BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi, dimana
rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan
kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut
mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin
dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan
rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan
pribadi-pribadi penguasa.
Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran
demokrasinya suatu Negara. Dapat kita lihat dari pengertian demokrasi itu
sendiriyang secara normatif adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, ungkapan ini diterjemahkan dalam setiap negara yang menganut demokrasi, di
Indonesia tercantum di dalam UUD 1945 (setelah Amandemen) pada Pasal 1 ayat (2):
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”. Rakyat membuat kontrak sosial lewat perwakilannya untuk mendelegasikan
kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main yang
berupa Undang-Undang Dasar, Peraturan Hukum dan sebagainya. Kemudian dibuat
dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-sarana kekuasaan titipan yang
dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar-benar mulus lurus, benar dan jujur,
demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan tidak dimanipulasikan untuk
kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengeruh keuntungan dan
memperkaya diri.1
Pembuatan kontrak sosial tersebut dilakukan melalui pemilu (pemilihan
umum), yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang
berhak menduduki kursi dilembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui
pemilu, rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan
legislatif dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memilih, secara
bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang di nilai sesuai dengan
aspirasinya.2
Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat individual maupun kolektif, terorganisir ataupun spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.
Pembahasan mengenai partisipasi politik masyarakat adalah persoalan
menarik untuk diperbincangkan. Melalui partisipasi politik yang diartikan sebagai:
3
Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk
daerah-daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang
diatur dalam Undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan
pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintah daerah,
1
Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158. 2
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007, h.173-174.
3
pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan disentralisasi yang dipahami sebagai
penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan,
pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub
nasional (daerah/wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok
fungsional atau organisasi atau non-pemerintahan swasta.4 Otonomi daerah merupakan bagian dari sistem politik yang diharapkan memberikan peluang bagi
warga negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreatifitasnya.5
Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004
mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi
kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional.
Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas
dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.6
Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang
kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda
pemerintahan yang meliputi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan
pembangunan,7
4
Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h.20. 5
M. Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu lokal, Medan:USU Press, 2005, h.63. 6
Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h.ix-x. 7
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah langsung, Semarang: Pustaka Pelajar, 2005, h.203.
sehingga dilakukanlah pemilihan kepala daerah secara langsung
sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan
Pemerintahan N0. 6 Tahun 2005 mengenai tata cara pemilihan, pengesahan dan
rakyat daerah di Indonesia.
Partisipasi politik merupakan kehendak sukarela masyarakat baik individu
maupun kelompok dalam mewujudkan kepentingan umum. Sebagaimana
dikemukakan oleh ‘Herbert Miclosky” (1991:9) bahwa partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui dimana mereka mengambil
bagian dalam proses pemulihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung,
dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Dalam hal ini setiap sikap dan perilaku politik individu seyogyanya mendasari
pada kehendak hati nurani secara suka rela dalam konstest kehidupan politik.
Partisipasi politik amat urgen dalam kontes dinamika perpolitikan di suatu
masyarakat. Sebab dengan partisipasi politik dari setiap individu maupun kelompok
masyarakat maka niscaya terwujud segala yang menyangkut kebutuhan warga
masyarakat secara universal. Sehingga demikian, keikutsertaan individu dalam
masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dalam mewujudkan kepentingan
umum. Dan paling ditekankan dalam hal ini terutama sikap dan perilaku masyarakat
dalam kegiatan politik yang ada. Dalam artian setiap individu harus menyadari
peranan mereka dalam mendirikan kontribusi sebagai insan politik. Dalam hal ini
peranan meliputi pemberian suara, kegiatan menghadiri kampanye serta aksi
demonstrasi. Namun kegiatan-kegiatan sudah barang tentu harus dibarengi rasa
sukarela sebagai kehendak spontanitas individu maupun kelompok masyarakat dalam
Dengan kegiatan-kegiatan politik ini pula, intensitas daripada tingkat
partisipasi politik warga masyarakat dapat termanifestasi. Oleh karena itu, sikap dan
perilaku warga masyarakat dalam kegiatan politik berupa pemberian suara dan
kegiatan kampanye dalam pemilihan kepala daerah merupakan parameter dalam
mengetahui tingkat kesadaran partisipasi politik warga masyarakat. Paling tidak
warga masyarakat ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik sekaligus mengambil
bagian untuk mempengaruhi pemerintah dalam keputusan politik. Pemilihan kepala
daerah sebagai wahana menyalurkan segala aspirasi masyarakt melalui suksesi dalam
pemilihan kepala daerah, peran warga masyarakat terutama dalam mempengaruhi
keputusan politik sangat prioritas.
