BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asas desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi adalah memberikan
keleluasaan organ daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
dalam rangka desentralisasi.1
Rekonstruksi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia
mengalami perubahan yang signifikan pasca terselenggaranya otonomi daerah.
Instrumen desentralisasi turut mengubah pengelolaan sumber daya lokal sebagai
bentuk pendelegasian wewenang dari pusat pada daerah otonom untuk lebih mandiri.
Pelayanan pendukung dari aktivitas usaha seperti izin usaha, kepastian hukum, dan
iklim usaha yang kondusif pun peranannya tidak lagi terfragmentasi pada pemerintah
pusat semata. Pemerintah daerah kini diharapkan menjadi aktor lokal dalam Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang
sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah tentang urusan
tertentu, sehingga pemerintahan daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik
yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya.
Pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar
menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
1
menciptakan sistem perizinan yang mendukung mekanisme kegiatan usaha dan
pengelolaan sumber daya daerah bagi kemaslahatan masyarakat lokal.2
Era globalisasi menghadapkan Indonesia pada suatu tuntutan untuk
melaksanakan pembangunan di segala bidang secara merata, termasuk juga menuntut
kesiapan setiap daerah untuk mampu berpengawasan serta di dalamnya.3 Antisipasi terhadap arus globalisasi ini diperlukan setiap daerah, terutama berkaitan dengan
peluang dan tantangan penanaman modal asing di daerah dan persaingan global di
daerah. Dalam otonomi daerah, daerah menjadi lebih leluasa dalam mengelola
sumber daya yang dimilikinya, dan memberi kesempatan tumbuhnya iklim yang lebih
demokratis di daerah.4
2
Tirta Nugraha Mursitama dkk, Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, Makassar, dan Banjarbaru), Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 2010, halaman 10.
3
Alvin Tofler, dalam Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Pengawasanan dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), halaman 66.
4
Muchan, Otonomi yang Seluas-luasnya dan Ketidakadilan Daerah, dalam M.Arif Nasution dkk., Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, (Bandung : Mandar Maju, 2005), halaman 78.
Pemerintahan daerah yang diamanfaatkan oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah semacam
keleluasaan daerah dalam mewajudkan otonomi yang luas dan bertanggungjawab
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, prakarsa dan aspirasi masyarakat,
atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan
keanekaragaman daerah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mempunyai kemauan
sungguh-sungguh dan kesiapan untuk mampu melaksanakan kebijakan otonomi
Kebijakan publik yang telah diadopsi dan dilegitimasikan oleh pemerintah dan
lembaga legislatif, sudah semestinya diimplementasikan melalui sistem administrasi
publiknya, tak terkecuali mengenai kebijakan desentralisasi. Masalah ini
dikemukakan oleh Heaphey bahwa:5
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 14 telah ditegaskan secara terperinci urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang meliputi 16 urusan wajib yaitu:
keputusan-keputusan seringkali tidak dibuat di
lapangan dan segala petunjuk pelaksanaan (juklak) serta petunjuk teknis (juknis)
selalu berasal dari kantor-kantor pusat departemen. Administrator di lapangan hanya
menerima sedikit tanggung jawab mengenai apa yang harus mereka kerjakan.
Kebijakan desentralisasi yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah diimplementasikan
dalam sistem administrasi publik baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun
Kabupaten/Kota. Implementasi kebijakan publik tersebut dalam kurun waktu 2001 -
2004 telah dievaluasi kembali dan kedua Undang-Undang tersebut kemudian direvisi
dengan Undang-Undang Otonomi Daerah yang baru yaitu Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Melihat substansi undang-undang yang
baru, nampak terjadinya perubahan dan improvisasi sehingga otomatis akan
membawa perubahan pada tahapan implementasi kebijakan publik dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.
