• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Sosial Budaya pada Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perubahan Sosial Budaya pada Masyarakat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Dampak Pariwisata Bagi Perubahan Sosial Budaya Masyarakat

(Studi Kasus Desa Wisata Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah)

Disusun Oleh Kelompok 8:

Daniel Parlindungan (4815133954)

Megawati Buamona (4815133960)

Nesia Amalia (4815133967)

Ulfani Putri Nur Rahman (4815135005)

Pendidikan Sosiologi B 2013 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Industri pariwisata menjadi hal yang penting di Indonesia karena Indonesia memiliki beragam potensi wisata dan budaya seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata religi, serta wisata kuliner. Potensi wisata tersebut berpengaruh bagi pembangunan ekonomi di suatu daerah yang menjadi destinasi wisata.

Desa Ketenger merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Desa ini berada dekat dengan kawasan wisata Baturaden, yang mana adalah sebuah kawasan wisata yang cukup populer di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah. Hingga tahun 2006, kawasan ini merupakan satu-satunya kawasan wisata di kabupaten Banyumas. Karena kepopuleran kawasan wisata Baturaden ini, maka dianggap perlu adanya sarana penunjang yang berfungsi untuk menopang kawasan wisata utama Baturaden ini, salah satu bentuknya adalah membuat desa wisata yang kemudian Desa Ketenger lah yang direalisasikan menjadi sebuah desa wisata di Kabupaten Banyumas.

Desa Ketenger adalah sebuah desa yang unik dan memiliki banyak kearifan lokal yang dinilai mampu menarik wisatawan. Banyaknya potensi wisata alam seperti curug dan wisata sejarah seperti peninggalan-peninggalan masa penjajahan Jepang dan Belanda menjadi daya tarik tersendiri yang akhirnya menjadikan Desa Ketenger sebagai desa wisata.

Desa wisata menjadi pengembangan dari suatu desa yang memiliki potensi wisata yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti alat transportasi atau penginapan. Berbagai fasilitas yang ada dalam desa wisata akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Desa Ketenger yang telah berkembang menjadi desa wisata menyebabkan terjadinya perubahan sosial, budaya, dan ekonomi pada masyarakat setempat.

(3)

Perubahan budaya menekankan pada perubahan sistem nilai sedang perubahan sosial pada sistem pelembagaan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Perubahan sosial dan budaya yang terjadi ketika Desa Ketenger berkembang menjadi desa wisata memberikan perubahan sosial budaya pada masyarakat Desa Wisata Ketenger seperti pada perubahan pola pikir, tingkat pendidikan, pola perilaku, budaya, dan peningkatan ekonomi.

Banyaknya wisatawan yang datang ke Desa Ketenger dapat merubah pola pikir dan perilaku masyarakat setempat. Seperti misalnya merubah mata pencaharian warga menjadi pemandu wisata, penyedia jasa transportasi, menyediakan penginapan, dan atau berdagang di kawasan objek wisata serta perilaku masyarakat setempat juga bisa berubah seperti wisatawan yang biasanya berasal dari kota. Munculnya sikap individualitas dan pemikiran yang berorientasi pada materi adalah sa;ah satu contohnya.

Adanya kegiatan pelatihan bahasa asing bagi masyarakat setempat agar bisa berkomunikasi dengan wisatawan asing dan juga menjadi pemandu wisata juga menjadi hal yang menarik untuk di teliti, karena begitu banyaknya persiapan yang telah dilakukan oleh warga maupun pemerintah desa untuk menjadikan Desa Ketenger sebagai desa wisata. Oleh karena itu pasti terjadi perubahan sosial dan ada dampak sosial serta budaya akibat dijadikannya desa ini sebagai desa wisata.

