolute gain . Mengapa demikian? karena dalam suatu kerjasama dalam sistem anarki tidak ada badan supranasional yang bisa memberikan jaminan bahwa anggotanya tidak melakukan kecurangan satu dengan yang lainnya juga negara-negara yang terlibat didalamnya tidak dapat meramalkan apakah teman di masa sekarang tetap menjadi teman di masa yang akan datang, ada kemungkinan teman kita hari ini menjadi musuh kita dikeesokan hari.

Maka dengan demikian negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut tidak akan rela apabila negara lain mengambil keuntungan yang lebih besar dari apa yang ia dapatkan, terutama bagi negara-negara yang memiliki power kuat, dia akan mempertahankan kondisi anarki dan kerjasama yang sedemikian, karena ia diuntungkan. Persamaannya dengan realis kontemporer yaitu anarki dan ketiadaaan lembaga sentral menjadi ciri struktur sistem, negara sebagai aktor utama, bertindak dengan prinsip menolong diri sendiri dan mengusahakan agar bisa bertahan dengan kekuatannya, karena itu negara sama dalam tugas yang dihadapinya,

yang berbeda adalah kapabilitas posisi negara dalam sistem dan distribusi dalam mendefinisikan sistem struktur. Perubahan dalam distribusi kapabilitas merangsang perubahan dalam struktur sistem seperti konfigurasi kekuatan multipolar ke bipolar atau menuju unipolar. Namun merebut kekuasaan dengan usaha internal seperti meningkatkan ekonomi, militer, strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal seperti memperluas aliansi atau membubarkan aliansi musuhnya. tidak dianggap tujuan dan tidak lagi dilihat sebagai karakter manusia yang sangat dasar seperti dalam realisme klasik. Asumsinya adalah bahwasanya Keseimbangan kekuatan muncul secara otomatis dari instink kebutuhan dasar untuk bertahan.

Kritik Terhadap Realisme

(14)

beranggapan bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat egois dan menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingannya, meskipun itu artinya harus mengorbankan orang lain. Hal ini diilustrasikan oleh cerita stag hunt yang dikemukakan oleh Waltz mengutip Rousseau. Dikisahkan ada lima orang yang tersesat di pegunungan. Mereka kelaparan dan kemudian sepakat untuk bekerjasama menangkap rusa dewasa agar cukup untuk berlima. Kemudian muncul seekor rusa dengan anaknya. Karena berada dalam jangkauannya, salah seorang dari mereka menangkap anak rusa tersebut, dan tidak mempedulikan bahwa akibat perbuatannya sang rusa dewasa akhirnya lepas. Dia hanya mementingkan diri sendiri dan lupa dengan perjanjian sebelumnya.

Sedangkan kaum idealis lebih optimistis dalam melihat sifat dasar manusia. Mereka beranggapan manusia sebagai makhluk sosial, senang bekerjasama dan memiliki rasa kemanusiaan terhadap sesamanya. Seperti misalnya, dikisahkan seorang pria sedang bersama kekasihnya mengalami kecelakaan. Mobil yang mereka naiki berada dibibir jurang yang dalam dan hampir terjatuh. Pria itu kemudian berusaha sekuat tenaga untuk menolong sang kekasih tercinta. Sang kekasih akhirnya dapat terselamatkan dengan didorong keluar oleh pria tersebut. Tetapi malang, si pria itu tidak sempat keluar dan akhirnya tewas, jatuh ke jurang bersama Ferrari Maranello yang baru dibelinya…Dari cerita tersebut bisa disimpulkan bahwa ketika compassion (perasaan) seperti cinta dan kasih sayang terlibat, maka manusia dapat mengorbankan kepentingan dirinya sendiri.

Perbedaan pandangan dasar inilah yang kemudian mempengaruhi analisis kedua aliran ini. Realisme mengedepankan survival (usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup) dan self help (hanya mengandalkan diri sendiri dalam mencapai tujuannya di dunia yang anarkis). Sedangkan idealisme mengutamakan kerjasama dengan pihak lain dalam mencapai tujuan bersama seperti menciptakan perdamaian, dengan berusaha membentuk organisasi internasional.