6
5
Deddy S Brata Kusumah, Dadang S, Otonomi Peneyelenggara Pemerintah Daerah,
(Jakarta: PT. Sun , 2003), halaman. 10-13
6
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Di samping urusan wajib tersebut, di dalam ayat (2) Pasal yang sama
dijelaskan pula menganai urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan,
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan. Apabila dibandingkan dengan kewenangan
daerah kabupaten/kota yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999,
maka urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota
menjadi lebih komprehensif bukan saja mencakup kewenangan penyelenggaraan
pemerintahan pada sektor-sektor tertentu, namun lebih mengarah pada fungsi
pelayanan publik dalam bidang-bidang kewenangan yang telah di desentralisasikan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya kabupaten/kota lebih mengarah
konsep otonomi daerah itu sendiri yaitu demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat. Otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai suatu tuntutan yang
berupaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada
tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, menurut James W. Fesler
sebagaimana dikutip J. Kaloh, otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrumen
untuk mencapai tujuan.7
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas
umum penyelenggaraan negara yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaran negara. asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas
efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan negara di dalam
Undang-Undang ini tidak lain ingin mereduksi konsep good governance dalam
kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah.8
7
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan tantangan Global, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), halaman .6-7.
8
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah dalam perspektif lingkungan, Nilai dan Sumber Daya , (Jakarta : Djambatan ,2004), halaman.107 -110
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka implementasi kebijakan publik
desentralisasi ke depan harus menekankan prinsip-prinsip good governance pada
fungsi-fungsi regulasi, pelayanan publik dan pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini berarti kebijakan publik yang di implementasikan dalam sistem administrasi
publik di daerah kabupaten/kota benar-benar menerapkan prinsip good governance
Desentralisasi harus mampu mendorong terjadinya layanan publik yang lebih
dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Kebijakan publik yang dihasilkan,
diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi yang panjang untuk menghindari
penundaan dan penurunan kualitas dari layanan publik yang menjadi kewajiban
negara kepada warganya. Keberhasilan proses desentralisasi dapat diukur dari
kualitas layanan publik yang semakin baik. Kebijakan desentralisasi yang hanya
dimaksudkan untuk menggantikan peran pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan
perubahan pada transaksi sosial yang terjadi, maka sangat sulit diharapkan terjadinya
efek positif dari kebijakan publik tersebut oleh sebab itu perbaikan kualitas layanan
publik menjadi faktor yang determinan dalam implementasi kebijakan desentralisasi.
Pelayanan publik juga merupakan bagian yang krusial dalam praktek negara
demokrasi, bahkan banyak ahli mengatakan bahwa pelayanan publik sebagai
demokrasi dalam artian yang sebenarnya karena demokrasi sebagai konsep hanya
dapat dirasakan dalam kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada
rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas, maka sangatlah
rentan bagi suatu pemerintahan dapat memenuhi kebutuhan layanan masyarakat
sesuai dengan tingkat kebutuhan apalagi tingkat kepuasan rakyat. Dalam konteks ini
layanan menjadi tolok ukur penting untuk melihat perjalanan demokrasi dan
desentralisasi. Dengan demikian demokrasi dan desentralisasi harus dilihat dari
kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan transaksi sosial
Marsh dan Ian mengemukakan 2 (dua) perspektif yang penting diamati dalam
layanan publik yaitu:9
Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan publik yang
ditetapkan menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar layanan publik
yang berkualitas. Pemahaman masyarakat tentang formulasi kebijakan publik yang
mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemberian layanan publik dapat diukur
dari kemudahan masyarakat untuk memahami prosedur tersebut, kesiapan birokrasi
untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat, informasi yang transparan tentang
standar pelayanan publik dimaksud serta perilaku petugas pelayanan publik terhadap Pertama, dimensi service delivery agent (dinas atau unit kerja
pemerintah) dan Kedua, dimensi customer atau user (masyarakat yang
memanfaatkan). Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat
pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil (dimensi ruang dan klas sosial),
kesiapan kerja dan mekanisme kerja (readiness), harga terjangkau (affordable price),
prosedur sederhana dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Sementara itu dari
dimensi penerima layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap
penyimpangan atau layanan tak berkualitas yang muncul dalam praktik
penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan aktif masyarakat baik dalam
mengawasi dan menyampaikan keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan
publik menjadi faktor penting umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik
dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.
9
masyarakat dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Formulasi kebijakan
tersebut tentunya berada pada tahapan implementasi kebijakan publik yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Salah satu bidang layanan publik yang krusial adalah masalah Perizinan.