1.2 Rumusan Masalah

a. Mengapa Desa Ketenger menjadi desa wisata?

b. Perubahan sosial budaya apa saja yang terjadi pada masyarakat Desa Ketenger semenjak desa tersebut menjadi desa wisata?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukannya kuliah kerja lapangan dan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui awal mula Desa Ketenger menjadi desa wisata

(4)

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL 2.1 Konsep Pariwisata

Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sementara Marpaung1, mendefinisikan pariwisata

sebagai: Pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Aktifitas dilakukan selama mereka tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism Development) berlandaskan pada upaya pemberdayaan (Empowerment), baik dalam arti ekonomi, sosial, maupun kultural merupakan suatu model pariwisata yang mampu merangsang tumbuhnya kualitas sosio-kultural dan ekonomi masyarakat serta menjamin kelestarian lingkungan. Pariwisata berkelanjutan mempertemukan kebutuhan wisatawan dan daerah tujuan wisata dalam usaha menyelamatkan dan memberi peluang untuk menjadi lebih menarik lagi di waktu yang akan datang2.

Hal ini merupakan suatu pertimbangan sebagai ajakan pemerintah agar semua sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan di waktu yang akan datang untuk tujuan ekonomi, sosial, keindahan yang dapat dijadikan daya tarik dengan memelihara integritas keanekaragaman budaya yang ditunjang sistem kehidupan. Ide dasar pembangunan berkelanjutan adalah kelestarian sumberdaya alam dan budaya. Sumberdaya tersebut merupakan kebutuhan setiap orang saat sekarang supaya dapat hidup dengan sejahtera, tetapi harus dipelihara dan dilestarikan agar dapat juga digunakan di masa yang akan datang. Pemanfaatan sumberdaya tersebut harus melibatkan masyarakat lokal dan memberikan manfaat optimal bagi mereka.

2.2 Desa Wisata

Pengembangan pariwisata pedesaan merupakan dampak dari adanya perubahan minat wisatawan terhadap daerah destinasi wisata. Tumbuhnya tren dan motivasi perjalanan wisata minat khusus yang menginginkan wisata yang kembali ke alam, interaksi dengan masyarakat

1 Happy Marpaung dan Herman Bahar, Pengantar Pariwisata, Alfabeta, Bandung, 2002, hlm: 13

(5)

lokal, serta tertarik untuk mempelajari budaya dan keunikan lokal sehingga mendorong pengembangan wisata perdesaan. Pariwisata perdesaan merupakan model pariwisata baru, sering juga dikenal dengan periwisata minat khusus (special interest tourism).

Obyek wisata pedesaan merupakan suatu desa yang mempunyai sarana atau obyek yang mendukung kegiatan kepariwisataan dan mempunyai potensi besar dalam sektor pariwisata, sehingga layak untuk dijadikan dan dikembangkan menjadi objek wisata baru.

Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Suatu desa wisata memiliki daya tarik yang khas (dapat berupa keunikan fisik lingkungan alam perdesaan, maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya) yang dikemas secara alami dan menarik sehingga daya tarik perdesaan dapat menggerakkan kunjungan wisatawan ke desa tersebut (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011: 1).

Ada dua pengertian tentang desa wisata: (1) Apabila tamu menginap disebut desa wisata; (2) Apabila tamu hanya berkunjung disebut wisata desa. Masyarakat adalah penggerak utama dalam desa wisata. Masyarakat itu sendiri yang mengelola pariwisata tersebut, sehingga tidak ada investor yang bisa masuk untuk mempengaruhi perkembangan desa wisata itu sendiri. Apabila ada suatu desa wisata yang dikelola oleh investor berarti desa tersebut bukanlah desa wisata dalam arti sebenarnya (Hasbullah Asyari, 2010: 2).

Masyarakat menjadikan rumah-rumah mereka atau sebagian kamar-kamar mereka menjadi tempat tinggal tamu sementara (homestay) dalam suatu desa wisata. Akan menjadi komplit apabila tamu-tamu bisa menikmati keseharian rakyat (live in) merasakan sajian makanan dan jenis atraksi kebudayaan desa. Desa wisata akan sukses apabila seluruh anggota masyarakat baik kepala keluarga, ibu-ibu rumah tangga, pemuda, dan anak-anak ikut mendukung keberadaan desa wisata tersebut (Hasbullah Asyari, 2010: 3).

(6)

memiliki potensi untuk dikembangkannya komponen kepariwisataan (Soetarso Priasukmana, 2001: 37).