Dengan adanya pemilihan kepala daerah setiap individu maupun kelompok
masyarakat dapat memanifestasikan kehendak mereka secara sukarela, tanpa
pengaruh dari siapapun. Dalam hal ini setiap anggota masyarakat secara langsung
dapat memberikan suara dalam pemilihan serta aktif dalam menghadiri
kegiatan-kegiatan politiknya, seperti kampanye. Namun keaktifan anggota masyarakat baik
dalam memberikan suara maupun kegiatan kampanye tentu harus didorong oleh sikap
orientasi yang begitu tinggi. Dan disamping itu pula kesadaran dan motivasi warga
masyarakat dalam kegiatan politik sebagaimana di kemukakan tadi sangat penting
untuk menopang tingkat partisipasi politik terhadap pemilihan kepala daerah. Karena
dengan adanya sikap antusias dari warga masyarakat dalam partisipasi politik tentu
Oleh karena kesadaran dan pemahaman politik merupakan penunjang dalam
mewujudkan stabilitas politik masyarakat dengan kesadaran dan pemahaman politik
pula setiap sikap dan perilaku masyarakat secara partisipasi dapat terwujud
sebagaimana mestinya. Namun demikian sikap dan perilaku anggota masyarakat
dalam partisipasi politik kadang kala mengarah pada sikap apatis, sinisme, dan arogan
sehingga yang demikian ini mempengaruhi partisipasi mereka dalam pemilihan
kepala daerah, yang akhirnya mereka enggan memberikan suara dalam pemilihan dan
juga tidak menghadiri kegiatan-kegiatan politik (kampanye). Fenomena-fenomena ini
selalu muncul dimana-mana lebih-lebih lagi dalam pelaksanaan pemilihan kepala
daerah.
Pilkada Kota Medan sudah dilaksanakan secara langsung sebanyak 2 (dua
kali) yaitu tahun periode 2005 -2010 yang dimenangkan oleh Abdillah – Ramli dan
periode 2010-2015. Tanggal 12 Mei 2010 adalah pilkada kedua yang dilaksanakan
secara langsung, 1,9 juta lebih warga Kota Medan akan memberikan suaranya untuk
memilih
Wali Kota dan wakil Wali Kota Medan untuk periode 2010-2015. Ada sepuluh
pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan yang ikut serta dalam
pemilukada Kota Medan dan telah lulus dalam verifikasi oleh pihak KPUD Medan.
Calon tersebut adalah:
1. Pasangan Sjahrial – Yahya
2. Sigit – Nurlisa Ginting
4. Bahdin Nur Tanjung – Kasim
5. Joko – Amir
6. Rahudman – Eldin
7. Prof. Arief Nasution – Supratikno
8. Maulana Pohan – Arif
9. Ajib Syah – Binsar Situmorang
10. Sofyan Tan – Nelly
KPUD sebagai pelaksana pemilukada Kota medan telah mempersiapkan
beberapa tahapan proses dari verifikasi Calon, sosialisasi tentang cara pemilihan
Umum di Kota Medan sampai dengan mempersiapkan keperluan logistik yang
digunakan dalam pemilukada Kota Medan. Ketua KPU Medan, Evi Novida Ginting
menjelaskan jika seluruh persiapan Pilkada hampir rampung. Dijelaskannya, saat ini
sebanyak 1.961.155 kartu pemilih dan kartu undangan C6 KWK untuk warga yang
namanya terdaftar dalam DPT telah didistribusikan, telah memastikan seluruh logistik
Pilkada yang meliputi tinta coblos, busa, paku, kertas suara dan logistik lainnya telah
disampaikan ke KPPS sejak beberapa waktu lalu. “2.011.121 kertas suara yang sudah
termasuk dengan kertas tambahan telah sampai ke KPPS. (kutipan dari Surat Kabar
Waspada Medan).
Tanggal 12 Mei 2010 dilakukanlah Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Medan yang dilaksanakan di 21 Kecamatan. Dari hasil perolehan suara pada putaran
I, terdapat dua pasangan yang unggul dan maju pada putaran II karena perolehan
Harahap-Dzulmi Eldi dan pasangan nomor urut 10 Sofyan Tan – Nelly Armayanti.