Perizinan merupakan aspek regulasi dan legalitas dari berbagai bidang kegiatan
masyarakat yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara melalui prosedur
tertentu. Masalah perizinan menyangkut dua sisi kepentingan yaitu, kepentingan
pemerintah daerah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang
dilakukan oleh masyarakat agar sesuai dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan
pemerintah daerah, di sisi lain adalah kepentingan kebutuhan masyarakat untuk
memperoleh kepastian hukum dalam melakukan usaha dan kegiatan yang mempunyai
efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
Kegiatan pembangunan dan investasi di daerah terkait erat dengan pemberian
perizinan kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Pemerintahan Daerah, dimana
DPRD merupakan salah satu unsurnya, mempunyai kewenangan untuk menetapkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon perizinan untuk memperoleh suatu
izin yang diperlukannya. Penetapan syarat-syarat ini tentu saja dimaksudkan untuk
mencapai sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintahan Daerah yang bersangkutan
yang diwujudkan dalam bentuk Perda.
Keseluruhan permasalahan yang muncul dalam pelayanan Perizinan menjadi
semakin krusial ketika prosedur pemberian Perizinan tersebut tidak dibakukan secara
Pelayanan Perizinan akan tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat apabila
dalam pelaksanaannya tidak terkoordinasi dan berjalan sendiri-sendiri dalam
sektornya masing-masing. Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah ke depan salah satunya adalah bagaimana dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
penyelenggaraan negara dan sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip utama
kebijakan desentralisasi yaitu demokratisasi, akuntabilitas publik daan pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis hendak melakukan penelitian ini
dalam suatu penulisan tesis yang berjudul “Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang Perizinan di Kabupaten Deli Serdang”.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan pelayanan publik bidang Perizinan sebagai
implementasi kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Deli Serdang?
2. Bagaimana kepuasan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli
Serdang?
3. Bagaimana cara mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pelayanan
publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan dalam penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan sebagai
implementasi kebijakan otonomi daerah di Kabupaten Deli Serdang.
2. Untuk mengetahui kepuasan pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten
Deli Serdang.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan
pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Deli Serdang.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis
lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya
akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum,
khususnya yang berkaitan dengan hukum perizinan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah
dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat luas.
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
penegakan dan pengembangan ilmu hukum.
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan
dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan hukum
E. Keaslian Penelitian
Beberapa mahasiswa pasca sarjana USU yang pernah menulis tentang
perizinan dan otonomi daerah seperti H.M. Yusuf/057005051, dengan judul
“Pengawasan Lembaga Legislatif Dalam Penerapan Sistem Perizinan di Kota Binjai”,
Nurdin Sipayung/067005057 dengan judul “Pengawasan DPRD terhadap
Implementasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati di Kabupaten Serdang
Bedagai”.
Berdasarkan permasalahan terhadap penelitian tersebut diatas berbeda dengan
permasalahan penulis teliti maka penulis menyatakan tesis berjudul ” Implementasi
Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang Perizinan Di
Kabupaten Deli Serdang” belum pernah disusun oleh peneliti lain sehingga dengan
demikian keaslian penelitian ini dapat penulis pertanggung jawabkan secara keilmuan
akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jenis
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang
tertinggi.10 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah
kita merekotruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.11
10
Sacipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), halaman. 254.
11
Berdasarkan hal tersebut di atas, kerangka teori bagi suatu penelitian
mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut:12
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina stuktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin
dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam negara hukum, kekuasaan negara
dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara konstitusional
pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar cara dan tindakan pemerintah
serta segala instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warganegara. Atas dasar
hukum pula negara hukum menyelenggarakan apa yang menjadi tujuan negara. Jadi
tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan cara yang melawan
hukum.13
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia" menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu :
2. Pemisahan/pembagian kekuasaan.
Sedangkan negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain :
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2. Pembagian/pemisahan kekuasaan.
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. Holman. 121.
13
3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.14
Berdasarkan uraian konsep tentang negara hukum tersebut, ada 2 (dua)
substansi dasar, yaitu:15
1. Adanya paham konstitusi.
2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas
hukum dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme).
Konsekuensi logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan
undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa kekuasaan
pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar, presiden berhak memajukan undang-undang kepada
lembaga perwakilan rakyat, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden mengeluarkan
peraturan.
Paham konstitusionalisme menghendaki eksistensi 2 (dua) elemen penting
sekaligus; pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan
kesewenang-wenangan kekuasaan. dan kedua akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah
(government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam
pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara
serta perlindungan didalatn hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa)
14
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), halaman 156.
15
dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan
kekuasaan yang dimiliki.