(15)

bahwa hendaknya praktik diplomasi dilakukan secara terbuka dan menggantikan praktik diplomasi rahasia, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan rahasia antar-negara mengenai siapa yang akan mendapatkan wilayah apa pasca Perang Dunia Pertama. Wilson juga meyakini bahwa perang dapat dihindari dengan menciptakan sebuah organisasi internasional, yang berlandaskan prinsip collective security. Skema yang ia bangun untuk League of Nations(LBB) bertumpu pada negara-negara anggota yang ‘cinta damai’ yang menganggap setiap ancaman terhadap perdamaian dunia sebagai tindakan agresi yang mengancam mereka semua, dan oleh karenanya harus direspon secara kolektif.

(16)

Referensi

1. ^Columbia Encyclopedia: international relations

2. ^ Barry Buzan, Richard Little. International Systems in World History: Remaking the Study of International Relations. published 2000

3. ^ Stéphane Beaulac: “The Westphalian Model in defining International Law: Challenging the Myth”, Australian Journal of Legal History Vol. 9

(2004),http://www.austlii.edu.au/au/journals/AJLH/2004/9.html; Krasner, Stephen D.: “Westphalia and all that” in Judith Goldstein & Robert Keohane (eds): Ideas and Foreign Policy(Ithaca, NY: Cornell UP, 1993), pp.235-264

4. ^http://www.aber.ac.uk/en/interpol/ Department of International Politics, Aberystwyth University

5. ^ The “Inherent Bad Fatih Model” Reconsidered: Dulles, Kennedy, and Kissinger, Douglas Stuart and Harvey Starr, Political Psychology, [1]

6. ^ “…the most widely studied is the inherent bad faith model of one’s opponent...", The handbook of social psychology, Volumes 1-2, edited by Daniel T. Gilbert, Susan T. Fiske, Gardner Lindzey

7. ^ “…the most widely studied is the inherent bad faith model of one’s opponent”, The handbook of social psychology, Volumes 1-2, edited by Daniel T. Gilbert, Susan T. Fiske, Gardner Lindzey

8. ^ Adam Chapnick, The Middle Power.

9. ^http://www.amnesty.org/en/library/info/POL10/014/2005/en>

10. ^ Eg, Donald Markwell, John Maynard Keynes and International

(17)

11. ^ http://www.culturology.com/definition/Fabrice Rivault,

(1999) Culturologie Politique Internationale : Une approche systémique et matérialiste de la culture et du système social global, McGill Dissertation, Montréal, publiée par Culturology Press

12. ^Xintian, Yu (2005) “Cultural Factors In International Relations”, Chinese Philosophical Studies.

13. ^ Xintian, Yu (2009),"Combining Research on Cultural Theory and International Relations"

 Norman Angell The Great Illusion (London: Heinemann, 1910)

 Hedley Bull Anarchical Society (New York: Columbia University Press, 1977)

 Robert Cooper The Post-Modern State

 Goodin, Robert E., and Hans-Dieter Klingemann, eds. A New Handbook of Political Science (1998) ch 16-19 pp 401–78 excerpt and text search

 Robert Keohane After Hegemony

 Hans Köchler, Democracy and the International Rule of Law. Vienna/New York: Springer, 1995

 Andrew Linklater Men and citizens in the theory of international relations

 Reinhold Niebuhr Moral Man and Immoral Society 1932

 Joseph Nye Soft Power: The Means to Success in World Politics, Public Affairs Ltd 2004

(18)

 J. Ann Tickner Gender in International Relations (New York: Columbia University Press, 1992)

 Kenneth Waltz Man, the State, and War

 Kenneth Waltz Theory of International Politics (1979), examines the foundation of By Bar

 Michael Walzer Just and Unjust Wars 1977

 Alexander Wendt Social Theory of International Politics 1999

 J. Martin RochesterFundamental Principles of International Relations (Westview Press, 2010)

 Baylis, John, Steve Smith, and Patricia Owens. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations (2011)

 Mingst, Karen A., and Ivan M. Arreguín-Toft. Essentials of International Relations (5th ed. 2010)

 Nau, Henry R. Perspectives on International Relations: Power, Institutions, Ideas (2008)

 Roskin, Michael G., and Nicholas O. Berry. IR: The New World of International Relations (8th ed. 2009)

 New Cambridge Modern History (13 vol 1957-79), thorough coverage from 1500 to 1900

 Black, Jeremy. A History of Diplomacy (2010)

 Calvocoressi, Peter. World Politics since 1945 (9th Edition, 2008) 956pp excerpt and

(19)