Desa wisata dalam artian sederhana merupakan suatu obyek wisata yang memiliki potensi seni dan budaya unggulan di suatu wilayah perdesaan yang berada di pemerintah daerah. Desa wisata merupakan sebuah desa yang hidup mandiri dengan potensi yang dimilikinya dan dapat menjual berbagai atraksi-atraksinya sebagai daya tarik wisata tanpa melibatkan investor. Berdasarkan hal tersebut pengembangan desa wisata merupakan realisasi dari undang-undang otonomi daerah (UU No.22/99), maka dari itu setiap kabupaten perlu memprogamkan pengembangan desa wisata sesuai dengan pola PIR tersebut.

2.3 Perubahan Sosial Budaya 2.3.1 Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan suatu realitas yang majemuk, bukan realitas tunggal yang diakibatkan oleh dinamika masyarakat tertentu. Perubahan sosial adalah suatu bentuk peradaban umat manusia akibat adanya eskalasi perubahan alam, biologis, fisik yang terjadi sepanjang kehidupan manusia3.

Menurut pengamatan para pemikir sosial, perubahan sosial yang didukung dengan keragaman teori modernisasi barat yang mengembangkan suatu jaringan kerja sama antarnegara (world system theory), memang telah menjadikan bumi manusia menjadi suatu peradaban. Tetapi, kemudian muncul suatu krisis identitas, karena manusia telah menjadi tidak memiliki batas, identitas kepemilikan akibat mengglobalnya sistem ekonomi, dan hilangnya batas antarnegara4.

2.3.2 Teori Perubahan Sosial

Auguste Comte membagi teori perubahan sosial dalam dua konsep penting; yaitu Social Static (bangunan struktural) dan Social Dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan hal-hal yang mapan, berupa struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan

(7)

utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat5.

Menurut Roy Bhaskar, perubahan sosial biasanya terjadi secara wajar (naturaly), gradual, bertahap serta tidak pernah terjadi secara radikal maupun revolusioner. Proses perubahan sosial meliputi6:

1. Proses Reproduksi

Merupakan proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Dalam hal ini meliputi bentuk warisan budaya yang kita miliki. Warisan budaya dalam kehidupan keseharian meliputi: a. Material (kebendaan, teknologi) dan b. Immaterial (non-benda, adat, norma dan nilai-nilai).

2. Proses Transformasi

Suatu proses penciptaan hal yang baru (something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan teknologi (tools and technologies), yang berubah adalah aspek budaya yang sifatnya material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan untuk dipertahankan). Sebagai contoh orang Jawa, memakai pakaian dengan stelan dasi dan jas, tetapi nilai kehidupannya masih Wonogiri atau Purwodadi Grobongan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya yang tampak (material) lebih mudah diubah, tetapi sikap hidup adalah menyangkut nilai-nilai yang sukar dibentuk kembali.

2.3.3 Perubahan Budaya

Perubahan budaya adalah

2.3.4 Perubahan Sosial Budaya

Beberapa ahli sosiologi mengemukakan rumusan mengenai pengertian perubahan sosial budaya, antara lain sebagai berikut7:

a. Selo Soemardjan menyatakan bahwa perubahan sosial budaya adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang

5 Ibid hlm: 9 6 Ibid hlm:20-21

(8)

mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

b. Gillin dan Gillin menyatakan bahwa perubahan sosial budaya merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, yang disebabkan oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi serta adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

c. William F. Ogburn mengemukakan bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan, baik kebudayaan materiil maupun non materiil.

d. Kingsley Davis mengartikan bahwa perubahan sosial budaya adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat.

Umumnya para tokoh mendefinisikan atau menganggap perubahan sosial adalah variasi sementara dalam satu perkara atau lebih, sebagai berikut:

a. Berkaitan dengan jumlah populasi dari satu unit sosial. b. Tingkat perilaku penduduk dalam jangka waktu tertentu. c. Struktur sosial atau pola interaksi antar individu.

d. Pola-pola kebudayaan, seperti perubahan nilai.