Konsep welfare state atau social service state, yaitu negara yang
pemerintahannya bertanggungjawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan
dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup
yang minimal.16
Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi pelayanan publik, maka
administrasi negara dituntut untuk menerima tanggungjawab positif dalam hal
menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan serta
menyediakan program kesejahteraan rakyat. Apabila tanggungjawab positif tersebut Konsep welfare state ini merupakan ciri khas dari suatu
pemerintahan modern atau negara hukum modern dimana terdapat pengakuan dan
penerimaan terhadap peranan administrasi negara sebagai kekuatan yang aktif dalam
rangka membentuk atau menciptakan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan.
Pemerintah Negara selaku integritas kekuasaan massa harus terus
menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan masyarakat atau sistem
sosialnya sehingga dapat mempertahankan keseimbangan antara peranan atau
penyelenggaraan fungsinya dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dalam upaya
mencapai hal tersebut, tidak raja diperlukan keselarasan atas tujuan-tujuan yang
dikehendaki oleh kelompok-kelompok sosial maupun kelompok ekonomi yang
terdapat pada negara, akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah
berbagai kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.
16
sudah dapat dilakukan, maka eksistensi pemerintah akan tumbuh menjadi suatu
pemerintah yang besar dan kuat, baik itu dalam ruang lingkup fungsi maupun jumlah
personil yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.17
Perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara membawa dampak
terjadinya setidak-tidaknya dua masalah penting yaitu,18
Untuk menghindari dampak negatif dari perkembangan peranan dan fungsi
administrasi negara tersebut, maka konsep negara hukum modem menjadi suatu
keharusan sebagaimana dikatakan oleh FJ. Stahl dalam konsepsinya mengenai negara
hukum yaitu:
“Pertama, dengan makin
pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi pelayanan publik, maka
diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat penekanan rezim
pemerintahan. Hubungan asumsi seperti itu mungkin tercermin dari kecenderungan
semakin tingginya penyelewengan dan tindakan yang merugikan rakyat dalam
mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedua, adalah masalah yang lebih
krusial yaitu kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan pada administrasi negara.
Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan diberikannya suatu "kebebasan" untuk
bertindak atas inisiatif sendiri freies Ermussen; pauvoir discretionare) guna
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.
19
17
Ibid, halaman. 65.
18
Ridwan HR,, Hu/cum Administrasi Negara, (Jogyakarta : Ull Press, 2002), halaman. 156- 160.
19
SF Marbun dkk (ed), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
(Jogyakarta: UII Press, 2000) , halaman.7
Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan
Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas
kegiatannya sebagaimana lingkungan (suasana) kebebasan warga negara menurut
hukum itu dan harus menjamin suasana kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara
harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga
langsung tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana hukum.
Konsep ini kiranya sangat relevan dengan konsep welfare state dimana
pengertian negara hukum modern, bukan saja menjaga keamanan semata-mata tetapi
secara aktif turut serta dalam urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat.
Negara Indonesia jelas merupakan negara yang menerapkan konsep welfare state ini,
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat yang
dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional yakni: Kemudian daripada itu untuk membentuk
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan Imam,
mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Konsep negara kesejahteraan sebagaimana tersurat pada pembukaan UUD
1945 alinea keempat tersebut di atas diperkuat dengan pernyataan dalam Pasal I ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ke IV tahun 2002 bahwa negara
Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekuensi logis yang harus dihadapi sebagai
pilihan hukum mana yang harus dipakai dalam kehidupan masyarakat terutama di
Indonesia, maka conditio sine qua non hukum harus berpanca fungsi secara:20
a) Direktif, yaitu sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
b) Integratif, yaitu sebagai pembina kesatuan bangsa.
c) Stabilitatif, yaitu sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
d) Perfektif, yaitu sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
e) Korektif, yaitu terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Sejalan dengan panca fungsi hukum tersebut, maka hukum harus dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul akibat terjadinya
perubahan-perubahan yang mendasar di dalam masyarakat terutama pada era globalisasi atau era
perdagangan bebas pada saat ini melalui proses industrialisasi dan transformasi di
bidang teknologi informasi. Pembangunan bidang ekonomi yang akan membawa
perubahan dan kemajuan dalam peradaban dan kesejahteraan masyarakat perlu diikuti
pembangunan dalam bidang hukum sebagai faktor determinan.