Pilkada dua putaran ini sesuai UU No 12 tahun 2008 perubahan UU No 32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Bila merujuk pada Keputusan KPU Medan
nomor 35 perubahan ke 2 tahun 2009 tentang tahapan Pilkada, putaran kedua
berlangsung 16 Juni 2010, diikuti dua pasangan peraih suara terbanyak. Pilkada
Medan putaran kedua sebanyak 1.961.155 pemilih. Jumlah ini menunjukkan ada
sebanyak 641,199 pemilih tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Medan
2010 ini. Partisipasi pemilih Pilkada Medan ini meningkat dari putaran pertama yang
hanya 34,7 persen menjadi 45 persen. Dan hasil terakhir yang diperoleh pasangan
Rahudman Harahap – dzulmi Eldin memenangkan pilkada Medan periode 2010 –
2015 dengan mengalahkan pasangan Sofyan Tan – Nelly Armayanti.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada disebutkan oleh Mawardi
(2008) disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut; Pertama, masyarakat secara
sadar dan mandiri untuk tidak menggunakan hak pilihnya dengan pertimbangan yang
didasari sikap apatis, yakni mereka meyakini bahwa para calon yang bertarung tidak
memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka. Selain itu, mereka menyadari
bahwa mencoblos dan tidak mencoblos memiliki makna yang sama, yakni tidak
memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan mereka. Kedua,
rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, diakibatkan persoalan tekhnis dalam
pilkada. Dalam hal ini, penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul
memicu tingginya jumlah warga yang tidak terdaftar di DPT sehingga menggugurkan
masalah krusial yang sepertinya tidak memiliki solusi. Sebab serangkaian pilkada
sudah berlangsung, masalah DPT yang tidak akurat tetap menyisakan persoalan
rendahnya partisipasi pemilih. Ketiga, partisipasi juga dipengaruhi oleh kepentingan
individual pemilih.
Pada penelitian ini, agar lebih objektif, peneliti memilih objek penelitian
adalah masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang
Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan sebagai tempat penelitian.
Di Indonesia secara relative terdapat kesetiaan etnis yang relative tinggi dan
bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas.8
8
Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik, Jakarta; LP3S, 2003, h. 182
Kesetiaan etnis di Indonesia
masih terlihat sangat signifikan dan mengabaikan faktor etnis yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman tentang politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal diatas
menunjukkan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang.
Identitas partai akan berkaitan dengan kesetiaan dan ketidaksetiaan dari massa
suatu partai. Semakin tinggi identitas partai akan semakin tinggi tingkat loyalitas massa
partai, sebaiknya semakin rendah identifikasi partai akan semakin rendah loyalitasnya di
Indonesia loyalitas massa partai sering dikaitkan dengan etnisitas. Perbedaan etnis diikuti
pula oleh perbedaan agama yang mereka anut serta lapangan pekerjaan yang menjadi
sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Semua perbedaan adalah perbedaan etnis,
agama, pekerjaan, menjurus pada perbedaan organisasi sosial atau partai politik yang
Dalam perkiraan kasar jumlah masyarakat Karo telah melebihi angka 1 juta jiwa.
Ada beberapa kalangan bahkan memperkirakan telah melampaui tersebut. Mereka
bermukim di 3 (tiga) wilayah yaitu daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat dan
Deliserdang. Namun, jumlah yang cukup besar dan wilayah bermukim yang luas ini
belum menjadikan mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengambilan
kepurtusan-keputusan politik di tingkat Pemerintahan Propinsi. Alokasi dana
pembangunan, penyebaran proyek-proyek yang berimplikasi penambahan jumlah uang
beredar di daerah, penentuan pejabat penting kebanyakan dirasakan belum
memperhatikan aspirasi masyarakat Karo. Kalangan masyarakat Karo juga mencatat
bahwa setiap kali dibuat keputusan-keputusan yang memerlukan pertimbangan tentang
jumlah anggota/ pendukung suatu etnis.
Akses terhadap kekuasaan adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan
mempengaruhi pejabat-pejabat politik. Umumnya kelompok yang memiliki akses
terhadap kekuasaan adalahkelompok masyarakat yang tingkat partisipasiny dalam politik
(yang sudah barang tentu mempersyaratkan kompetensi) cukup tinggi. Masyarakat Karo
pasca era G305/PKI telah menjadi kelompok masyarakat yang sangat rendah aksesnya
terhadap kekuasaan.