Salah satu teori yang merupakan bagian dari perubahan sosial adalah teori dari Neil Smelser. Menurut Smelser (dalam Robert H. Lauer, 1993: 118-120) faktor yang menentukan perubahan sosial beberapa diantara perkara sebagai berikut:

a. Keadaan struktural untuk berubah, menyangkut penelitian struktur sosial mengetahui implikasinya bagi perubahan yang melekat didalam struktur itu.

b. Dorongan untuk berubah, secara tersirat berarti bahwa kondisi menguntungkan secara struktural itu sendiri sebenarnya belum memadai. Masih perlu diperlukan sejenis kekuatan yang cenderung ke arah perubahan. Kekuatan ini mungkin berupa kekuatan dari dalam (internal), atau kekuatan dari luar (eksternal).

c. Mobilisasi untuk berubah, berkaitan dengan arah perubahan. Arah perubahan tergantung pada cara-cara memobilisasi sumber-sumber dan cara penggunaannya untuk mempengaruhi perubahan. Selanjutnya mobilisasi itu sendiri berkaitan erat dengan kepemimpinan yang terlibat dalam perubahan.

(9)

2.4 Partisipasi Masyarakat

Salah satu contoh partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata didukung oleh penduduk lokal, yaitu penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kulitas produk wisata.

Tidak jarang masyarakat lokal sudah lebih dulu terlibat dalam pengelolaan aktivitas pariwisata sebelum ada kegiatan pengembangan dan perencanaan. Peran mereka tampak dalam bentuk penyediaan akomodasi dan jasa guiding dan penyediaan tenaga kerja, selain itu masyarakat lokal biasanya juga mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pemeliharaan sumberdaya pariwisata yang tidak dimiliki oleh pelaku pariwisata lain.

2.4.1 Pengertian partisipasi

Ditinjau dari segi etimologis kata partisipasi merupakan pinjaman dari bahasa bahasa Belanda “participate” dari Bahasa Inggris “participation”. Alport dan Davis menyebutkan8:

Partisipasi adalah keterlibatan mental atau pikiran, emosi atau perasaan seseorang didalam suatu kelompok yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.

Partisipasi masyarakat dalam penelitian ini adalah keikutsertaan warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pengembangan kemenarikan objek wisata yang indikatornya diukur dari partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, dan partisipasi dalam pengelolaan.

2.4.2 Sifat partisipasi

Menurut sifatnya partisipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi masyarakat juga dapat dilihat dari pengelolaan pariwisata secara aktif dan pasif. Sebagaimana yang dikemukakan Suwantoro9: Partisipasi aktif dapat dilaksanakan

secara langsung, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama yang secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan reaksi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan atau malalui pembinaan rasa memiliki dari kalangan masyarakat. Partisipasi pasif

8 Soentoro Sastroperto, Partisipsi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung, 1998, hlm:120

(10)

adalah timbulnya kesadaran untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif itu masyatrakat cenderung hanya sekedar mendukung terpeliharanya konservasi sunber daya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumber daya alam disekitar kawasan objek wisata, seperti: jasa penginapan atau homestay, penyediaan warung makanan, penyediaan toko souvenir atau cinderamata, jasa pemandu atau penunjuk arah, fotografi, dan menjadi pegawai perusahaan atau pengusahaan pariwisata.

BAB III

(11)

Metodologi penelitian berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; dan “Logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi, metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara saksama untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan “Penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya. Tentang istilah “Penelitian” banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya, seperti :

a. David H. Penny

Penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta.

b. J. Suprapto MA

Penelitian ialah penyelididkan dari suatu bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati serta sistematis.

c. Sutrisno Hadi MA

Sesuai dengan tujuannya, penelitian dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.

d. Mohammad Ali

Penelitian adalah suatu cara untuk memahami sesuatu dengan melalui penyelidikan atau melalui usaha mencari bukti-bukti yang muncul sehubungan dengan masalah itu, yang dilakukan secara hati-hati sekali sehingga diperoleh pemecahannya.

Dari batasan-batasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membicarakan atau mempersoalkan mengenai cara-cara melaksanakan penelitian sampai menyusun laporannya) berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah10.

3.1.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Sugiono11

adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber dan data dilakukan secara

10 Wening Sahayu, dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/dra-wening-sahayu-mpd/metodologi-penelitian.pdf diakses pada 23 Januari 2016 pkl 09.39.

(12)

purposive dan snowball, teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi (gabungan) analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi.

Format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi12.