Menurut Sunaryati Hartono makna dari pembangunan dalam bidang hukum
akan meliputi:21
a. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik), b. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern,
c. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada, atau
d. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.
20
Sjachran Basah, Tiga Tulisan Tentang Hukum ,(Bandung, : Armik, 1986), halaman..24.
21
Pembangunan hukum yang meliputi keempat usaha tersebut merupakan suatu
proses dinamis yang harus dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan proses
yang tidak akan pernah selesai (never ending process) karena setiap kemajuan akan
menuntut perubahan-perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus
berubah. Satjipto Rahardjo menengarai hal ini dengan menyatakan bahwa apabila
berbicara menganai hukum, sasaran pembicaraan bukan hanya berkisar pada hukum
sebagai suatu sistem yang konsisten, logis dan tertutup melainkan sebagai sarana
untuk menyalurkan kebijakan-kebijakan di dalam pembangunan atau perubahan
masyarakat.
Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa “hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat”.22 Berdasarkan suatu anggapan bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk mencapai ketertiban dan keadilan saja, akan tetapi dapat pula
berfungsi sebagai sarana untuk merubah atau memperbaharui masyarakat. Hukum
sebagaimana tersebut di atas, dapat didekati dari fungsi-fungsi dasar yang dapat
dikerjakan hukum di dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa hukum
memperoleh fungsi yang sesuai dalam pembagian tugas di dalam keseluruhan
struktur sosial. Menurut E.A. Goebel, di dalam masyarakat, hukum mempunyai
fungsi:23
a. Menetapkan pola hubungan angata anggota-anggota masyarakat dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku yang mana yang diperbolehkan dan
22
Mochtar Kusurnaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung :Binacipta, 1 970), halaman.11.
23
yang mana yang dilarang;
b. Menentukan alokasi wewenang memerinci siapa yang boleh melakukan paksaan, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif;
c. Menyelesaikan sengketa;
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Sehubungan dengan hal itu, Achmad Ali berpendapat bahwa:24
1. Fungsi hukum sebagai alat pengendali sosial, dapat dijalankan oleh sesuatu kekuasaan terpusat yang dewasa ini berujud kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh "the rulling class" atau suatu "elit". Hukumnya biasanya berwujud hukum tertulis atau perundang-undangan.
2. Fungsi hukum sebagai alat pengendali sosial, dapat juga dijalankan sendiri "dari bawah" oleh masyarakat itu sendiri. Hukumnya biasanya berwujud tidak tertulis atau hukum kekuasaan.
Terlaksana atau tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial,
menurut Achmad Ali ditentukan oleh dua hal, yaitu:25 1. Faktor aturan hukurnnya sendiri;
2. Faktor pelaksana (orangnya) hukumnya.
Beberapa fungsi hukum dalam perubahan sosial dan dalam kehidupan
masyarakat sebagaimana diuraikan di atas apabila dikaitkan dengan implementasi
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai respon dari tuntutan perubahan
dalam masyarakat dengan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
dan kemudian lima tahun berikutnya disempurnakan dengan pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang -Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004,
24
Achmad Ali , Menguak Tabir Hukum. (Jakarta : Gunung Agung,2000), halaman..87
25
mengharuskan munculnya paradigma baru dalam penetapan kebijakan publik dalam
rangka pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
kewenangan yang telah diberikan dalam rangka otonomi daerah.
Penerapan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tetap dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Maksud
otonomi luas adalah daerah mempunyai tugas, wewenang, hak dan kewajiban untuk
menangani urusan pernerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat dengan
leluasa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah. Otonomi nyata
berarti menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada sesuai dengan
potensi dan karakteristik masing-masing daerah. Otonomi yang bertanggungjawab
berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan tujuan
diberikannya otonomi, yaitu pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan
rakyat.26
Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 lebih
berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada kepada
pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat
dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan
aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui
pengawasan serta dan pemberdayaan masyarakat.27
26
Rozali Abdullah, Op.Cit., halaman.4-6.
27
Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan
kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, yang praktis dalam segala
urusan, perizinan dan sejenisnya yang sekarang bisa diselesaikan di daerah.28
Otonomi bukanlah sekedar penyerahan begitu saja kekuasaan kepada daerah,
melainkan daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk
mengatur dirinya sendiri. Otoritas untuk mengatur dirinya sendiri sangat penting bagi
kemajuan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus membentuk Perda guna
memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat daerahnya.29
Sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan, Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi
daerah.