Adapun pertimbangan yang diperhatikan peneliti dalam melakukan penelitian
dengan memilih masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang
Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan adalah karena pertimbangan
peneliti terhadap apa yang ditelitinya”,9
B. Perumusan Masalah
yang mencakup antara lain: 1. penelitian
sesuai dengan minat peneliti; 2. Penguasaan teori seputar masalah; 3. sesuai disiplin
ilmu yang dipelajari; 4. cukup banyak penelitian sebelumnya tentang masalah
tersebut; 5. berdasarkan pertimbangan waktu; 6. pertimbangan biaya; 7. situasional
masyarakat menyambut baik masalah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang
berjudul “Partisipasi Politik Masyarakat Karo Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota
Medan Tahun 2010 (Studi Kasus: Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan
Medan Tuntungan)”
Dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat partisipasi politik masyarakat Karo yang
bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan dan
faktor yang mempengaruhinya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Medan
Tahun 2010-2015”.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
memperoleh gambaran bagaimana partisipasi politik masyarakat Karo yang
bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan
9
Kota Medan pada Pemilihan Umum Kepala daerah Kota Medan Tahun 2010-2015.
a. Untuk mengetahui bagaimana faktor Sosial Ekonomi. Kondisi Sosial Ekonomi
meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga masyarakat
Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan
Tuntungan Kota Medan pada Pilkada Kota Medan Periode 2010-2015.
b. Untuk mengetahui bagaimana faktor politik. Peran serta politik masyarakat
didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir meliputi
komunikasi politik, kesadaran politik, pengetahuan masyarakat, kontrol
masyarakat Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang
Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan pada Pilkada Kota Medan Periode
2010-2015.
c. Untuk mengetahui bagaimana faktor nilai budaya. Kondisi nilai budaya
menyangkut persepsi, pengetahuan sikap dan kepercayaan politik masyarakat
Karo yang bertempat tinggal di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan Medan
Tuntungan Kota Medan pada Pilkada Kota Medan Periode 2010-2015.
D. Manfaat penelitian
a. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya penelitian
dibidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya mengenai partisipasi politik.
b. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi
peneliti lain yang ingin meneliti partisipasi politik, khususnya mengenai
Selayang Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan pada Pemilihan Umum
Kepala Daerah.
c. Bagi Peneliti, sebagai penelitian dan memperluas khasanah dan menambah
pengetahuan di bidang ilmu politik, khususnya mengenai partisipasi politik
masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah.
E. Kerangka Teori
Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah
menyusun kerangka teori, karena kerangka teori berfungsi sebagai landasan berpikir
untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih.
Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep,
konstruksi, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.10 Sedangkan menurut F.N.Karliger sebagaimana dikutip oleh Joko Subagyo pada buku Metode Penelitian
dalam Teori dan Praktek, teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang
berhubungan satu sama lain, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu
pandangan yang sistematis dari fenomena.11
10
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta:LP3ES, 1989, h.37.
11
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997, h.20.
Oleh sebab itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan beberapa
E.1. Partisipasi Politik
Partisipasi yang meluas ciri khas modernisasi politik. Istilah partisipasi politik
telah diartikan dalam berbagai arti, apakah partisipasi politik itu hanya perilaku atau
mencakup pula sikap- sikap dan persepsi yang merupakan syarat mutlak bagi perilaku
partisipasi.
Partisipasi politik meurut Keith Fauls sebagaimana dikutip oleh Damsar
adalah keterlibatan secara aktif (ithe active engagement) dari individu atau kelompok
ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses
pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.12
Dalam international eccyclopedia of the social sciences, Herbert McClosky
memberikan batasan pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela
dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum.13
12
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Prenada Meida Group, 2010, h.180. 13
Berdasarkan buku Samuel P. Huntington dan Joan Nelson14
1) Ia mencakup kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap. Dimana kegiatan
politik adalah yang objektif dan sikap-sikap politik yang subjektif.
penulis
merangkum defenisi inti yang perlu dicatat dalam partisipasi politik, yakni sebagai
berikut:
2) Yang diperhatikan dari partisipasi politik adalah kegiatan politik warga negara
preman, atau lebih tepat lagi perorangan-perorangan dalam peranan mereka
sebagai warga negara preman. Dengan demikian ada hubungan antara
partisipasi-partisipasi politik dan orang – orang profesional di bidang politik.
3) Yang menjadi pokok perhatian dalam partisipasi politik adalah kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pengembilan keputusan pemerintah. Usaha–
usaha untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dapat melibatkan
usaha membujuk atau menekan pejabat-pejabat untuk bertindak (atau tidak
bertindak) dengan cara-cara tertentu.