Metode penulisan dalam deskriptif yang dimaksud adalah dengan pendekatan hubungan antara studi kepustakaan dan penelitian lapangan secara langsung, karena diawali dengan telaah bahan kepustakaan yang terkait dengan subjek materi penelitian. Kemudian, hasil perpaduan telaah kepustakaan dan penelitian langsung dijadikan analisis pembuatan laporan ini.

3.1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dilaksanakan pada 24-30 Januari 2016 di Desa Ketenger, kecamatan Baturaden kabupaten Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah.

3.1.3 Subjek Penelitian

Penduduk Desa Ketenger, pengelola tempat wisata di Desa Ketenger dan para pengunjung tempat wisata di Desa Ketenger adalah subjek dalam penelitian tentang dampak pariwisata terhadap perubahan sosial budaya masyarakat.

3.1.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

1. Kepustakaan, yaitu mencari informasi dari sumber bacaan atau literatur mengenai perubahan sosial dan dampaknya serta arsip-arsip desa mengenai sejarah Desa Ketenger.

2. Observasi, peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek wisata yang ada di Desa Ketenger, kegiatan masyarakat sekitar di tempat wisata tersebut dan

(13)

dampak dari pariwisata tersebut terhadap perubahan sosial budaya masyarakat Desa Ketenger.

3. Teknik wawancara, peneliti melakukan wawancara langsung dan mendalam dengan para informan.

3.1.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian dari hasil wawancara dan studi dokumentasi. Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Menurut Patton dalam Moleong13, analisis data adalah

“proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar”. Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian kualitatif adalah menemukan teori dari data.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin14, yaitu sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan studi dokumentasi.

2. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.

3. Display Data

13 Lexy J., Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hlm: 130.

(14)

Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan.

4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verification)

Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan.

Antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang terkait. Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta yang ada di lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian diambil intisarinya saja.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka setiap tahap dalam proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi.

3.1.6 Validasi Data

3.1.7 Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dan uraian di atas maka harus di buat keterbatasan penelitian yang bertujuan untuk memfokuskan perhatian pada observasi agar diperoleh kesimpulan yang benar dan mendalam pada aspek yang damati. Cakupan penelitian dalam observasi ini dibatasi pada perubahan sosial budaya apa saja yang terjadi di desa wisata Ketenger.

(15)

Penelitian yang relevan dengan topik yang akan dilakukan peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Septyaning Kusuma Astuti dari Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian tersebut berjudul “Dampak Sosio Kultural Masyarakat Dusun Krebet Sebagai Salah Satu Destinasi Wisata Perdesaan”. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2012. Hasil penelitian tersebut menggambarkan tentang kondisi sosial dan budaya Dusun Krebet telah mengalami perubahan melalui proses yang cukup panjang. Perubahan tersebut terlihat pada system perekonomian, pendidikan, teknologi, serta sosial dan lingkungan. Perubahan yang terjadi di dusun Krebet dipengaruhi oleh dorongan untuk berubah melalui inovasi membatik dengan media kayu yang kemudian berubah menjadi sebuah desa wisata yang menyuguhkan proses pembuatan kerajinan batik dengan media kayu dan beberapa potensi alam serta tradisi masyarakatnya. Desa Wisata Krebet membawa dampak positif di bidang ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Letak persamaan dengan penelitian ini adalah objeknya yang merupakan desa wisata namun terdapat perbedaan. Letak perbedaannya adalah lokasi penelitian tersebut yang berada di Desa Wisata Krebet dan mengenai fokus penelitiannya. Penelitian ini lebih terfokus pada permasalahan dampak sosio kultural di masyarakat Dusun Krebet.

BAB IV

(16)

Desa Ketenger adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah yang memiliki luas wilayah 138.344 km2 dan berbatasan

langsung dengan Hutan Lindung Gunung Slamet pada bagian utara, Desa Putaliman Kecamatan Kedung Banteng pada bagian barat, Desa Karang Tengah pada bagian selatan, dan Desa Karang Mangu pada bagian timur.