30
Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPRD bersama sama
dengan pemerintah daerah. Prakarsa suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari
pemerintah daerah.31
28
Pasal 1 angka 5 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
29
Ryaas Rasyid, Pererintah Serius Laksanakan Desentralisasi, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, Nomor 85, 2000, halaman.7.
30
Ketetapan MPR RI No. III/MPR12000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, perda telah secara resmi menjadi sumber hukum dan masuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
31
Pasal 136 ayat (1) UU No.32 tahun 2004.
Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari
masing-masing daerah. Kewenangan membuat Perda merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah, dengan tujuan untuk
mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat. Untuk
melaksanakan suatu perda, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah
dan/atau keputusan kepala daerah. Suatu perda akan berfungsi secara efektif apabila
didukung oleh adanya upaya penegakan hukum terhadapnya.
Perda merupakan kebijakan daerah yang dibuat untuk melaksanakan otonomi
daerah. Kebijakan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain.32 UU Nomor 32 Tahun 2004 menciptakan konteks politik yang memberi peluang bagi
penciptaan kelembagaan politik antara pemerintah daerah dan DPRD yang seimbang
dalam membentuk kebijakan publik yang menentukan.33 Dengan konteks ini, pelaksanaan otonomi daerah harus dilandasi prinsip yang mengarah pada lebih
meningkatnya pengawasanan dan fungsi DPRD, baik fungsi legislasi, fungsi
pengawasan maupun fungsi anggaran.34
Berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan perda adalah seluruh
materi muatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-32
Penjelasan UU No.32 Tahun 2004, Bagian I Poin 7.
33
Ni'matul Ruda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), halaman 232.
34
undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (selanjutnya disingkat dengan UU No.34 Tahun 2000), perda dapat
mengatur berbagai jenis pajak dan retribusi yang sudah dilimpahkan ke daerah.
Pasal 18 ayat (1) UU No.34 Tahun 2000 mengatur mengenai objek retribusi
yang terdiri dari (a) Jasa Umum, (b) Jasa Usaha, dan (c) Perizinan Tertentu. Ayat (2)
pasal tersebut menegaskan, retribusi dibagi atas tiga golongan, yakni (a) Retribusi
Jasa Umum, (b) Retribusi Jasa Usaha, dan (c) Retribusi Perizinan Tertentu. Dari
ketentuan ini terlihat, bahwa perizinan merupakan kewenangan legislasi daerah untuk
membuat pengaturannya dalam bentuk Perda. Perizinan yang diatur di dalam Perda
merupakan suatu instrumen hukum untuk mengatur perbuatan hukum para warga.
Perizinan dapat diartikan sebagai berikut:35
Dengan demikian, izin merupakan sesuatu keputusan yang diberikan oleh
pemerintah daerah untuk memperkenankan seseorang atau suatu badan usaha yang
memohon untuk dapat melakukan suatu tindakan atau kegiatan tertentu sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti, legislatif memegang pengawasan penting
dalam menetapkan kebijakan perizinan yang berlaku di daerah.
”izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.”
35
Perda mengenai perizinan tidak hanya terkait dengan pembangunan daerah,
tetapi juga sebenarnya terkait erat dengan iklim usaha di daerah dan kesiapan daerah
menghadapi globalisasi. Pada tahun 2001, Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia merekomendasikan adanya 1.006 Perda bermasalah di seluruh Indonesia
yang memberatkan dunia usaha. Pemerintah kemudian melakukan evaluasi
pelaksanaan otonomi daerah agar tidak membebani para pengusaha di daerah.36 Hasil kajian pemerintah (cq. Depdagri), ternyata ditemukan adanya 105 Perda mengenai
retribusi dan pajak daerah yang bermasalah.37 Dana Moneter Internasional sampai memberikan sorotan terhadap Perda “bermasalah” ini dengan meminta pemerintah
mencabut perda-perda tersebut. IMF dalam permintaannya itu memberikan alasan
bahwa perda-perda tersebut dinilai tidak menciptakan iklim usaha dan mengganggu
perekonomian, karena banyak ketentuan yang mengharuskan pelaku bisnis membayar
berbagai jenis pungutan dan retribusi. Akhirnya pemerintah pusat (cq. Mendagri)
telah membatalkan 68 perda bermasalah tersebut.38 Adapun yang menjadi alasan pembatalan perda bermasalah tersebut adalah:39
1. tumpang tindih dengan pajak pusat,
2. pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi, 3. menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah,
4. menghambat arus lalu lintas barang, 5. menimbulkan ekonomi biaya tinggi,
6. berakibat pada peningkatan beban subsidi pemerintah.
