DEPARTMENT OF ANTHROPOLOGY PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
Mata Kuliah: Etnograf
Dosen Pengampuh:
Prof. Dr. Supriadi Hamdat. MA
Nama:
Ilham Amir Arsyad Nim:
P1900213406
SUKU TOULAMBI: SEBUAH LANGKAH AWAL SANG ETNOGRAPHER
Hutan hijau disegala pandang, nan deras air sungai mengalir, burung kecil bernyanyi, sangat indah. Papua Nugini nama negara itu. Pagi menyambut iringan semangat kami menemui mereka yang alami, masyarakat suku toulambi. Alam dan kehidupan sosial yang tersandar pada kesederhanaan hidup bersama.
Beruntunglah pagi itu, saya bersama tim dapat bertemu mereka, sangat senang kami menyambut mereka yang mendatangi kami dengan memberikan tangan untuk berjabat tangan yang menunjukkan keinginan kami berteman atau dapat diterima oleh mereka. Aneh tangan kami ditolak, mungkin mereka tidak mengerti maksud kami. Entah bagaimana mekanisme mereka dalam menyambut tamu atau orang asing.
Kulit gelap dengan hiasan yang mereka gunakan mulai dari bulu burung warna merah di kepala dan rotan atau kerang sebagai penghias badan yang menutupi setengah dari tubuhnya. Itulah mungkin pakaian kebanggaan mereka, tapi semoga bukan pakaian perang. Nampak sorak-sorak dari belakang, entah apa yang mereka bicarakan yang pastinya tentang kami, mulai dari anak kecil, remaja, ibu-ibu dan para lelaki dewasa, namun yang paling dekat dari kami adalah para lelaki dewasa yang memiliki badan tinggi dan kekar, sebuah konteks yang biasa kita jumpai di tempat/suku lain dimana mereka (lelaki dewasa) menjadi pelindung bagi kelompoknya.
Berbagai macam cara kami gunakan agar mereka tertarik dan merasa kami bukan pengganggu yang mengancam eksistensi suku mereka. Mungkin korek api, itu dalam pikiranku saat itu. Pikiran yang berusaha membuat mereka dapat menerima kami. Saat pertama saya tunjukkan korek api mereka penuh penasaran tergambar dari rauk mukanya, terlebih saat saya nyalakan, mungkin mereka kaget, api dapat menyala dengan sangat cepat. Mereka penasaran itu sudah pasti, terbukti salah satu dari mereka datang menghampiriku dan mencoba mengambil korek api dari tanganku. Sangat senang rasanya, terlebih saat mereka berusaha belajar untuk menyalakannya. Itulah komunikasi verbal yang kami lakukan, sebuah edukasi kecil bagi kita, namun mereka sangat menghayatinya.
Tak selesai disitu, asyik ketika kami melihat raut wajah mereka. Saya kemudian mengambil sebilah pisau dan memperliatkan kegunaannya ke mereka. Heran, kaget dan antusias nampak, dengan rasa penasaran salah satu dari mereka mengambil peralatan yang terbuat dari kayu dengan ujung runcing, yang mereka anggap berfungsi seperti pisau saya. Berangkat dari penasaran salah satu dari mereka membandingkan peralatannya dengan pisau yang saya bawa.
Dengan capaian yang telah kami usahakan, kami menganggap mereka telah menganggap kami sebagai orang asing yang tidak berbahaya. Kemudian kami buktikan dengan bekal nasi yang kami bawa. Saya kemudian memperlihatkan ke mereka bagaimana kami memakan nasi tersebut. Dengan sedikit rasa ketakutan namun mereka mendekati kami dan mencoba ikut memakan nasi yang kami bawa. Tindakan yang aneh menurut kami, setelah memakan nasi tersebut mereka memukul-mukul kepalanya, mungkin itu wujud kegembiraan atau mungkin saja pesan buat kelompok mereka bahwa nasi tersebut enak dan tidak berbahaya. Mereka menyukainya, mulai dari anak-anak sampai ibu-ibu ikut menikmati nasi tersebut. Di sisi lain beberapa dari mereka asyik memperhatikan tenda dan perlatan kami, mulai tape recorder, pisau, kamera, senter. Sangat detail mereka mengamatinya.
Menari, berjoged dan ada beberapa yang memaikan gendang. Menurut kami, musik itu universal sebagai penggambaran perasaan seseorang. Senang dan tertawa mereka menyambut kami. Tak mau disia-siakan saya kemudian mengambil tape recorder untuk merekam kondisi tersebut. Kondisi yang menggambarkan keberhasilan kami. Heran mereka terliat ketika mendengar suara mereka di dalam sebuah benda kotak yang asing menurut mereka.