4) Menurutnya bahwa partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah,tak peduli apakah kegiatan itu
benar – benar mempunyai efek. Seorang partisipan politik dapat berhasil atau
tidak akan dapat berkuasa atau tidak. Dalam pengertian ini, maka kebanyakan
partisipan politik mempunyai kekuasaan yang kecil saja, dan hanya beberapa
partisipan saja yang mencapai sukses yang cukup besar dalam politik
14
Pada era saat ini kita dapat melihat, bahwa tingkat partisipasi masyarakat
tidak lagi dipengaruhi dimana ia tinggal atau dalam artian pedesaan atau perkotaan.
“kesemuanya bergantung pada tingkat perekonomian setiap daerah apabila kita
mengetahui bahwa tingkat partisipasi politik disuatu negara bervariasi sejalan dengan
tingkat pembangunan ekonominya”.
Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan lebih
lanjut, bahwa partisipasi politik telah digunakan dalam berbagai arti, adapun
pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
Partisipasi politik itu hanya perilaku, atau mencakup sikap-sikap dan persepsipersepsi (misalnya persepsi seseorang tentang relevansi politik bagi urusannya sendiri). Jika ditelusuri lagi secara spesifik, di dalam bukunya akhirnya didefenisikan bahwa partisipasi politik tidak hanya mencakup kegiatan yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, akan tetapi juga kegiatan yang oleh orang lain di luar sipelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Yang pertama dapat dinamakan partisipasi otonom, yang terakhir partisipasi yang dimobilisasikan. Masalah niat, dan persoalan yang berkaitan dengannya, yakni motivasi-motivasi partisipasi politik merupakan hal yang kompleks dan kontroversial.15
Banyak orang bertindak, seperti: memberikan demonstrasi, yang merupakan
jenis partisipasi tetapi tidak merupakan tindakan yang dilakukan berdasarkan
keinginan sendiri melainkan dikarenakan adanya perintah orang lain yang disebut
istilah “Ward Boss”, istilah ini digunakan untuk orang-orang yang dengan
menggunakan paksaan, persuasi atau dengan rangsangan-rangsangan materi mereka
yang digunakan untuk memobilisasi orang-orang lain dalam usaha mengejar sasaran
15
mereka. Dalam beberapa studi secara eksplisif tidak menganggap tindakan yang
dimobilisasi atau yang dimanipulasi sebagai partisipasi politik.
Banyak tanggapan mengenai apa itu partisipasi politik, jadi jelaslah banyak
partisipasi di dalam sistem – sistem politik yang demokratis dan kompetitif
mengandung suatu unsur tekanan dan manipulasi. Dalam penelitian ini, partisipasi
yang dimobolisasi dan yang otonom bukan merupakan kategori-kategori dikotomis
yang dapat di bedakan dengan satu tujuan satu sama lain. Yang benar keduanya
adalah satu spectrum, terdapat perbedaan yang bersifat arbiter dan batas-batasnya
tidak jelas. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan melihat partisipasi politik
masyarakat yang terlihat atau yang dilakukan baik secara otonom maupun
dimobilisasi yang ukurannya dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik itu sendiri.
Sebagai defenisi umum, sesuai dengan yang diartikan oleh Miriam Budiarjo16
16
Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politi, PT Gramedia, Jakarta, 1982, h.12.
,
bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut
secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara
secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan
ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan
hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen. Partisipasi politik juga,
senantiasa mengacu pada semua bentuk kegiatan yang dilakukan dengan cara
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam buku Partisipasi Politik di
Negara Berkembang mendefenisikan konsep partisipasi politik sebagai kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai
atau dengan kekerasan, legal atau ilegal.17
Galen A. Irwin dalam tulisannya mengenai “Polotical Efficacy, Statisfaction
and Participation”, partisipasi politik adalah suatu bentuk proses yang sistematis
untuk memilih kepala negara dengan jala pemilu. Hasil pemilu haruslah dapat
diterima oleh masyarakat umum sebgai kebijakan bersama.18
Menurut Thalha Hi Abu, adaptasi dari buku Michael Rush; Philip Adolf,
Pengantar Sosiologi Politik;1993;124 ada berbagai kesulitan dalam penyajian
berbagai bentuk partisipasi politik, terlepas dari tipe sistem politik, yaitu: segera
muncul dalam ingatan peranan para politisi profesional, pemberi suara, aktivis partai,
para demonstran. Menempatkan posisi dari aktivis politik memang dirasa penting,
untuk melihat apakah terdapat semacam hubungan hierarkis antara
peristiwa-peristiwa di atas. Hierarki yang paling sederhana dan berarti adalah hierarki yang
didasarkan atas taraf atau luasnya partisipasi. Namun demikian didapati tingkat
hierarki partisipasi politik yang bebrbeda dari suatu sistem politik dengan yang lain,
17
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta:Rieneka Cipta, 1994, h.1.
18
tetapi partisipasi pada suatu tingkat hierarki tidak merupakan prasyarat bagi
partisipasi pada suatu tingkatan yang berbeda-beda dalam suatu sistem politik dengan
sistem politik lain, lagipula berbeda dalam suatu sistem menurut waktunya. Hierarki
partisipasi politik :
- Apatihi Total (masa bodoh), ini merupakan bentuk partisipasi yang paling rendah,
bahkan pada bentuk ini sebagian masyarakatnya menghindari berbagai bentuk
partisipasi politik, ataupun hanya berpartisipasi pada tingkat yang paling rendah.
- Voting (pemberian suara), pada bentuk ini partisipasi yang dilakukan adalah
berupa pemberian suara pada saat pemilu.
- Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik. Pada
bagian ini partisipasi yang dilakukan adalah diskusi secara informal dalam ruang
lingkup keluarga, teman, terkadang ditempat kerja.
- Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan lain-lain. Partisipasi ini lebih
nyata dari pada diskusi politik informal.
- Keanggotaan pasif organisasi semu politik.
- Keanggotaan aktif organisasi semu politik.
- Keanggotaan pasif suatu organisasi politik.
- Keanggotaan aktif suatu organisasi politik.
- Mencari jabatan politik atau administratif.
- Menduduki jabatan politik atau administratif. Ini merupakan partisipasi politik
E.1.1. Bentuk Partisipasi Politik
Menurut Ramlan Surbakti, bentuk partisipasi dibedakan menjadi partisipsi
aktif dan partisipasi pasif:
a. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.
b. Sedangkan partisipasi pasif antara lain, berupa kegiatan mentaati peraturan pemerintah, menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.19
Bentuk yang paling sederhana dari partisipasi aktif adalah ikut memberikan
suara dalam pemilu, turut serta dalam demonstrasi dan memberikan dukungan
keuangan dengan jalan memberikan sumbangan. Sedangkan bentuk partisipasi pasif
adalah bentuk partisipasi yang sebentar-sebentar, misalnya bentuk diskusi politik
informal oleh individu-individu dalam keluarga masing-masing, ditempat kerja atau
diantara sahabat-sahabat. Orang yang melakukan kewajibannya adalah warga negara
yang baik. Partisipasi semacam itu mengekspresikan kepercayaan akan legitimasi
struktur kekuasaan dan otoritas masyarakat.20
Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik
aktif yang paling kecil, karena hal itu menunjukkan suatu keterlibatan minimal, yang
akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.21
19
Ramlan Surbakti, Memahami Politik, Grasindo, Jakarta,2003, h.74. 20
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, h.118. 21
E.1.2. Jenis-Jenis Perilaku Masyarakat Dalam Partisipasi Politik
Sementara itu menurut Milbrath dan Goel membedakan partisipasi politik
menjadi beberapa kategori perilaku yaitu:
1. Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.
2. Spektator, yaitu berupa orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilu.
3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat.
4. Pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.22
Menurut Samuel P. Huntington, jenis-jenis perilaku politik antara lain sebagai
berikut:
1. Kegiatan pemilihan, mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan dalam kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
2. Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat – pejabat pemerintahan dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
3. Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah mempengaruhi keputusan pemerintah.
4. Mencari Koneksi (Contacting), merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintahan dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.
5. Tindakan kekerasan (violence), juga dapat berupa partisipasi politik yakni upaya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan jalam menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda. Kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik (kudeta,
22
pembunuhan), mempengaruhi kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah (huru-hara, pemberontakan), atau mengubah seluruh sistem politi (revolusi).23
Menurut Sudijono Sastroatmojo, partisipasi politik itu merupakan kegiatan
yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan
yang dilakukan pemerintah.
E.1.3. Tujuan Partisipasi Politik
24
Sama halnya menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam
Partisipasi Politik di Negara Berkembang, seperti dikutip oleh Sudijono
Sastroatmojo, tujuan partisipasi politik adalah mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah.25
Pendapat senada turut dilontarkan oleh Miriam Budiarjo, bahwa tujuan dari
partisipasi politik aktif, yaitu dengan cara datang ke tempat pemungutan suara adalah
untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.