36
Kompas, 6 September 2001.
37
Kompas, 10 September 2001
38
Kompas, 26 September 2001.
39
Dengan adanya perizinan, terjadi pengikatan aktivitas-aktivitas para warga
yang memohonkan pada suatu peraturan atau persyaratan-persyaratan tertentu
berdasarkan maksud pembuat undang-undang guna mencapai suatu tatanan tertentu
atau untuk menghalangi terciptanya suatu kondisi yang buruk yang tidak diinginkan.
Secara politik, kedudukan Perda tidak lain merupakan produk hukum lembaga
legislatif daerah. Perda, sebagaimana produk hukum pada umumnya, akan diwarnai
oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.40
Dalam kaitannya dengan pelayanan publik, maka dalam rangka implementasi
kebijakan desentralisasi, maka pemerintah daerah perlu menetapkan
kebijakan-kebijakan publik yang mengarah pada kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Pemerintah dalam hal ini
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah menerbitkan berbagai landasan
peraturan perundang-undangan, pedoman dan surat edaran di bidang pelayanan
publik antara lain: Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Perda dalam hidang sistem perizinan juga tidak terlepas dari proses interaksi
kepentingan-kepentingan politik dalam pembentukannya. Tentu saja tidak diinginkan
adanya perda yang rnenunjukkan fungsi instrumental hukum sebagai sarana
kekuasaan politik dominan yang lebih terasa daripada fungsi-fungsi lainnya, yang
akan mengakibatkan perda yang dilahirkan semakin tidak otonom dari pengaruh
politik. Untuk itu, pelaksanaan fungsi kontrol (pengawasan) oleh DPRD terhadap
pengaturan sistem perizinan yang telah diatur menjadi penting diperhatikan.
40
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Menteri PAN
Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, KEP/26/M.PAN/2/2004
tentang Petuniuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang optimal menjadi
sangat penting untuk dilakukan. Pelayanan publik harus memperoleh perhatian dan
penanganan yang sungguh-sungguh, karena merupakan tugas dan fungsi yang
melekat pada setiap aparatur pemerintahan. Tingkat kualitas kinerja pelayanan publik
memiliki implikasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, terutama untuk
mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu upaya penyempurnaan
pelayanan publik harus dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan dan
dilaksanakan oleh jajaran aparatur pemerintah daerah.
Kabupaten Deli Serdang merupakan sebuah kabupaten yang memiliki tingkat
mobilitas yang tinggi di bidang ekonomi khususnya industri dan perdagangan. Oleh
sebab itu pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan terus
meningkat. Hal ini sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola semua urusan
pemerintahan yang diserahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) yang telah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah selayaknya dapat di implementasikan dalam
pelayanan publik baik yang berupa pelayanan administratif, pelayanan barang
pemerintah maupun pelayanan jasa yang dibutuhkan oleh publik.
Khusus pelayanan publik dalam bidang perizinan Pemerintah Daerah Deli
Serdang sampai saat ini masih dalam tahap melakukan upaya yang sistematis untuk
mencari formulasi kebijakan publik yang tepat agar penyelenggaraan pelayanan
publik bidang perizinan dapat mencapai tingkat kepuasan masyarakat sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat Deli Serdang.
Pelayanan publik bidang Perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Deli
Serdang dalam penyelenggaraan otonomi daerah selama ini masih belum sesuai
dengan semangat demokratisasi dan desentralisasi yang mengharuskan pentingnya
partisipasi masyarakat, transparasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan
pelayanan.
Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, maka penyelenggaraan
pelayanan publik harus didukung oleh sistem dan mekanisme kerja serta kemampuan
kelembagaan dan sumber daya manusia yang memadai sehingga akan dapat
diciptakan suatu pelayanan prima yang memiliki standar pelayanan yang baku dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Kerangka Konsepsi
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan tersebut di atas, maka
perlu diuraikan definisi operasional untuk menghindari perbedaan penafsiran
a. Otonomi daerah, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UU No.32
Tahun 2004, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan.
b. Daerah otonom, atau sering disingkat dengan daerah, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 UU No.32 Tahun 2004, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
c. Perizinan adalah hal pemberian izin, yaitu suatu persetujuan dari pemerintah
untuk memperkenankan seseorang yang memohon untuk dapat melakukan
suatu tindakan tertentu sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Sistem perizinan merupakan suatu tata pengaturan normatif yang harus
dipatuhi sebagai pedoman dalam mengajukan permohonan, mengabulkan,
tidak melarang, atau memberi persetujuan untuk melakukan suatu kegiatan
tertentu dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Perda, dalam
G. Metode Penelitian
1. Tipe atau Jenis Penelitian
Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan dalam penelitian ini, jenis
penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif
analisis dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang berlaku dalam
pemerintahan daerah. Yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah melakukan
pendekatan terhadap norma-norma hukum dalam menganalisa permasalahan yang
ada. Penelitian ini merupakan penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu
penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di buku (law in written in
book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as
it decided by the judge through judicial process).41
Dimaksud bersifat deskriptif analitis karena penelitian ini tidak hanya
bertujuan mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum terkait
dengan penerapan sistem perizinan di kabupaten Deli Serdang akan tetapi ditujukan
pula untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut. Jadi, penelitian ini
tidak secara langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa
atau teori-teori, melainkan secara langsung berusaha untuk menggambarkan dan
memaparkan kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang dalam penerapan
sistem perizinan di daerah Deli Serdang serta kendala dan solusi yang dihadapi
Pemerintah Daerah Deli Serdang.
41
2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder sebagai sumber data utama,
yang dilengkapi dengan sumber data primer sebagai pendukung. Sumber data
terutama diperoleh dari Dinas P2KPM (Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan
Penanaman Modal) dan Dinas Trantib dan Kanwil Perdagangan Kabupaten Deli
Serdang. Selain itu sumber data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan (library
research), baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun
bahan hukum tertier sebagai data utama atau data pokok penelitian. Bahan-bahan
hukum tersebut diperoleh dari perpustakaan, yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Revisi tahun 2012,
Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta beberapa Perda
Kabupaten Deli Serdang yang terkait, seperti misalnya Peraturan Daerah Deli
Serdang Tentang Izin Tempat Usaha, Retribusi Izin Gangguan, Peraturan
Daerah Deli Serdang Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan serta
tentang Retribusi Izin Pengelolaan & Pengusahaan Burung Walet.
b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku-buku teks dari para ahli hukum,
jurnal jurnal ilmiah, artikel-artikel ilmiah. hasil-hasil penelitian, majalah, surat
c. Bahan hukum tertier, terdiri dari kamus-kamus hukum dan kamus bahasa
Indonesia, ensiklopedi, dan lain-lain.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di daerah Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang
Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena Kabupaten
Deli Serdang pada saat ini sedang bergiat melaksanakan pembangunan untuk
kemajuan dan kesejahteraan rakyat daerahnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh data sekunder yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan
berdasarkan studi dokumen sebagai teknik pengumpulan data terhadap bahan pustaka
yang ada, arsip pada Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Pengumpulan data
dilakukan dengan observasi, kuesioner dan wawancara secara langsung dengan
petugas pelayanan dan masyarakat yang mengurus perizinan di Kabupaten Deli
Serdang. Kuesioner diberikan untuk mengukur tingkat kepuasan pelayanan publik
dengan sampel sebanyak 30 responden yaitu pelaku usaha yang mengurus perizinan
di wilayah Kabupaten Deli Serdang.
5. Analisis Data
Data utama yang dikumpulkan melalui studi dokumen, dan didukung oleh
data primer, dianalisis dengan metode analisis kualitatif berdasarkan logika berpikir
pertimbangan, yakni: pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma
hubungan yang dinamis antara teori, konsep dan data yang merupakan umpan balik
atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang
dikumpulkan, kedua, data yang dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar
yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan ketiga, sifat dasar data yang
akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu
kesatuan yang integral (holistic), yang menuntut tersedianya informasi yang
mendalam (indepth information).42
Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian
yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya
semua data diseleksi dan diolah, dan kemudian dianalisis secara deskriptif, sehingga
selain menggambarkan dan mengungkapkan permasalahan yang terjadi, sekaligus
diharapkan akan dapat memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
42