Kata “Ketenger” diambil dari Bahasa Jawa yang memiliki arti secara harfiah adalah “tanda”. Di wilayah Desa Ketenger terdiri dari 4 RW dan 17 RT, serta terbagi menjadi 3 dusun yaitu Dusun Karangmule, Dusun Ketenger, dan Dusun Kalipagu. Dusun Karangmule dikenal sebagai pusat cinderamata, sedangkan Dusun Katenger dan Dusun Kalipagu dikenal dengan potensi wisata alamnya.

4.2 Faktor Pendorong Desa Ketenger sebagai Desa Wisata

Potensi Wisata Alam Curug Bayan

- Lokasi, harga tiket masuk, pengelola dari karang Taruna, keadaannya yang masih sepi, bersih dan akses jalannya sudah mengalami pembangunan sehingga mulai banyak diketahui orang-orang.

4.3 Dampak Pariwisata bagi Perubahan Sosial Budaya di Desa Ketenger

Desa Ketenger sebagai salah satu daerah wisata di Baturraden merupakan tempat wisata yang cukup diminati oleh pengunjung.

Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi bagi masyarakat setempat dengan adanya daerah tujuan wisata Desa Ketenger sangat terlihat jelas. Dahulu sebagian besar mata pencaharian masyarakat hanya sebagai buruh tani, dengan adanya daerah tujuan wisata ini masyarakat setempat sangat diuntungkan, sebagian besar masyarakat memanfaatkan keeksistensian daerah tujuan wisata tersebut dengan menyediakan jasa penginapan bagi pengunjung wisata, berdagang cenderamata dan restoran.

(17)

Seiring dengan banyaknya wisatawan yang mengunjungi daerah wisata Desa Ketenger membuat masyarakat setempat mau ataupun tidak mau harus membuka diri, artinya mereka harus siap menerima kedatangan pengunjung wisata.

Wisatawan yang datang sangat beragam, bukan hanya warga sekitar namun juga berasal dari luar daerah bahkan luar negeri. Tujuan dari kedatangan pengunjung pun beragam, ada yang hanya sekedar rekreasi, mengikuti rangkaian kegiatan wisata edukasi, sampai melakukan penelitian.

Dampak sosial yang paling mencolok bagi masyarakat setempat dapat kita lihat dari interaksinya. Kebiasaan dari masyarakat sekitar adalah berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngapak, kini mereka dituntut untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan alasan tidak semua wisatawan mengerti bahasa Jawa yang biasa mereka gunakan. Hal ini bertujuan agar masyarakat dan wisatawan dapat saling mengerti dan melakukan komunikasi satu sama lain.

Dampak Budaya

Budaya merupakan salah satu aset yang penting bagi suatu daerah. Dengan adanya budaya, suatu daerah mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Begitu juga dengan Desa Ketenger, melalui beragam kebudayaannya seperti karwitan, baritan, gerebek sura, kentungan, dan kuda lumpimg yang menjadi ciri khas Desa Ketenger.

Seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang, masyarakat setempat menjadi lebih semangat untuk memperkenalkan kekayaan budaya mereka, karena hal tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Banyak wisatawan yang tertarik dengan budaya lokal Desa Ketenger demi lebih mengenal dan mencintai budaya Nusantara diluar budaya mereka sendiri.

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pemerintah bantulah nelayan di Gudang Lelang agar pemukiman nelayan menjadi tempat wisata yang indah di lengkapi dengan wisata kuliner yang menyajikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan objek wisata budaya, mengetahui faktor-faktor pendorong perkembangan pariwisata, mengetahui bentuk perubahan sosial

Hasil penelitian yang dapat di peroleh bahwa dampak pemanfaatan objek wisata Labuhan Jukung dan Tanjung setia dalam konteks pariwisata global terhadap kehidupan

Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, sebab kehidupan sosial adalah dinamis.. Perubahan sosial merupakan bagian dari gejala kehidupan sosial, sehingga

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur

Bentuk lain dampak negatif yang muncul sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah adanya peraktik perjudian yang dilakukan dalam skala kecil

Setelah pemerintah daerah menetapkan Sungsang sebagai desa wisata budaya, dan pembangunan infrastruktur (termasuk akses jalur darat), barulah daerah ini bisa

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan terkait studi kasus mengenai pengembangan masyarakat berbasis pariwisata di Kampung Wisata Bisnis Tegalwaru dapat ditarik