26
Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Scince,
mengatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang
legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi
pejabat-pejabat negara dan tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.27
23
Samuel P. Huntington, Op Cit, h.16-18. 24
Sastroatmojo, Op Cit, h. 67. 25
Ibid, h.68. 26
Miriam Budiarjo,Op Cit, h.1. 27
E.1.4. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat
Menurut Ramlan Surbakti, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
partisipasi politik seseorang adalah kesadaran politik dan kepercayaan orang tersebut
kepada pemerintah.28
28
Ramlan Surbakti, Memahami Politik, Jakarta Grasindo, 2003, h.128.
Aspek kesadaran politik seseorang meliputi kesadaran terhadap
hak dan kewajibannya sebagai warga negara, baik hak – hak politik, ekonomi,
maupun hak-hak mendapatkan jaminan sosial dan hukum.27
Sedangkan menurut Weimer setidaknya ada lima penyebab faktor – faktor
yang mempengaruhi meluasnya partisipasi politik, yaitu:
1. Modernisasi.
Modernisasi disegala bidang berakibat pada partisipasi warga kota baru seperti kaum buruh, pedagang dan profesional untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan dan menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai bentuk kesadarannya bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya sendiri.
2. Terjadinya perubahan – perubahan struktur kelas sosial.
Perubahan struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang makin meluas dalam era industrialisasi dan modernisasi. Hal ini menyebabkan munculnya persoalan, siapa yang berhak ikut serta dalam pembuatan keputusan-keputusan politik mengakibatkan perubahan-perubahan pola partisipasi politik.
3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa.
Munculnya ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme dan egaliterisme mengakibatkan munculnya tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi membantu menyebarluaskan seluruh ide–ide ini kepada masyarakat. Akibatnya masyarakat yang belum maju sekalipun akan menerima ide – ide tersebut secara cepat, sehingga sedikit banyak berimplikasi pada tuntutan rakyat.
4. Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik.
5. Keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dan urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.29
d. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik, yakni masyarakat menguasai Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat, yaitu:
1. Faktor sosial ekonomi. Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan,
tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor politik. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk
menentukan suatu produk akhir.
Faktor Politik meliputi :
a. Komunikasi politik, adalah komunikasi yang mempunyai konsekuansi politik
baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam
keberadaan suatu konflik. Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat
sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika.
b. Kesadaran Politik, kesadaran politik yang menyangkut pengetahuan, minat
dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat
kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh
perhatian terhadap permasalahan dan atau pembangunan.
c. Pengetahuan masyarakat terdap proses pengambilan keputusan, akan
menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil.
29
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek
kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir
penyalahgunaaan kewenangan dalam keputusan politik. Kontrol masyarakat
dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan
ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide,gagasan) tanpa
intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan
kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan
pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan
mengenai pembangunan.
4. Faktor nilai budaya, merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakikatnya
adalah politik baik etika politik maupun teknik atau peradapan masyarakat. Faktor
nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan sikap dan kepercayaan politik.29
E.2. Pemilihan Kepala Daerah
a. Perspektif Teoritis
David Easton, teorotisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan
sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya
tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling
tergantung dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya
yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.
Sebagai suati sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai
adalah electoral Regulation, Electoral process, dan electoral Law Enforcement.
Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala
daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara,
calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Elektoral
process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan
kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik bersifat legal
maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap
aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga
bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala
daerah.
Sebagai suatu sistem pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni
bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen terlibat dan kegiatan mempunyai
batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan subsistem,
masing-masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki
mekanisme kontrol, dan mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri.
b. Perspektif Praktis.
Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas
memimpin birokrasi dan menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi
sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik
mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan
harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang
telah diberikan oleh rakyat. Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekutmen
kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang
melibatkan elemen politik, yaitu rakyat dan partai politik.
Pemilihan kepala daerah merupakan rekutmen politik yaitu, penyeleksian
rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, ataupun Walikota/Wakil Walikota.
Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon
kepala daerah.30
Konsep kulturalis tentang etnisitas merupakan suatu usaha yang berani untuk
melepaskan diri dari implikasi rasis yang inheren dalam sejarah konsep ras. Seperti
ditulis Stuart Hall (1996), “jika subjek kulit hitam dan pengalaman kulit hitam tidak
distabilkan oleh alam atau esensi lainnya, maka pastilah ia terkonstruksi secara
E.3. Etnisitas
Konsep etnisitas bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan
asal usul sosial. Apa yang kita pikirkan sebagai identitaskita tergantung kepada apa
yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Orang Jawa bukan Madura, Batak dan
lain-lain. Konsekuensinya, etnisitas akan lebih baik dipahami sebagai proses penciptaan
batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik (Barth,
1969).