 E. H. Carr Twenty Years Crisis (1940), 1919–39

 Kennedy, Paul. The Rise and Fall of the Great Powers Economic Change and Military

Conflict From 1500-2000 (1987), stress on economic and military factors

 Kissinger, Henry. Diplomacy (1995), not a memoir but an interpretive history of international diplomacy since the late 18th century

 Schroeder, Paul W. The Transformation of European Politics 1763-1848 (Oxford History of Modern Europe) (1994) 920pp; history and analysis of major diplomacy

 Taylor, A.J.P. The Struggle for Mastery in Europe 1848–1918 (1954) (Oxford History of Modern Europe) 638pp; history and analysis of major diplomacy

 Stéphane Beaulac: “The Westphalian Model in defining International Law: Challenging the Myth”, Australian Journal of Legal History Vol. 9

(2004),http://www.austlii.edu.au/au/journals/AJLH/2004/9.html

Krasner, Stephen D.: “Westphalia and all that” in Judith Goldstein & Robert Keohane (eds): Ideas and Foreign Policy (Ithaca, NY: Cornell UP, 1993), pp.235-264

[1] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, “Strukturalisme” dalam Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 151.

[2]David Weigall, “Structural Determinist” dalam International Relations: A Concise Companion, (New York: Oxford University Press Inc., 2002), hal. 214.

[3] Stephen P. Elliott dan Alan Isaacs, “Structuralism” dalam New Webster’s Universal Encyclopedia, (New York: Bonanza Books, 1987), hal. 940.

[4] Miriam Budiardjo, “Berbagai Pendekatan dalam Ilmu Politik” dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 85. Untuk bacaan lebih lanjut mengenai “Kiri Baru” lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 363-381.

[5] Ibid.

[6] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, Ibid., hal. 152-155.

[7] Hana Nurhasanah, “Strukturalisme”, Catatan Perkuliahan, (Jakarta: FISIP UNAS, 22 Oktober 2009)

[8] Miriam Budiardjo, Ibid., hal. 90-91.

[9] “Marxisme dan Teori Hubungan

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Amitav Acharya, & Barry Buzan, ed. 2010, Non-Western International Relations Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York: Routledge.

Barry Buzan & Ole Waever, 2003. Regions of Powers The Structure of International Security. Cambridge: Cambridge University Press.

Caeshung Chun, “Why is There No Non-Western International Relations Theory? Reflections on and from Korea” di dalam Acharya, A. & Buzan, B. ed. 2010, Non- Western International Relations Theory: Perspectives on Beyond Asia. New York: Routledge.

Chris Brown, 2001. Understanding International Relations, 2nd ed., New York: Palgrave.

Daniel Maliniak, et al., 2007. The International Relations Discipline, 1980-2006,

Makalah pertemuan tahunan American Political Science Association Agustus/September 2007.

Department of International Politics, 2011. The Legacy of One Man’s Vision, University of Aberystwyth, diakses dari <http://www.aber.ac.uk/en/interpol/about/>, pada tanggal 5 November 2011.

J.C. Johari, 1985. International Relations and Politics (Theoritical Perspectives), New Delhi: Sterling Publishers Private Limited.

Leonard C. Sebastian, & Irman G. Lanti, “Perceiving Indonesian Approaches to International Relations Theory” di dalam Acharya, A. & Buzan, B. ed. 2010, Non-Perkembangan Studi Hubungan International (Yessi)Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2, Februari 2012

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka tujuan pemidanaan yang bersifat Restoratif Justice (keadilan sosiologis) yang menekankan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak - kanak , Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,

Dimana pencairan kearah bawah lebih cepat oleh produksi tofografi daerah rendah “diamict” supraglacial pada prosese sedimentasi ulang secara umum diakibatkan oleh aliran

Di era sekarang ini dan sebuah keamanan menjadi perhatian utama bagi teknologi elektronik (Niranjanamurthy and Chahar 2013) agar tetap aman seiring meningkatnya

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)

Analisis komponen utama (AKU) terhadap rataan spektrum inframerah yang dihasilkan dari kombinasi segitiga kisi 6 ekstrak SDSBL menghasilkan jumlah proporsi kumulatif KU 1 dan KU

Hal ini disebabkan karena proton memiliki muatan sejenis dengan proton lain-katakanlah bermuatan listrik positip dan demikian juga interaksi antar elektron

Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah proses mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam