Hyang Widhi dan Sumber Daya Alam Bali
Oleh Humayra Secelia Muswar (I353140051)Ditulis sebagai tugas mingguan mata kuliah Teori Ekologi Manusia Program Studi Sosiologi Pedesaan
Bali terkenal dengan keindahan sumber daya alam yang sering diasosiasikan sebagai
surganya dunia. Keindahan lanskap dan keindahan bawah laut yang luar biasa menggugah
mata. Disamping itu Tuhan juga menganugrahkan Pulau dewata dengan kekayaan ikan hias
yang cukup banyak di sepanjang pantai utara pulau ini. Berbicara tentang ikan hias tidak akan
terlepas dari terumbu karang yang merupakan habitat alamiahnya. Nelayan telah melakukan
kerusakan atas alam yang terjadi. Penggunaan sianida selama bertahun-tahun menghancurkan
terumbu karang dan mengurangi stok ikan hias yang merupakan sumber mata pencaharian
nelayan setempat. Penggunaan sianida ini menunjukkan bahwa kutipan Bell (1998) bahwa
dalam agama Hindu, “orang yang hidupnya beba s dari keinginan akan hidup dalam damai”
bisa jadi benar. Keserakahan dengan dalih memenuhi permintaan pasar, nelayan melakukan
penangkapan sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak selaras alam.
Kebudayaan Bali yang bersinggungan langsung dengan agama mayoritas, Hindu,
menjadi garis penuntut masyarakat Bali dalam bertingkah laku. Berlaku pula dalam
pengelolaan perikanan ikan hias. Konsep-konsep ajaran agam Hindu dalam pengelolaan sumber daya alam disebut “wana ketih”. Agama Hindu dalam menginterpretasikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup pada dasarnya berpangkal pada kitab suci
Weda, dan kerangka dasar dari agama Hindu yaitu, Tattwa,Susila dan Upaca ra.
Ajaran Tattwa memberikan petunjuk filosofis yang mendalam mengenai pokok-pokok
keyakinan maupun mengenai konsepsi ketuhanan, sedangkan ajaran susila merupakan
kerangka untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, dan upacara merupakan
kerangka untuk menghubungkan diri dengan Tuhan dalam bentuk persembahan. Esensi dari
“ That person who lives completely free from desires, without longing ... attains peace”
(Bhagadav-Gita, II.71) -Bell, 1998
“... sejak tahun 2001 kami tidak pakai potas lagi, cukup sudah kami merusak karang. Hyang Widhi sudah marah, alam rusak karena kami motas (menangkap ikan menggunakan potassium).
upacara pada dasarnya adalah yadnya korban suci dengan hati tulus ikhlas, serta dasar hukum
dari yandnya adalah “Rna” yang secara rinci, sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari
alam, manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum
alam, bahwa semua yang ada ini tunduk pada alam semesta, tidak ada sesuatu apapun yang
luput dari hukum yang berlaku dalam dirinya.
Instrumen perikanan yang berkelanjutan diadaptasi untuk memutuskan peraturan yang
berkaitan dengan program perikanan ramah lingkungan, harus memperhatikan hal tabu,
mitos, dan kepercayaan masyarakat setempat. Praktek perikanan ramah lingkungan di Desa
Les ini berjalan dengan ritual-ritual keagamaan masyarakat Hindu Bali. Kerusakan alam yang
terjadi diartikan oleh masyarakat nelayan sebagai kemarahan Tuhan mereka, Hyang Widhi.
Hyang Widhi seperti yang diakui oleh masyarakat setempat adalah Tuhan yang sangat
mencintai kedamaian. Kedamaian dapat berarti tidak ada atau tidak banyak kerusakan yang