Relasi gender dalam
agama Buddha
A.
Gender dalam Perspektif Buddhis
•
Masyarakat
India
pra
Buddha,
sangat
tidak
menghormati perempuan. Sampai sekte Brahmanisme
berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara
hanya kalangan
laki-•
Buddha hadir membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan,
perempuan diberi hak dan kesempatan yang hampir
samadengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius
maupun sosial.
•
Buddha sendiri berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan sama saja.
Tidak ada sistem kasta, orang yang mulia ialah orang yang mampu
menjalankan Dhamma terlepas dia laki-laki atau perempuan.
•
Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya
Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban
dan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan
adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan
berumah tangga.
Menurut agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan
perempuan yang muncul bersama di muka bumi ini.
Dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya
masing-masing, sehingga kedudukan antara laki-laki maupun
perempuan dalam agama budha tidak dipermasalahkan.
Agama Buddha membimbing umatnya untuk menghargai
B. Status Perempuan dalam Ajaran Agama Buddha
Dalam kemitrasejajaran pria dan wanita yang berkeluarga, agar
perkawinan harmonis dan berlangsung lama, ajaran dalam Samajivi Sutta dusebutkan: “Para Bhikku, bila suami dan istri mengharapkan saling bertemu dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang, keduanya hendaknya menjadi orang yang memiliki keyakinan atau Saddha yang sebanding, memiliki tatasusila yang sebanding memiliki kemurahan hati yang sebanding, dan kebijaksanaan yang sebanding. Dalam artian lain sebenarnya sudah setara.
Tradisi Buddhisme, sejak awal memberikan tempat kepada
perempuan egaliter dengan laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai nirwana
Buddhisme juga memiliki ordo rahib perempuan, dia dapat mencapai
Nirwana. Karenanya, rintangan utama untuk mencapai pencerahan bukanlah perempuan, tetapi sikap mental.
Selain itu kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang
Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama
antara kaum laki-laki dan perempuan. asal tekun melatih diri
dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi
(konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan)
Namun, setelah Buddha meninggal timbul pandangan bahwa
kelahiran sebagai perempuan lebih rendah karena karma
buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa
sampai saat ini kelahiran sebagai perempuan sebagai karma
buruk masa lampau dibanding kelahiran sebagai laki-laki.
C.
Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan
Agama Buddha
Dalam berbagai vihara, para pendeta wanita sebagai
Perempuan dalam agama Buddha bukan hanya berperan aktif
pada masa klasik. Mereka juga aktif di masa modern, dapat di ambil contoh, pada tanggal 9 Mei tahun 1979 telah berdiri suatu organisasi agama Buddha yang bernama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Waluba).
Kemudian Girirakkhito Mahathera ketua umum DPP Waluba telah
menugaskan dengan kepercayaan penuh Dra. Siti Hartati Murdaya, untuk melaksanakan misi, untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi di dalam Perwalian Umat Buddha Indonesia
Dalam kehidupan masyarakat, Sang Buddha tidak membedakan
peran laki-laki maupun perempuan. Mereka memiliki kemampuan yang setara dan adil. Seperti laki-laki, perempuan juga bisa menjadi majikan, atasan, guru (Brahamana) sesuai khotbah sang Buddha
Selain Menurut agama Buddha, manusia terdiri dari laki-laki dan
Dalam Paninivana Sutta, sang Buddha mengatakan seluruh
umaat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Buddha. Laki-laki dan perempuan memliki tugas yang agunng, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya D. Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender
Tradisional
Untuk memebuat kesejajaran gender dikembangkan konsep
Bhodisatwa. Bodisatwa mempunyai pengertian yang lebih luas daripada Bhodisatta yaitu orang yang mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi mengabdikan dirinya demi orang lain.
Jadi Bhodisatwa bukan hanya ada satu orang seperti halnya
dengan Bhodisatta.Evolusi Bhodisatwa Guan-Yin menjadi perempuan juga memberikan dampak kehormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa perempuan juga bisa menjadi Buddha
Tetapi kalau kita melihat dalam konteks sekarang, di mana
Adanya ketidak sejajaran ini berdampak pada permasalahan
gender dalam kehidupan sekuler (kehidupan rumahtangga).
Dalam agama Budha, kehidupan dicapai dalam dua
komunitas, yaitu komunitas religius dan sekuler
Dalam komunitas religius, jelas bahwa diskriminasi muncul,
yaitu hilangnya hak perempuan untuk ditahbiskan menjadi
bikhuni, seperti pada waktu Sang Budha hidup.
Dalam lapangan sekuler (kehidupan rumahtangga), cacat ini
tidak begitu terlihat.Sehingga ada ilmuwan yang menyatakan
kesempurnaan teori Sang Budha karena tidak menemukan
teks-teks yang bersifat metogenis dalam ajaran dasarnya.
Maka seakan-akan, dalam ajaran Sang Budha, kesetaraan
gender ini sudah terwujud, padahal sebenarnya tidak juga.