30
historis, cultural, dan politis. Term etnisitas mengakui sejarah, bahasa, dan kebudyaan
dalam konstruki subjektivitas dan identitas, seperti halnya fakta bahwa semua wacana
selalui punya tempat, posisi, situasi dan semua pengetahuan selalu konstekstual”.
Masalah dalam konsepsi kulturalias tentang etnisitas adalah diabaikannya
pertanyaan-pertanyaan tentang kekuasaan dan ras. Etnisitas dapat dikembangkan ke
dalam diskusi tentang multikulturalisme, untuk menunjukkan formasi sosial yang
beroperasi dalam kelompok yang plural dan sejajar daripada kelompok yang
terasialisasi secara hirarkhis. Konsekuensinya, Hooks (1990) dan Gil Roy (1987)
lebih suka memakai konsep “ras”, bukan karena ia berhubungan dengan keabsolutan
biologis atau kultural, tetapi karena ia berhubungan dengan isu kekuasaan.
Sebaliknya Hall (1996) mencoba membangun kembali konsep etnisitas dengan
memusatkan perhatian pada dimana kita semua terlokasikan secara etnis.31
Menurut Fredrick Barth istilah etnis adalah suatu kelompok tertentu yang
karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori
tersebut pada sistem sistem nilai budayanya. Keompok etnis adalah kelompok orang-Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etnis berarti sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat,
agama, bangsa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis memiliki
kesamaan dalam sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan atau tidak),
sisitem nilai, serta adat istiadat dan tradisi.
orang sebagai suatu populasi yang:32
• Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.
• Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam
suatubentuk budaya.
• Membentuk jaringan komunikasi dan inetraksi sendiri.
• Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan
dapat dibedakan dari kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi
lain.
F. Metodologi Penelitian
F.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau
menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subyek penelitian. Tipe yang
paling umum dari penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat dari individu,
organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan
dalam survey, wawancara, ataupun observasi.33
Lokasi pada penelitian ini adalah di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan
F.2. Lokasi Penelitian
32
Fredrik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press) 1988, hal. 11.
33
Medan Tuntungan Kota Medan.
F.3. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Populasi mempunyai lambang
(N).34
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk
meneliti semua yang ada dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat
menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Untuk itu sampel yang
diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).
Dalam hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
masyarakat suku Karo yang telah memiliki hak suara di dalam pemilihan
umum kepala daerah Kota Medan pada Kelurahan Simpang Selayang
Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan yang berjumlah 2.896 jiwa.
2. Sampel
35
Dikarenakan populasi yang bersifat heterogen atau tidak homogen, maka pada
teknik penarikan sampel menggunakan Teknik Proportionate Stratified
Random Sampling, yakni populasi yang mempunyai anggota atau unsur yang
34
Husein Umar, Metode Riset Bisnis, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.h.65. 35
tidak homogen dan berstrata secara proporsional.
Beberapa peneliti menyatakan, bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang
dari
10%,36
N
disebabkan jumlah populasi cukup besar yaitu 000 orang, maka
adapun rumus yang digunakan untuk menentukan dan pengambilan sampel
adalah rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane,
n = N.d2
n =
2.896 . (10%)² +1
2.896
+ 1
Keterangan:
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
d = Presisi, ditetapkan 10% dengan derajat kepercayaan 90%
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah:
2.896
n =
29.96
n = 96,6 atau 97 orang
36
F.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, data yang diperlukan oleh peneliti adalah:
1. Dengan menggunakan data primer yakni, melalui penyebaran angket atau
kuesioner dan wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan terstruktur yang
ditujukan kepada masing-masing responden.
2. Dengan menggunakan data sekunder yakni, melakukan studi pustaka atau
dokumen dari kantor Lurah Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan.
F.5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai
situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif. Data-data
yang telah dikumpul, baik data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari
lapangan yang akan diekplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan
suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi dan teknik
pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
BAB II : DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Menguraikan tentang sejarah umum dan gambaran secara umum
Tuntungan.
BAB III : PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA
Bab ini akan menguraikan hasil dan analisis dari penelitian yang
berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
politik masyarakat Karo di Kelurahan Simpang Selayang Kecamatan
Medan Tuntungan.
BAB IV : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan analisis dan saran-saran yang diperoleh dari
hasil-hasil pembahasan, dengan berdasrkan kesimpulan yang telah